Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 14 - Aku Pasti Akan Menemukanmu

"Kita bakal hadir di acara Hello Counselor?" Di antara member Wishes, Na Byul yang paling heboh. Ji In masih ingat acara TV itu adalah salah satu favoritnya. Na Byul sering bilang dapat suntikan motivasi dan bentuk introspeksi diri dari Hello Counselor.

"OMG, aku beneran gak salah denger, kan?" Entah kali keberapa Na Byul selipkan sejumput rambut ke sela daun telinga. "Kita? Bakal hadir di----"

"Iya," potong Ji In mendesah risi. "Dan kita gak bisa diam terus selama acara berlangsung. Kau sendiri----penonton setia acara konseling bersama artis itu----tau, kan? Sewaktu bila kita kena giliran untuk speak up, kita bakal bilang apa? Mengerti diri sendiri saja masih kelabakan."

"Betul kata Ji In-ah," kata gadis berambut pirang sebahu mengangguk satu kali, buat Na Byul makin merengut. "Tapi setidaknya, kita bisa cari referensi masalah kehidupan yang sering terjadi dari Hello Counselor episode sebelumnya, selama kita dikasih waktu."

"Kapan bagian kita muncul?" tanya Na Byul masih kerucutkan bibir merahnya.

"Seminggu lagi," jawab Ji In baru main ponsel, menelepon seseorang. "Sebentar lagi manajer kita memberi kalian tugas untuk meriset kehidupan peserta, supaya tak terjadi penyimpangan saat pembaca acara mempersilakan kita berpendapat."

"Oke!" Mereka menjawab di waktu dan nada berbeda. Tanpa pamit maupun sepatah kata yang terlontar, Ji In keluar dengan ponsel menempel di telinga kanan. Tangannya menenteng tas mini hitam macam bawa jas ala laki-laki. Kacamata hitam dan sapu tangan yang dibentuk masker mampu tutupi wajah dari sorot media.

"Yong Moon sunbaenim, ada misi baru?" tanya Ji In bermuka datar. Namun sesekali ia pamerkan senyum bila orang-orang membungkuk sebagai bentuk sapaan.

"Ada, tapi aku ingin tau jam kerjamu sebagai artis, Ji In-ah. Ini perintah khusus dariku," kata Yong Moon terbatuk pelan. "Karena misi ini berkaitan dengan siaran TV."

"Siaran TV lagi?" Ji In mendesah malas. "Aku malas kerjakan misi itu, tapi seminggu lagi aku baru berkecimpung di acara TV."

"Apa nama acaranya?"

"Hello counselor." Ji In berkata demikian tepat keluar dari gedung pencakar langit tempatnya jalankan profesi kedua. "Apa termasuk?"

"Lebih tepatnya, itulah lokasi misi baru kita." Senyum sinis terukir di bibir berlumuran liptint merah delima. "Ingat penjelasanku baik-baik guna persingkat waktumu yang tak ada kata istirahat."

Wanita berambut cokelat ikal itu mendesis kesal. "Sepertinya aku tak punya kesempatan lagi untuk diam diri di kantor polisi."

"Salahmu sendiri yang ambil kerjaan jadi artis, Ji In-ah." Dalam hati Ji In meringis membenarkan. "Kau sudah tau siapa tamu yang hadir bersama grupmu? Jika iya, maka misi kita adalah menggali banyak informasi dari dia tanpa harus merasa tertekan. Rumor mengatakan kondisi jiwa dia masih belum pulih, jadi berhati-hatilah. Biasanya orang dengan psikologi terguncang akan melebih-lebihkan masalahnya atau justru sebaliknya."

Ponsel ia selipkan selepas kenakan helm. Motor melaju secepat pembalap internasional, menyalip setiap kendaraan yang menghalangi pada satu jalur jalan.

"Kenapa kita targetkan tamu acara TV tersebut, Yong Moon sunbaenim?" tanya Ji In tetap pasang tatapan waspada.

"Berdasarkan informasi dari pelapor, dia punya keterkaitan dengan target misi sebelumnya." Kala itu juga Ji In mendelik.

"Sun Lee?"

Yong Moon menggumam iya. "Karena kekejaman Sun Lee, dia mengalami depresi sampai hilang akal sehat."

"Karena itu kau memintaku untuk cari informasi dari dia secara hati-hati?"

"Tepat sekali," jawab Yong Moon kemudian membalas suara seorang wanita. Dia pesan latte. "Satu-satunya harapan untuk cari petunjuk lain tentang Sun Lee hanyalah dia, Ji In-ah. Perbaiki bahasamu ketika berbincang dengannya."

Sekali lagi pedal gas ia tarik ke bawah, kecepatannya mampu melanggar lalu lintas bila Ji In bukan bagian dari kepolisian. Bola matanya berkilat merah hingga sekitar putih memerah.

"Dimengerti, sunbaenim."

****

Seminggu kemudian, grup Wishes tampil menawan dengan pakaian sopan yang sedap dipandang. Kebanyakan memakai baju dan rok panjang. Ji In sendiri hadir dengan kardigan hijau yang tutupi kaus kerah tegak. Senyum terus merekah di bibir, menyapa penonton di kejauhan.

"Kali ini, aku mau cerita latar belakang dari pengirim surat yang kita terima," kata wanita buntal berkacamata itu. Tangannya dengan lihai mengurai lipatan kertas. "Halo! Saya Ahn Gim Joo. Saya bukan ibu dari anak perempuan bernama Lee Hye Lin, tapi saya sangat mencintai dia. Begitupun dengan anak itu sendiri. Saya menulis surat ini supaya kalian percaya kalau kejadian yang Hye Lin alami sangatlah kejam."

Anggota grup Wishes langsung bisik-bisik kecuali Ji In. Sepasang telinga ia asah ketajamannya terhadap suara.

"Waktu saya berkunjung ke agensi untuk lepas rindu dengan dia, saya melihat luka lebam di mana-mana. Saya tanya 'Kamu kenapa?' meski saya tau dia terlibat perundungan, tapi dia bilang 'Aku gak apa-apa, Nyonya Ahn.' Siapa yang tak sakit hatinya bila sosok tersayang malah diperlakukan macam binatang?"

Dahi Ji In mengerut. Pikirannya otomatis menghubungan isi surat yang dia baca dengan cerita milik tuan Lee.

"Diam-diam saya hajar mereka yang saya nyatakan merupakan pelaku atas penganiayaan Hye Lin. Saya sempat selidiki kejanggalan ini. Namun, nampaknya saya melakukan kesalahan paling fatal. Hye Lin makin tak berdaya, sampai tiga hari sesudah acara itu berakhir, Hye Lin sepenuhnya hilang waras. Sekarang pun, Hye Lin tetap tertawa dan menangis tak kenal waktu di tempat dia rehabilitasi. Karena itu, saya ingin hadir di sini untuk mendapat dukungan supaya mereka dijerat hukuman berat. Bisakah?"

Ini benaran persis dengan kisah tuan Lee.... Ji In tak mendengar perbincangan mereka selanjutnya. Ia tersadar kala semua orang bertepuk tangan menyambut sosok wanita berbadan montok yang terjun dari perosotan.

"Wanita semontok Nyonya Ahn tak ada yang terpikat?" Na Byul berbisik pada Ji In. "Udah body goal, sayang anak lagi. Kalau aku seorang pria, sekarang juga aku pinang dia."

Namun, Ji In hanya lepaskan senyum geli. Lain mata memperhatikan Nyonya Ahn yang duduk bersimpuh di atas tatami, mulai menjelaskan perkara Hye Lin yang ingin banggakan sang ayah dengan menjadi idol. Diam-diam ia merogoh saku kardigan. Aplikasi perekam suara pun siap menyimpan semua informasi dari wanita itu.

"Kalian bisa lihat keadaan tubuh anak perempuan orang yang saya cintai ini." Tangan berhiaskan cincin dan gelang terulur menunjuk seorang gadis yang duduk di bawah kursi penonton.

Jiwa Ji In terguncang lihat gadis itu. Tubuhnya kurus kering dan banyak bekas luka. Dia bersandar, membungkuk, seakan bosan pamerkan bola matanya yang menggelap. Refleks Ji In bungkam mulut guna redakan sensasi tercekik di leher.

Tak mungkin anaknya tuan Lee bisa seburuk ini, batinnya.

"Banyak bekas luka," sambungnya mendesah panjang. "Saya sebagai saksi berhak berkata bahwa itu adalah perbuatan mereka. Saya tak mau sebut siapa mereka, tapi kelakuannya sangat keji."

"Dan itu berlangsung dari awal dia jadi finalis sampai keputusan final para juri?" tanya Na Byul menatap iba.

"Iya...." Dia mengangguk pelan. Kala bernapas, Ji In lihat pundaknya bergetar. "Harusnya dari awal saya lapor mereka pada aparat kepolisian, bukannya memercayai kata-kata manis Hye Lin."

"Nah, kenapa kamu tak laporkan mereka?" Kini pria bertubuh sedikit gemuk yang bertanya. "Mestinya kamu langsung lapor mereka----"

"Semuanya takkan berdaya oleh uang," sela Nyonya Ahn menggeleng lemah. "Polisi, hakim, sampai pengacara andal. Saya coba cari informasi tentang mereka. Saya temukan para pelaku hidup kaya raya. Makanya ... saya tak berani lapor. Susah payah saya cari bukti-bukti kuat yang mengarah pada mereka lalu semuanya hilang berkat istilah 'sogokan', rasanya percuma, kan? Hye Lin, saya, bahkan ayah Hye Lin sendiri, seakan menjadi kambing hitam."

"Kalau modelan begitu sih memang banyak sekali di sini," kata salah satu member Wishes. "Mau tak mau harus cari seseorang yang tahan akan rayuan sogok. Sayangnya orang seperti itu hanya segelintir."

Tangan Ji In mulai terkepal seiring air mata hinggap di pelupuk. Satu per satu diberikan tisu guna hapus cairan asin yang keluar dari matanya. Hati Ji In terlampau sakit bila bangkitkan penjelasan Nyonya Ahn. Wanita dengan tampang dingin ini tak larat sumbangkan pendapat pada sesi vote 'kekhawatiran'. Ia habiskan sesi tersebut untuk bersandar dan menangis di pelukan Na Byul.

****

"Terima kasih sudah undang kami!" Serempak mereka membungkuk di hadapan pembawa acara. Semua pulang kecuali Ji In yang mengejar dua punggung perempuan itu.

"Tunggu!" pekiknya berusaha berlari menggunakan sepatu hak tinggi. Untungnya wanita berbadan montok berhenti sambil menahan badan si gadis.

"Anda ... salah satu member Wishes, ya?" tebaknya tersenyum penuh rayuan iblis.

"Iya," jawab Ji In terengah-engah. "Dan saya sudah mengetahui penderitaan Hye Lin-ah dari tuan Lee langsung. Biar saya perkenalkan sekali lagi."

Susah payah ia keluarkan dompet dari saku kardigan. Terpampang foto Ji In dengan seragam polisi di papan nama. "Saya Han Ji In, reserse polisi yang sedang mencari informasi untuk jatuhkan pelaku atas perundungan Lee Hye Lin. Tuan Lee sendiri yang minta bantuan saya."

Berkaca-kacalah mata Nyonya Ahn. "Benarkah? Bagaimana ... saya harus percaya sama bagian kepolisian macam kamu?"

"Saya sudah bilang, kan? Saya punya tugas untuk mencari informasi untuk jatuhkan pelaku perundungan Nona Lee. Artinya saya seratus persen berada di pihak kalian."

Juga ... aku sendiri adalah korban, imbuhnya dalam hati. "Tugas Nyonya gampang kok. Nyonya harus selalu jaga Nona Lee dan percaya sama saya. Berikan semua informasi tentang grup yang mengintimidasi Nona Lee berdasarkan pengamatanmu. Selebihnya, serahkan pada saya."

Lama sekali wanita itu memandang Ji In. Mereka berdiri di lorong kosong, pun suara orang-orang terdengar samar.

"Kalau tuan Lee saja sudah percaya padamu, apa boleh buat." Tangan keriput penuh perhiasan perak itu merogoh secarik kartu dari tas. "Kamu bisa telepon nomor ini jika dibutuhkan."

"Saya sangat terbantu." Usai terima kartu nama, Ji In tetap diam di lorong. Sorot matanya terlukis punggung dua wanita yang kian menjauh. Barulah tangan Ji In masuk ke saku kardigan.

"Cut." Dengan satu klik, ponselnya berhenti merekam. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro