Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40 ߷ Back to the Past



"Zhenira."

"Sayang, wake up."

Zhenira yang masih terjebak di dalam Black Zone itu mengernyit saat samar-samar mendengar suara seseorang memanggilnya. Ia menoleh ke sana-kemari dan hanya menemukan kegelapan.

"Zhenira ..."

Lagi, suara itu terdengar lagi. Ada di manakah? Siapa yang memanggilnya? Zhenira penasaran, tapi ia tidak melihat apapun. Semuanya gelap. Lantas siapa yang memanggilnya? Di Black Zone kan tidak ada orang selain dirinya sendiri. Siapa? Siapa yang memanggil dirinya?

"Zhenira, di sini sayang."

Zhenira menoleh ke arah belakang dan spontan menyipitkan mata saat ada cahaya terang di sana. "Siapa?"

"Tidak apa-apa. Bukalah matamu dan tatap Ibu."

"Ibu?" Zhenira mengernyit sebelum mengerjap-erjapkan matanya guna melihat dengan siapa ia bicara. Seorang wanita paruh baya dengan gaun putihnya.

"Iya, aku adalah Ibumu, sayang. Ibumu yang sebenarnya. Zhenira putriku."

Zhenira memundurkan langkahnya dengan perlahan. Gadis itu menggeleng kuat. "Tidak. Kau bukan Ibuku! Ibuku cuma Bunda Dhian! Kau bukan Ibuku!" Senyum pedih yang terukir di bibir wanita di depannya membuat Zhenira tak kuat menahan tangis. "Aku tidak mengenalmu! Kau bukan Ibuku!"

Deg!

Zhenira tiba-tiba merasakan jantungnya berhenti berdetak dan otaknya langsung memunculkan banyak memori yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

🌌🌌🌌

Silvanna's Country, 10 years ago ...

"Putri Zhenira! Jangan jauh-jauh mainnya!"

Seorang gadis cantik bergaun biru panjang hingga menyapu lantai itu tidak memedulikan teriakan penuh kecemasan dari pelayan pribadinya tersebut. Sendal kayu dengan ukiran daun yang dipakainya pun terdengar menggema seiring pijakannya dengan lantai istana.

Zhenira Silvanna Evans, adalah nama dari gadis bermanik cokelat madu tersebut. Putri bungsu dari Keluarga Evans yang dikenal karena sifat ceria dan jahilnya. Si paling jago berdebat dan berkomentar, apalagi dengan orang-orang yang menurutnya menyebalkan.

Seorang putri yang dijuluki Permata dari Evans karena kecantikan dan kebaikannya. Dia juga kuat dan berani. Dia memang tidak se-anggun ibunya, tapi dia sekuat ayahnya, dan secerdas kakak laki-lakinya.

"Zhenira! Berani keluar satu langkah saja dari garis merah itu, maka tidak ada makan siang untukmu!"

"TIDAK APA-APA, IBU. AKU AKAN MEMBELI MAKAN SIANG DI LUAR!"

"Astaga! Anak itu benar-benar."

Sang ratu memijit pelipisnya kala melihat tingkah sang putri yang berbanding terbalik dengan dirinya. Padahal ia adalah sosok perempuan yang anggun, tapi kenapa putri satu-satunya itu tidak bisa bersikap demikian? Ohh, tentu saja bisa. Hanya di saat-saat tertentu saja seperti jamuan makan bersama tamu-tamu dari kerajaan lain atau bahkan tidak sama sekali.

"Biarkan saja, Ibu. Zhenira bukan anak kecil lagi yang akan menurut saat Ibu atur-atur." Zhaviero Silvanna Evans. Kakak laki-laki dari Zhenira itu berujar malas saat sang ibunda lagi-lagi mengomentari dan mempermasalahkan sikap bar-bar adiknya.

"Kau ini! Kenapa malah membela Adikmu terus, sih?!" ujar sang ratu sembari memberikan cubitan pada pinggang anak sulungnya dengan gemas.

Zhaviero jelas mengaduh kesakitan dan berangsur menjauh dari jangkauan sang ibu. Laki-laki yang memakai kemeja dengan scarf putih di lehernya itu memberikan tatapan permusuhan pada sang ibunda. "Hentikan itu, Ibu. Aku harus bersiap-siap, lalu pergi berburu bersama Zaaron dan juga Zelino. Aku sudah berjanji pada mereka," jelas Zhaviero.

"Hanya berburu saja yang kalian tahu. Ingat, kalian adalah seorang pangeran. Kurang-kurangilah bermainnya!"

"Ya-ya, akan kuingat!"

🌌🌌🌌

Hiruk pikuk pasar di ibukota membuat Zhenira tidak henti-hentinya mengumbar senyum. Gadis yang masih memakai gaun birunya itu melambaikan tangan dan memberikan senyum ramah pada siapa saja yang menyapanya. Tidak seperti bangsawan kebanyakan yang harus menyamar apabila pergi keluar istana, Zhenira justru menikmati waktunya sendiri tanpa harus menyamar. Ia juga tidak risih saat bagian bawah gaunnya jadi kotor karena lantai pasar yang dipijaknya.

Perutnya lapar. Untuk itulah di sini Zhenira sekarang. Restoran milik Duke & Duchess Airlea. Dengan mengantongi 150 keping emas, Zhenira berniat membeli makanan sepuasnya untuk memberi makan cacing-cacing dalam perutnya.

Klinting!

Suara bel berbunyi setiap ada pengunjung yang membuka pintu restoran. Zhenira mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru restoran, dan tatapannya jatuh pada seorang pemuda tampan berkacamata dengan buku di tangannya. Seulas senyum manis terbit di bibir sang putri.

"Ahh, Pangeran Zero ternyata. Tumben sekali Anda bersantai di luar seperti ini? Apakah projek ilmiahnya sudah selesai?" Hanya dengan sedikit berbasa-basi, Zhenira telah berhasil menarik perhatian pangeran dari Keluarga Dawson tersebut. "Bolehkah saya duduk di sini?"

Farzero Silvanna Dawson mengangguk. Sang pangeran yang terkenal akan sifat cuek dan pendiamnya itu mempersilakan Putri Zhenira untuk mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di depannya. "Silakan."

"Terima kasih! Anda baik sekali!" Zhenira mengulas senyum lagi sebelum mendudukkan diri di depan Pangeran Zero. Hanya meja yang kini menjadi jarak diantara mereka. "Ngomong-ngomong, Anda belum menjawab pertanyaan saya yang tadi."

Pangeran Zero mengangkat satu alisnya. Seolah bertanya apa maksud dari perkataan Putri Zhenira. Pertanyaan yang mana?

"Itu, pertanyaan saya sebelumnya. Tumben Anda bersantai di luar seperti ini. Sendirian pula. Anda tidak ikut berburu dengan ketiga Pangeran Silvanna lainnya?"

Rentetan pertanyaan dari gadis di depannya membuat sang pangeran hanya menghela napas. "Aku tidak tertarik." Sesingkat itu sebelum Zero kembali sibuk dengan bacaannya. Sang pangeran sepertinya memang sedang tidak ingin diganggu.

"Maaf, kan saya hanya bertanya." Zhenira mengerucutkan bibirnya, tapi tidak lama, karena seulas senyum manis kembali terbit saat seorang pelayan restoran menghampirinya dan menanyakan pesanan sang putri.

"Selamat siang, Tuan Putri. Bisakah saya mencatat pesanan Anda sekarang?"

"Tentu saja. Sebentar, ya." Zhenira membuka buku menu dan mulai menyebutkan beberapa pesanannya dengan lancar.

Setelah itu, Zhenira membiarkan dirinya diliputi kebosanan sembari menunggu pesanannya datang. Menghela napas, mengayun-ayunkan kaki, mengetuk-ngetuk meja, sampai bernyanyi-nyanyi tak jelas. Semua gerakan kecil Zhenira itu tak luput dari netra sekelam malam sang pangeran.

Ya, Zero memerhatikan semuanya dari balik buku yang ia baca.

"Hahh! Bosan sekali!"

Sudut bibir sang pangeran terangkat ke atas. "Ekhem!" Zero iseng berdehem dan ternyata itu berhasil menarik perhatian sang putri.

"Anda kenapa?" tanya Putri Zhenira dengan polosnya.

"Tidak apa-apa. Hanya saja kerongkonganku terasa sedikit kering," jawab Zero sembari pura-pura mengelus lehernya.

"Mau saya pesankan minuman?" Zhenira bertanya dengan netra yang menatap meja mereka penuh keheranan. "Anda bahkan belum memesan minuman sama sekali?"

"Ya, begitulah. Aku terlalu larut dalam cerita yang sedang kubaca saat ini." Zero mengangkat sedikit buku yang ada di tangannya. "Sampai aku lupa kalau belum memesan apa-apa."

"Hoo, jadi begitu." Zhenira mengangguk mengerti. Sang putri pun spontan memanggil salah satu pelayan dan menyebutkan pesanan sang pangeran. "Biar aku pesankan. Kopi tanpa gula, bukan?"

"Ya, kopi tanpa gula."

"Anda dengar itu? Satu gelas kopi tanpa gula untuk si Pangeran," ujar Zhenira pada sang pelayan.

"Baik, Tuan Putri. Pangeran, mohon ditunggu pesanannya. Saya pamit undur diri."

Setelah memastikan kalau sang pelayan sudah pergi, barulah Zhenira kembali mengalihkan fokusnya pada sosok Pangeran Zero. Bisa ia lihat kalau sang pangeran sudah kembali sibuk dengan buku yang dibacanya. Ia tidak terlalu suka membaca buku. Membaca hanya akan membuatnya pusing. Lagipula, ia lebih suka praktek langsung daripada materi.

"Apakah buku itu lebih menarik daripada saya?"

Kening sang pangeran mengerut, tapi Pangeran Zero enggan merespon dan lebih memilih mengabaikan celotehan Putri Zhenira.

"Saya tidak suka diabaikan, Pangeran. Kak Zhaviero dan Kak Zelino saja tidak pernah mengabaikan saya."

"Lalu?" Pangeran Zero menutup buku yang sedari tadi dibacanya. Meletakkan buku itu di atas meja dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dengan netra yang menatap lurus ke arah Putri Zhenira. "Apakah aku harus bersikap seperti mereka untuk menyenangkanmu?"

"Ti-tidak juga." Zhenira merutuki dirinya sendiri yang telah berani-beraninya mengusik ketenangan Pangeran Zero yang terkenal dingin dan tidak suka diganggu saat membaca buku. "Hahaha, saya kan hanya membual. Jangan dianggap serius, Pangeran."

Zero mendengkus, dan kebetulan pesanan mereka sudah sampai. Jadi ia tidak harus meladeni ocehan Zhenira lagi. Karena gadis itupun sibuk dengan hidangannya sendiri.

🌌🌌🌌

"Ada banyak tempat yang bisa kau kunjungi, Zhenira. Tapi kenapa harus pasar? Lihat! Gaunmu jadi kotor semua begini."

Zhenira hanya menunjukkan deretan giginya saat diomeli oleh sang ibu. Gadis itu baru saja kembali ke istana setelah bermain dan berkeliling pasar tadi. Membuat sang ibunda jadi uring-uringan sendiri karena ia pulang dengan keadaan baju yang kotor. Terutama di bagian bawah gaun yang memang panjangnya sampai menyapu lantai.

"Ibu kan sudah sering bilang. Kalau mau bermain di luar, setidaknya ganti dulu pakaianmu. Jangan memakai gaun seperti ini, sayang."

"Iya, Ibu. Aku mengerti. Berhentilah mengomel."

Sang ratu seketika berkacak pinggang dan menatap sang putri dengan nyalang. "Ibu mengomel karena kamu bandel dan susah dibilangin, Zhenira!"

"Iya Ibuuuu, astaga." Zhenira benar-benar tidak habis pikir kenapa ibunya bisa se-cerewet ini. "Aku mengerti, oke? Jadi, jangan mengomel lagi."

"Ya sudah. Sana pergi ke kamarmu dan ganti pakaian. Entah apa yang akan dikatakan Ayahmu kalau melihat Putrinya lagi-lagi membuat ulah."

"Ayah tidak akan berkomentar apa-apa. Kau tahu sendiri soal itu, Ibu."

Sebelum kembali mendapat omelan sang ibu, Zhenira memilih untuk bergegas pergi dari sana dan kembali ke kamarnya. Ia ingin mandi dan pergi ke dapur istana setelah ini. Entah kenapa ia menginginkan pai dengan isian nanas. Pasti enak saat memakannya di hari yang panas seperti ini dengan teh lemon sebagai pelengkap.

🌌🌌🌌

"Hei! Bagaimana? Kalian mendapat banyak buruan, tidak?" tanya seorang laki-laki berkaos biru dengan rompi cokelat lusuh dan satu busur beserta anak panah di tangannya.

"Tentu saja. Lihat berapa kelinci yang kudapat," jawab laki-laki satunya sembari menenteng tiga ekor kelinci di tangan kirinya.

"Hasil buruan kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hasil buruanku." Seorang laki-laki bersurai hitam dan bermanik sebiru kristal berujar dengan angkuhnya. Dia baru saja datang dengan rusa besar yang merupakan hasil buruannya.

"Woahh! Kita akan berpesta daging rusa malam ini!"

"Kau benar! Aku akan mengajak Zhenira juga. Adikku itu kan sangat menyukai daging rusa." Zhaviero, laki-laki yang mendapatkan buruan berupa tiga ekor kelinci itu berujar riang.

"Sayang sekali Zelina tidak suka makanan dari daging hasil buruan. Adikku itu sedikit pemilih jika soal makanan." Zelino Silvanna Merlion berujar. Pangeran dari Keluarga Merlion itu menunduk lesu. "Padahal kita juga bisa mengajaknya ikut serta untuk makan-makan."

"Santai saja. Masih ada Pangeran Zero. Kau yang paling dekat dengannya, jadi jangan lupa ajak dia turut serta." Zaaronico Silvanna Valdo, laki-laki pemilik manik sebiru kristal itu berujar tenang.

"Ahh, iya! Aku hampir saja lupa."

"Hahaha, dasar. Ohh ya, Zaaron." Zhaviero tertawa, lalu menatap pada Zaaronico kemudian. "Bagaimana menurutmu dengan Zhenira?" tanya pangeran dari Keluarga Evans tersebut.

Zaaron yang tidak mengerti dengan maksud Zhaviero jelas kebingungan. "Bagaimana, maksudnya?"

"Bagaimana pendapatmu tentang Adikku?"

Zelino yang mengerti dengan maksud terselubung dari salah satu saudaranya itu langsung memberikan pukulan pada punggung Zhaviero. "Hentikan, Zhav! Zaaron mana mungkin tertarik dengan hal-hal manis seperti percintaan. Lagipula Zhenira masih kecil, kau mau menyerahkannya pada Om-om seperti Zaaron?!"

Mendengar perkataan Zelino yang mengatainya om-om, Zaaron jelas tidak terima. Hei, ayolah! Perbedaan umur mereka dan Zhenira hanya tiga tahun. Memangnya jika berbeda tiga tahun sudah bisa disebut om-om dan keponakan? Yang benar saja.

"Kalau begitu, Zhenira dengan Pangeran Zero cocok tidak? Keduanya kan seumuran."

Satu lagi kalimat ngawur dari Zhaviero membuat Zaaron rasanya ingin mengubur kedua saudara sekaligus sahabatnya itu ke dalam inti bumi.

"Hentikan, kalian berdua."

Zhaviero dan Zelino saling pandang, lantas terkekeh bersama setelahnya. Melihat ekspresi frustasi dan lelah di wajah Zaaron adalah hiburan tersendiri bagi mereka.



Jadi ini ceritanya kita balik ke masa 10 tahun yang lalu di Negeri Silvanna, ya.

Di masa ini, Zhenira dan Zaaron masih belum memiliki hubungan, tapi Zero yang memiliki ketertarikan khusus pada Zhenira sudah terlihat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro