Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

39 ߷ Uncontrollable Feelings of Anxiety



"Ger, bagaimana dengan Zhenira?" Neutraz, guardian kedelapan itu bertanya dengan hati-hati pada sang pemimpin. "Apakah kita hanya akan diam saja seperti ini?"

Sosok pemimpin The Guardian itu hanya bergeming, tanpa berpindah dari tempat ia berdiri. Menatap langit biru yang membentang dari balik kaca jendela kastil. Geraldz hanya diam, tanpa ada niat menjawab pertanyaan Neutraz.

"Sudahlah, Neutraz. Percuma kau berbicara dengannya. Dia sedang diliputi rasa bersalah." Allucaz muncul dari balik dinding yang menghubungkan aula utama dengan ruang pertemuan. Tatapan mata dari guardian ketujuh itu tampak menusuk tajam pada sang pemimpin. "Akibat rencana gilamu itu, kita jadi ikut terlibat masalah dengan gadis manusia itu."

Yang dikatakan oleh Allucaz memang benar adanya. Mereka para guardian telah mendapat peringatan dari Sang Pencipta. Peringatan itu berupa hilangnya kekuatan berpindah dimensi mereka. Untuk saat ini, Geraldz masih berusaha mencari cara untuk menebus semua kesalahan-kesalahannya pada Sang Pencipta.

"Hah ..." Neutra tampak menghela napas. Guardian bersurai ungu itu juga terlihat lelah dengan situasi yang tengah mereka hadapi akhir-akhir ini. "Aku hanya kasihan dengan Zhenira. Aku bahkan tidak yakin, apakah gadis itu benar-benar bisa keluar dari Black Zone atau tidak."

"Kita tunggu saja." Uoranz yang baru datang bergabung menyahut tenang. "Entah takdir akan membawanya ke mana, tapi yang pasti ... kita tidak bisa ikut campur lagi."

"Kau benar. Aku tidak ingin memicu kemarahan dari Sang Pencipta lagi," kata Neutraz.

Keempat guardian itu seketika terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Allucaz yang pada dasarnya memang cuek, hanya memainkan kelopak bunga anyelir yang ia petik dari taman kastil sebelum pergi ke aula tadi. Mana mau dia terlibat dengan permasalahan ini. Kehilangan satu kekuatannya karena rencana Black Zone milik Geraldz saja ia sudah murka, apalagi kalau harus terlibat lagi.

"Tapi bagaimana dengan Zhenira?" Neutraz kembali melontarkan pertanyaan itu, kini pada Uoranz yang justru hanya menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak tahu," jawab guardian kedua dengan surai merah gelapnya tersebut. "Kita sudah tidak bisa ikut campur lagi karena Sang Pencipta sangat melarangnya."

Meski mengatakannya dengan wajah tanpa ekspresi, tapi Neutraz yakin kalau Uoranz pun pasti mengkhawatirkan keadaan Zhenira. Tanpa disadari, anak manusia yang satu itu memang berhasil menarik simpati mereka. Ayolah, Black Zone bukanlah taman bermain anak-anak sehingga mereka bisa membiarkan Zhenira terjebak di sana. Setidaknya pasti ada cara. Pasti ada jalan keluarnya ... tapi bagaimana?

"Bisakah kalian diam dan tinggalkan aku sendiri?" Geraldz yang sedari tadi tak bersuara, kini membuka mulutnya dan berkata kalau mereka harus diam. Sudah terlihat jelas kalau sang pemimpin guardian itu tengah dalam suasana hati yang buruk. "Kalian benar-benar menggangguku."

"Kau benar-benar membuatku muak, Ger!"

Allucaz mengepalkan kedua tangannya. Guardian ketujuh itu mungkin akan melayangkan pukulannya pada Geraldz jika Uoranz dan Neutraz tidak bergerak cepat untuk mencegahnya.

"Apa artinya gadis manusia itu buatmu sampai kau jadi sangat bodoh seperti ini, hah?!"

"Dari awal aku sudah menentang keputusanmu yang ingin terus ikut campur dalam masalah gadis itu!"

"Sekarang apalagi?!"

"Jawab, Geraldz!"

Allucaz benar-benar sudah tidak bisa mengontrol amarahnya. Guardian ketujuh dengan surai cokelat keemasannya itu menatap nyalang pada sang pemimpin yang hanya memberikan respon tak berarti.

"Lucaz, sudahlah. Dinginkan kepalamu." Uoranz berusaha menenangkan Allucaz yang masih dalam cekalannya dan Neutraz. "Jangan menghakimi Geraldz seperti itu. Dia sudah berusaha dengan keras dan sebaik mungkin, tapi takdir memang berkata lain."

"Sang Pencipta dan takdirnya memang sudah mengutuk kita!"

"Cukup, Allucaz. Jangan memancing keributan." Neutraz berkata dengan kesal dan memberikan tatapan peringatan yang tentunya tidak akan digubris oleh Allucaz.

Allucaz berdecih. Guardian ketujuh itu langsung beranjak pergi meninggalkan aula. Terus berada di sana hanya akan membuatnya semakin marah.

🌌🌌🌌

Silvanna's Country.

Negeri yang indah itu kini tampak suram dikarenakan sang raja sedang tidak baik-baik saja. Zaaron terbaring lemah di atas ranjangnya dan terus meracaukan nama Zhenira. Sudah dua hari sang raja sakit sejak kepergian Zhenira dan teman-temannya pada malam bulan purnama kedua belas.

Zaaron terus saja mencari sosok Zhenira ke berbagai dimensi, hingga terjatuh sakit karena tidak beristirahat sama sekali. Bahkan Nenek Moa dan Kakek Loa sudah berusaha membujuk laki-laki itu agar berhenti dan mengikhlaskan kepergian Zhenira yang mungkin saja telah kembali ke dunia asalnya. Akan tetapi Zaaron bersikeras kalau Zhenira tidak ada di sana, tapi disembunyikan oleh para guardian. Hal inilah yang membuat kedua petinggi kerajaan itu jadi kepikiran dan uring-uringan.

Mereka sudah seperti mengurus bayi besar karena Zaaron terus-terusan memaksa ingin mencari Zhenira. Padahal kondisi tubuh laki-laki itu sedang tidak sehat dan membutuhkan banyak sekali waktu istirahat. Nenek Moa bahkan sampai harus memperketat penjagaan di depan pintu kamar Zaaron agar laki-laki itu tidak bisa keluar selain mendapatkan izin darinya.

Jangan tanya di mana Putri Zelina. Karena putri bungsu dari Keluarga Merlion itu telah dijemput oleh kedua orang tuanya kemarin pagi dan pulang kembali ke wilayahnya yang berada di Timur. Mengingat sudah hampir dua minggu lamanya sang putri berkunjung kemari. Tentu saja mereka akan menjemput sang putri.

"Zhenira ..."

Lagi-lagi, nama Zhenira keluar begitu saja dari mulut Zaaron yang sedikit terbuka. Sang raja tengah terbaring sakit di atas ranjangnya, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh sosok putri dari Keluarga Evans tersebut.

Elmo dan Raina yang hari itu memang ditugaskan untuk menjaga Zaaron jadi saling pandang dan kembali menatap pada wajah pucat sang raja.

"Apakah dia benar-benar memiliki perasaan pada Putri Zhenira?" tanya Elmo pada Raina tanpa mengalihkan tatapannya.

"Menurutmu apa alasan Yang Mulia sampai membuat kotak mimpi berisi miniatur Negeri Silvanna itu jika memang dia tidak mencintai Putri Zhenira?"

Raina terdiam, tapi perkataan Elmo cukup membuat pikirannya jadi terbuka. Ia bahkan baru menyadari kalau sedari awal, semua hal yang dilakukan oleh raja mereka memang untuk memancing Putri Zhenira ke Negeri Silvanna.

"Lantas bagaimana cara kita membantu Yang Mulia? Kau tahu sendiri kalau Putri Zhenira adalah kekasih Pangeran Dawson. Apalagi keduanya sudah kembali ke dunia mereka sekarang." Raina kembali mengutarakan pikirannya. "Putri Zhenira juga sangat mencintai Pangeran Zero. Aku bisa melihatnya karena Putri Zhenira sangat sering menceritakan tentang hubungannya dengan Pangeran Zero."

Mendengar penjelasan Raina membuat Elmo jadi menghela napas dibuatnya. Ia juga tidak mungkin memisahkan keduanya begitu saja demi obsesi dan perasaan pribadi raja mereka. Meskipun Putri Zhenira dan Yang Mulia Zaaron sempat mempunyai hubungan di masa lalu.

"Aku tidak tahu, Raina. Permasalahan ini begitu rumit. Untuk sekarang, mungkin kita hanya harus fokus pada kesembuhan Yang Mulia."

"Kau benar. Kesembuhan Yang Mulia adalah yang terpenting sekarang."

🌌🌌🌌

"Bagaimana? Apakah sudah ada info dari Oscars terkait keadaan Zhenira?" Seorang wanita paruh baya yang tengah mengaduk sup itu bertanya pada sang putra sulung yang baru saja turun dari tangga dengan seragam sekolahnya.

Zero menggeleng lesu. "Belum, Ma. Oscars belum memberikan kabar apapun," jawab Zero sembari menatap layar ponselnya. Berharap ada satu saja notifikasi pesan dari sepupu Zhenira itu. Padahal sudah sedari semalam ia menunggu, tapi Oscars sama sekali belum mengabarinya.

Zero menatap Cardio yang tengah asik memakan sarapannya. Pipi sang adik mengembung lucu, menandakan betapa penuhnya makanan yang disendokkan ke dalam mulut. "Dek, kamu kapan gedenya?"

Pertanyaan random dari Zero itu membuat sang adik mengernyit bingung. Ekspresi kebingungan adiknya itulah yang kini berhasil mengulas senyum di bibir Farzero.

"Nanya apa sih kamu? Nggak lihat itu Adeknya sampai kebingungan gitu?"

Zero terkekeh geli sebelum mencium punggung tangan sang mama. "Aku berangkat dulu, Ma."

"Lohh? Nggak mau sarapan dulu?"

"Enggak, biar nanti aku beli di kantin. Zero mau ke rumah Oscars dulu soalnya."

"Segitu khawatirnya ya kamu sama Zhenira?"

Pertanyaan dari wanita paruh baya yang merupakan ibu kandungnya itu membuat Zero terdiam. "Zhenira bukan cuma pacar Zero, Ma. Dia juga teman dan sahabat Zero."

"Ahh, begitu rupanya." Mama dari Farzero dan Cardio itu tersenyum maklum dan mengusap bahu anak sulungnya penuh kasih sayang. "Zhenira adalah gadis yang baik, Mama tahu kalau dia pasti bisa ngelewatin semua ini."

"Zero juga tahu itu, Ma. Zero juga percaya kalau Zhenira pasti bisa melewati semuanya."

"Ya sudah, sana berangkat. Titip salam sama Oscars dan Om Reyhan, ya. Bilangin, Mama sama Papa berterima kasih karena beliau sudah menjaga kamu selama tiga hari terakhir."

Zero mengangguk mengerti. "Iya, nanti Zero sampein." Menyempatkan diri untuk memberikan pelukan ringan pada sang mama, Zero pun berangkat setelahnya. Tak ketinggalan ia juga memberikan kecupan pada pipi gembul sang adik yang masih fokus dengan makanannya tersebut.

"Abang udah mau berangkat?" tanya Cardio. "Nggak nunggu Papa dulu?"

"Nggak, kelamaan kalo nunggu Papa. Kamu juga cepat selesain sarapannya itu. Keburu terlambat ke sekolah."

Cardio mengangguk patuh. "Iya, ini udah mau habis, kok."

"Ya udah. Zero pamit ya, Ma!"

Sang mama dan sang adik sama-sama melambaikan tangannya untuk mengantar Zero yang akan pergi ke sekolah. Rasanya sudah lama ia tidak merasakan ini, batin Zero penuh kehangatan. Berada di Negeri Silvanna membuat perasaannya terus merasa was-was. Terlebih lagi Zaaron yang memiliki niat untuk merebut Zhenira darinya, dan suasana hangat rumah berhasil membuatnya tenang.

🌌🌌🌌

"Zhenira masih belum sadar?"

Oscars menggeleng. Pemuda itu menunjuk ke atas ranjang besar yang ada di kamar tamu mansionnya. "Dia di sana. Tadi Om Darren sama Tante Dhian ke sini buat ngecek keadaan Zhenira. Mereka kaget dan sedih saat tau cuma Zhenira yang belum kembali."

Mendengar penjelasan Oscars, entah kenapa kedua tangan Zero spontan mengepal dengan kuat. "Kita harus temuin para guardian," tutur pemuda Dawson tersebut. "Dua dari mereka kan ada di bumi dan sekolah di tempat kita."

"Lo yakin?" Oscars mengangkat satu alisnya. "Lo yakin setelah semua ini mereka masih ada di bumi?"

Pertanyaan Oscars yang terdengar ragu dan tidak yakin itu membuat Zero berdecih. Memang, ia tidak tahu apakah kedua guardian itu masih ada di bumi setelah semua hal yang terjadi. Bisa saja mereka sudah kembali ke tempatnya di atas langit sana. "Kita nggak akan tahu sebelum memeriksanya sendiri di sekolah."

"Gue paham sama maksud lo." Oscars berdiri dan meraih tas sekolahnya yang tergeletak di lantai dekat pintu. "Ayo kita berangkat. Mereka sekelas sama Zhenira, 'kan?"

Zero mengangguk. Kedua pemuda yang merupakan orang terdekat Zhenira itupun bergegas pergi ke sekolah mereka. Mengingat ini adalah hari kembalinya mereka ke sekolah setelah tiga hari lamanya, entah sambutan seperti apa yang akan mereka dapatkan nanti. Zero sudah bertanya pada sang mama, katanya mereka semua sudah diizinkan untuk alasan sakit dan acara keluarga. Tetapi ia yakin, kalau ketidakhadiran mereka semua secara bersamaan akan menimbulkan banyak pertanyaan.

Brum! Brum!

Kedua motor sport berbeda warna itupun telah keluar dari halaman utama mansion. Melaju dengan kecepatan rata-rata. Membelah jalanan padat di pagi hari dengan perasaan tak karuan. Karena hanya ada satu hal yang ada di pikiran kedua pemuda itu.

Menyelamatkan Zhenira.



Zhe, kamu beruntung banget karena dikelilingi oleh orang-orang yang peduli dan sayang banget sama kamu🥺♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro