Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38 ߷ Finally Back Home



Bulan purnama kedua belas. Zhenira menengadah, menatap langit penuh bintang di atas sana. Sang purnama telah sampai pada puncaknya. Bersinar terang seolah siap meraih apapun dalam genggamannya. Setiap langkah yang dilalui terasa berat. Seolah ada beban besar di sana. Zhenira memantapkan hati dan menatap sahabat-sahabatnya dengan penuh arti.

"Guys, ayo kita pulang."

Sembilan pasang mata yang baru saja sampai di atas bukit itu saling pandang dalam kebingungan.

"Zhe, maksud lo apa?"

"Gimana cara kita pulang?"

"Lo bercanda ya, Zhe?"

Zhenira menggeleng, menatap satu per satu dari kesembilan sahabatnya dengan netra yang mulai berkaca-kaca. "Enggak, kok. Gue serius, kita akan pulang malam ini. Tidak ada lagi kata penantian, yang ada hanya kata pulang."

Sesaat kemudian, Zaaronico Silvanna Valdo muncul dari kegelapan malam. Manik sebiru kristalnya tampak bersinar karena terkena pantulan cahaya rembulan. Laki-laki itu berdiri di samping Zhenira dengan jubah kebesaran yang berkibar pelan akibat tiupan nakal dari angin malam.

"Yang dikatakan Zhenira memang benar. Aku akan memulangkan kalian semua malam ini juga."

Kesembilan remaja itu tidak bisa menutupi ekspresi terkejut mereka. Terutama Kesya dan Maxime si paling ekspresif.

"Ini seriusan?" tanya Kesya seolah masih tidak percaya dengan hal yang baru saja ia dengar. Gadis yang malam itu memakai mantel tebal berwarna abu-abu untuk menghangatkan tubuhnya menatap Zaaron dan Zhenira bergantian.

"Bagaimana cara Anda memulangkan kami semua?" Pertanyaan itu juga ikut terlontar dari Marcellino Bintara. Pemuda yang menjabat sebagai Ketua OSIS di sekolahnya itu jelas penasaran. Terlebih lagi, Zaaron adalah orang yang membawa mereka kemari. Akankah sang raja sudi memulangkan tawanannya sendiri?

Kecuali ...

"Zhe, sebenarnya apa yang terjadi? Jujur sama kita," desak Marcell sembari menatap netra kecoklatan Zhenira penuh tuntutan.

Yang ditanya hanya menggeleng dan tersenyum simpul. Memilih mendekat ke arah sang raja dengan kedua tangan menengadah.

"Bisa kita mulai sekarang?" Zaaron bertanya sembari meletakkan kedua telapak tangannya di atas tangan Zhenira yang menengadah.

Zhenira mengangguk mantap. Gadis itu menutup mata tanpa diminta, dan saat itulah Zaaron juga ikut menutup mata sembari membaca mantra. Asap berwarna hitam pekat seketika muncul di sekitar mereka. Bagai kabut, asap hitam itu menyebar cepat hingga menutup area bukit. Membuat sembilan pasang mata dari sahabat-sahabat Zhenira juga ikut tertutup secara paksa.

Detik demi detik berlalu dengan sangat lambat. Saat mantra yang dilakukan oleh Zaaron berjalan, Zhenira membuka mata dan mendongak ke atas. Saat itulah satu titik cahaya terlihat dari atas. Senyum tulus terlukis di bibir gadis bermarga Evans tersebut. Titik cahaya itu adalah sinyal dari para guardian. Namun sebelum Zhenira meraihnya, gadis itu menyempatkan diri untuk menoleh ke arah jiwa teman-temannya yang mulai memudar.

Semoga kalian sampai di rumah dengan selamat.

Perlahan, asap hitam yang mengelilingi mereka memudar. Menyisakan Zaaronico yang membuka paksa kedua matanya dengan penuh amarah.

"The Guardian, sialan!"

Siapa yang menyangka kalau Zhenira akan mengingkari janji dan kesepakatan mereka? Gadis itu bersekongkol dengan para guardian dan kembali pergi darinya. Pergi dari dunianya, pergi dari Negeri Silvanna.

Sisa kepulan asap masih tersisa di bukit itu. Jiwa para remaja itu telah berhasil ia kirim kembali ke dunia nyata. Akan tetapi, Zhenira juga ikut lepas dari genggamannya.

"Tidak. Aku tidak bisa membiarkan ini. Karena ke manapun kau pergi, aku akan terus mencarimu, Zhe."

🌌🌌🌌

In the real world ...

Kelopak mata yang menyembunyikan sepasang manik sekelam malam itu seketika terbuka. Menatap sekeliling tempatnya terbangun dengan penuh tanya. Farzero Alando Dawson memijit pelipisnya yang terasa berdenyut sakit, berusaha menyesuaikan diri.

Saat dirasa lebih baik, barulah Zero kembali menatap sekeliling. Kening pemuda bermarga Dawson itu mengernyit kala melihat dirinya berada di suatu ruangan besar dengan teman-temannya yang juga baru saja terbangun dari tidur mereka. Zero melirik ke bawah, tepat ke arah matras tebal dan selimut yang menutupi setengah tubuhnya.

"Kita ada di mana?"

Suara penuh nada kebingungan yang berasal dari Lindayana Ayodya itu berhasil memecah keheningan. Zero menggeleng, menandakan bahwa ia juga tidak tahu. Namun suara Oscars yang terdengar setelahnya membuat kesembilan remaja itu spontan terbelalak tak percaya.

"Kita ada di Reyhan's Mansion. Tepatnya di ruang latihan Papa gue," tutur Oscars dengan lugas. Pemuda yang merupakan sepupu satu-satunya Zhenira itu meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku dan mulai berdiri. "Jadi kita udah ada di rumah, ya?" Oscars bergumam sembari mengulas senyum kecil.

"I-ini kita beneran udah pulang?" tanya Kesya dengan terbata-bata. Seolah masih tidak percaya kalau mereka berhasil pulang ke dunia mereka.

Maxime menunduk, menatap kaos oblong dan celana training yang dikenakannya dengan netra berkaca-kata. "Gue nggak nyangka kalo kita beneran udah pulang," lirih pemuda itu. "Buktinya gue udah nggak pake pakaian khas kerajaan itu lagi," kekehnya.

Shadow, Marcell, Kevin, dan Trax tidak bisa berkata-kata lagi karena saking senangnya.

Namun sepertinya, Zero merasa ada yang kurang. "Tunggu, di mana Zhenira?" tanya pemuda Dawson itu tanpa bisa menyembunyikan nada panik dalam suaranya. Zero segera berdiri dan mendapati sosok sang gadis masih tertidur di posisi paling pojok. Tepatnya di samping matras Marcell, tapi letaknya sedikit jauh.

Oscars, Zero, dan yang lainnya pun langsung mendekat ke arah Zhenira. Mereka menatap satu sama lain dengan ekspresi bertanya-tanya. Pikiran mereka sama, kenapa Zhenira belum bangun juga? Padahal mereka pulang bersama-sama tadinya.

"Kenapa Zhenira belum juga bangun?" tanya Kevin yang sudah tidak tahan dengan keheningan yang terjadi di antara mereka.

Gelengan kepala terjadi secara kompak. Para remaja itu dibuat bingung dan cemas di saat bersamaan. Membuat si penanya jadi menghela napas.

"Jangan bilang kalo hanya kita yang pulang, tapi Zhenira tetap tinggal."

Buk!

"Vin! Jangan ngomong gitu!" seru Marcell setelah memberi pukulan ringan pada lengan salah satu sahabatnya itu.

Kevin mendelik tajam sambil mengusap lengannya. "Gue kan cuma menyuarakan kemungkinan yang bisa terjadi, Pak Ketos!"

"Udah deh, lo berdua nggak usah debat." Trax menengahi. "Mungkin Zhenira butuh waktu buat bangun dari alam bawah sadarnya. Saran gue, lebih baik kita keluar dan lapor sama Om Reyhan kalo kita udah sadar, sementara Zhenira belum terbangun dari alam bawah sadarnya."

Oscars mengangguk setuju. Pemuda itu langsung memimpin jalan dan keluar dari ruangan besar yang merupakan tempat latihan Revallino Reyhan tersebut. "Gue nggak tau kenapa kita dikumpulin di ruangan ini, tapi gue yakin sama satu hal. Kalo Papa gue pasti udah ngatur semuanya sebisa dia."

Helaan napas terdengar setelahnya dari bibir pemuda yang bernama asli Mavello Erzio Reyhan tersebut. Entah ia harus merasa lega karena sudah kembali pulang, atau justru cemas karena Zhenira yang tak kunjung sadar. Yang jelas, ia harus segera menemui sang papa dan meminta saran dari satu-satunya orang yang paling berarti dalam hidupnya tersebut.

"Pertigaan itu ke kanan. Maju dikit 10 langkah, lo pada bakal nemuin jalan keluar." Melihat raut penuh kebingungan dari teman-temannya, Oscars kembali berujar. "Kalian pulang aja dulu. Pasti orang tua kalian pada nyariin. Urusan Zhenira biar gue aja."

"Tapi-"

"Zer, percaya sama gue." Oscars memberikan tepukan ringan pada bahu Zero, kekasih Zhenira. "Gue tau kalo lo khawatir sama Zhenira, tapi keluarga lo pasti lagi nunggu kepulangan lo sekarang."

Tidak menampik, perkataan Oscars memang ada benarnya. Entah sudah berapa lama hari berlalu, tapi ia yakin kalau orang tuanya pasti mencarinya. Terlebih sang mama. Ah, ia jadi rindu dengan masakan mamanya. Ia juga rindu dengan nenek, papa, dan juga adiknya. "Oke, gue akan pulang. Tolong kabarin gue kalo Zhenira udah sadar dari alam bawah sadarnya."

Oscars mengangguk mantap. "Pasti. Pasti gue bakal langsung ngabarin lo. Jadi lo tenang aja."

"Kalo gitu kita pamit pulang, ya. Bilang sama bokap lo, makasih dan maaf karena udah ngerepotin." Marcell berpamitan, mewakilkan semua teman-temannya dengan senyum simpul sebagai ciri khasnya.

"Kita berdua juga pulang ya, Oscars. Gue sama Kesya kan rumahnya searah, jadi biar sekalian." Linda menyahut kemudian.

"Lohh, Beb? Kamu nggak pulang bareng aku?" tanya Marcell pada Linda.

Yang ditanya hanya menggelengkan kepala. "Aku sama Kesya aja. Lagipula kasian dia, kan dia ke sini nggak bawa kendaraan."

"Ahh, iya juga." Marcell mengangguk mengerti. "Ya udah. Kalo gitu aku pulang sama Kevin, ya. Dia dateng ke sini kan nebeng sama aku hari itu," tutur Marcell sembari mengerling pada Kevin yang hanya mengacungkan dua jarinya.

Ketujuh remaja yang masih berada di sana hanya memutar bola mata mereka malas karena drama picisan yang Linda dan Marcell ciptakan. Kedua sejoli itu memang suka mengumbar kemesraan di tempat umum. Membuat jiwa para jomblo seperti mereka jadi meronta-ronta.

"Jangan ngumbar kemesraan di sini, woy!" seru Maxime bersungut-sungut.

"Tau nih lo berdua. Bikin gue jadi pengen punya pacar juga, 'kan." Trax menyahut dengan kesal.

"Gue sih udah biasa ya lihat pemandangan ginian," komentar Oscars kemudian.

"Apalagi gue," sahut Shadow setelahnya.

Keempat member D'Most Saga itu sepertinya yang paling heboh jika menyangkut soal pasangan. Karena mereka berempat pun juga belum memiliki tambatan hati.

"Udah-udah. Nggak usah ngadu nasib. Mendingan lo semua pulang sekarang." Oscars yang mulai lelah dengan kelakuan teman-temannya pun berujar. Putra satu-satunya dari Revallino Reyhan itu mengantarkan para sahabatnya sampai ke depan gerbang mansion. "Hati-hati di jalan. Jangan lupa besok langsung masuk sekolah."

"Iya-iya, bawel amat lu."

Oscars berdecih. Kalau bukan teman, sudah sedari lama ia akan membuang Maxime ke jurang.

Keenam remaja laki-laki dan dua remaja perempuan itupun pulang ke rumah masing-masing usai berpamitan. Sementara Oscars, pemuda itu langsung mengeluarkan motornya dari garasi dan bergegas pergi ke kantor sang papa. Karena ia sangat tahu, papanya itu pasti sedang berada di kantor sekarang. Mengingat masih sangat pagi, bisa dipastikan kalau kantor saat ini tengah sibuk-sibuknya.

"Sekalian gue mau ngabarin Om Darren juga nanti," gumam pemuda dengan style kasual tersebut. Oscars saat ini benar-benar sedang terburu-buru. Karena sang sepupu belum juga bangun dari alam bawah sadarnya.

"Tungguin gue, Zhe."

🌌🌌🌌

In the Black Zone.

Seorang gadis bermanik cokelat madu berjongkok sembari memejamkan kelopak matanya kuat-kuat. Zhenira terus merapalkan doa dengan bibir gemetar takut. Di sini tidak ada udara, tapi pernapasannya sangat lancar. Tidak ada tempat berpijak, tidak ada langit-langit, tidak ada dinding, dan sangat gelap. Zhenira merasa buta karena tidak bisa melihat apa-apa selain kegelapan.

Tidak ada orang.

Ia benar-benar sendirian.

Bahkan, Zhenira bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri saat ini. Ia juga bisa mendengar suara napasnya sendiri bergaung-gaung di telinganya.

Black Zone adalah ruang hampa tanpa batas, dan Zhenira saat ini benar-benar merasa hampa. Ada banyak kata yang tak bisa terucap, sama seperti rindu yang tak tersampaikan. Zhenira menangis dengan hati teriris. Mengulas senyum manis yang terasa begitu miris.

Entah sudah berapa lama ia berada di sini, tapi setitik cahaya itu belum juga menampakkan diri. Ia tidak bisa menghubungi orang luar. Ia bahkan juga tidak tahu, apakah ia bisa keluar atau justru akan terjebak selamanya di sini.

Di ruang hampa tak berpenghuni ini.



Huaaaa😭
Sabar ya, Zhe. Aku akan segera mengeluarkanmu dari sana🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro