37 ߷ Zhenira's Strange Behavior
•
•
•
Bagi Zhenira, keluarga adalah segalanya, tapi teman-teman setia adalah harta yang paling berharga.
Tiga hari berlalu dengan begitu cepat. Acara tahunan Kerajaan Silvanna juga telah selesai dilaksanakan. Semua kegiatan selama acara juga berjalan dengan lancar. Zhenira dan kawan-kawan mendapatkan banyak sekali pengalaman baru selama mengikuti setiap kegiatan dalam acara kemah dan berburu yang diadakan setiap satu tahun sekali tersebut.
Acara yang seharusnya berjalan selama satu minggu itu terpaksa dipersingkat menjadi tiga hari karena kejadian yang dialami Zhenira sebelumnya. Tentu saja Zaaronlah yang memutuskan itu secara sepihak.
Sehingga kini, semua orang kembali pada aktivitas awal mereka. Kecuali kesembilan remaja yang masih dilanda kegalauan karena belum juga menemukan titik terang supaya mereka bisa pulang dan kembali ke dunia mereka. Kecuali Zhenira yang saat ini memang tengah mempersiapkan diri untuk ritual nanti malam. Ia dan Zaaron memang sepakat untuk tidak memberitahu sahabat-sahabatnya tentang ritual yang akan dilakukan saat bulan purnama itu. Ritual yang akan membawa mereka pulang dan dirinya akan tetap tinggal.
Setidaknya itulah yang diketahui Zaaron.
Laki-laki itu tidak tahu kalau Zhenira dan para guardian memiliki rencana lain untuk mengeluarkan Zhenira dari cengkeraman sang iblis dalam tubuh Zaaronico. Meskipun risiko yang diambil Zhenira sangat besar, tapi gadis itu percaya akan takdir baik yang mungkin terjadi pada dirinya. Ia percaya kalau Tuhan akan membantunya dan menjawab setiap doa-doanya.
Tiga hari sejak kesepakatan dibuat, dan itu adalah hari ini. Tepat saat bulan purnama kedua belas di tahun ini.
"Hah ... lo pasti bisa, Zhenira!"
Manik kecoklatan milik Zhenira menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin yang berada di dalam kamar. Sinar mentari yang masuk melalui jendela membuat wajah gadis bermarga Evans itu seperti memiliki efek gelap-terang. Zhenira sibuk dengan pikirannya sendiri dan perasaan yang terus dilanda gelisah. Ia takut memasuki Black Zone, tapi ia harus melakukannya demi sahabat-sahabatnya. Karena hanya tempat itu yang tidak bisa dijangkau oleh sang iblis.
Sebenarnya, ia pun sedikit kasihan dengan sang iblis yang terus mencari pasangan jiwanya itu. Namun di sisi lain, ia juga kesal karena ia adalah reinkarnasi dari pasangan jiwa sang iblis. Apakah di masa lalu, takdirnya memang sudah seburuk itu? Ayolah, perempuan mana yang jatuh cinta dengan seorang iblis dan bahkan sampai menjadi pasangan jiwanya? Ia rasa hanya orang gila yang akan melakukannya.
Tok, tok, tok!
"Zhe! Lo ada di dalam, nggak?!"
Tok, tok, tok!
"Iya, Key! Gue ada di dalam! Masuk aja!" Zhenira membalas seruan Kesya sebelum beranjak berdiri dan menyambut sahabatnya itu dengan ekspresi bertanya. "Ada apa? Tumbenan lo ke kamar gue pagi-pagi gini."
Zhenira melirik penampilan Kesya yang cukup menawan pagi ini. Gaun hijau berbahan sutra dengan hiasan daun-daun di bawahnya. Jepit rambut yang juga berbentuk daun dan syal berwarna senada dengan gaun yang dipakainya. "Dandan cantik begini, lagi. Ada apaan, sih? Jujur sama gue."
Melihat rona merah di pipi Kesya dan sikap malu-malu kucing yang ditunjukkan sahabatnya itu semakin membuat Zhenira penasaran.
"Kevin ngajak gue jalan-jalan keluar istana, Zhe."
Kedua netra Zhenira membulat sempurna. Ia menatap sahabatnya seolah tak percaya. "Serius lo?!"
Kesya mengangguk, masih dengan rona merah di pipi berisinya. Jangan lupakan jari-jemari gadis itu yang saling meremas karena saking gugupnya.
"Argh! Akhirnya tuh cowok bergerak juga! Gilaaaakkk! Gemes banget gue sama lo berdua!" Zhenira berseru dengan hebohnya sembari bertepuk tangan senang. "Terus-terus, lo ke sini mau ngapain?"
"Gue mau minta pendapat lo soal gaun yang gue pake." Kesya menunduk dan memutar-mutar badannya sedikit. "Gimana? Ini bagus nggak, sih? Warnanya kecerahan nggak? Gue agak kurang nyaman makainya, tapi kata Linda ini gaun yang paling sederhana yang ada di lemari gue."
"Lohh, kalo kurang nyaman kenapa tetap lo pake, sih?"
"Tapi ini bagusss!"
Zhenira mendengkus. Ia menatap Kesya datar yang hanya dibalas cengiran oleh sahabatnya itu.
"Sebentar, biar gue pinjemin gaun punya gue."
Zhenira beranjak ke arah lemari besarnya diikuti oleh Kesya. Ia mengeluarkan semua gaun yang disediakan oleh Zaaron untuknya selama berada di istana ini, dan harus Kesya akui, gaun-gaun milik Zhenira sangat cantik dan kualitasnya pasti bagus. Sepertinya sang raja memang tidak main-main dalam memilihkan gaun untuk gadis yang dicintainya.
"Wahh! Bagus-bagus banget!" Kesya tidak hentinya berdecak kagum. Ia sampai bingung harus memilih gaun yang mana satu untuk kencan perdananya dengan Kevin. "Sampe bingung gue mau milih gaun yang mana, Zhe. Lo aja yang pilihin gaunnya, deh."
"Ya udah."
Zhenira mengangguk setuju dan mulai memilah-milah gaun mana yang sekiranya cocok dengan Kesya. Hingga tatapannya jatuh pada gaun panjang berwarna navy yang pernak-perniknya terbilang sangat sederhana, tapi terlihat elegan. Gaun itu berbahan satin dengan pita-pita yang membentuk bunga mawar kecil di bagian dada dan pinggang. Lalu ada rumbai-rumbai di bagian bawahnya.
Sederhana, tapi mewah!
"Gimana, suka nggak? Cocok ini sama lo."
Zhenira menyerahkan gaun itu pada Kesya. Tampak sekali kalau sahabatnya itu suka dengan pilihannya. Lihat saja bagaimana Kesya langsung berlari ke arah kamar mandi untuk mencoba gaun tersebut.
"Kalo udah selesai, sekalian nanti gue benerin juga tatanan rambut lo, Key!" seru Zhenira sambil membereskan kembali pakaian-pakaiannya.
"SIAP! POKOKNYA GUE NURUT AJA DEH SAMA LO!" balas Kesya dari balik kelambu besar di sudut ruangan yang merupakan kamar mandi di dalam kamar Zhenira tersebut.
Rata-rata kamar mandi yang ada di istana ini memang hanya ditutupi oleh kelambu besar yang panjangnya sampai mencapai langit-langit ruangan. Wajar saja jika mengingat ada di mana mereka sekarang. Negeri Silvanna yang jika berada di dunia nyata sangat mirip dengan masa kerajaan pada abad pertengahan di Eropa.
🌌🌌🌌
"Bagaimana dengan kesepakatan kita hari itu, Zaaron? Apa yang perlu aku persiapkan untuk ritual pada bulan purnama nanti malam?" Zhenira bertanya pada sosok Zaaron yang duduk di kursi kerjanya. Saat ini Zhenira memang tengah berada di ruang kerja pribadi sang raja.
Zaaronico menopang dagunya di atas meja, menatap lurus pada netra kecoklatan Zhenira yang tampak tak sabar menunggu jawaban darinya. "Tenanglah, Zhe. Kau tidak perlu melakukan apapun. Karena semuanya sudah aku persiapkan dengan sangat baik."
Kening Zhenira mengerut dalam. "Jadi aku tidak perlu menyiapkan apapun?"
"Sebenarnya ada satu hal yang perlu kau lakukan."
"Apa itu?"
Sudut bibir Zaaron terangkat ke atas. "Kau harus bisa membawa semua teman-temanmu ke hutan. Karena tidak mungkin aku melakukan ritualnya di dalam istana ini, bukan?"
"A-ahh, kau benar juga."
Zhenira seketika berpikir keras. Alasan apa yang harus ia katakan kepada para sahabatnya supaya mereka mau ikut bersamanya ke hutan? Tidak perlu jauh-jauh, karena wilayah istana memang dikelilingi oleh hutan yang pepohonannya cukup lebat.
"Lakukan dengan cepat sebelum tengah malam tiba kalau kau memang ingin mereka bisa kembali pulang ke duniamu, Zhe. Aku akan menunggu kalian tepat di atas bukit di wilayah hutan bagian Tenggara istana."
Perkataan Zaaron membuat Zhenira sudah tidak bisa berbicara apapun lagi selain mengangguk setuju. Gadis itu izin keluar setelah menyelesaikan urusannya dengan sang raja. Untuk sekarang, saatnya ia yang bergerak.
Zhenira tidak ingin membuang waktu, itulah kenapa ia langsung menghampiri satu per satu kamar para sahabatnya. Zhenira berkata pada mereka kalau ia ingin bertemu di bukit yang berada di hutan sebelah Tenggara istana lima belas menit sebelum tengah malam. Banyak dari mereka yang menanyakan maksud Zhenira mengundang mereka ke sana. Terutama Zero, Oscars, Marcell, dan Trax. Keempat pemuda yang pemikirannya paling kritis itu jelas merasa aneh. Pasti ada sesuatu, tapi Zhenira tidak mau memberitahu.
"Kalau kau penasaran, maka temuilah aku di sana nanti malam."
Hanya itulah kalimat yang dikatakan oleh Zhenira sebelum melenggang pergi tanpa menjawab satupun rasa penasaran mereka. Membuat kesembilan remaja tersebut dibuat bertanya-tanya pada sepanjang hari itu.
Sebenarnya apa rencana Zhenira?
🌌🌌🌌
"Key! Lo sama Linda disuruh Zhenira ke bukit di sebelah Tenggara hutan istana, nggak?"
Pertanyaan yang dilontarkan Maxime seketika membuat gadis dengan gaun biru navy itu melayangkan tatapan pada sosok pemuda di sampingnya, Kevin Adytama.
"Iya, Max. Tadi Zhenira bilang begitu sama kita berdua." Kevin menjawab sembari menatap sekitarnya dengan was-was. "Kayaknya ini rahasia, karena cuma kita-kita doang yang dikasih tau sama Zhenira."
Kesya mengangguk, menyetujui perkataan yang sudah diwakilkan oleh Kevin. "Kalo lo tanya apa alasannya, gue juga nggak tau." Kesya berujar, lantas menghela napas. "Gue pengen banget percaya sama Zhenira, tapi tuh anak akhir-akhir ini emang kayak nyembunyiin sesuatu. Dia nyuruh kita percaya, tapi dia nggak mau jujur dan cerita ada apa sebenarnya."
"Ck, terus gimana?"
Maxime, Kevin, dan Kesya yang tengah berkumpul di koridor yang dekat dengan kamar mereka itupun saling pandang. Masing-masing dari mereka juga bingung harus bagaimana.
"Mending kita kumpul dulu, terus diskusiin ini bareng-bareng. Tapi jangan sampe Zhenira tau soal ini." Kesya memberi saran.
Kevin mengangguk singkat. Pemuda itu terlihat tampan dengan gaya rambut pompadour-nya. "Gue setuju. Mending kita kumpul di taman belakang istana aja. Di sana pasti sepi kalo siang-siang gini."
"Oke! Kalo gitu gue mau manggil anak D'Most Saga lainnya. Lo berdua panggil sisanya." Maxime berujar sebelum melangkah pergi meninggalkan Kesya dan Kevin di koridor.
Setelah Maxime pergi, barulah Kevin dan Kesya bergerak untuk memberi tahu teman-temannya yang lain. Karena mereka harus tetap kompak dalam hal apapun. Terlebih saat ini, mereka masih belum tahu maksud dibalik ajakan Zhenira tengah malam nanti.
🌌🌌🌌
"Gue beneran nggak tau, sumpah." Oscars mengangkat kedua tangannya. Berusaha meyakinkan teman-temannya bahwa ia pun tidak tahu-menahu tentang rencana Zhenira.
"Kalo gitu ... lo pasti tau sesuatu 'kan, Zer?" Marcell beralih bertanya pada Zero yang duduk tepat di samping Oscars.
Zero menggeleng. "Gue bahkan belum ketemu Zhenira dari semalem," tutur pemuda bermarga Dawson tersebut. Meskipun berujar dengan nada datar, tapi mereka semua tahu kalau Zero adalah orang yang paling cemas dengan keadaan Zhenira. Namun Zero selalu bisa mengerti, saat-saat di mana Zhenira ingin sendiri dan tidak bisa diganggu.
Ya, seperti seharian ini contohnya.
Seharian ini Zhenira terus mengurung diri di dalam kamarnya. Eh, keluar-keluarnya malah meminta mereka semua untuk menemui gadis itu di bukit pada tengah malam. Benar-benar aneh, bukan? Akan tetapi, Zero sendiri selalu percaya pada gadisnya. Karena Zhenira selalu punya cara. Zhenira tidak bisa ditebak, dan selalu punya kejutan.
"Kita percaya aja sama Zhenira. Toh, tidak ada salahnya menyelinap keluar istana pada tengah malam, bukan?" Trax berujar, mencoba menengahi perdebatan diantara mereka.
Marcell mengangguk-angguk. "Gue setuju sama lo, Trax. Kita harus percaya sama Zhenira. Dia pasti punya alasan kenapa nyuruh kita ke bukit itu pada tengah malam."
"Akan lebih baik kalau kita siap-siap untuk kemungkinan yang tidak terduga."
•
•
•
Wahhh, menurut kalian gimana?
Apakah Zhenira bakalan berhasil bawa teman-temannya pulang ke dunia mereka? Atau justru sebaliknya?
Terjebak selamanya di Negeri Silvanna.
Nantikan kelanjutan kisahnya di chapter depan, ya?!🥰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro