34 ߷ Zhenira and Her Decision
•
•
•
"Lama sekali. Mana Zhenira?"
Geraldz memutar bola matanya malas, tapi tetap mempertahankan wibawanya saat menemui Sang Raja Silvanna di depan gerbang kastil.
"Halo!" Zhenira muncul dari arah belakang sang pemimpin guardian sembari melambaikan tangannya dengan ceria pada sosok Zaaronico. "Maaf karena sudah membuat kalian semua khawatir," tutur gadis itu yang kini mendekat ke arah sang raja.
Beberapa tepukan ringan Zhenira dapatkan di kepalanya. "Kau membuatku hampir menghancurkan seisi dunia ini, Zhe."
Zhenira meringis. Ia tahu kalau perkataan Zaaron bukan hanya bualan semata. "Aku sungguh minta maaf."
"Tidak. Kau tidak bersalah, tapi mereka." Jelas saja mereka yang dimaksud Zaaron adalah para guardian. "Sekarang ikut aku pulang."
"Tidak bisa."
Zaaron memberikan tatapan tajamnya pada Geraldz yang baru saja menyela.
"Kau tidak bisa membawa Zhenira pergi begitu saja sebelum kau memulangkan mereka semua."
Sang Raja Silvanna menggeram. Netra sebiru kristalnya tampak mengkilap. Jika saja tatapan bisa membunuh seseorang, sudah sedari tadi Zaaron lakukan itu pada pemimpin guardian di depannya. "Apa maumu?" tanyanya.
"Pulangkan mereka semua, Zaaron. Mereka punya kehidupan sendiri di bumi. Kau jangan egois."
"Baik."
Jawaban yang kelewat santai itu membuat Zhenira was-was menunggu lanjutan kalimat Zaaron selanjutnya.
"Aku akan memulangkan mereka semua, kecuali Zhenira."
"APA?! TAPI-"
"Zhe." Geraldz memberikan kode mata pada gadis bersurai hitam panjang itu.
Zhenira yang paham langsung menghela napas dan mengangguk. "Baiklah. Aku akan tetap tinggal. Jadi tolong pulangkan semua teman-temanku."
"Sepakat. Aku akan memulangkan mereka tepat pada saat bulan purnama kedua belas di tahun ini, dan itu terjadi tiga hari lagi."
"Oke, aku setuju."
Zhenira mengambil keputusan besar pada hari itu. Tidak hanya keputusan, tapi juga sebuah pengorbanan. Gadis itu pasrah akan semua hal yang mungkin terjadi setelah kesepakatan ini. Pada hari itu, Zhenira langsung ikut pulang kembali ke Negeri Silvanna bersama Zaaron. Tentunya setelah mengikat janji yang harus ditepati.
🌌🌌🌌
"ZHENIRAAA!"
"OMG! LO KE MANA AJA, SIH?!
"Zhe! Lo gapapa, 'kan?"
"Zhe, lo beneran ada di tempat para guardian?"
Zhenira tersenyum tipis begitu mendapat sambutan yang sangat luar biasa dari sahabat-sahabatnya. Rentetan pertanyaan itu ia dapat dari Kesya, Oscars, dan Marcell. Gadis yang baru saja tiba di bumi perkemahan pada malam hari bersama sang raja itu melepas alas kakinya dan mendudukkan diri diantara para sahabatnya yang tengah duduk melingkari api unggun.
"Gue baik-baik aja, kok." Zhenira terkekeh saat mendapati tatapan tajam dan khawatir dari sepupunya, Oscars. "Kenapa lo lihatin gue begitu?" tanya Zhenira dengan nada jenakanya. "Oke-oke, bakal gue ceritain." Ia tidak tahan dengan tatapan tajam Oscars yang bisa melahapnya kapan saja.
"Jadi gini ..."
Mengalirlah semua cerita Zhenira. Mulai dari rencana Geraldz yang memancing Zaaron dengan menggunakan dirinya, hingga pada saat Zaaron menyusulnya ke langit ketujuh dan membawanya pulang. Semua Zhenira ceritakan, kecuali kesepakatan yang terjadi antara dirinya, Geraldz, dan Zaaron. Karena gadis itu tidak ingin menambah kekhawatiran orang-orang di sekitarnya. Biarkan saja itu menjadi rahasia.
"... begitulah ceritanya."
Zhenira mengakhiri cerita singkatnya dengan helaan napas berat. Gadis itu meraih segelas air–yang entah milik siapa–di depannya. Meminum air itu hingga tandas sebelum berdiri dan berujar, "Gue capek. Gue istirahat duluan, ya."
Tidak ada yang menjawab, tapi mereka mengangguk serempak seolah mengiyakan. Kesya dan Linda pun langsung berinisiatif untuk menyusul Zhenira ke dalam tenda mereka. Karena keduanya yakin kalau masih ada yang disembunyikan oleh Zhenira dari mereka semua. Zhenira itu tidak pandai berbohong. Jika dia berbohong, semuanya akan tergambar jelas di dalam netra cokelat gadis itu.
"Gue sama Linda nyusul Zhenira dulu, ya." Kesya berujar singkat sebelum menarik Linda agar beranjak dari posisi duduknya. "Lo pada lanjutin aja kegiatannya," lanjut gadis itu lagi.
"Iya, sono dah." Maxime merespon sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Udara di hutan semakin dingin saja.
"Gue yakin kalo Zhenira belum cerita semuanya sama kita. Jadi gue percayain sama lo berdua." Oscars menyahut kemudian sembari menatap Kesya dan Linda dengan serius.
Zero setuju dengan perkataan Oscars kali ini. "Gih, sana. Dia butuh lo berdua."
Kesya dan Linda saling pandang, sebelum mengangguk serempak dan akhirnya pergi menuju tenda ketiganya. Tidak membutuhkan waktu lama, karena jarak tenda dari tempat mereka berkumpul tadi cukup dekat. Hanya sekitar 10 meter saja, Kesya dan Linda sudah sampai di area tenda para perempuan.
Tenda mereka bertiga ada di barisan kedua paling depan. Tepat bersebelahan dengan tenda Putri Zelina. Bisa mereka lihat kalau putri bungsu dari Keluarga Merlion itu tengah sibuk merapikan penampilannya di depan cermin. Ada lentera kecil sebagai penerangan sang putri di sana. Entah ke mana sang putri akan pergi, tapi Linda sudah bisa menebak. Pasti Yang Mulia Zaaron lah tujuannya.
"Hei, kalian. Bagaimana penampilanku?"
Linda dan Kesya yang baru saja hendak masuk ke dalam tenda, seketika mengurungkan niatnya dan menatap Putri Zelina dengan senyuman kikuk mereka.
"Anda sangat cantik, Tuan Putri."
"Benar kata Linda. Anda sangat cantik!" Kesya mengacungkan kedua jempolnya. "Ngomong-ngomong, Anda mau ke mana sehingga berdandan secantik ini, Putri Zelina?"
"Tentu saja aku mau menemui Zaaron." Zelina tersenyum angkuh seraya mengibaskan rambut panjangnya. "Aku harus membahas kelanjutan kegiatan acara tahunan ini dengannya. Gara-gara teman kalian yang tiba-tiba menghilang itu. Semua susunan acara jadi berantakan," ujar sang putri dengan sinis.
Dalam hati Kesya, rasanya ingin sekali ia mencakar perempuan angkuh di depannya. Kalau berbicara suka ceplas-ceplos seenak jidat. Bagaimana kalau Zhenira tanpa sengaja mendengarnya?
"Ahahaha! Kalau begitu silakan lanjutkan kegiatan Anda, Tuan Putri. Kami permisi masuk ke dalam dulu," ujar Linda sembari mendorong-dorong Kesya agar cepat masuk ke dalam tenda. Meladeni Putri Zelina hanya akan menguji kesabaran mental mereka, dan Linda tidak ingin emosi Kesya meledak di sini.
Begitu sudah tiba di dalam, mereka langsung disambut oleh tatapan tajam Zhenira. "Heran dah gue sama lo berdua. Nggak usah ladenin Putri Zelina napa, sih? Kita tuh sebisa mungkin jangan sampe terlibat sama dia. Ingat, kita cuma manusia biasa di sini. Sementara dia itu siluman rubah putih."
Kesya mengerucutkan bibirnya. "Kami juga tau kalo soal itu, Zhe."
"Makanya gue tadi langsung buru-buru mengakhiri pembicaraan." Linda menyahut. "Males juga lihat sikap angkuhnya."
"Bener banget!" Kesya berseru semangat. "Pantesan aja Yang Mulia Zaaron nggak mau sama dia. Yang Mulia kan cintanya sama lo!" Kesya mengerling nakal dan menoel-noel dagu Zhenira disertai tawa cekikikannya.
Zhenira memalingkan wajahnya cemberut. "Nggak usah gitu, deh. Guenya malah nggak enak sama dia, tau. Lo berdua kan tau kalo gue cintanya sama Zero."
Linda menghela napasnya. "Nggak enak juga ya jadi lo, Zhe. Gue aja nggak pernah bayangin kalo berteman sama lo, gue bakal ngehadapin petualangan kayak gini."
"Jadi lo nyesel temenan dan sahabatan sama gue?" cecar Zhenira dengan sinisnya.
"Ya nggak gitu juga, dodol!" Linda yang dibuat gemas langsung mendaratkan cubitan kecilnya pada pipi chubby Zhenira. "Gue nggak nyesel sama sekali jadi sahabat lo. Gue tuh tulus temenan sama kalian," ujarnya sembari menatap ke arah Kesya dan Zhenira bergantian dengan sudut bibir terangkat. Suasana remang-remang di dalam tenda membuat perasaan Linda tersalurkan dengan baik.
"Jadi Zhe, kalo ada apa-apa jangan dipendam sendiri."
Ekspresi Zhenira seketika berubah muram. "Gue tau, tapi gue belum bisa cerita ke kalian. Karena masalah ini semakin rumit, dan gue nggak mau bikin kalian ikut kepikiran juga." Netra secoklat madu milik gadis bermarga Evans itu berkaca-kaca. "Cukup percaya sama gue. Semua pasti akan baik-baik aja. Kita semua pasti bisa keluar dari sini dan kembali ke dunia asal kita di bumi."
Linda dan Kesya saling pandang. Yahh, mereka juga tidak bisa memaksa Zhenira kalau sudah seperti ini. Meskipun masih penasaran, tapi mereka tidak mungkin mendesak Zhenira untuk bercerita. Dalam kondisi seperti ini, mereka hanya harus saling percaya satu sama lain.
🌌🌌🌌
"Gue yakin, sesuatu pasti telah terjadi." Maxime mengelus dagunya sembari berpikir. "Tapi apa?"
Marcell mengangkat bahu. Sang Ketua OSIS itu tampak serius membaca buku yang ia pinjam dari Elmo dengan api unggun sebagai penerangannya. "Gue juga nggak tau. Zhenira nggak mau cerita. Kata Linda, kita cuma harus percaya sama dia."
"Kita juga nggak mungkin nanya sama raja jadi-jadian itu, 'kan?" Oscars yang tengah sibuk mengaduk kopi di samping Shadow ikut menyahut. "Kalo nanya pun, gue yakin nggak bakal dijawab. Yang ada kita malah dikacangin sama dia."
Zero mendengkus. Pemuda yang tengah memanaskan sup ayam di atas tungku buatan bersama Kevin itu setuju dengan Oscars. Perkataan sepupu Zhenira itu memang ada benarnya. Bertanya pada Zaaron pun rasanya juga percuma. Raja Silvanna itu jelas tidak akan menjawab pertanyaan mereka dengan mudah.
"Tapi gue yakin, sih. Para guardian pasti punya rencana buat ngeluarin kita dari sini." Trax yang sedari tadi hanya diam menyimak, kini ikut bergabung dalam obrolan. "Apalagi mereka sampai harus nyulik Zhenira buat mancing Zaaron keluar dari wilayah kekuasaannya."
"Kalo itu gue juga setuju, sih." Marcell menutup buku yang ia baca dan meletakkannya di atas rerumputan. Sang Ketua OSIS SMA Negeri Majalengka itu kini berfokus ke arah teman-temannya. "Dari awal kan mereka juga udah bantu kita dengan ngarahin kita untuk buka kotak biru itu dan nyusul Zhenira sama Oscars ke sini. Gue yakin mereka pasti udah ngerencanain sesuatu dan hanya Zhenira yang tau."
"Kalo gitu ya kita percayain aja sama Zhenira dan para guardian. Kita cuma perlu siaga kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," kata Shadow menambahkan. Pemuda bermarga Artzilla itu tampak menawan saat wajahnya terkena cahaya terang dari api unggun di tengah gelapnya malam.
Ketujuh pemuda yang duduk memutari api unggun itupun tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka sama-sama merindukan rumah dan kampung halaman. Namun mereka percaya, kalau Zhenira pasti akan membawa mereka kembali ke tempat di mana seharusnya mereka berasal. Karena tempat mereka bukanlah di sini.
🌌🌌🌌
Maafin gue, guys.
Zhenira menatap Linda dan Kesya yang sudah tertidur di sisi kanan kirinya dengan sendu. Air matanya kembali turun kala mengingat kalau semua yang terjadi belakangan ini adalah karena dirinya. Padahal hanya ia yang ditargetkan oleh sang raja, tapi semua teman-temannya malah jadi ikut terkena getahnya.
Gue masih berusaha buat bawa kalian pulang.
Ayah ... Bunda ... Zhenira kangen.
Gadis yang malang. Bahkan di saat seperti ini pun, yang diingat Zhenira hanyalah kedua orang tuanya. Entah sudah berapa lama waktu yang telah ia lewatkan selama di sini. Ia bahkan sampai lupa untuk menghitungnya.
Kira-kira sudah berapa hari terlewati di dunia nyata?
•
•
•
Emang bener-bener tuh si Zaaron -_-
Sabar ya, Zhe. Penderitaan kamu akan segera berakhir kok. Nunggu aku dapet hidayah buat bikin kamu bahagia tapi, ngahahaha🤣🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro