Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31 ߷ Elder Brother? Seriously?



Linda dibuat bingung akan sikap Zhenira sekembalinya gadis itu bersama Nenek Moa beberapa waktu yang lalu. Sahabatnya itu jadi lebih pendiam dari biasanya. Bahkan Kesya yang tengah mengoceh panjang kali lebar saat ini seolah hanya angin lalu semata bagi Zhenira. Ia jadi penasaran, sebenarnya hal apa saja yang dikatakan Nenek Moa pada sahabatnya itu?

"Zhe," panggil Linda sembari mengusap lengan terbuka Zhenira dengan lembut. Dapat ia rasakan respon Zhenira yang sedikit terkejut karena pergerakannya.

"Eh, kenapa Lin?" tanya Zhenira yang sudah menolehkan kepalanya ke arah Linda yang menatapnya dengan penuh selidik.

Linda menghela napasnya. "Harusnya gue yang tanya itu sama lo, Zhe. Lo kenapa? Habis diajak ngomong sama Nenek Moa, lo jadi lebih pendiam gini." Linda berujar sembari melipat beberapa pakaian yang dibawanya dari istana agar lebih rapi. Ya, mereka saat ini sudah berada di dalam tenda setelah makan siang. Ia dan kedua sahabatnya memang satu tenda karena Zhenira yang meminta.

Kesya yang semula masih mengoceh tentang seberapa jahilnya Kevin pada gadis itu, kini ikut terdiam mendengar kalimat tanya yang dilontarkan Linda pada Zhenira. Gadis bernama lengkap Amanda Kesyara itu menegakkan posisi duduknya dan menatap penuh selidik pada sang sahabat. "Iya, Zhe. Gue perhatiin lo jadi lebih banyak diem, lo juga nggak terlalu dengerin cerita gue kan barusan?" tutur Kesya.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Zhe? Nenek Moa pasti ada bilang sesuatu, 'kan?" cecar Linda yang terus mendesak Zhenira agar berbicara dan bercerita pada mereka.

Sejenak, Zhenira menutup matanya dan sedikit menjambak rambutnya dengan pelan. "Gue nggak tau harus cerita dari mana, tapi intinya ... gue punya seorang kakak laki-laki."

"APA?!"

"Sstt! Kecilin suara lo, Key!" Zhenira mendelik tajam ke arah Kesya yang barusan berteriak nyaring. Ia tidak ingin siapapun mendengar pembicaraan mereka.

Kesya meringis meminta maaf. "Tapi kan lo anak tunggal! Gimana ceritanya lo punya kakak cowok?!" Kesya menggelengkan kepalanya tak percaya. Jelas saja ia terkejut, setahunya kan Om Darren dan Tante Dhian itu tidak mempunyai anak lain sebelum Zhenira. Bagaimana ceritanya Zhenira bisa memiliki seorang kakak laki-laki?

"Gue juga nggak terlalu paham sama perkataan, Nenek Moa. Cuma dia bilang, Keluarga Evans itu punya satu pangeran dan satu putri. Kalau putrinya udah jelas itu gue, kan. Nah, kalau pangerannya ... dia bilang itu Kakak gue."

Linda terperangah tak percaya setelah mendengar penuturan Zhenira. "Tapi, Zhe. Kalaupun iya lo punya Kakak, di mana dia sekarang? Seperti apa dia? Diasingkan di mana dia?" tanya Linda bertubi-tubi.

"Gue juga nggak tau, Lin. Semuanya masih jadi teka-teki buat gue." Zhenira mengusap wajahnya dengan kasar, raut wajahnya menunjukkan kalau ia lelah. Lelah secara lahir dan batin. "Btw, lo berdua bisa keluar dulu nggak? Gue pengen istirahat."

Kesya dan Linda saling pandang, lantas mengangguk serempak. Kedua sahabat Zhenira itu sangat mengerti dengan maksud dibalik kata 'istirahat' dan ekspresi lelah yang ditunjukkan oleh Zhenira. Pasti tidak mudah untuk sahabatnya itu setelah mengetahui fakta tersebut. Terlebih, Zhenira juga belum mengingat apapun tentang dirinya di Negeri Silvanna. Gadis itu hanya mengingat tentang kehidupannya di dunia.

Akhirnya setelah pergulatan batin yang sangat panjang, Linda dan Kesya pun memutuskan untuk menghampiri para sahabat laki-laki mereka dan membiarkan Zhenira istirahat sendirian di tenda. Mereka ingin memberikan waktu agar Zhenira bisa berpikir dan mengistirahatkan otaknya.

🌌🌌🌌

Drap, drap, drap!

Srek, srek!

Suara berisik yang diyakini merupakan gesekan antara langkah kaki dan rerumputan itu mengganggu indra pendengaran Marcell. Padahal baru beberapa menit yang lalu pemuda itu jatuh terlelap beralaskan matras dan diselimuti cerahnya langit biru di atas sana. Eh, malah ia terpaksa harus membuka matanya kembali dan menatap ke sumber suara untuk mencari tahu siapa orang yang telah mengganggu acara tidur siangnya.

Namun, niat itu Marcell urungkan lantaran ternyata sang kekasihlah yang menjadi dalang di balik suara berisik tersebut. Suara berisik itu berasal dari gesekan sepatu dan rok panjang Linda dengan rerumputan di sekitarnya. Marcell tak berhenti menatap sosok cantik gadisnya dari posisi berbaringnya saat ini. Lindayana Ayodya terlalu cantik dan anggun untuk dilewatkan. Betapa beruntung dirinya bisa memiliki gadis yang saat ini tengah menyunggingkan senyum manis padanya itu.

"Marcell," panggil Linda setelah sampai di tempat Marcell berbaring. Gadis yang membalut tubuh rampingnya dengan gaun berwarna merah jambu itu mendudukkan dirinya di samping sang pujaan hati yang masih juga tidak bergeming dari tempatnya.

"Kenapa, sayang?"

Linda tersenyum malu saat kata itu keluar begitu saja dari mulut pemuda tampan yang merupakan kekasihnya ini. Sudah satu setengah tahun berlalu, tapi ia tetap saja malu bila Marcell memanggilnya seperti itu. "Ekhem! Nggak ada apa-apa, cuma kangen kamu aja." Linda menyampirkan beberapa anak rambutnya ke belakang telinga.

Marcell yang dibuat gemas dengan tingkah malu-malu gadisnya itu spontan bangun dari posisi berbaringnya dan mendaratkan satu kecupan kilat pada pipi tembam Linda. "Gemes banget, sih!"

"Marcell, ihh!"

"Nggak yang ono, nggak yang ini. Woy! Kalo mesra-mesraan jangan di depan gue napa, sih?!"

Marcell dan Linda langsung terlonjak kaget ketika mendengar suara yang tidak asing di telinga mereka. Keduanya menoleh dengan kompak dan mendapati Maxime berdiri di sana, di antara pepohonan yang tidak jauh dari mereka.

"Entah kenapa gue jadi selalu mergokin lo pada yang lagi ngebucin! Tolonglah, jomblo kayak gue pun punya perasaan, Bro!" Maxime berujar dengan mirisnya sembari memegangi bagian dadanya dengan dramatis. Pemuda yang memakai setelan pakaian berwarna biru tua dan celana putih itu merengut kesal sekarang.

"Eh! Yang ada lo yang gangguin acara mesra-mesraan gue sama Linda, tau!" sungut Marcell tak terima. Enak saja dia dan gadisnya yang disalahkan. "Siapa suruh jomblo," cibir Marcell lagi yang berhasil menohok Maxime dengan telak.

"Ohh! Gitu ya lo sama gue?! Awas aja, ntar gue punya pacar, kaget lo semua!" Maxime kembali berujar bersungut-sungut sembari memperagakan setiap kata yang keluar dari mulutnya dengan dramatis.

Linda dan Marcell menatap pemandangan sahabat gila mereka itu dengan tatapan datar mereka. Dengan kompak keduanya berdiri dari duduk mereka dan berniat pergi meninggalkan Maxime di sana.

"Kita pindah tempat aja ya, sayang?" tanya Marcell sebelum benar-benar pergi dari sana. Tentunya Linda langsung mengiyakannya tanpa banyak kata lagi. Lagipula, ia juga ingin menghabiskan waktu berdua dengan kekasihnya juga kali.

"Iya, ayo. Biarin aja Maxime di situ, hehe."

"Hahaha, siapa suruh gangguin orang pacaran."

Tangan kedua sejoli itu saling bertautan dengan erat. Seolah enggan melepaskan. Marcell dan Linda benar-benar meninggalkan Maxime dengan drama mirisnya di sana.

🌌🌌🌌

Suasana perkemahan begitu hangat sore ini, para rombongan Kerajaan Silvanna itu memutuskan untuk memulai acara berburu mereka besok pagi. Sementara hari ini sampai hari berganti esok, dibuat untuk beristirahat dan bersenang-senang.

Seperti sore ini, Zero dan kawan-kawan tengah ramai bermain dan berburu ikan di tepi sungai. Sungai kecil yang arusnya lumayan deras itu dibuat ajang perlombaan berenang oleh Kevin, Marcell, dan Oscars. Trax sebagai wasit dan Shadow sebagai pemegang bendera di garis start. Lalu ada Zero sebagai pemegang bendera di garis finish bersama Maxime yang terus menggerutu sebal sejak tadi.

"Nggak lo, nggak Marcell. Suka bener nistain jomblo kayak gue," gerutunya yang masih dapat ditangkap oleh pendengaran Zero yang tajam.

Pemuda bernama lengkap Farzero Alando Dawson, ah atau bisa kita sebut Farzero Silvanna Dawson itu tertawa mengejek setelah mendengar gerutuan sahabatnya ini.

"Mana tadi gue ditinggalin sendirian, lagi. Laknat bener jadi temen." Gerutuan Maxime masih terus berlanjut hingga membuat Zero pun lama-lama jadi jengah mendengarnya.

"Eh, lo kalo mau ngeluh itu sama yang di atas. Kenapa lo ditakdirin jadi jomblo sejak lahir? Kenapa lo nggak ada yang mau di usia segini? Protes sono sama Tuhan!" cerca Zero dengan pedasnya.

Pemuda itu berujar tanpa menatap Maxime yang kini terdiam dengan menggenggam batu kerikil di tangannya. Maxime yang kesal karena perkataan salah satu sahabat sekaligus kekasih dari Zhenira itu menimpuk punggung Zero dengan kerikil yang ada di genggamannya.

Puk!

"Anjir, sakit woy!" Zero menoleh dan mendelik tajam pada sang pelaku utama seraya mengacungkan bendera yang dipegangnya pada Maxime yang sudah berlari terbirit-birit menghindari amukannya.

"Mampus, makan tuh kerikil!"

Zero berdecak kesal seraya mengusap-usap punggungnya dengan kasar. Kalau saja ia sedang tidak menjadi pemegang bendera di garis finish untuk teman-temannya yang sedang berlomba, sudah sejak tadi ia akan mengejar Maxime dan mendaratkan pukulannya pada kepala sahabat laknatnya itu.

"Hah ... sabar banget gue."

Setelah itu, Zero kembali fokus ke depan di mana sudah terlihat Kevin, Marcell, dan Oscars yang berusaha keras berenang agar sampai lebih dulu ke tempatnya. Sementara itu, Trax sebagai wasit mengikuti mereka sembari berlari kecil di sepanjang tepi sungai sembari membawa peluitnya. Entah dari mana pemuda itu mendapatkan peluit beserta kalungnya itu, Zero tidak peduli. Ia hanya ingin segera menyelesaikan ini dan menghabiskan waktu berdua dengan gadisnya.

Pritt!

Suara tiupan peluit Trax beserta kibaran bendera Zero di garis finish menjadi akhir dari perlombaan renang abal-abalan ini. Oscars keluar sebagai pemenang, disusul Kevin di posisi kedua dan Marcell di posisi terakhir.

"Wohoo, gue menang!" Oscars berseru dengan hebohnya sembari mencipratkan air sungai pada Marcell dan Kevin yang hanya berdecak kesal karena dikalahkan oleh sepupu dari Zhenira itu.

"Cih! Kalo aja kaki gue tadi nggak keram, udah pasti gue yang menang." Kevin berkata sembari menyugar rambut basahnya ke belakang.

Oscars tertawa mengejek pada sahabatnya yang terkenal karena kepiawaiannya merayu para gadis itu. "Halah! Kalah ngaku kalah aja kali," cibirnya sembari berkacak pinggang.

Marcell yang melihat keduanya mulai berdebat hanya menghela napasnya dan berjalan ke tepi sungai. Ia dibantu Zero untuk naik ke permukaan.

"Thank's, Bro."

"Santai aja." Zero menepuk-nepuk pundak Marcell sebelum berlalu ke tempat Trax dan Shadow yang duduk selonjoran tidak jauh dari mereka. Marcell pun langsung mengikuti Zero tanpa suara.

Sementara Kevin dan Oscars masih sibuk berdebat di dalam air hingga suara menggelegar Trax yang menyuruh keduanya untuk segera naik ke permukaan terdengar di telinga mereka.

Keenam remaja laki-laki itu duduk melingkar dengan sendal mereka yang dijadikan sebagai alas duduk. Trax yang merasa bertanggung jawab terhadap teman-temannya mulai menghitung personil mereka satu per satu. "Empat, lima, enam, tu-" Ketua D'Most Saga itu celingak-celinguk menjadi satu anggotanya yang hilang. "Maxime mana?" tanyanya.

"Ngambek dia," ujar Zero dengan santainya.

"Hah? Ngambek gimana?" tanya Marcell tak mengerti.

"Iya, ngambek. Tadi dia terus ngedumel soal dia yang jomblo dan sebagainya. Karena telinga gue pengang dengerin dia ngoceh mulu, gue kasih petuah tuh anak. Eh, malah ngambek bocahnya." Zero menepuk-nepuk punggungnya. "Nih, punggung gue jadi korban, dilemparin kerikil segenggam sama dia."

"Bah, ngakak." Oscars mencibir dan terkekeh pelan. Sedikit tak habis pikir dengan tingkah kekanakan dari salah satu sahabatnya itu.

"Biarin aja. Ntar juga balik sendiri," celetuk Shadow yang memang paling bisa mengerti tentang sikap yang ditunjukkan oleh para sahabatnya. Bersahabat tiga tahun dengan mereka sejak kelas sepuluh membuatnya hafal dengan perangai satu per satu di antara sahabat-sahabatnya.

"Hah, ya udahlah. Ayo balik ke perkemahan," ajak Marcell yang sudah berdiri dari duduknya. "Matahari udah mau tenggelam, tuh."

Kelima remaja laki-laki lainnya mengangguk serempak dan langsung berdiri dari duduk mereka, mengikuti Marcell yang sudah berjalan ke arah perkemahan mereka terlebih dahulu.

🌌🌌🌌

Hari berganti malam terjadi dengan begitu cepat. Saat ini, Linda dan Kesya berada di tenda mereka berusaha membujuk Zhenira yang sedari siang tadi masih belum mau keluar. Bahkan sahabat mereka itu masih saja meringkuk seperti terakhir kali saat mereka memeriksanya.

"Zhe, lo kenapa sih? Kalo sakit tuh bilang. Nih, gue bawain makanan buat lo. Makan selagi masih hangat," tutur Kesya yang membawa senampan makanan di tangannya tersebut.

Linda yang sedari tadi ikut membangunkan Zhenira dengan menggoyang-goyangkan badan sahabatnya itu juga tak menyerah saat Zhenira masih tak bergeming dari tempatnya. "Zhe, lo jangan bikin kita berdua khawatir deh. Buruan bangun, ihh!" ujar Linda sembari menggoyang-goyangkan badan Zhenira lebih kuat. Posisi Zhenira memang membelakangi mereka berdua, jadi baik Linda maupun Kesya tidak bisa melihat wajah Zhenira.

Kesya yang tak sabar pun langsung meletakkan nampan yang dibawanya dan bergegas masuk ke dalam tenda untuk mengecek keadaan Zhenira. Namun, alangkah begitu terkejutnya Kesya saat mendapati kondisi tubuh Zhenira yang sangat panas, kulitnya sepucat mayat dan kedua mata sahabatnya itupun juga bengkak. Sepertinya, Zhenira terlalu banyak menangis dan berakhir demam.

"ASTAGA, ZHENIRA!"



Hayolohh, Zhenira kenapa bisa sampai sakit begitu (⁠๑⁠•⁠﹏⁠•⁠)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro