Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30 ߷ Lunch Together on the First Day



Suatu elusan lembut yang dirasakan pada pipi, membuat gadis yang kerap disapa Zhenira itu membuka kedua kelopak matanya secara spontan. Hal pertama yang dilihat Zhenira adalah bayang-bayang wajah tampan sang kekasih yang saat ini tengah menyunggingkan senyum kecil padanya. Zhenira mengucek dengan pelan kedua matanya saat dirasa pandangannya masih berkabut, mengerjap-erjap sebentar dan kembali mendongak untuk menatap wajah Zero yang sudah terlihat jelas di penglihatannya.

"Pules banget tidurnya," kata Zero sembari terkekeh pelan saat melihat sikap gadisnya yang masih tampak linglung itu. Maklum saja, hampir selama perjalanan Zhenira tertidur di kereta. Putri Zelina bahkan sampai memanggilnya karena tidak ingin membangunkan Zhenira yang tertidur begitu pulas.

Ya, rombongan mereka baru saja sampai di tempat perkemahan setelah menempuh 4 jam lamanya perjalanan. Semua orang sedang sibuk dengan barang-barangnya dan sebagian ada yang menyiapkan makan siang. Teriknya matahari tidak akan bisa mengganggu aktivitas mereka karena rimbunnya pepohonan di dalam hutan membuat hawa menjadi sejuk. Lagipula, para warga istana pasti bisa mengatasinya dengan mudah mengingat rata-rata dari mereka memiliki sihir dan keistimewaan masing-masing.

"Zero, rombongan kita udah sampai?" Zhenira bertanya sembari kepalanya celingak-celinguk ke sekitar. Suasana ramai di luar sana membuatnya penasaran.

"Iya, udah setengah jam yang lalu sebenarnya. Lo sih, tidur kok kayak orang mati." Zero tersenyum miring mengejek gadisnya. Tentu saja Zhenira langsung merengut dibuatnya.

"Kok nggak ada yang bangunin gue, sih?! Nyebelin amat," ujar gadis manis dengan gaun panjang berwarna putih itu. Zhenira mengangkat sedikit gaunnya dan memutuskan untuk segera turun dari kereta, dibantu oleh Zero tentunya. Mengingat panjang gaun putih yang ia pakai panjangnya sampai mata kaki dan membuat pergerakannya jadi sedikit terhambat.

"Makasih, ayang!"

Zero tersenyum geli, lantas mendaratkan telapak tangannya pada puncak kepala Zhenira dan mengusaknya dengan gemas. "Sama-sama, my pretty girl."

Blush!

Rona merah langsung menjalar di pipi Zhenira dengan cepat, gadis itu memukuli bahu Zero dengan brutal untuk menyalurkan rasa malunya. Sementara Zero sendiri hanya tertawa karena tingkah Zhenira yang menggemaskan menurutnya. Betapa ia begitu sayang pada gadis yang saat ini tengah merengut sebal dengan bibir yang sudah dimajukan itu.

"Yaelah, nggak di dunia nyata, nggak di dunia Silvanna. Lo berdua tuh kalo mau ngebucin lihat tempat dan situasi juga, dong!"

Sepasang kekasih itupun langsung menoleh ke sumber suara dan mendapati Maxime serta Kesya yang memelototi keduanya dengan tajam. Maxime dan Kesya dengan pakaian khas Kerajaan Eropa itu benar-benar terlihat seperti seorang bangsawan di mata Zhenira sekarang. For your information, Negeri Silvanna dan segala isinya memang seperti Kerajaan Eropa jika di dunia nyata. Benar, Zhenira baru menyadari hal itu sekarang.

"Eh, ada Maxime dan Kesya." Zhenira menunjukkan cengiran lebarnya pada kedua sahabatnya itu. Sejenak ia tolehkan kepalanya ke arah Zero dan meminta izin untuk menghampiri Kesya. "Gue samperin Kesya dulu, ya? Linda pasti juga udah nungguin gue," tutur Zhenira.

Zero tersenyum dan mengangguk singkat, mengiyakan. "Gih, sana. Jangan buat mereka nunggu terlalu lama, Zhe."

Zhenira mengacungkan jempolnya sebelum berlari kecil menghampiri Kesya yang masih menunggunya. Sementara Zero sendiri langsung mengikuti Maxime yang memang disuruh Marcell untuk memanggilnya karena makan siang mereka sudah siap. Makan siang kali ini memang disendirikan untuk laki-laki dan perempuan. Katanya itu memang sudah menjadi salah satu tradisi di acara tahunan ini. Tujuannya agar masing-masing orang dari pihak laki-laki ataupun perempuan bisa mengakrabkan diri dengan sesamanya. Hanya di acara tahunan Negeri Silvanna inilah tahta dan kedudukan semua orang akan menjadi sama rata.

Lihat saja sang raja, Zaaronico. Laki-laki itu bahkan duduk dengan anteng di antara para prajuritnya dengan Elmo yang senantiasa di sampingnya. Tidak jauh berbeda dengan Zero dan sahabat-sahabatnya yang lain. Apalagi Trax dan Marcell yang memang mudah akrab dengan orang lain, keduanya tengah asik berbincang bersama beberapa prajurit muda yang seumuran dengan mereka. Begitupun dengan Kevin, Shadow, Maxime, dan Oscars. Mereka bertiga malah asik berbagi makanan dengan para prajurit bapak-bapak. Entah apa yang dibicarakan oleh mereka sampai-sampai Zero bisa mendengar gelak tawa Maxime dari tempatnya.

Suasana di sekitar area perkemahan siang hari itu terasa begitu menyenangkan bagi mereka. Masing-masing dari mereka menikmati hidangan dan berbincang-bincang dengan asiknya. Seolah-olah semua kesusahan serta kesulitan hidup mereka terbuang saat itu juga dan digantikan dengan kebahagiaan yang tiada tara. Tidak ada pikiran buruk ataupun gelisah hati di pikiran masing-masing dari mereka saat ini. Semuanya terlihat bahagia dengan senyuman manis yang tersungging apik di wajah.

🌌🌌🌌

"Putri Zelina, bagaimana hubungan Anda dengan Yang Mulia Zaaron?"

"Apakah Pangeran Zelino sudah kembali dari pengasingannya, Putri?"

Zelina tersenyum tipis saat mendapati dua pertanyaan beruntun dari beberapa petinggi wanita dari Negeri Silvanna itu. Usia mereka yang tak lagi muda menjadi bukti seberapa tahunya mereka tentang kehidupan para Putri dan Pangeran dari masing-masing keluarga inti Silvanna. Zelina bahkan sudah mengenal mereka sejak masih balita.

"Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Yang Mulia, Nenek Moa. Aku juga tidak tahu apakah Kakak sudah kembali dari pengasingan atau belum. Kalaupun dia sudah kembali, dia pasti akan lupa dengan identitasnya, sama seperti Putri Zhenira dari Keluarga Evans dan Pangeran Zero dari Keluarga Dawson."

Nenek Moa, petinggi wanita yang kedudukannya hampir menyamai Raja Negeri Silvanna itu sendiri adalah orang yang sangat disegani di negeri mereka. Dia dan sang suami, Kakek Loa adalah saudara kandung dari Kakeknya Zaaron, satu-satunya raja yang berhasil membawa Negeri Silvanna ke puncak kejayaannya pada masa pemerintahannya beberapa abad yang lalu.

Usia mereka yang tak lagi muda membuat Kakek Loa dan Nenek Moa harus sering-sering memeriksakan kesehatan mereka ke tabib istana. Hanya tinggal menunggu waktu hingga keduanya akan pergi dari dunia dan beristirahat penuh sebagai seorang roh. Kekuatan sihir pun sudah tidak bisa mengembalikan kulit dan tubuh mereka yang sudah renta termakan usia. Hanya tekad dan keinginan untuk terus hiduplah yang membuat mereka masih bertahan hingga saat ini.

"Nenek paham, Zelina. Nenek hanya ingin melihat cucu-cucu Nenek ini sukses dan bahagia dalam hidupnya. Baru Nenek bisa pergi dengan tenang ke alam baka."

"Nenek! Jangan bilang seperti itu, ah!" Zelina menggelengkan kepalanya dengan kuat untuk menunjukkan ketidaksukaannya terhadap perkataan Nenek Moa barusan. "Nenek kan sudah berjanji padaku, kalau Nenek akan menikahkanku dengan pria pujaanku nanti."

"Hahaha! Nenek Moa hanya bercanda, Putri Zelina."

Zelina segera menoleh ke sumber suara dan mendapati Nafa, pelayan pribadinya di Istana Silvanna lah yang berujar barusan. "Aku tahu itu, Nafa. Lagipula, Nenek pasti akan menepati janjinya. Benar 'kan, Nek?"

Nenek Moa hanya tersenyum tipis sembari menyelipkan beberapa helai rambut Zelina ke belakang telinga gadis itu. "Iya, kesayangannya Nenek."

"Tuh, dengarkan Fa!"

Wanita tua itu terkekeh geli karena perkataan Zelina yang ditujukan untuk pelayan pribadinya tersebut. Netra cokelat yang tak lagi cerah di usia rentanya itu menoleh ke sana dan kemari untuk mencari keberadaan cucunya yang satu lagi. Di tengah ramainya acara makan siang hari ini, ia belum melihat Putri Zhenira dan kedua sahabatnya sama sekali. Ingin sekali rasanya ia menemui cucunya yang berasal dari Keluarga Evans itu. Mengingat sudah sejak gadis itu tiba di Negeri Silvanna hingga sekarang, ia sama sekali belum menemui Zhenira secara empat mata.

Ia tidak mengharapkan apa-apa karena ia yakin kalau Zhenira tidak akan ingat apapun tentangnya. Salahkan saja peristiwa kudeta dan hukuman pengasingan yang harus diterima oleh keempat cucu kesayangannya. Dua cucunya sudah kembali ke Negeri Silvanna dan mereka sama sekali tidak ingat tentangnya. Kemudian yang dua lagi masih tidak diketahui keberadaannya. Entah apa yang akan dilakukan suaminya─Kakek Loa─setelah mengetahui semua keadaan ini.

"Zelina, Nenek sudah kenyang dan akan langsung beristirahat di tenda."

"Oh, baiklah. Apakah perlu aku antar ke tenda, Nek?"

"Tidak usah, kamu lanjut saja makannya. Lagipula, kamu kan juga harus mengurus dan mengawasi mereka." Nenek Moa menunjuk para pelayan wanita dan kembali menatap penuh peringatan pada Putri Zelina. "Ingat, kamu masih dalam masa hukuman menjadi ketua bersama Zaaron di acara tahunan ini."

Zelina merengut sebal, tapi tak ayal gadis itu tetap mengangguk dan menuruti perintah Nenek Moa. Karena bagaimanapun, ia adalah ketua regunya sekarang. Yah meskipun, hanya ketua di acara tahunan ini saja.

"Ya sudah, Nenek istirahat yang banyak ya."

🌌🌌🌌

Di sisi lain hutan, tepatnya di suatu bantaran sungai yang tidak jauh dari lokasi perkemahan, di sinilah Zhenira dan sahabat-sahabatnya berada. Ia, Linda, Kesya, dan Raina─yang disuruh Zaaron untuk menjaganya─tengah menikmati hidangan makan siang mereka sembari menatap derasnya aliran sungai di depan mereka. Begitu tenang dan damai yang dirasakan mereka sekarang.

"Zhe, kapan kita bisa pulang?" tanya Linda membuka percakapan setelah mereka diam-diaman saja sejak tadi.

Zhenira tersenyum kecut menanggapi pertanyaan sahabatnya yang tidak bisa ia jawab itu. "Gue nggak tahu, Lin. Gue pun sama kayak lo, gue juga pengen pulang. Kangen orang rumah, kangen sekolah." Sejenak Zhenira menghela napas berat sebelum melanjutkan perkataannya. "Gue tau ini bukan tempat kita," tuturnya dengan tatapan sendu.

Kesya yang sedari tadi hanya menyimak, diam-diam mengeratkan cengkramannya pada sendok makan dan piring yang tengah dipegangnya. Gadis yang biasanya selalu ceria dengan ocehannya itu juga ikut terdiam. Sementara Raina hanya menatap ketiganya dengan iba. Meskipun ia adalah salah satu tangan kepercayaan sang raja, tapi tetap saja ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Cukup lama keadaan di antara mereka hening, karena masing-masing dari mereka sibuk dengan pemikiran sendiri. Hanya suara gemericik air sungai dan gesekan antara rerumputan juga daun-daun pohon yang menemani keheningan di antara mereka. Namun tak lama setelahnya, kedatangan Nenek Moa yang tidak terduga mengalihkan perhatian mereka.

"Salam untuk Nenek Moa," ujar Raina sembari membungkukkan badannya 45° derajat ke arah salah satu petinggi istana itu.

Zhenira yang sadar pun langsung memerintahkan kedua sahabatnya untuk melakukan hal yang sama seperti apa yang Raina lakukan, memberi salam pada Nenek Moa. "Salam untuk Nenek Moa!" ujar ketiganya dengan serempak.

Nenek Moa hanya tersenyum simpul dan meminta mereka untuk menegakkan badannya kembali. "Tidak perlu terlalu formal, berdirilah."

Spontan Zhenira dan kawan-kawan menegakkan badannya kembali. Raina yang memang merasa bertanggung jawab, dengan sigap mulai menjelaskan situasi mereka pada Nenek Moa. Tentang kenapa mereka memilih menikmati hidangan makan siang secara terpisah dari yang lain. Tidak lain dan tidak bukan, tujuannya hanyalah untuk mencari ketenangan semata.

"Maafkan kami, Nenek. Kami pasti akan segera kembali ke tempat perkemahan setelah menghabiskan hidangan kami," tutur Raina mengakhiri penjelasan panjangnya.

"Tidak perlu terburu-buru, Raina. Nenek hanya ingin berbicara dengan cucu Nenek saja," ujar Nenek Moa sembari mengalihkan pandangannya ke arah Zhenira yang menatapnya dengan bingung. Wanita tua itu menghampiri Zhenira yang masih berdiri dengan tatapan bingung padanya. "Zhenira, bisa ikut Nenek sebentar?" pintanya.

Zhenira yang masih tidak mengerti akan situasi yang tengah dihadapinya kini hanya mengangguk mengiyakan permintaan Nenek Moa. Gadis itu langsung saja mengikuti langkah sang nenek yang membawanya duduk ke sisi sungai yang lain. Sedikit jauh dari tempat Raina dan kedua sahabatnya. Nenek Moa menginginkan sedikit privasi terkait hal yang akan dibahas kepada salah satu cucunya tersebut.

"Jadi, apa yang ingin Nenek bicarakan dengan saya?" Zhenira bertanya sesaat setelah mendudukkan dirinya di atas bebatuan yang terletak di pinggiran sungai. Ia bertanya pada Nenek Moa yang sedari tadi masih saja belum membuka mulutnya sejak beberapa menit yang lalu membawanya ke sini.

Tatapan wanita tua itu menyendu, tangannya yang keriput terangkat dan menelusuri pipi mulus Zhenira dengan perlahan. "Kamu apa kabar, sayang? Apakah kamu makan dengan baik di dunia sana?" tanyanya begitu lirih.

Mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Nenek Moa, entah kenapa membuat tenggorokan Zhenira terasa kering sekarang. "Nenek, kenapa Anda bertanya seperti itu? Saya baik-baik saja, sungguh." Zhenira buru-buru menggelengkan kepalanya dengan panik saat Nenek Moa mulai meneteskan air matanya dan terisak di depannya. "Nenek kenapa menangis?!" pekiknya panik.

"Ahh, air mata ini tiba-tiba saja keluar." Nenek Moa tertawa sumbang seraya menghapus jejak-jejak air matanya dengan cepat. Netra cokelatnya yang tak lagi cerah menatap tepat pada netra secoklat madu milik Zhenira. "Nenek tidak menyangka kalau kamu akhirnya akan kembali ke Negeri Silvanna, Zhenira. Sungguh, rasanya masih seperti mimpi."

"Nenek dan Kakek tidak pernah berhenti berdoa agar kalian segera kembali dari pengasingan dalam keadaan yang sehat. Karena bagaimanapun, kalian hanyalah korban dari keegoisan para orang tua dan para petinggi di masa lalu."

Sejenak, Zhenira hanya bisa terdiam mendengarkan Nenek Moa mengeluarkan semua kata-kata dan unek-unek yang ingin disampaikan padanya. Meskipun jujur saja, ia masih belum mengerti dengan lontaran kata yang dikatakan oleh Nenek Moa. Karena sejatinya, ia pun tidak tahu persis bagaimana peristiwa kudeta tersebut terjadi pada waktu itu.



Rumit ya, Zhe.

Tidakkah kamu penasaran dengan apa saja yang sebenarnya terjadi dalam kudeta itu?

Kalau aku sih, jelas penasaran.
(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro