Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28 ߷ Final Preparation - Destiny



Zhenira memijit pelipisnya dengan sedikit kuat kala kedua laki-laki di depannya ini masih saja saling melemparkan tatapan tajam. Baik Zero maupun Zaaron tidak ada yang membuka mulut untuk sekadar berbicara ataupun melempar makian sedari tadi. Hanya tatapan menuntut Zero yang membuat Zhenira jadi harus menarik dan mendudukkan kedua laki-laki itu di atas ranjang besarnya dengan ia yang berada di tengah-tengah sebagai penengah.

"Jelaskan apa maksudmu memanggilku dengan sebutan Pangeran Dawson!"

Zaaron menaikkan sudut bibirnya dan tersenyum remeh. "Kenapa kau tanya aku? Tanya saja pada Zhenira, dia pasti tau."

Tentunya Zhenira jadi terkejut karena Zaaron malah melimpahkan masalah ini padanya. Ia menatap Sang Raja Silvanna itu dengan bengis. Namun tatapannya kembali melembut kala netranya bersirobok dengan manik sekelam malam milik Zero. "Gue bakal jelasin semuanya, tapi lo jangan kaget ya?"

Zero mengangkat sebelah alisnya tak mengerti. "Kaget kenapa?" tanyanya. Sungguh, Zero masih tidak mengerti dan bingung akan situasi yang ia hadapi saat ini. Terlebih, Negeri Silvanna ini benar-benar memiliki banyak hal aneh dan misterius menurutnya.

"Zaaron, bisakah kau meninggalkanku dan Zero berdua?" Bukannya menjawab pertanyaan Zero, Zhenira malah lebih memilih berkata pada Zaaron agar memberinya ruang untuk berbicara berdua dengan Zero.

Zaaron mengulas seringai kecilnya dan lantas beranjak pergi dari tempatnya. "Lakukan sesukamu."

Ceklek!

Setelah memastikan Zaaron benar-benar pergi dari kamarnya, Zhenira kini memfokuskan dirinya pada Zero yang masih menunggu penjelasan darinya itu. Zhenira mengamati wajah tampan kekasih hatinya itu dengan lekat. Betapa ia mencintai pemuda itu lebih dari apa yang bisa orang lain lihat. Ia jadi tidak tega memberitahukan fakta yang sebenarnya pada pemuda itu.

"Jadi? Bisa lo jelasin ke gue, Zhe?"

Zhenira menghela napasnya dan mengangguk mantap. "Gue bakal jelasin semuanya."

🌌🌌🌌

"Bagaimana dengan persiapan untuk acara besok?" tanya seorang gadis cantik dengan surai putih khasnya yang sedikit berkibar pelan karena tiupan angin. "Sudah selesai semua, 'kan?"

"Sudah 85%, Putri Zelina. Anda tidak perlu khawatir, tinggal 15% lagi sampai semua persiapan akan selesai dengan baik."

Senyuman puas tersungging di bibir gadis yang memiliki manik mata berwarna semerah delima itu. Ia sungguh merasa sangat puas akan hasil kerjanya seharian ini. Menyiapkan tenda, pakaian, bahan makanan, dan lain-lainnya bersama para pelayan di istana ini. Awalnya memang ia enggan, tapi lama-kelamaan tenyata cukup menyenangkan. Yah, meskipun ia hanya memberi perintah pada para pelayan-pelayan itu saja. Tidak turun tangan langsung tentunya. Ia tidak mau kuku-kukunya jadi tergores dan tangannya juga bisa saja menjadi kasar. Sungguh, ia benar-benar tidak ingin itu terjadi.

"Baguslah. Pastikan semuanya sudah disiapkan dengan baik. Aku tidak ingin ada satupun kesalahan ataupun kekurangan dalam persiapan ini."

Usai mengatakan itu, Putri Zelina beranjak pergi dari halaman belakang istana menuju dapur istana. Ia ingin memeriksa persiapan bahan makanan di dapur, takut ada yang kurang. Setidaknya ia harus memastikan bahwa persiapan itu cukup untuk dibawa selama seminggu lamanya. Ya, acara berburu dan berkemah ini akan diadakan selama seminggu penuh. Maka dari itu, butuh banyak hal yang harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.

"Ah, Putri Zelina! Apa yang membawa Anda kemari?" tanya sang kepala pelayan ketika melihat Putri Zelina baru saja menginjakkan sepatunya di lantai dapur.

Zelina menatap sekeliling dapur dengan teliti. "Apakah semua bahan makanan sudah lengkap?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari para pelayan yang tampak sibuk bolak-balik dan berseliweran di depannya sembari melakukan kegiatannya masing-masing.

"Semuanya sudah lengkap. Hanya tinggal beberapa bahan makanan yang masih belum diambil dari kebun istana," jawab kepala pelayan sembari mengikuti langkah kaki Putri Zelina yang menyusuri area dapur. "Kami akan segera menyelesaikan yang satu itu," lanjut kepala pelayan saat tak mendapati respon yang berarti dari salah satu majikannya tersebut.

"Zaaron ... apakah dia masih menyukai Pai Apel?"

"Eh, bagaimana Tuan Putri?"

Putri Zelina berdecak. "Ck, apa kau tuli?! Aku bertanya padamu, apakah Zaaron masih menyukai Pai Apel?" tanyanya lagi dengan nada jengkel yang terdengar jelas.

Sang kepala pelayan tampak sedikit terkejut karena nada bicara Putri Zelina yang tiba-tiba meninggi. "Iya, Tuan Putri. Yang Mulia masih menyukai Pai Apel," jawabnya dengan cepat.

Mendengar itu, senyuman Zelina mengembang sempurna. "Kalau begitu, buatkan satu Pai Apel spesial untuk Zaaron. Aku sendiri yang akan memberikan itu padanya nanti," titahnya yang langsung diangguki oleh sang kepala pelayan.

"Sesuai keinginanmu, Tuan Putri."

🌌🌌🌌

"Nggak mungkin. Seseorang bermarga Dawson selain gue itu banyak, Zhe." Zero menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak mungkin Pangeran Dawson yang dimaksud itu gue," ujar Zero yang masih terus menolak kebenaran yang baru saja diberitahukan oleh Zhenira.

Ya, Zhenira sudah menceritakan latar belakang dari keempat keluarga inti Silvanna pada Zero beberapa saat yang lalu. Namun sepertinya, Zero menolak untuk percaya dengan fakta yang diceritakannya.

"Mungkin lo emang nggak bisa percaya gitu aja, Zero. Begitupun juga gue, pada awalnya. Akan tetapi, setelah bertemu langsung dengan Kakek yang merupakan pemimpin Negeri Silvanna generasi pertama di perpustakaan, gue percaya."

Manik kecoklatan Zhenira menatap Zero dengan lekat. "Gue percaya kalo ini memang benar adanya." Senyuman Zhenira mengembang sempurna. Gadis itu berdiri dari duduknya dan sedikit meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Ia melirik Zero yang masih terdiam tanpa menghilangkan senyuman manis itu dari bibirnya.

"Jangan terlalu dipikirin," ujar Zhenira kemudian. "Gue tau kalo lo masih terkejut dengan semua fakta ini. Namun yang jelas, I'm here with you." Satu kecupan Zhenira berikan pada pipi sang kekasih, Zero. Gadis itu mengerling nakal saat melihat reaksi Zero yang terkejut karena tindakannya.

"Zhe, jangan mancing setan yang bersemayam dalam diri gue, deh."

Zhenira terbahak-bahak mendengar penuturan Zero. Bahkan gadis itu sampai berlutut untuk meredakan nyeri pada perutnya akibat tertawa terlalu keras. Sementara Zero sendiri hanya tersenyum tipis melihat tingkah kekasihnya. Tidak ada yang lebih penting baginya selain tawa ceria dari Zhenira.

🌌🌌🌌

Tak! Tak! Tak!

Suara sepatu yang beradu dengan lantai terdengar cukup nyaring di tengah heningnya lorong istana pada sore hari itu. Sepatu perempuan dengan hak sedikit tinggi berwarna merah menyala itu mempertegas penampilan pemakainya sekarang. Zelina, dengan gaun berwarna merah menyala berjalan dengan anggunnya di lorong istana. Tatapan matanya memandang lurus ke depan. Sementara di kedua tangannya ada sebuah Pai Apel yang sepertinya baru saja matang. Terlihat dari kepulan asap panas dan aroma harum khas Pai Apel yang keluar dari kue berbentuk bulat itu.

Senyuman kecil lagi-lagi terulas di bibir sang putri bungsu dari Keluarga Merlion tersebut. Ia sangat tak sabar memberikan Pai Apel ini pada sang pujaan hati. Ya, siapa lagi kalau bukan Zaaronico. Rasanya tanpa diberitahu pun, semua orang juga sudah tahu bagaimana kedekatannya dengan Raja Silvanna itu saat ini.

Seperti yang dikatakan oleh beberapa pelayan dan prajurit yang sempat dilewatinya, Zaaron tengah berada di area kandang kuda. Dapat Zelina lihat kalau pria itu tengah memandikan kuda hitam kesayangannya. Entah Zaaron sadar atau tidak, tapi Zelina dapat melihat binar bahagia saat Zaaron berinteraksi dengan kuda miliknya tersebut. Perasaan Zelina menghangat saat melihat pemandangan itu. Dengan langkah pelan, putri bungsu dari Keluarga Merlion itu berjalan mendekat ke tempat Zaaron dan kudanya berada.

"Hei, jagoan. Besok kita akan berpetualang. Jadi persiapkan dirimu sebaik mungkin, hm?" tutur Sang Raja Silvanna sembari menggosok badan kuda hitam di depannya dengan spons. Suara ringkikan kuda yang terdengar setelahnya membuat Zaaron mengulas senyum kecil. "Ah, sepertinya kau tidak sabar untuk berpetualang, ya?"

"Zaaron ..."

Panggilan itu membuat perhatian Zaaron langsung teralihkan ke sumber suara. Netranya berputar malas saat mendapati sosok Zelina di sana. "Ada apa? Cepat selesaikan keperluanmu dan pergi dari hadapanku."

Nyut!

Zelina dapat merasakan hatinya berdenyut sakit kala mendengar kalimat penolakan yang lagi-lagi dilontarkan Zaaron padanya. Apakah Zaaron sudah benar-benar melupakan kebersamaan mereka berdua, dulu? Apakah Zaaron benar-benar membencinya dan keluarganya? Pertanyaan-pertanyaan itu masih saja mengganjal di pikiran Zelina saat ini.

"Aku membawakan Pai Apel kesukaanmu," tukas Zelina sembari menyodorkan Pai Apel yang tampak menggugah selera itu pada Zaaronico.

Sejenak Zaaron terdiam sembari menatap Pai Apel itu dan Zelina bergantian. Bibirnya berdecak tak suka. "Bawa kembali, aku sudah tidak menyukai kue itu."

"Ta-tapi, bukannya ini kue kesukaanmu yang selalu kamu makan di musim panas begini? Lantas kenapa?" Sungguh, Zelina tidak mengerti dengan sikap dan respon yang ditunjukkan Zaaron. Padahal jelas-jelas kepala pelayan istana mengatakan kalau pria itu masih menyukai Pai Apel.

"Bukankah sudah kukatakan dengan jelas, Zelina. Aku tidak menyukainya lagi. Jadi silakan bawa kue itu kembali dan pergi dari hadapanku," ujar Zaaron dengan kejamnya. Pria itu tidak peduli dengan netra semerah delima milik Zelina yang mulai berkaca-kaca. Pria itu kembali sibuk memandikan kuda hitam kesayangannya tanpa memedulikan Zelina yang menangis dalam diam.

Merasa kalau usahanya sia-sia dan tidak dihargai, Zelina memutuskan untuk pergi dari sana dengan membawa serta Pai Apel di tangannya. Ia tidak kuat dengan sikap Zaaron yang memperlakukannya seperti hama dan kuman. Tidakkah pria itu sadar kalau sikapnya benar-benar menyakiti perasaannya?

"Zaaron!"

Suara teriakan khas perempuan itu membuat Zelina menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati keberadaan Zhenira yang menghampiri Zaaron di sana. Sekilas netranya bertatapan dengan netra kecoklatan Zhenira yang tampak terkejut akan keberadaannya.

"Kenapa, Zhe? Tumben kau menghampiriku sampai ke sini?" tanya Zaaron sembari mendaratkan telapak tangannya pada puncak kepala gadis manis itu. Zelina dapat melihat senyuman tulus Zaaron yang diberikan untuk Zhenira, dan itu membuat hatinya memanas tanpa diminta.

Pegangan Zelina pada piring Pai Apel di tangannya mengerat. Dengan amarah yang meluap, secara cepat ia melayangkan Pai Apel yang masih panas itu ke arah Zhenira dengan kekuatannya. Netra Zhenira sendiri membulat sempurna saat kue itu melayang begitu cepat ke arahnya.

Zrash!

Pai Apel yang malang itu langsung hancur berkeping-keping dan remahannya berceceran ke mana-mana. Zhenira bisa merasakan kakinya lemas saat ini, gadis itu mencengkram lengan kiri Zaaron dengan kuat sebagai penopang badannya. Mungkin jika Zaaron terlambat seperkian detik saja, kue panas itu pasti akan mengenainya. Ya, Zaaron lah yang menghancurkan kue malang itu dengan kekuatannya. Netra sebiru kristal milik pria itu menatap nyalang pada Zelina yang mematung di depan sana.

"Jika sekali saja aku mendapati Zhenira terluka karena perbuatanmu, maka aku tidak akan segan-segan untuk melenyapkanmu, Zelina."

Tanpa menunggu balasan ataupun respon dari Zelina, Zaaron langsung saja menarik tangan Zhenira dan mengajak gadis itu pergi dari sana. Tentunya setelah memasukkan kuda hitam kesayangannya ke dalam kandang. Meninggalkan Zelina yang masih berdiri mematung dengan lelehan air mata dan kedua tangan mengepal kuat di sisi-sisi tubuhnya.

🌌🌌🌌

"Apakah tidak apa-apa meninggalkan Putri Zelina sendirian di sana?" Zhenira bertanya dengan cemasnya.

Zaaron mendengkus. "Dia bukan anak kecil lagi, Zhenira. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya," jawab Zaaron.

Keduanya saat ini tengah dalam perjalanan menuju ruang makan. Semua sahabat-sahabat Zhenira saat ini sudah menunggu mereka di sana. Setidaknya, itulah yang dikatakan seorang pelayan beberapa menit yang lalu. Tidak heran jika jamuan makan malam sudah siap sedini ini, mengingat seharian ini banyak sekali hal yang harus dipersiapkan untuk acara berburu dan berkemah esok hari. Zhenira sendiri juga sudah merasakan cacing-cacing di perutnya berdemo meminta makan.

"Hah, kau jangan terlalu keras pada Putri Zelina. Sebenci-bencinya dirimu dengan Keluarga Merlion, Zelina tetap tidak terlibat dalam kudeta itu, Zaaron."

Zaaron hanya diam, enggan merespon nasihat Zhenira. Pria itu hanya fokus pada lorong istana yang dipijaknya. Zhenira sampai merengut kesal karena pria itu tidak mendengarkan dirinya sama sekali. Zaaron baru sadar kalau gadis di sampingnya itu tengah kesal saat langkah kaki Zhenira terdengar sengaja dihentak-hentakkan hingga menimbulkan suara ketukan yang sangat nyaring di telinga.

"Dasar tidak peka, menyebalkan pula. Heran banget kenapa Putri Zelina bisa tergila-gila dengan pria ini." Dumelan dan gerutuan pelan Zhenira itu masih terus berlanjut hingga keduanya tiba di depan pintu ruang makan istana. Seorang prajurit yang menjaga di depan pintu langsung mengumumkan kedatangan keduanya.

"Perhatian, Yang Mulia Raja Silvanna dan Putri Zhenira akan memasuki ruangan."

Seolah otomatis, pintu besar itu langsung terbuka dengan sendirinya. Zhenira yang memang sudah pernah melihatnya tetap saja merasa kagum. Rasanya ia tengah berada di negeri dongeng saja.

"Ayo, Zhenira. Kenapa kau malah bengong di situ?"

Suara Zaaron membuyarkan lamunan Zhenira dari rasa kagumnya. Gadis yang memakai setelan gaun berwarna biru laut itu bergegas menyusul Zaaron yang sudah berada beberapa langkah di depannya. Seulas senyum lebar langsung terpatri di bibir Zhenira kala melihat para sahabatnya melambaikan tangan padanya.

"Ayo buruan, Zhe! Keburu gue habisin nih jatah makanan lo!"



Yups, bisa kalian tebak siapa itu ^^

Btw maaf ya, karena baru bisa update lagi setelah 1,5 bulan lamanya. Semoga part ini bisa mengobati kerinduan kalian.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro