25 ߷ Emergency Meeting & Punishment
•
•
•
"Kau serius akan diam saja seperti ini?"
Neutraz benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Geraldz. Pemimpin The Guardian itu hanya berdiam diri setelah mengetahui masalah yang menimpa Zhenira dan teman-temannya. Guardian bersurai silver tersebut lebih memilih diam dan tidak melakukan apa-apa selain mengawasi Zhenira dan kawan-kawannya lewat layar ajaibnya.
Layar yang selalu dimunculkannya di dinding ruang rapat itu kini tengah menayangkan pemandangan yang cukup seru. Di mana pertarungan sang rubah putih dan si pria bersayap masih berlanjut. Area di sekitar pertarungan tersebut sudah tidak terbentuk karena efek dari kekuatan besar keduanya. Tidak ada yang mau mengalah, baik Zelina maupun Zaaron sama-sama keras kepala.
"Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, Neutraz. Bukan berarti aku tidak peduli, tapi aku memang tidak tahu jalan seperti apa yang akan kuambil kini. Aku takut kembali salah langkah dan semakin menjerumuskan mereka dalam masalah." Surai silver pemimpin Guardian itu tampak bergerak-gerak lembut mengikuti arah angin. Netranya menatap serius pada layar di depannya. "Terutama Zhenira, aku bahkan sudah tidak punya muka di hadapan gadis itu. Aku yang memberikan kotak itu padanya, dan kini aku pula yang menyesal kenapa aku memberikan itu padanya."
Geraldz terkekeh.
"Kotak itu dari Zaaron ternyata, dan aku baru mengetahuinya setelah mereka semua telah terjebak di dunia sana. Apakah aku pantas disebut Guardian? Aku bahkan tidak bisa menjaganya."
Dapat Neutraz rasakan bagaimana perasaan pemimpinnya itu saat ini. Pasti sangat berat dan sangat merasa bersalah yang dirasakan Geraldz sekarang. Sebenarnya bukan hanya Geraldz, tapi ketujuh Guardian lainnya pun demikian. Bagaimana bisa mereka kecolongan oleh seorang iblis seperti Zaaronico?
Bahkan Demon seperti Zaaron derajatnya ada di bawah mereka para Guardian dan para makhluk suci seperti Angel. Bisa-bisanya iblis itu bisa mengelabui penglihatan mereka dengan sangat rapi.
Geraldz dan para Guardian yang lain benar-benar tidak bisa mengetahui apapun yang ada di dalam kotak itu sebelum dibukanya kotak tersebut oleh Zhenira. Mereka baru mengetahui faktanya setelah Zhenira berhasil masuk ke dalam perangkap yang Zaaron buat, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa saat para teman-teman Zhenira ikut masuk ke dalam portal yang membawa mereka ke Negeri Silvanna.
Negeri itu terkutuk.
Orang luar tidak akan bisa menjemput mereka yang sudah berada di dalam Negeri Silvanna kembali, kecuali ada izin dan kehendak orang dalam.
Zaaron lah masalahnya sekarang.
Iblis itu jelas tidak akan melepaskan Zhenira, apalagi Zhenira adalah bagian dari Negeri Silvanna itu sendiri. Namun entah bagaimana Zero dan teman-temannya akan bertindak setelah ini. Karena sekeras apapun mereka mencari jalan keluar dari sana, mereka tidak akan bisa keluar kecuali atas izin Zaaron.
Zaaron bukan hanya sekadar Raja Silvanna seperti yang kalian pikirkan. Di dalam dirinya ada sosok iblis yang telah bersemayam selama ratusan tahun untuk mencari kembali pasangan jiwanya. Cinta sehidup sematinya.
Kini ...
Jiwa itu bereinkarnasi dalam tubuh Zhenira.
Zhenira reinkarnasi, tapi Zaaron tidak. Iblis dalam dirinya hanya berpindah tempat ke tubuh orang-orang yang dianggapnya setara dengan dirinya, dan Zaaronico Silvanna Valdo adalah wadah yang sangat cocok untuk itu.
"Kita terlambat mengetahui semua ini," ujar Ilpyonz yang sudah berdiri di sebelah Neutraz. Guardian bersurai orange itu juga merasakan kegelisahan saat ini. Karena apa yang mereka hadapi sekarang ini bukan masalah sepele, karena iblis itu sudah membawa-bawa manusia yang tak tahu apa-apa seperti Zhenira dan kawan-kawan untuk kepuasannya sendiri.
"Kita tidak bisa diam dan menunggu seperti ini saja, Ger." Neutraz memicingkan matanya dengan tajam kala mendapati Geraldz tak bergeming sama sekali dari tempatnya. "Jika ada hal yang lebih buruk terjadi dan kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya, apa yang akan kau lakukan?"
"Pertanyaanmu itu bahkan tidak bisa kujawab, Neutraz." Uoranz muncul dari arah Tenggara dan mendekat ke tempat para rekannya yang tengah dilanda kegelisahan itu. Ia menoleh ke arah Geraldz yang baru saja menghela napas, tampak sangat tertekan. "Apapun pasti akan kami lakukan untuk mencegah terjadinya kekacauan yang lebih besar di dunia ini. Kita para Guardian tugasnya menjaga agar dunia tetap terkontrol-"
"Lalu jika ini semua memang kehendak Sang Pencipta, kau akan berkata apa?"
Perkataan Geraldz membuat Uoranz, Ilpyonz, dan Neutraz saling pandang.
"Kehendak Sang Pencipta?"
"Iya, aku takut kalau ini memang sudah kehendak dari Sang Pencipta. Jika kita bertindak, tentunya kita telah melawan kehendak-Nya."
Uoranz menggeleng, tidak setuju dengan perkataan Geraldz. "Setidaknya kita sudah berusaha. Apapun hasil akhirnya, kita tetap harus bertindak dan mencegah hal buruk yang bisa saja terjadi ke depannya."
Neutraz mengangguk setuju. "Aku pun berpikir demikian," ujarnya. Guardian bersurai ungu itu menatap Ilpyonz, meminta persetujuan.
Ilpyonz yang paham dengan kode Neutraz menyahut, "Aku juga setuju."
Geraldz menatap satu per satu rekannya dengan serius. Entah apa yang dipikirkannya, tapi menurut Neutraz, pemikiran Geraldz sudah lebih terbuka sekarang.
"Kumpulkan semuanya di ruang rapat sekarang juga. Aku akan meminta pendapat dan juga saran dari kalian untuk tindakan yang akan kita lakukan setelah ini."
Uoranz, Ilpyonz, dan Neutraz mengangguk serempak. Ketiga Guardian itu langsung beranjak pergi untuk memanggil keempat rekan mereka lainnya. Siapa lagi kalau bukan Aronaz, Ravgaz, Devdaz, dan Allucaz. Keempatnya mungkin masih sibuk dengan kegiatan masing-masing saat ini.
🌌🌌🌌
Ruangan serba putih yang juga memiliki ornamen unik dengan warna yang sama itu tampak begitu suram saat ini. Para penghuni di dalamnya yang tengah dalam mode serius juga mempengaruhi suramnya suasana di ruangan itu. Sebuah meja panjang dengan delapan kursi yang melingkar di sekelilingnya telah terisi penuh oleh para penghuninya.
The Guardian.
Para pria pemilik surai warna-warni yang sempat disangka 'boyband' oleh Zero itu tengah mengadakan rapat darurat untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang tengah dihadapi oleh salah satu makhluk istimewa yang notabenenya sudah menjadi teman mereka itu.
Zhenira Silvanna Evans.
Gadis ceria yang selalu membuat mereka geleng-geleng kepala karena tingkahnya. Gadis dengan pemikiran polos yang masih sangat awam dengan dunia. Gadis yang entah sadar atau tidak sudah terhubung dengan beberapa takdir rumit yang tidak dapat ditangkap oleh akal sehat manusia.
Dunia tidak seperti yang terlihat, itulah yang mereka tahu. Oleh karena itu, The Guardian diciptakan untuk menjadi penjaga. Tidak hanya dunia tempat kita tinggal sekarang ini, tapi dunia yang tidak kalian tahu keberadaannya pun, adalah tanggung jawab mereka sebagai penjaga.
Maka dari itu mereka tidak bisa diam saja saat ada masalah yang sudah melibatkan kedua dunia. Karena bagaimanapun, setiap dunia dan seluruh aspek kehidupannya sudah mempunyai porsinya masing-masing. Maka tidak seharusnya kedua hal yang sudah memiliki porsinya sendiri itu tercampur aduk seperti sekarang.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
Aronaz membuka pembicaraan, membuat ketegangan yang sempat terasa jadi sedikit terpecahkan. Guardian bersurai dark blue itu benar-benar sudah tak sabar dan ingin segera mengeluarkan pendapatnya dalam rapat kali ini. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi ia juga merasa khawatir dengan para remaja itu. Terlebih mereka sudah menjadi teman-temannya di dunia manusia. Begitupun Ravgaz yang juga berpikir demikian.
"Kita harus masuk ke dunia itu," celetuk Devdaz.
Geraldz menggeleng. "Tak semudah itu, banyak risiko yang akan kita ambil jika kita melakukannya. Lagipula, kita tidak bisa meninggalkan perbatasan begitu saja."
Devdaz mendesah kecewa. Wajah Guardian kelima itu langsung masam karena sarannya ditolak. Padahal ia ingin mendapatkan misi dan meninggalkan perbatasan untuk sementara seperti Aronaz dan Ravgaz.
"Namun aku punya ide," lanjut Geraldz. Seringai misterius terbit di bibir Guardian itu. Membuat ketujuh rekannya jadi menatap dirinya dengan tatapan bingung dan bertanya-tanya.
"Kita memang tidak bisa meninggalkan perbatasan, tapi kita bisa memancing dalangnya ke perbatasan."
🌌🌌🌌
"Duh, perasaan gue kenapa nggak enak, ya?"
Kesya menoleh ke arah Zhenira dengan pandangan heran. "Nggak enak gimana?" tanyanya.
Zhenira mengendikkan bahunya. "Gue juga nggak tau, tapi yang jelas perasaan gue nggak enak sekarang. Kayak bakal ada sesuatu yang terjadi gitu." Ekspresi cemas Zhenira terlihat sangat jelas sekarang. Gadis itu memang tidak bisa menyembunyikan setiap perasaannya. Karena semua itu akan selalu tergambar jelas di wajah cantiknya.
Linda yang baru saja datang sembari membawa senampan camilan dari dapur istana itu menatap kedua sahabatnya dengan bingung. Sepertinya ia ketinggalan hal penting lagi saat ini. "Ada apa?" tanyanya setelah meletakkan camilan yang dibawanya ke meja terdekat.
Ketiga gadis itu tengah berada di kebun belakang istana sekarang. Menikmati waktu santai mereka dengan berbincang dan berpiknik sejenak di tengah indahnya langit biru di atas sana.
Mengabaikan para prajurit dan sahabat laki-laki mereka yang tengah ikut kerja bakti dalam membersihkan kekacauan yang sempat dibuat oleh Putri Zelina dan Sang Raja Silvanna. Tidak sulit, mengingat mayoritas penduduk di Negeri Silvanna memiliki kekuatan sihir mereka masing-masing. Namun kekacauan yang diakibatkan oleh Putri Zelina dan Sang Raja berhasil merusak empat bangunan istana dan properti-properti di sekitarnya.
Benar-benar kacau.
Maka dari itu, para remaja laki-laki itu menawarkan diri untuk turut serta dalam membersihkan, memperbaiki, dan membangun ulang setiap properti yang rusak tersebut.
Sementara sang pembuat kekacauan saat ini tengah berada di ruang interogasi bersama para petinggi kerajaan. Karena sikap yang ditunjukkan oleh keduanya benar-benar tak patut dicontoh dan sangat merugikan bagi orang lain dan lingkungan sekitar. Memang, tidak ada korban yang terluka. Namun sikap keduanya benar-benar sangat buruk.
Maka dari itu para petinggi kerajaan memutuskan untuk menginterogasi dan menghukum keduanya dengan hukuman yang setimpal. Tentunya akan ada toleransi, mengingat keduanya adalah orang penting di sana. Terlebih Zaaron yang merupakan Raja di Negeri Silvanna, dan Zelina yang merupakan Putri dari Keluarga Merlion.
"Silakan Putri Zelina, Anda sudah bisa mengatakan pembelaan Anda."
Zelina berdehem, lalu berdiri dengan sedikit mengangkat dagunya. Ditatapnya satu per satu para petinggi kerajaan dengan angkuh, lalu tiba-tiba tatapannya berubah memelas. "Dia mengabaikanku! Maka dari itu aku langsung menyerangnya agar dia mau memperhatikanku!" pekik Zelina.
Zaaron tersedak ludahnya sendiri. Pria itu menggebrak meja di depannya dengan kuat, jari telunjuknya langsung mengarah pada Putri Zelina. "Aku tidak mengabaikanmu! Aku hanya sedang sibuk dengan pikiranku, bodoh! Kau malah langsung menyerangku begitu saja!"
"Bohong! Kau mendengar panggilanku waktu itu!"
"Aku mendengarnya samar-samar!"
"Jangan mengelak!"
"Aku tidak mengelak!"
"Kau-"
Brak!
"Tidak ada yang meminta Anda berdua untuk berdebat!"
Zaaron langsung berdecak, pria itu kembali mendudukkan dirinya dengan kasar. Diikuti Zelina yang juga kembali duduk di tempatnya. Keduanya tampak belum puas berdebat. Masih ada rasa kesal yang tersisa, terlihat dari tatapan mata tajam keduanya.
"Saya sudah memutuskan hukumannya."
"Anda berdua harus menjadi ketua kelompok di masing-masing regu dalam acara tahunan Kerajaan Silvanna tahun ini."
Zaaron membulatkan matanya. "Apa?! Dia mau kau jadikan ketua regu?! Bisa-bisa kacau dibuatnya!" tunjuk Zaaron pada Putri Zelina.
"Hei! Apa maksud perkataanmu itu?! Kau meremehkanku?!" pekik Zelina yang tidak terima dengan perkataan Zaaron barusan.
Tanpa memedulikan keduanya yang masih berdebat, petinggi kerajaan yang tadi berbicara kembali berujar. "Putri Zelina akan menjadi ketua regu bagi para gadis dan wanita yang turut serta, baik itu anggota keluarga kerajaan ataupun para pelayan. Sementara Yang Mulia Zaaron, Anda akan memimpin para pria termasuk para prajurit di dalamnya."
"Kami para petinggi kerajaan sudah memutuskan hukuman itu pada kalian, dan keputusan ini sudah tidak bisa diganggu gugat."
"Sekian."
Usai mengatakan itu, para petinggi kerajaan langsung berdiri dan beranjak keluar ruangan. Meninggalkan Putri Zelina dan Sang Raja yang masih terpaku di tempat.
Apa-apaan itu?!
•
•
•
Sudahlah kalian berdua, terima saja hukumannya ( ^∇^)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro