Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24 ߷ Angry at Being Ignored



Kini Zhenira dan kawan-kawan tengah berada di ruang makan istana. Dengan Zaaron yang juga turut serta. Namun sepertinya, sang raja tampak tidak senang dengan suasana yang tercipta di sekitarnya. Secara Zhenira sibuk sendiri bersama teman-temannya, sementara dirinya hanya diam memerhatikan di ujung meja sana.

Menyedihkan.

"Ekhem!" Sang raja berdehem untuk menarik perhatian semua orang yang berada di meja makan.

Namun lagi-lagi, dirinya diabaikan.

Bibir tipisnya mulai berkedut kesal. Alisnya pun sudah menukik tajam. Dengan perasaan kesal yang sudah diubun-ubun, Zaaron berdiri tanpa suara dan meninggalkan meja makan.

Linda yang tanpa sengaja menyadari hal itu langsung menyenggol lengan Zhenira yang memang duduk di sampingnya. Saat Zhenira menoleh padanya, ia mengkode sahabatnya itu dengan lirikan mata agar menatap ke arah sang raja yang sudah akan membuka pintu.

"Zaaron!"

Seruan itu membuat tangan Zaaron yang sudah menyentuh pintu menjadi terhenti. Kepalanya ia tolehkan ke arah Zhenira yang berjalan menghampirinya.

"Mau ke mana?"

Pertanyaan Zhenira yang kelewat polos dan tidak peka itu semakin membuatnya kesal. Tanpa mengatakan sepatah kata apapun, Zaaron lebih memilih melanjutkan langkahnya dan berlalu keluar dari ruang makan.

Sikap yang ditunjukkan oleh Sang Raja Silvanna itu membuat sepuluh remaja yang berada di sana menjadi bertanya-tanya dalam kebingungan. Terutama Zhenira yang jadi kepikiran. Ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran laki-laki itu. Zaaron terlalu misterius, penuh teka-teki. Jalan pikirannya tidak bisa ditebak. Kadang manis, kadang jahat, kadang tak kenal ampun, kadang begitu dingin, kadang juga bisa jadi sangat cerewet.

Namun kini, entah hal apalagi yang dipikirkan laki-laki itu sehingga bersikap demikian.

"Mungkin gue tanya langsung aja nanti."

Zhenira pun akhirnya memilih kembali ke tempat duduknya dan melanjutkan sarapan sekaligus pembicaraannya dengan para sahabat-sahabatnya. Canda tawa terdengar di sela-sela menyantap hidangan yang tersaji di meja. Sesekali Maxime dengan lawakannya juga menjadi penambah suasana ceria di sekitar mereka. Lalu ada Kevin dengan segala gombalan mautnya yang semakin meramaikan suasana. Bahkan para pelayan yang melihat interaksi para remaja itu ikut tertawa kecil di tempat.

Benar-benar persahabatan yang harmonis.

🌌🌌🌌

"Ck, menyebalkan!"

Zaaronico Silvanna Valdo tak henti-hentinya menggerutu dan berdecak kesal setelah keluar dari ruang makan yang berisi para remaja bahagia itu. Pemandangan yang dilihatnya tadi benar-benar membuatnya merasakan perasaan sesak yang kembali hadir di kala mengingat kehidupannya yang dulu. Di mana semua anggota keluarganya masihlah lengkap.

Canda tawa.

Ia juga pernah merasakan hal itu.

Dulu sekali.

"Argh!"

Lagi-lagi geraman rendah yang dikeluarkan oleh sang raja. Terdengar sangat tertekan dan frustasi sepertinya. Sejak kejadian itu, hidupnya benar-benar berubah. Api kebencian semakin berkobar setiap harinya. Bertambah sedikit demi sedikit hingga sedalam ini kebencian yang mengakar dalam hatinya.

Peristiwa berdarah pada malam hari itu terus menghantui tidurnya selama beberapa tahun terakhir. Ia sampai harus menggunakan sihir untuk menghapus bayang-bayang itu dari pikirannya. Namun sihirnya juga memiliki batasan, dan sihir ini hanya bertahan selama 5 jam saja. Jadi untuk seterusnya, bayang-bayang mengerikan itu akan kembali datang dalam otaknya.

Laki-laki bermarga Valdo itu berjalan dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa, ingin segera sampai di ruang kerjanya dan menenangkan pikirannya di sana. Permasalahan yang belakangan ini terjadi di istana sudah membuatnya pusing, ditambah kedatangan Zelina dan para petinggi yang mempermasalahkan perasaan pribadinya terhadap Zhenira.

Padahal dulu sewaktu ia dan Zhenira masih menjadi kekasih, mereka para petinggi kerajaan tidak pernah ikut campur. Namun sekarang, para jajaran orang tua itu seolah-olah tengah mencoba memengaruhinya dan menggerakkan jalan pikirannya.

"Zaaron!"

Suara itu membuatnya langsung menolehkan kepala. Saat mengetahui siapa pemanggil namanya, Zaaron kembali memalingkan wajahnya dan mempercepat langkah kakinya.

"Zaaron tunggu!"

Sret!

Cekalan pada lengannya membuat Zaaron menghempaskan tangan lancang itu dengan cepat. Tatapannya menghunus tajam pada netra semerah delima yang kini berada di sampingnya. 

"Apa maumu?"

Glek!

Zelina meneguk ludahnya susah payah saat melihat tatapan tajam itu. Aura dominan yang dimiliki Zaaron benar-benar membuat tangannya gemetar tanpa sadar. "Ti-tidak bisakah kita berbicara dengan santai?"

Satu alis sang raja terangkat, menatap gadis yang memakai gaun berwarna peach itu dengan pandangan bertanya. "Untuk apa? Tidak ada hal yang ingin kubicarakan denganmu." Zaaron kembali melangkah usai mengatakannya. Laki-laki itu benar-benar tidak ingin diganggu siapapun saat ini.

"Tapi kita harus bicara!"

Pekikan Zelina berhasil membuat langkahnya terhenti. "Sudah kubilang, tidak ada hal yang ingin kubicarakan denganmu."

Zelina pasrah.

Ia membiarkan Zaaron kembali melanjutkan perjalanannya yang entah akan pergi ke mana itu. Sudah sedari tadi ia menunggu kemunculan laki-laki yang katanya sedang berada di ruang makan tersebut. Namun ternyata, Zaaron masih bersikap seperti itu padanya. Ia butuh penjelasan, ia butuh jawaban atas sikap laki-laki itu padanya.

Sudah jauh-jauh ia datang kemari hanya untuk bertemu dengan laki-laki itu, tapi apa balasan yang ia dapat?

Penolakan.

"ZAARON!"

Ya, Zelina memutuskan untuk mengejar laki-laki itu.

🌌🌌🌌

"Itu si Raja jadi-jadian tadi kenapa, sih?"

Zhenira menggeleng, ia pun tidak tahu. Jadi hanya gelengan kepala yang ia lakukan untuk menjawab pertanyaan dari sepupunya, Oscars.

"Ngambek kali. Kan kita daritadi sibuk sendiri," celetuk Maxime.

"Lo ada benernya sih," sahut Marcell sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Iya, tadi gue sekilas ngelihat ekspresinya kayak nggak nyaman banget," imbuh Linda.

"Duh, jadi ikut kepikiran gue."

Zero mendengkus. Ia tidak peduli dengan sosok sang raja. Karena dari pembicaraan mereka semalam, ia sudah bisa menyimpulkan kalau Zaaron akan merebut Zhenira darinya. Maka dari itu, ia tidak peduli dengan perasaan laki-laki yang mungkin tengah merajuk seperti kata teman-temannya itu.

"Zhe, lo kan deket tuh sama si Raja jadi-jadian. Tanyain dah coba, dia kenapa gitu."

Tanpa diminta pun Zhenira sudah tahu. Tentunya ia harus mencari tahu ada apa dibalik sikap Zaaron tadi. Karena bagaimana pun, ia tidak bisa abai jika ada orang-orang terdekatnya yang merasa tidak nyaman atau kecewa karena suatu hal.

"Iya, nanti gue tanyain kok."

Acungan jempol Zhenira dapatkan dari sepupunya, Oscars. Sepupunya itu tampak tampil berbeda pagi ini. Hanya menggunakan atasan kemeja berbahan satin warna putih, tidak berlapiskan jubah Elmo seperti biasanya. Lalu bagian bawahnya, pemuda itu memakai celana kain warna hitam yang memiliki banyak sekali rumbaian di beberapa sisinya.

"Tumben lo kaga pake jubahnya si Elmo?" tanya Zhenira yang sudah tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

"Diambil sama pemiliknya." Oscars berdecak kesal kala mengingat momen di mana Elmo meminta jubahnya dikembalikan. Padahal ia sudah jatuh hati dengan jubah hitam yang membuat dirinya menjadi lebih keren itu. "Dia nyuruh gue ke pasar dan beli baju sendiri," ujar Oscars setelahnya.

Trax terbahak.

"Makanya, modal dong!"

Oscars mendelik tak terima. "Lo lihat diri lo sendiri, bego! Lo juga pake pakaian yang disediain istana, 'kan?!"

Cengiran lebar terbit di bibit Trax.
"Hehe, iya sih." Pemuda itu menggaruk belakang kepalanya dengan canggung. Pemuda pemilik kulit sawo matang itu terlihat tampan dengan cengiran lebar andalannya.

"Bego," cibir Shadow.

Trax yang merasa semakin ternistakan pun hanya merengut dengan bibir yang sudah maju beberapa senti. Zhenira yang memang dasarnya receh, langsung menertawakan Ketua D'Most Saga itu. Suasana di ruang makan istana jadi semakin ramai karena tawa para remaja itu.

Sementara di sisi lain, Zelina masih berusaha mengejar dan membujuk Zaaron agar mau berbicara dengannya walau sebentar. Gadis bersurai putih itu masih berlari mengejar langkah Zaaron yang semakin menjauh. Laki-laki itu tidak menolehkan kepalanya sama sekali walaupun ia sudah memanggil namanya berkali-kali.

"Zaaronico Silvanna Valdo!"

Masih diabaikan.

Justru laki-laki itu semakin mempercepat langkahnya sekarang.

Cukup! Dia tidak berhak memperlakukanku seperti ini!

Kesabaran Zelina sudah habis. Ia mulai mengubah wujudnya menjadi sosok rubah putih dengan ukuran tubuh yang sangat besar. Sebesar beruang grizzly yang sudah dewasa.

Groarghh!

Geraman seekor white fox yang terdengar sangat marah itu berhasil menghentikan langkah Zaaron. Laki-laki itu menoleh dan membalikkan badannya. Keduanya berhadapan dengan jarak 10 meter jauhnya. Dari jarak sejauh itupun, Zaaron dapat melihat manik semerah delima itu menyala-nyala, menyimpan amarah yang sangat membara.

Sebuah seringai terbit di bibir Zaaron.

"Marah, eh?"

Drap! Drap! Drap!

Srat!

Kejadiannya begitu cepat, bahkan Zaaron sendiri tak sempat menghindar.

Tes!

Tes!

Raja Silvanna itu melirik lengannya yang mengeluarkan darah segar, terdapat bekas cakaran besar di sana. Seringai Zaaron semakin melebar. Netra sebiru kristalnya mulai berkilat-kilat, tampak sangat bersemangat. "Hm, ternyata kau kuat juga." Laki-laki itu terkekeh setelahnya.

"JANGAN MEREMEHKANKU!"

Serangan bertubi-tubi mulai dilayangkan Zelina. Dari cakaran, kibasan ekor, dan gigitan. Namun kali ini, Zaaron berhasil menghindari semua serangan itu. Laki-laki itu tak kalah cepat dengan gerakan Putri Zelina. Bahkan bisa dikatakan, kalau Zaaron lebih cepat. Yah, walau hanya seperkian detik saja.

"Kau benar-benar membuatku marah!"

Zaaron kembali terkekeh di samping menghindari serangan. "Benarkah? Kau saja yang emosian."

Mendengar jawaban Zaaron yang kelewat santai itu membuat Zelina semakin berang. Dipercepatnya gerakan tangan dan ekornya, menyerang laki-laki di depannya secara bertubi-tubi sehingga menimbulkan kerusakan di sekitar lorong. Bahkan dinding-dinding di lorong itupun menjadi korban cakaran Putri Zelina yang serangannya terus meleset.

Pertarungan keduanya tentu mengundang perhatian semua orang. Para warga istana berbondong-bondong dan berlari ke sumber kekacauan. Tak terkecuali Zhenira dan yang lainnya.

Para remaja itu begitu terkejut dengan pertarungan yang terkesan berat sebelah itu. Bagaimana tidak? Seekor rubah putih dan seorang manusia. Itu yang ada dipikiran kesembilan remaja yang belum tahu menahu tentang jati diri Zaaron yang sebenarnya. Karena kalau menurut Zhenira sendiri, justru akan sangat berbahaya bagi Putri Zelina kalau sampai Zaaron mengeluarkan sayap atau sihirnya. Laki-laki itu sangat kuat. Bahkan dia sanggup menghancurkan sebuah kota dan membakarnya dengan sihir api hitam miliknya hanya dengan menjentikkan jarinya saja.

"Putri Zelina! Zaaron! Hentikan pertarungan kalian!"

Ayolah Zhenira ...

Mereka tidak akan mendengarmu.

Gadis cantik bermarga Evans itu menatap satu per satu teman-temannya yang masih menonton pertarungan sengit itu dengan berbagai tatapan. Ia bingung harus melakukan apa sekarang. Namun jika diperhatikan lagi, Elmo dan Raina tidak ada di sini.

"Apakah mereka berdua lagi nggak ada di istana? Terus gue harus ngelakuin apa?" Zhenira menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Satu usapan lembut pada bibirnya membuat Zhenira spontan mendongak.

"Jangan terlalu cemas, mereka bukan tandingan manusia biasa kayak kita."

Penuturan dan senyuman Zero berhasil membuatnya tenang. Zhenira mengangguk mengerti. Gadis itu kembali melihat jalannya pertarungan sengit antara Putri Zelina dan Zaaron yang entah akan berakhir seperti apa.

Zero benar, ia bukan tandingan keduanya. Kalau ia nekat memisahkan keduanya, pasti ia yang kena imbasnya. Jadi yang benar diam saja sudah. Nanti kalau lelah atau sudah ada salah satu yang terluka, pasti berhenti sendiri. Mereka sudah bukan anak kecil lagi, seharusnya sudah tahu kalau setiap masalah tidak harus diselesaikan dengan pertarungan ataupun perkelahian.

"Diem aja udah paling bener," celetuk Maxime.

"Lumayan ada hiburan," sahut Oscars.

"Kira-kira siapa yang menang, ya?" imbuh Kesya.

Zhenira menatap teman-temannya tak percaya. Mereka malah lebih parah darinya karena tidak ada niatan untuk memisahkan Zaaron dan Putri Zelina sama sekali!

"Sinting lo pada!"



Itu para sahabat kamu otaknya emang pada sengklek semua ya, Zhe (◎_◎;)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro