22 ߷ Warning for the Princess
•
•
•
"Jelaskan! Kenapa kau mengusirnya?!"
Zaaron berdecak. Kalimat itu sudah didengarnya berkali-kali dari bibir mungil Zhenira. Gadis itu masih bersikeras ingin mengetahui alasan dibalik sikapnya yang sempat mengusir Putri Zelina dari istana. Memang, ia jadi tak bisa mengusir Zelina karena adanya Zhenira. Putri bungsu dari Keluarga Merlion itu tengah beristirahat di kamar tamu istana sekarang. Sementara ia masih saja mendengarkan pertanyaan yang sama dari Zhenira sejak sepuluh menit yang lalu.
"Kenapa kau sangat ingin tahu?"
"Tentu saja karena tindakanmu itu salah!" pekik Zhenira. Napasnya mulai memburu karena Zaaron terus saja bermain teka-teki dengannya. Memang apa susahnya mengatakan alasan yang sebenarnya dibalik sikapnya pada Putri Zelina.
"Itukan urusanku, bukan urusanmu."
Sudut bibir Zhenira berkedut. Berbicara dengan Zaaron benar-benar membuang waktunya karena laki-laki itu tetap keukeuh tidak ingin mengatakan alasannya padanya. Laki-laki itu terus saja mengelak dari pertanyaannya.
"Ck, terserahlah. Aku mau kembali ke kamar saja kalau gitu." Baru saja ia hendak berdiri, tarikan Zaaron pada lengannya membuat Zhenira kembali terduduk dengan cepat. Manik kecoklatannya langsung menatap pada manik biru kristal di depannya. "Apa lagi?" tanya Zhenira dengan nada malas.
"Aku mengusirnya karena aku membencinya. Apakah itu sudah cukup memuaskan rasa penasaranmu?"
Zhenira terdiam. Ia tidak tahu harus berkomentar seperti apa ketika mendengar jawaban yang keluar dari mulut Zaaron barusan. Sesungguhnya ia masih penasaran, kenapa Zaaron bisa membenci Putri Zelina. Namun Zhenira tahu diri, ini bukanlah urusannya. Lagipula, ia tidak boleh terlalu ikut campur, bukan?
"Aku mengerti. Maaf kalau aku jadi membuatmu mengatakannya."
Senyuman tipis terukir di bibir sang raja. Tangannya terulur menyentuh pipi Zhenira dan mendongakkan kepala gadis itu agar menatapnya. "Kau tidak salah. Aku yang tidak mau mengatakannya, tapi akhirnya kukatakan juga, 'kan?"
Zhenira menghela napasnya. Ia menatap lekat-lekat manik sebiru kristal di depannya. "Aku tidak tau apapun tentangmu, tapi kuharap ... kau tidak seperti apa yang kupikirkan." Usai mengatakannya, Zhenira langsung berdiri dan meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi ke belakang. Ia tidak tahu bahwa Zaaron terpaku karena perkataannya.
Setelahnya, hanya suara geraman rendah yang terdengar di ruangan tersebut. Tampaknya sang raja sedang merasa bimbang pada dirinya sendiri. Karena sejujurnya, masih banyak rahasia yang belum terkuak. Masih banyak rahasia yang ia simpan rapat-rapat. Namun Zaaron sangat tahu, suatu saat semua rahasia itu akan terbongkar. Ia tinggal menunggu waktu itu tiba dengan sendirinya.
🌌🌌🌌
Tok! Tok! Tok!
"Putri Zelina, saya membawakan makan malam untuk Anda."
"Pergilah! Aku tidak ingin bertemu dengan siapapun! Bawa saja makanan itu kembali!"
Suara penolakan dari dalam kamar tersebut membuat Zhenira menghela napasnya. Ia menoleh ke arah pelayan yang setia berdiri di sampingnya sembari membawa senampan makanan yang masih hangat. "Biar aku saja yang memberikannya," ujar Zhenira.
"Tapi Nona-"
"Sudah, tidak apa-apa. Biar aku yang membujuknya, hm? Kau bisa kembali ke pekerjaanmu."
Dengan sedikit tidak enak, pelayan itupun menurut. Lalu memberikan nampan itu pada Zhenira, dan buru-buru meninggalkan tempat.
Setelah memastikan pelayan tadi sudah pergi, Zhenira kembali menatap pintu besar di depannya. Kemudian membuka pintu itu dengan sedikit tendangan dari kakinya. Ia tidak bisa menggunakan kedua tangannya karena ia membawa nampan berisi makanan di sana.
Kriett!
Suara yang ditimbulkan pintu tersebut membuat seseorang yang berada di dalamnya menoleh ke sumber suara. Netra semerah delima itu memicing kala melihat sosok gadis bergaun biru yang membelanya tadi siang datang berkunjung ke kamarnya. Namun kini, gaun dengan model yang sama, tapi dengan warna berbeda yang dipakai oleh gadis tersebut.
"Mau apa kau ke sini?"
Pertanyaan bernada tidak suka itu dapat Zhenira tangkap dari gadis bersurai putih yang masih terduduk di atas ranjang. Dengan tenang, Zhenira melangkah mendekat dan meletakkan nampan berisi makanan yang dibawanya ke meja kecil yang ada di sana. Kemudian kembali mengalihkan perhatian penuh pada Putri Zelina yang masih menunggu jawabannya.
"Aku ingin berbicara denganmu, sekaligus mengantarkan makan malam. Kau belum makan, 'kan?"
Keterdiaman Putri Zelina membuat Zhenira mengerutkan keningnya. Ia baru sadar kalau gadis di depannya ini memiliki kulit yang sangat pucat. Berbeda sekali dengannya yang kuning langsat. Rambut Putri Zelina juga berwarna putih, serasi dengan gaun hitam yang saat ini dikenakan olehnya. Lalu manik semerah delima itu juga tampak sangat cantik.
Aaa, jadi insecure gue.
Jika dibandingkan dengan dirinya, rasanya level kecantikan Putri Zelina lebih tinggi darinya. Wajah dan perawakan Putri Zelina itu sangat mirip dengan aktris-aktris Drachin yang sering ditontonnya.
"Sebenarnya apa hubunganmu dengan Zaaron?"
Zhenira terkesiap, ia menatap Putri Zelina dengan pandangan bertanya. Ia sungguh tak mengerti sekarang. "Maksudmu?"
"Kenapa tatapan Zaaron berbeda padamu?"
Oke, sepertinya Putri Zelina mulai melantur. Buru-buru Zhenira mendekat dan memegang kedua bahu gadis yang masih terduduk di atas ranjangnya itu. "Dengar, aku tidak tau apa yang kau katakan. Tapi yang jelas, aku tidak ada hubungan apapun dengan Zaaron." Usai mengatakan itu, Zhenira langsung menurunkan tangannya dari bahu Putri Zelina dan melangkah mundur. "Silakan dinikmati makanannya, Putri. Kau tampak tak sehat. Jadi mungkin, kita berbicara lain kali saja."
"Tunggu!"
Putri Zelina mencekal pergelangan tangan Zhenira yang hampir beranjak pergi. Lalu sedikit menekannya hingga kuku-kuku panjangnya menggores kulit tangan Zhenira. Gadis bermarga Evans itu langsung meringis kesakitan. "Aku tidak percaya padamu. Pasti kau memiliki hubungan khusus dengan Zaaron, 'kan?"
Zhenira menatap tak percaya pada gadis bersurai putih di depannya. Ia benar-benar tak menyangka Putri Zelina berpikir kalau ia berbohong. Padahal ia sudah mengatakan kebenarannya. Ia tidak ada hubungan apapun dengan Raja Silvanna itu.
"Lepaskan tangan saya, Putri Zelina." Ya, Zhenira masih berusaha bersabar sekarang. Karena yang ia hadapi saat ini adalah emosi yang bernama kebencian. Jika ia ikut terbawa emosi, bisa-bisa akan terjadi pertikaian di kamar ini.
"Aku tidak akan melepaskanmu sampai kau mengaku!"
"Saya sudah bicara yang sebenarnya. Saya tidak ada hubungan apapun dengan Yang Mulia Zaaron."
"BOHONG!"
Zhenira kembali meringis kala kuku-kuku itu menancap semakin dalam di tangannya. Ia tidak tahu Putri Zelina itu sosok makhluk seperti apa. Namun jika sampai bisa memanjangkan kuku seperti ini, bisa jadi dia adalah seorang siluman.
Ah, sepertinya ia benar.
Karena saat ini, ia bisa melihat beberapa kumis yang tumbuh memanjang di sekitar pipi sang putri. Disusul dengan ekor putih yang keluar dari area belakangnya. Zhenira terpaku kala netra semerah delima itu menatapnya dengan begitu bengis.
Gawat! Gue harus gimana?!
Zhenira sebenarnya panik, tapi ia berusaha tetap menjaga ekspresi tenangnya. Berpikir keras dan berusaha mencari celah agar bisa melepaskan diri dari cengkraman tangan yang mulai menyakitinya itu. Karena sekarang, darah segar mulai menetes dari pergelangan tangannya.
Zhenira mengigit bibir bawahnya kuat-kuat, napasnya mulai memburu karena rasa sakit pada pergelangan tangannya. Ia takut kuku-kuku Putri Zelina akan mengenai urat nadinya. Bisa-bisa ia meninggal di tempat!
"Putri, saya tidak berbohong. Saya-"
Prang!
Perkataan Zhenira langsung terhenti saat kaca jendela di kamar itu tiba-tiba pecah. Sebuah bayangan hitam langsung masuk dengan cepat dan melepaskan cengkraman di tangannya dengan kuat. "Akh!" Sakit yang luar biasa Zhenira rasakan saat ini. Darah segar mengucur semakin deras karena lengan yang ditarik paksa tadi berhasil memperparah luka akibat cengkraman Putri Zelina sebelumnya.
Zhenira mendongak dan langsung dihadapkan pada punggung kokoh seseorang yang tengah melindunginya. Aroma musk langsung menyapa indra penciumannya.
Ah, Zaaron ya ...
Entah kenapa Zhenira jadi merasa senang saat ini. Kali pertama ia merasa begitu beruntung kala Zaaron muncul di hadapannya. Bukan rasa kesal dan jengkel yang biasa ia rasakan pada laki-laki itu sebelumnya.
"Kau sungguh menguji kesabaranku, Zelina."
Deg!
Zhenira dapat menangkap ekspresi panik dan ketakutan Putri Zelina dari balik punggung Zaaron. Ia akui, aura dominan Zaaron benar-benar bisa mengintimidasi lawan bicaranya. Bahkan ia pun langsung merinding kala kalimat penuh penekanan itu keluar dari bibir laki-laki tersebut.
"A-aku hanya memberi peringatan padanya, Zaaron! Dia sudah lancang masuk kamarku tanpa izin!"
Pembelaan Putri Zelina yang sangat melenceng dari kejadian sebenarnya itu membuat Zhenira terkejut. Ia menatap gadis yang sudah hampir mengubah wujudnya menjadi siluman itu dengan tatapan sendu. "Dia bohong," lirih Zhenira.
"Aku tau."
Zhenira langsung mendongak ke arah Zaaron dan mendapati laki-laki itu tengah menatapnya dengan lekat. "Pergilah ke Raina dan minta dia membawamu ke tabib istana," titah Zaaron setelahnya.
"Tapi-"
"Ini perintah, Zhenira."
Jika Zaaron sudah menekan kata-katanya seperti itu, Zhenira sudah tidak bisa melawan lagi. Dengan sedikit tergesa, gadis bergaun hijau tosca itu langsung berlari ke arah pintu kamar dan segera keluar dari sana. Tentunya dengan perasaan khawatir dan tidak tenang, memikirkan apa yang akan terjadi dengan Putri Zelina di dalam sana.
Namun ia yakin, Zaaron tidak akan melebihi batas.
🌌🌌🌌
"Apa yang kukatakan padamu tadi siang soal menjaga sikap?" Tatapan dingin dari manik sebiru kristal itu menghunus tajam pada netra semerah delima di depannya. "Zhenira sudah bersikap baik padamu, tapi kau malah menyakitinya."
"A-aku hanya-"
"Hanya apa?"
"Aku hanya tidak suka melihat sikapmu padanya!"
Seringai remeh terbit di bibir sang raja. Zaaron melangkah perlahan ke arah Putri Zelina. Jubah hitamnya sedikit berkibar karena angin malam berhembus lewat jendela besar yang telah ia pecahkan kacanya.
"Memang kenapa dengan sikapku padanya? Kau tidak terima karena aku membencimu dan tidak membencinya?"
Zelina mengerutkan keningnya. Sedikit tidak mengerti dengan maksud perkataan Zaaron.
"Yang barusan kau lukai pergelangan tangannya dengan kuku-kuku kotormu itu adalah Zhenira Silvanna Evans. Putri dari Keluarga Evans yang sangat aku cintai sejak dulu."
Deg!
Tatapan tak percaya Zelina layangkan pada manik sebiru kristal di depannya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Zaaron mengatakan hal itu dengan sangat lugas, tanpa memikirkan perasaannya. Lalu fakta tentang gadis yang sedari tadi mengganggu pikirannya karena keberadaannya itu lebih membuat ia terkejut.
Zhenira Silvanna Evans.
Putri dari Keluarga Evans yang juga ikut diasingkan bertahun-tahun yang lalu bersama dengan ketiga pangeran lainnya. Termasuk sang kakak, Zelino Silvanna Merlion.
"A-apa?"
"Percaya tidak percaya, tapi itulah kebenarannya. Jadi aku harap, kau bisa menjaga sikapmu setelah ini, Putri Zelina. Atau aku akan benar-benar mengusirmu dari sini."
Kalimat penuh ancaman yang keluar dari bibir Zaaron berhasil membungkam Zelina dengan telak. Bahkan gadis itu tidak sadar jika Zaaron sudah berlalu pergi dari kamarnya sejak beberapa saat yang lalu.
🌌🌌🌌
"Aduh! Pelan-pelan dong!"
"Tahan sebentar, Nona. Ini tidak akan lama, saya berjanji."
"Iya tau cuma sebentar, tapi jangan ditekan kayak gitu dong!"
Percakapan itu dilakukan oleh seorang tabib dan pasiennya, yang tidak lain adalah Zhenira. Di samping keduanya ada Raina yang tengah berdiri dengan ekspresi datarnya seperti biasa. Gadis itu tampaknya santai-santai saja sedari tadi. Justru Zhenira yang heboh sendiri karena proses pengobatan pada luka di pergelangan tangannya saat ini.
"Kalau tidak ditekan, sihir penyembuh saya tidak akan masuk ke dalam lukanya, Nona."
"Apa kau bilang?! Katanya penyihir, tapi nyembuhin luka kayak gini aja harus ada aturannya," cibir Zhenira. Gadis itu sepertinya sangat tak sabar karena proses penyembuhan yang berjalan lama menurutnya.
"Nona Zhenira, bisakah Anda diam? Suara Anda membuat telinga saya bergetar."
Zhenira mendelik pada Raina yang barusan bersuara. Ia merasa tersinggung karena perkataan Raina yang membawa-bawa suara indahnya. "Kau harusnya bersyukur karena suaraku dapat menggetarkan telingamu itu, Raina!" pekiknya.
"Baiklah, saya bersyukur kalau begitu."
Sang tabib hanya menggeleng-gelengkan kepalanya kala melihat interaksi antara kedua gadis di depannya. Pemandangan ini mengingatkannya pada kedua anak gadisnya di rumah. Kedua anak gadisnya itu juga suka memperdebatkan masalah sepele seperti Raina dan Nona Zhenira saat ini.
"Tenanglah, Nona. Jika tidak, penyembuhan lukanya akan semakin lama loh."
"APA?!"
"YA PERCEPAT DONG!"
•
•
•
Zhenira benar-benar menguji kesabaran ya, gaes (҂⌣̀_⌣́)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro