21 ߷ The Eight Adventurer
•
•
•
"Terima kasih karena sudah mengizinkan kami tinggal dan bekerja sementara di sini, Madam."
Zero dan kawan-kawan tengah berpamitan pada pemilik penginapan saat ini. Sudah sekitar empat hari mereka menetap di sana, mencari informasi tentang Oscars dan Zhenira tanpa henti di tengah-tengah kesibukan mereka bekerja sebagai pelayan di penginapan tersebut.
Tentu tidak mudah, mengingat mereka yang harus bersandiwara untuk menutupi identitas mereka yang berasal dari dunia lain. Akan sangat bahaya jika ada orang lain yang tahu tentang fakta ini.
Lagipula tujuan utama mereka memang menemukan Oscars dan Zhenira, lalu kembali ke dunia mereka tanpa menimbulkan kecurigaan di dunia ini.
"Sama-sama. Terima kasih juga karena sudah membantu Madam di sini. Kalian anak-anak yang baik, semoga apa yang kalian cari segera ditemukan ya!"
Kesya yang memang mudah sekali terharu langsung menangis dan memeluk sosok wanita paruh baya pemilik penginapan itu dengan erat. Begitupun dengan Linda yang entah kenapa jadi ikut terharu juga.
"Kami tidak akan pernah melupakan kebaikan Madam."
Puk! Puk! Puk!
"Sudah-sudah. Jangan menangis lagi."
Bukannya berhenti, tangisan Kesya malah semakin keras. Membuat para anak cowok yang melihatnya sampai menepuk jidat. Tak terkecuali Linda yang dengan cepat mencubit pinggang sahabatnya itu.
"Aduh!"
"Malu udah gede," desis Linda sembari mendelik tajam pada Kesya. Sementara yang ditegur hanya mengerucutkan bibirnya lantaran merasa sebal.
Setelah berhasil menenangkan Kesya, mereka pun kembali berpamitan dengan benar. Satu per satu menyalami sang madam secara bergantian. Mereka memang hanya berpamitan pada madam, karena suami dari sang pemilik penginapan itu tengah menghadiri rapat antara para pebisnis di luar kota. Mereka sendiri sudah menitipkan salam pada pria paruh baya tersebut.
"Dadah, Madam! Kami pergi dulu, ya!" pekik Kesya sembari melambaikan tangannya dengan semangat. Hal itu langsung diikuti oleh Linda dan para anak cowok. Mereka memberikan senyuman terbaik mereka sebagai tanda perpisahan pada sang madam.
Setelahnya, para anak remaja yang sudah beranjak dewasa itu pergi menyusuri jalanan kota menuju ke hutan. Untuk menuju ke istana utama, mereka memang harus melewati hutan yang tidak terlalu rimbun di sana. Mungkin jaraknya hanya sekitar 5 km dari perbatasan kota tempat mereka singgah empat hari terakhir. Lalu, mereka juga harus melewati jalanan berbatu yang tanahnya tidak rata. Mungkin kalau ada kendaraan, akan lebih cepat sampai. Namun sayangnya, mereka hanya sebatang kara di dunia antah berantah ini.
"Seriusan, nih? Kita harus lewat sana?" tanya Maxime. Pemuda itu memandang ngeri rimbunan pohon besar di depannya. Kata para penduduk kalau ingin pergi ke istana utama, mereka memang harus melewati hutan terlebih dulu.
"Iya, kenapa emang? Jangan bilang kalo lo takut," celetuk Kevin sembari menaik turunkan alisnya menggoda Maxime yang langsung membuat pemuda itu bergidik ngeri.
Marcell yang melihat perdebatan kedua sahabatnya itu hanya merotasikan bola matanya. "Jangan lebay, orang ini masih sore juga." Memang benar, sekarang masih sekitar pukul empat sore. Lagipula, mereka juga membawa peralatan berkemah jika memang diperlukan nanti. Madam yang memberikan mereka semua perlengkapan itu, berikut juga beberapa bahan makanan yang bisa mereka masak sembari menyalakan api unggun.
"Tau nih, Maxime. Masa cowok takut gelap," cibir Kesya tak tanggung-tanggung. "Gue dong, berani dan tidak takut gelap."
Maxime berdecih. Ia tidak terima jika dirinya dibanding-bandingkan seperti itu. "Setiap orang 'kan, punya ketakutannya sendiri. Jadi nggak usah sama-samain gue sama lo!"
"Iya, Key. Lo jangan ledek Maxime kayak gitu, dong!" celetuk Linda jadi ikut-ikutan.
Maxime langsung menatap Linda dengan haru, dan beralih menatap Kesya dengan dagu yang sudah terangkat sombong. "Tuh! Dengerin si Mama Linda ngomong!"
Marcell makin speechless.
"Udah nggak usah debat mulu, nggak nyampe-nyampe ntar kita. Ayo lanjut jalan," ujar Trax menengahi. Ketua D'Most Saga itu sudah lelah mendengar perdebatan para sahabatnya. Jika dibiarkan, bisa-bisa mereka akan menghabiskan waktu dengan berdebat hal yang tidak penting.
"Gue setuju sama Trax," sahut Shadow. "Sebelum itu, coba pastiin dulu apakah benar lewat sini. Takutnya malah kita salah jalan, 'kan nggak lucu."
Zero menganggukkan kepalanya, menyetujui saran Shadow. Pemuda itu langsung saja membuka peta Negeri Silvanna yang sedari tadi terletak di saku celananya. Dibukanya peta itu lebar-lebar dan diletakkannya di tengah-tengah.
Marcell merangsek maju dan menunjuk ke satu arah. "Kita ada di sini, 'kan? Perbatasan kota di wilayah Barat."
Zero mengangguk setuju. "Iya, dan kalau menurut peta ini ... jalan kita sudah benar. Hanya tinggal melalui hutan ini dan melewati jalanan berbatu yang cukup panjang, kita akan langsung memasuki daerah istana utama."
"Kalau begitu, kemungkinan kita akan bermalam di dalam hutan, 'kan?" tanya Trax.
"Benar. Makanya untuk itu, kita akan bagi tugas sekarang."
🌌🌌🌌
"Yaelah, kenapa harus gue yang kebagian nyari air, sih?!" gerutu Kesya. "Mana cuma berdua sama lo lagi!" tunjuknya pada Kevin. Bagaimana ia tidak sebal kalau ia malah dipasangkan dengan Kevin Aditama. Pemuda yang sangat ingin dihindarinya.
Mendengar kalimat gerutuan Kesya membuat Kevin mendengkus. "Kenapa sih, lo? Segitu nggak sukanya sama gue?"
"Gue cuma nggak mau terjerat dalam pesona playboy cap buaya kayak lo!"
Kevin tertawa keras. "Jadi lo mengakui dong, kalo udah terjerat dalam pesona gue?" tanyanya.
Kesya terdiam. Masih memproses kalimat tanya Kevin yang cukup membuat otaknya berpikir keras. Setelah beberapa detik terlewati dengan dahi berkerut, Kesya akhirnya sadar dengan perkataannya tadi. Tanpa dikomando, rona merah pun menjalar di pipi tirusnya dengan cepat.
"Cieee, yang salting."
"Apa, sih?! Gue nggak salting, ya!"
Kevin semakin tertawa melihat ekspresi marah sekaligus malu-malu yang ditunjukkan Kesya. Entah kenapa ia semakin suka menggoda gadis bar-bar itu. Apalagi jika pipinya sampai memerah seperti sekarang ini.
Sangat menggemaskan!
🌌🌌🌌
"ZERO!"
"Apaan sih, anjir?! Ngagetin aja!"
"Ya lo daritadi dipanggilin nggak nyaut-nyaut. Lagi mikir apaan, sih?"
Zero menatap Trax sekilas. Pandangannya ia arahkan ke langit-langit yang mulai menggelap. Seulas senyum kecil terukir di bibir tipisnya kala melihat campuran warna biru, orange, dan putih di atas sana. "Gue cuma kepikiran soal Zhenira," jelasnya.
Trax menghela napasnya. Ketua D'Most Saga itu juga mencemaskan sahabat perempuannya. Apalagi Oscars, ia juga mencemaskan membernya yang emosian itu. "Percaya sama gue, mereka berdua pasti baik-baik aja. Lagian mereka 'kan, ada di istana utama. Zhenira juga adalah Putri Silvanna, pasti dia sangat dihormati di istana itu."
Yang dikatakan Trax memang ada benarnya juga. Sepertinya, ia jadi cemas berlebihan. Zhenira pasti baik-baik saja, ada Oscars bersamanya. Sahabat laki-lakinya itu tidak akan membiarkan Zhenira dalam bahaya.
"Perkataan lo bener, sih."
"Emang bener gue. Udah ah, yok lanjut nyari kayu bakar. Keburu malem nih, ntar kaga bisa balik kita. Gue kaga bawa senter soalnya."
Zero mengangguk mengerti. Ia dan Trax pun melanjutkan perjalanan mencari kayu bakar untuk membuat api unggun. Mengingat hari yang sudah hampir gelap, membuat Marcell memutuskan kalau mereka akan bermalam di hutan. Bermodalkan tiga tenda dan peralatan camping yang madam berikan, tentunya akan sangat membantu mereka malam ini.
🌌🌌🌌
"Tiga."
"Dua."
"Satu."
Srek! Srek!
Blarr!
Kedelapan remaja itu bersorak girang kala kayu yang mereka susun hingga menggunung berhasil terbakar. Karena sedari tadi, mereka sulit sekali membuat api dengan menggesekkan dua batu. Mengingat mereka tidak membawa korek ataupun pemantik api. Jadilah mereka memakai batu sebagai alternatif.
"Akhirnya bisa juga," desah lega Marcell sang pemantik api. Ketua OSIS di sekolah mereka itu sangat bisa diandalkan dalam hal seperti ini. Mengingat kebanyakan pengalamannya di outdoor dan alam bebas. Apalagi ketika ada Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa dan Pramuka. Berbeda dengan Zero sang ketua jurnalistik, ataupun Kevin sang ketua basket. Trax, Maxime, dan Shadow juga tidak bisa diandalkan, mengingat pegangan ketiga pemuda itu adalah alat musik dan microphone.
"Kita mau bakar apaan dulu, nih? Jagung atau ikan?" tanya Maxime dengan ekspresi wajah yang begitu bersemangat. Sepertinya drummer D'Most Saga itu sudah sangat lapar.
"Keduanya ajalah. Dibagi, siapa yang bakar ikan, siapa yang bakar jagung. Terus jangan lupa ada yang jaga apinya, biar nggak padam."
"Setuju!" seru Kesya sembari memberikan tosnya pada Kevin.
Kevin sampai terkejut karena tindakan tiba-tiba gadis itu. Keduanya saling bertatapan selama beberapa detik, sebelum deheman Shadow menghancurkan semuanya.
"Ekhem!"
Kedua sejoli itu langsung mengalihkan tatapannya ke sembarang arah. Asal tidak menatap pada satu sama lain dan teman-teman mereka yang mulai menggoda mereka berdua.
"Bakal ada couple baru nih kayaknya."
"Pajak jadiannya jangan lupa."
"Traktir seminggu penuh."
"BISA TEKOR GUE!"
Tawa keenam remaja selain Kesya dan Kevin itu pecah. Sangat puas rasanya setelah menggoda kedua sahabat mereka habis-habisan. Apalagi ekspresi malu-malu kucing keduanya sangat menggemaskan. Membuat mereka semakin gencar melancarkan godaan-godaan pada kedua sejoli berinisial K itu.
"Buruan confess biar nggak kecolongan."
"BERISIK!"
Tawa gembira terdengar di tengah hutan gelap tersebut. Kencangnya sapuan angin malam tak membuat mereka merasa kedinginan karena adanya api unggun dan kebersamaan yang terus terjaga.
Persahabatan mereka akan selalu terjaga.
Baik suka, maupun duka.
Itu adalah harapan mereka.
🌌🌌🌌
Keesokan paginya, suasana di sekitar perkemahan kedelapan remaja itu masih sangat sepi. Masing-masing dari mereka tidak ada yang berniat membuka mata. Hingga Lindayana Ayodya mulai terbangun dari tidurnya karena terganggu dengan sinar matahari yang menerobos melalui sela-sela tendanya. Kekasih dari Marcellino Bintara itu meregangkan badannya sejenak, lalu membangunkan Kesya yang masih tertidur di sampingnya.
"Key, bangun! Udah pagi nih," ucapnya sembari menggoyang-goyangkan bahu Kesya dengan sedikit kencang. Namun sayang, Kesya tak semudah itu dibangunkan. Dengan perasaan yang mulai jengkel, Linda berteriak di samping telinga Kesya dengan kencang. "KESYAAA BANGUUUNN!"
Srek!
Jdak!
"Aw! Kening mulus gue!"
Linda tertawa karena Kesya terbentur senter yang sengaja digantungkannya di tengah-tengah tenda. Senter itu sebagai penerangan di dalam tenda tadi malam.
"Rasain, tuh! Lagian dibangunin susah amat," ledek Linda. Tak tanggung-tanggung, ia juga mencipratkan beberapa tetes air minumnya pada wajah Kesya yang masih setengah sadar.
"Linda jahil banget, ihh! Nggak suka, gelay!"
"Dih! Lo tuh yang gelay! Udah, bangun! Jangan tidur lagi!" pekik Linda setelah melihat Kesya hendak merebahkan tubuhnya lagi.
Dengan decakan kesal dan rasa malas yang masih mendominasi, Kesya pun menurut dan mulai merangkak keluar tenda. Sinar matahari pagi langsung menerobos kornea matanya. Kesya sampai harus menyipitkan matanya karena sinar matahari yang begitu terang.
"Jam berapa ya sekarang?" gumamnya.
"Entahlah. Mungkin sekitar jam tujuh," celetuk Linda yang sudah berdiri di samping Kesya.
Kedua gadis itu menatap kedua tenda di depan mereka yang masih tertutup rapat. Sepertinya para anak cowok juga belum terbangun. Akhirnya, mereka berdua pun sepakat untuk membangunkan para sahabat laki-laki mereka itu bersama-sama.
Kesya membangunkan Marcell, Kevin, dan Zero di tenda sebelah kiri. Sementara Linda membangunkan Trax, Maxime, dan Shadow di tenda sebelah kanan.
Membutuhkan perjuangan bagi kedua gadis itu untuk membangunkan para laki-laki yang tidurnya seperti orang mati. Mereka benar-benar sangat susah dibangunkan. Bahkan Linda juga mengakui, kalau Kesya lebih mudah dibangunkan daripada mereka para anak cowok.
"BANGUN WOY! UDAH PAGI NIH!" teriak Kesya.
"Nggak bangun juga kita tinggal loh," sahut Linda dengan polosnya.
Kesya menepuk dahinya saat para sahabat laki-lakinya masih tak bergeming juga dari tempatnya. Linda dan Kesya saling pandang. Seringai licik terbit di bibir keduanya.
Byurr!
"Eh, banjir-banjir!"
"Woylah!"
"Ck, lo berdua apaan sih?"
"Wahh, basah."
Kesya dan Linda tertawa senang. Rencana mereka berdua berhasil juga akhirnya. Ternyata harus disiram dulu biar pada bangun.
"Makanya, kalo tidur itu jangan kayak orang mati!"
"Tau lo pada, susah amat dibanguninnya."
Kedua gadis itu kembali tertawa bersama dan bertos ria setelahnya. Mengabaikan gerutuan para anak cowok yang kesal karena disiram air. Pakaian dan tenda mereka jadi basah semua karena ulah kedua gadis itu.
Benar-benar menjengkelkan!
•
•
•
Awokawok :v
Makanya kalo dibangunin itu langsung bangun. Jangan nunggu diguyur dulu baru bangun ( ^∇^)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro