19 ߷ Meet and Go
•
•
•
"Ibu, kapan kita akan berangkat ke istana utama?"
Pertanyaan seorang gadis yang tidak lain dan tidak bukan adalah putrinya, membuat seorang wanita paruh baya yang tengah berdiri di depan cermin menghela napasnya.
"Sabar, Zelina. Ayahmu sedang ke kota sebelah untuk keperluan politiknya. Kita tunggu Ayah pulang dulu, baru kita berangkat ke istana utama bersama-sama."
Decakan kesal terdengar dari bibir sang putri. Kakinya yang jenjang dihentak-hentakkannya di lantai kayu tersebut. "Ini sudah hari kedua sejak Ayah pergi, Ibu! Aku tidak bisa menunggu selama itu!"
"Lalu kamu inginnya bagaimana?"
"Aku akan berangkat sekarang!"
Netra wanita paruh baya itu terbelalak begitu mendengar kalimat yang dilontarkan oleh putrinya. Dengan cepat, ibu dari Zelina Silvanna Merlion itu memegang kedua bahu putrinya dan menekannya dengan kuat. "Zaaron bisa membunuhmu kalau kamu nekat datang ke sana sendirian, Zelina." Kalimat peringatan yang syarat akan kekhawatiran itu keluar dari bibir sang ibu.
Namun senyuman di bibir Zelina membuat wanita paruh baya tersebut jadi terheran-heran. "Ayolah Ibu, Zaaron sangat menyayangiku kalau Ibu lupa. Dia tidak akan melakukan hal yang jahat padaku," ujarnya penuh percaya diri.
"Itu 'kan sebelum Merlion dan Dawson bersekutu untuk menjatuhkan kekuasaan Valdo!" pekik sang ibu.
Ya, Zelina tahu ibunya begitu mengkhawatirkannya saat ini. Namun ia juga tahu seperti apa sikap Zaaronico Silvanna Valdo padanya. Zaaron itu ... sangat lembut dan pengertian. Bahkan dulu ia sangat akrab dengan anak tunggal dari Keluarga Valdo itu. Sayangnya ia jadi berpisah dengan Zaaron karena harus menempuh pendidikan di Stealth Academy, dan sekarang ... ia ingin kembali membangun sebuah hubungan dengan Raja Silvanna itu. Tentunya, hubungan yang lebih dekat. Bukan hubungan sebagai sesama keturunan Keluarga Silvanna saja.
Ia ingin lebih daripada itu.
"Aku akan tetap berangkat, Ibu. Kalau Ayah sudah datang dari kota sebelah, kalian bisa langsung menyusulku kok." Zelina memang keras kepala, dan gadis itupun sadar akan hal tersebut. Namun ia benar-benar tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk bertemu Zaaron. Rasa rindunya kepada pria itu sangat menggebu-gebu sekarang. Tidak ada yang bisa menghalanginya untuk bertemu sang pujaan hati.
"Baiklah kalau itu sudah keputusanmu. Ibu akan mempersiapkan keperluan yang kamu butuhkan, Zelina."
Senyuman Zelina mengembang seketika.
Gadis itu sepertinya sudah sangat tidak sabar untuk bertemu dengan sang raja.
🌌🌌🌌
Tap tap tap
Suara sepatu yang bergesekan dengan lantai terdengar. Membuat Zero yang tengah membersihkan kaca pintu utama di lantai bawah menolehkan kepalanya. Netra sekelam malam dan merah delima itu bersirobok.
Sang pemilik manik berwarna merah delima, yang tidak lain adalah Zelina itu terpaku ketika melihat sosok yang mungkin dikenalinya berdiri di depannya dengan pakaian sederhana khas seorang pelayan. Wajah tampan pemuda itu sangat tidak asing baginya.
"Ah, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Zelina.
Zero mengernyit, pemuda itu terlihat bingung sekarang. "Entahlah, tapi saya rasa tidak. Saya tidak ingat pernah bertemu Anda sebelumnya," jawabnya sesopan mungkin.
Pemuda bermarga Dawson itu mencoba menelisik penampilan gadis di depannya. Gaun putih panjang yang menjuntai sampai lantai, sebuah kalung emas berbentuk hati melingkari leher jenjangnya. Rambut panjangnya yang juga berwarna putih membuat Zero kian bertanya-tanya, apakah gadis itu mengecatnya atau memang itu warna asli dari rambutnya.
"Siapa namamu?"
Pertanyaan dari gadis itu membuat Zero langsung tersadar dari lamunannya. Ia menatap uluran tangan di depannya yang menunggu untuk disambut olehnya. Dengan ragu, Zero menyambut uluran tangan itu dan memperkenalkan dirinya.
"Farzero Alando Dawson."
Zelina membulatkan matanya. "Dawson?!" pekiknya seolah tak percaya.
Zero semakin dibuat heran dengan sikap yang ditunjukkan oleh gadis di depannya saat ini. Tatapan orang yang seperti baru saja melihat hantu. Ya, tatapan itulah yang Zero dapat dari gadis di depannya.
"Iya, Dawson margaku. Kenapa memangnya?"
Zelina mengibas-ngibaskan tangannya dan tertawa canggung setelahnya. "Ahahaha, tidak kok! Salam kenal, aku Zelina. Kalau begitu, aku pergi dulu ya! Semangat kerjanya!" Buru-buru ia melangkah pergi menjauhi pintu penginapan di mana Zero masih memerhatikannya dengan tatapan penuh keheranan.
Sekarang ia ingat.
Kalau pemuda yang baru saja diajaknya berkenalan itu adalah salah satu pangeran dari Keluarga Dawson. Ia ingat siapa itu Farzero. Dia adalah sahabat kakaknya dulu, Zelino. Zero dan Zelino adalah sahabat baik, tapi Zero tidak pernah mengikuti jejak negatif kakaknya. Jika kakaknya turut serta dalam kudeta waktu itu, justru Zero adalah orang yang paling menentang keputusan kakaknya tersebut.
Zelina ingat perkataan kakaknya, kalau persahabatannya dan Zero sudah berakhir sejak pemuda itu tidak mendukung keputusannya untuk ikut serta dalam kudeta. Padahal mereka adalah sahabat baik dulunya, tapi semua itu berakhir akibat keegoisan dan perbedaan pendapat yang sangat kental.
Meskipun Zero tidak ikut andil dalam kudeta tersebut, tapi nama keluarganya sudah dicap buruk oleh Keluarga Valdo karena para tetua di keluarganya justru ikut serta dalam andilnya kudeta yang memang bertujuan untuk menjatuhkan kekuasaan Keluarga Valdo di masa itu.
Zelina jadi merasa prihatin karena pemuda itu harus merasakan pengasingan sama seperti putri dan pangeran dari ketiga Keluarga Silvanna, kecuali dirinya. Kakaknya pun sampai sekarang belum ditemukan keberadaannya.
Namun jika Farzero dari Keluarga Dawson saja ada di sini ... apa mungkin kalau sang kakak juga demikian? Mengingat hal apapun bisa saja terjadi di dunia ini. Termasuk portal yang menghubungkan kedua dunia juga bisa saja sudah terbuka, bukan?
"Entah aku harus bagaimana sekarang, tapi yang pasti ... aku harus bertemu dengan Zaaron terlebih dahulu~"
Zelina tersenyum senang dengan kedua pipi yang sudah memerah. Membayangkan dirinya dan Zaaron akhirnya bisa bertemu setelah sekian tahun lamanya, rasanya sangat menyenangkan.
"Huaa, aku sudah tidak sabar bertemu dengannya!" pekik gadis bergaun putih tersebut.
Akhirnya, putri dari Keluarga Merlion itu melanjutkan perjalanannya menuju istana utama dengan merubah wujudnya menjadi seekor siluman rubah putih bertubuh kecil. Melompat dan berlari ke sana kemari dengan riangnya. Menapaki satu per satu jalanan berbatu di depannya dengan lincah.
🌌🌌🌌
"DORR!"
"Eh, ayam ayam!"
"IHH! OSCARS!"
Zhenira memukul lengan sepupunya itu dengan keras. Tak ketinggalan cubitan kecil yang menyertainya. Sementara sang empunya hanya mengaduh sakit, tapi masih bisa tertawa karena berhasil mengerjai Zhenira.
"Maaf elah, gitu doang kaget."
Zhenira mendelik. "Gitu doang matamu!"
"Sstt!" Oscars menyumpal mulut Zhenira yang hendak mengomel dengan sebuah jajanan. Setelah itu menarik sepupunya tersebut agar mengikutinya.
Sementara Zhenira langsung mengunyah makanan yang ada di mulutnya dengan cepat dan menelannya. Gadis itu cemberut dengan wajah ditekuk, tapi langkah kakinya tetap mengikuti sepupunya.
Ternyata Oscars membawanya ke halaman depan istana, dekat dengan gerbang utama yang berdiri kokoh di depan mereka. Di sana ada beberapa prajurit, ada Raina dan Elmo juga. Zhenira menolehkan kepalanya ke arah Oscars yang justru menyeringai.
"Gue tau lo bosen, jadi gue mau ajak lo keluar. Tenang aja, gue udah bilang sama tuh raja jadi-jadian. Dia bolehin kita keluar asal dikawal sama tuh dua orang," ujarnya sembari menunjuk Elmo dan Raina yang tengah berbincang dengan dua prajurit di dekat gerbang.
"Wah, sejak kapan lo jadi sepeka ini?" tanya Zhenira sembari menaik turunkan alisnya menggoda. Akan tetapi itu tidak mempan pada Oscars. Pemuda itu malah mendengkus dan mengatainya alay.
Sepupu laknat emang!
"Udah, nggak usah kebanyakan mikir lo. Mending kita langsung berangkat aja," ajak Oscars yang kembali menarik tangan Zhenira menuju ke tempat Elmo dan Raina. Zhenira sendiri sudah pasrah ketika tangannya ditarik ke sana kemari oleh sepupunya.
"Sudah siap?" tanya Elmo kepada dua saudara sepupu di depannya. Zhenira dan Oscars mengangguk serempak. Salah satu orang kepercayaan Zaaron itu memejamkan matanya dan bersiul. Oscars dan Zhenira saling pandang dengan heran. Hingga tak lama setelahnya, seekor burung elang raksasa turun di halaman istana.
Oscars menganga.
"Kita akan naik ini," jelas Raina yang semakin menambah keterkejutan Oscars.
Sementara Zhenira ...
Gadis itu tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagumnya kala melihat burung elang raksasa tersebut. Ia jadi teringat dengan mimpinya kala itu. Tidak heran, mengingat di Negeri Silvanna, hal seperti ini justru dianggap wajar. Kalau di dunianya, sudah pasti orang-orang akan panik dan berteriak heboh. Mungkin mereka akan memanggil aparat dan kepolisian agar mengamankan burung elang raksasa itu.
"Wahh, kita akan keliling dengan menaiki burung ini? Apakah tidak apa-apa?" tanya Zhenira.
"Tenang saja, Nona. Ini masih wajar kok. Justru Yang Mulia biasanya memanggil siluman naga untuk membawanya pergi jalan-jalan atau ke luar dari wilayah kerajaan. Padahal beliau sudah punya sayap dan bisa terbang sendiri."
Zhenira membuka mulutnya tanpa sadar saat mendengar jawaban Elmo yang terkesan sangat santai itu. Tidak tahu saja dia kalau dirinya sampai jantungan mendengarnya.
"Gila," beo Oscars sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Antara merasa takjub dan tak habis pikir. Orang-orang di sini memang sangat antimainstream. Jalan-jalan saja harus pakai siluman elang raksasa sebagai kendaraan.
"Ayo kita berangkat!" seru Zhenira yang sudah sangat antusias. Gadis itu langsung mendekat ke arah burung elang raksasa tersebut dan memeluk kakinya. Wajahnya ia telusupkan pada bulu-bulu putih sang elang.
Elang besar tersebut menggeram.
Zhenira yang merasa terkejut langsung memundurkan tubuhnya dan mendongak menatap ke arah mata sang elang. Ia bisa mengartikan tatapan elang tersebut yang sepertinya terganggu dengan tindakannya.
"Aduh, maaf ya elang cantik! Aku terlalu antusias, hehe."
Raina yang melihat itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara Oscars malah menahan tawanya yang hampir saja keluar dari mulutnya.
"Dia memang tidak terlalu suka jika bulu-bulunya diusak, Nona. Lebay memang," celetuk Elmo.
Cukup, Oscars sudah tak bisa menahannya lagi. "Bwahaha! Lawak banget, anjir!" Tawa dari anak tunggal Revalino Reyhan itu pecah seketika. Oscars terpingkal-pingkal sampai memukul-mukul bahu Elmo dengan watadosnya.
Sementara Zhenira masih saja cemberut karena tidak bisa memanjakan dirinya di antara bulu-bulu elang raksasa itu.
Setelahnya, mereka berempat pun menaiki sang burung elang raksasa untuk mengelilingi Negeri Silvanna.
🌌🌌🌌
Zhenira tak henti-hentinya berdecak kagum kala netranya menatap pemandangan indah di bawah sana. Negeri Silvanna benar-benar indah. Terlepas dari orang-orang aneh yang tinggal di dalamnya.
Di wilayah Timur adalah tempatnya para siluman tinggal. Wilayah itu dipimpin oleh Keluarga Merlion. Lalu di wilayah Barat adalah tempat tinggal para makhluk suci seperti Elf dan para penyihir. Wilayah itu dipimpin oleh Keluarga Evans. Kemudian wilayah Utara dipimpin oleh Keluarga Dawson, tempatnya para makhluk immortal tinggal. Seperti vampir, burung phoenix, serigala, dan naga.
Yang terakhir wilayah Selatan. Itu adalah wilayah kepemimpinan Keluarga Valdo, berikut juga wilayah pusat. Di sana adalah tempatnya para makhluk malam seperti iblis, goblin, dan orc.
"Seperti Yang Mulia Zaaron. Dia adalah seorang demon," ujar Elmo mengakhiri cerita panjangnya.
Zhenira menatap pemuda itu dengan ekspresi tak percayanya. "Zaaron itu iblis?" tanyanya.
"Benar, Nona. Beliau adalah salah satu bangsa demon yang sangat dihormati di sini."
Oscars berdecak kagum. Ia baru tahu kalau raja jadi-jadian itu adalah seorang iblis. "Pantesan aja sombongnya selangit."
Plak
Zhenira menepuk pipi Oscars dengan sedikit keras. Gadis itu mendelik tajam pada sepupunya. "Jangan ngomong begitu! Kayak lo nggak pernah sombong aja."
Oscars mengerucutkan bibirnya sembari memegang pipi kanannya yang masih terasa panas karena tepukan bertenaga Zhenira. Pemuda itu merasa terkhianati karena sepupunya itu malah lebih membela Zaaron daripada dirinya.
Seolah bisa membaca pikiran Oscars, Zhenira pun kembali berucap. "Gue nggak belain siapa-siapa ya! Cuma lo emang nggak boleh ngatain orang lain kayak gitu!"
Oscars pasrah.
"Iya-iya, gitu aja sewot."
"Belum aja burung lo gue kebiri."
Oscars mendelik.
Pemuda itu langsung mencari perlindungan di belakang Raina yang sedari tadi hanya menyimak perdebatan kedua saudara sepupu itu.
"Kalian berdua, tenanglah. Kita bisa jatuh kalau kalian terus bergerak-gerak dan bercanda seperti itu."
•
•
•
Omg, Raina ...
Kau memang terbaik!
(≧∇≦)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro