18 ߷ About Zaaron
•
•
•
Zhenira saat ini tengah berada di perpustakaan istana sendirian. Ia tengah mencari buku sejarah dan silsilah Keluarga Silvanna. Ia ingin tahu lebih banyak lagi tentang keluarga yang melibatkan dirinya itu. Karena sampai sekarang, ia masih belum percaya sepenuhnya dengan fakta baru yang ia dapatkan. Rasanya semua ini masih terasa asing baginya.
Ya secara ... ia sama sekali tidak ingat apa-apa tentang kerajaan ini. Semuanya, bahkan hubungannya dengan Zaaron sekalipun tak ia ingat.
Makanya ia berada di sini sekarang, perpustakaan istana.
Perpustakaan ini begitu besar, terdiri dari 4 lantai dengan tangga melingkar di tengah-tengah bangunan. Zhenira tadi harus berjalan jauh dari kamarnya ke gedung perpustakaan ini. Karena letaknya yang memang jauh dari istana utama tempat para petinggi kerajaan termasuk dirinya tinggal.
Membaca adalah salah satu hobinya sejak kecil. Buku apapun yang mengundang rasa penasarannya pasti dibacanya. Entah itu buku fiksi ataupun non-fiksi. Bahkan buku-buku tebal seperti ensiklopedia pun ia baca. Jadi tak mengherankan kalau ia jadi salah satu siswi terpintar di angkatannya.
Bahkan tahun kemarin ia berada di peringkat ketiga dari satu angkatan. Jangan ditanya, sudah jelas peringkat pertama dan keduanya adalah milik Marcell dan Zero. Sang ketua OSIS dan ketua Jurnalistik itu memang pintar. Zhenira bahkan mengakui kepintaran dari sahabat dan kekasihnya tersebut.
"Ah! Ketemu!"
Sorakan girang dari gadis bermarga Evans itu memecah keheningan di ruang penuh buku tersebut. Zhenira sedikit berjinjit untuk mengambil buku yang dicarinya di rak paling atas. Dirinya termasuk tinggi untuk ukuran anak perempuan seusianya, jadi mengambil buku tersebut tidaklah sulit baginya.
"Silsilah Keluarga Silvanna. Hm, keknya bener yang ini deh bukunya."
Gadis cantik yang memakai setelan gaun panjang berwarna biru laut itu langsung membawa buku yang cukup tebal tersebut ke arah kursi dan meja baca yang terletak di tengah-tengah ruangan. Tepatnya, di sekitar lingkaran tangga. Buku bersampul kulit berwarna cokelat itu tampak sudah berumur. Namun entah kenapa, kondisi bukunya masih sangat bagus. Sepertinya para pekerja di sini sangat tahu bagaimana merawat buku dengan baik. Ah, atau mungkin mereka menggunakan sihir untuk terus mempertahankan kualitas bukunya. Mengingat hal-hal ajaib yang lumrah terjadi di dunia ini.
Dibukanya halaman pertama, di sana tertulis prakata dari sang penulis buku. Isinya hanya sebatas ucapan terima kasih kepada seluruh keluarga dan para pembaca. Kemudian dibukanya halaman selanjutnya, di sana tertulis silsilah Keluarga Silvanna 500 tahun yang lalu. Tidak heran kenapa buku itu bisa setebal buku paket biologi, mengingat sudah lamanya Negeri Silvanna berdiri. Zhenira langsung saja membuka halaman akhir, di mana garis keturunan terakhir berada.
Gadis bermarga Evans itu reflek menutup mulutnya kala dirinya melihat namanya juga terpampang di sana. Bahkan nama Zero juga. Bedanya, nama Zero di sana adalah Farzero Silvanna Dawson. Bukan Farzero Alando Dawson seperti yang diketahuinya selama ini. Ia sekarang jadi paham dengan penjelasan Raina tempo hari. Di mana nama tengah Silvanna diubah oleh para orang tua dari masing-masing pihak keluarga sebelum anak mereka diasingkan, tapi tetap meninggalkan nama marga mereka sebagai tanda dan identitas.
"Jadi benar, ya? Gue itu salah satu dari anggota keluarga inti Silvanna?"
"Benar."
Zhenira langsung menoleh ke sumber suara. Seorang kakek─yang entah datang dari mana─mendekatinya. Penampilannya seperti anggota kerajaan, karena pakaian yang dipakainya. Lalu tanda di leher itu, sama seperti lambang di bendera Silvanna yang sering dilihatnya di sekitar istana. Kakek tersebut berdiri beberapa meter darinya.
"Kakek ... siapa ya?" tanya Zhenira pada akhirnya.
Senyuman didapatkannya sebagai balasan atas pertanyaannya. Kakek tersebut mendudukkan diri di kursi yang masih kosong di depannya. Zhenira sendiri mulai menyamankan dirinya, karena ia tahu kalau kakek itu ingin menyampaikan sesuatu padanya.
"Kamu Zhenira, 'kan?"
Netra kecoklatan Zhenira membulat seketika. "Kakek tau nama saya?!"
"Tentu saja. Kakek sangat mengenal setiap keturunan yang terlahir di Keluarga Silvanna. Termasuk kamu, Zhenira."
Ucapan kakek tersebut benar-benar berhasil membuat kening Zhenira berkerut-kerut heran.
"Perkenalkan, Kakek adalah keturunan pertama dari generasi pertama di Keluarga Silvanna. Kakek juga penulis buku yang baru saja kamu baca," jelasnya.
Zhenira terkejut.
"Buku itu sudah disegel bersama dengan jiwa Kakek di dalamnya selama berabad-abad. Siapapun orang yang membuka bukunya, maka ia akan bertemu dengan Kakek. Apapun yang ingin kamu ketahui, kamu bisa bertanya pada Kakek sekarang."
"Ohh, jadi begitu ya." Zhenira mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sebenarnya, saya mencari buku ini karena saya masih ragu dengan identitas saya, Kek. Secara ... selama ini saya hidup di dunia lain. Di mana, sihir dan makhluk-makhluk di dunia ini adalah mitos belaka di sana." Zhenira menghela napas berat setelahnya, kegelisahan tampak jelas di wajah cantiknya saat ini.
"Kakek mengerti soal itu. Bahkan Kakek juga tau kalau kamu berada di sini karena Zaaron." Kakek tersebut terdiam sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. "Anak itu ... mendapat didikan yang begitu keras dulu. Orang tuanya tidak pernah membiarkannya menganggur barang sedikitpun. Semua hal harus bisa dilakukannya. Tidak heran jika dia menjadi Raja yang hebat sekarang."
"Zaaronico, nama itu aku yang memberikannya." Senyuman tipis terbit di bibir sang kakek. Membuat Zhenira jadi ikut tersenyum melihatnya. "Kedua orang tua Zaaron sengaja membuka buku silsilah keluarga itu untuk bertemu denganku dulu, dan memintaku untuk menamai anak laki-laki mereka yang baru saja lahir."
"Dia adalah anak yang tangguh, Zhenira. Dia juga memiliki hati yang sangat lembut, terlepas dari sikapnya yang tegas dan menyebalkan. Dia jarang menunjukkan perasaannya pada sembarang orang. Hanya orang tertentu saja yang bisa dipercayainya untuk menumpahkan isi hatinya tanpa beban, dan kamu adalah salah satu orangnya."
"Saya?"
"Benar, kalian punya kisah yang sangat manis dulu. Yang pasti sebelum Zaaron melakukan kesalahan yang membuatmu pergi darinya."
"NAH! ITU DIA, KEK!" Zhenira menepuk tangannya dengan antusias. Bahkan gadis itu sampai berdiri dari duduknya. "Saya masih penasaran soal itu. Zaaron tidak menceritakan apapun. Terutama penyebab kenapa saya bisa membencinya," ujar Zhenira dengan netra yang sudah memicing lantaran merasa penasaran.
Kekehan terdengar dari bibir sang kakek setelahnya. "Kakek sebenarnya tau, tapi Kakek tak bisa memberitahumu. Biarkan Zaaron sendiri yang bercerita, tunggu saja sampai dia siap."
Zhenira yang semula antusias langsung murung dengan bibir yang sudah maju beberapa senti. "Dia tuh nyebelin banget, Kek! Sukanya main teka-teki. Kan saya nggak paham," sungut Zhenira.
"Hahaha, kamu ini ada-ada saja. Ya sudah, apa itu saja yang ingin kamu ketahui? Kakek tidak bisa berlama-lama, karena mantra segelnya akan segera memudar."
"Ah, jadi terbatas ya." Zhenira mengangguk mengerti. "Ya sudah, Kek. Untuk yang lain, saya akan cari tau sendiri. Terima kasih sudah mau menemani saya walau cuma sebentar, hehe." Zhenira memamerkan deretan gigi putihnya, dan langsung berdiri dari duduknya. Ia mendekati sang kakek. Membungkuk di depannya, meminta pemberkatan dan doa. Zhenira dapat merasakan usapan lembut di kepalanya, dan ketika ia membuka mata ... sosok kakek tersebut sudah tidak ada di depannya.
Lenyap begitu saja.
Hanya keheningan yang terjadi di perpustakaan istana itu sekarang. Zhenira pun buru-buru mengembalikan buku tersebut ke tempatnya. Ia baru menyadari kalau hari sudah siang, padahal ia ada janji dengan Raina untuk memasak bersama di dapur istana.
Maka dari itu langkah kakinya begitu terburu-buru sekarang.
🌌🌌🌌
Drap! Drap! Drap!
Suara langkah kaki yang tengah berlari terdengar begitu nyaring di sepanjang lorong. Mengabaikan tatapan dan teguran orang-orang sekitarnya, Zhenira terus saja berlari menuju taman istana. Ia mendapat informasi dari salah satu pelayan kalau Raina berada di sana sekarang.
Benar saja.
Ia melihat Raina tengah berlatih pedang di lapangan bersama beberapa perempuan tangguh lainnya. Zhenira menatap kagum pada gerakan gadis itu yang terlihat sangat mahir memainkan benda tajam tersebut. Segera saja ia berjalan mendekat dan meneriakkan nama Raina keras-keras.
"RAINAAA!"
Suara keras Zhenira berhasil membuat suasana hening seketika. Cengiran lebarnya ia tunjukkan sekaligus sebagai permintaan maaf karena telah mengganggu latihan berpedang mereka.
"Nona, apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Raina sesaat setelah tiba di depan Zhenira. Gadis yang memakai pakaian serba hitam dan perisai di perutnya itu tampak begitu keren di mata Zhenira sekarang.
"Kau bilang akan membantuku memasak di dapur istana hari ini," jawab Zhenira sekenanya.
Raina menepuk jidatnya pelan. "Astaga, saya sampai lupa. Kalau begitu, Nona ke dapur duluan saja. Saya harus berganti pakaian dan membersihkan diri terlebih dahulu."
"Hm, begitukah?"
Raina mengangguk.
"Baiklah, aku akan ke dapur dulu kalau begitu."
Setelahnya, Zhenira kembali melangkahkan kakinya ke dalam istana. Kali ini ia berjalan, tidak lari-larian seperti tadi. Karena kakinya sudah cukup pegal saat ini. Mengingat ia lari dari perpustakaan ke taman istana yang jaraknya sangat jauh. Kira-kira sekitar 3 km jauhnya.
Jadi tidak heran kalau dirinya sedikit kelelahan sekarang.
Kain yang menjuntai di sisi gaun biru yang dipakainya tampak terseret dan mengikuti irama langkah kakinya. Bahkan suara langkah kakinya yang beradu dengan lantai pun juga terdengar seirama. Senandung kecil terdengar setelahnya. Lagu-lagu western menjadi pilihan Zhenira jika dalam suasana hati yang ceria.
Seperti saat ini.
"So breathe, like you know you should."
"Yeah, breathe 'til you've understood."
"Until you're feeling like yourself again."
"Feel the sunlight on your skin."
"Keep your heartbeat beatin."
"Go on, go on, breathe in."
Lagu berjudul Breathe yang dipopulerkan oleh Mackenzie Ziegler itu mengalun lembut dari bibirnya. Sesekali kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri mengikuti lirik yang dinyanyikannya. Tak lupa hentakan kaki dan gerakan tangannya pun turut serta.
Zhenira terus bernyanyi riang sepanjang jalan menuju dapur istana hingga tak menyadari kalau sedari tadi Elmo mengawasinya dengan telapak tangan kanan yang menutupi mulut, menahan tawa lebih tepatnya.
"Astaga, tingkah Nona Zhenira ada-ada saja."
🌌🌌🌌
"Nona bertemu dengan keturunan dari generasi pertama Keluarga Silvanna?!" pekik Raina kala Zhenira selesai menceritakan perihal sosok kakek yang ditemuinya setelah membuka buku silsilah Keluarga Silvanna.
Zhenira mengangguk dengan antusias. "Iya! Beliau adalah keturunan dari generasi pertama Silvanna! Kalau generasi pertama ... berarti ikut jajaran pendirinya gitulah."
Raina berdecak kagum.
"Wahh, Nona sangat beruntung sekali bisa bertemu beliau. Bagaimana rupanya?" Raina benar-benar tidak bisa menyembunyikan perasaan antusiasnya saat ini. Secara para tetua generasi pertama di Negeri Silvanna adalah sosok orang yang hebat-hebat katanya.
"Rupanya? Ya seperti kakek-kakek pada umumnya," jawab Zhenira dengan watadosnya.
Raina mendesah kecewa. "Ah, Nona ..." Bibirnya langsung maju beberapa senti setelahnya. Zhenira tertawa kencang karena merasa lucu melihat ekspresi Raina yang seperti itu. Secara Raina yang biasanya tampil tanpa ekspresi dan tegas justru bertingkah seperti anak kecil saat ini.
"Hahaha, kau ini lucu sekali."
•
•
•
Halo! Kembali lagi bersama aku!
Author cantik paling nyentrik! (●♡∀♡) Semoga suka sama part ini, ya! Jangan lupa tinggalin jejak, loh! See you (◍•ᴗ•◍)❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro