16 ߷ Broken Heart
•
•
•
"Tidur! Jangan pernah keluar kamar lagi kalau malam hari! Kau pasti tidak mendengarkan larangan Raina, 'kan?!"
Zhenira menggeleng. Gadis itu masih menunduk, mengabaikan omelan Zaaron yang terus berlanjut. Kepalanya pusing saat ini, apalagi pemandangan mengerikan yang baru saja ia lihat begitu membekas di otaknya. Gadis bermarga Evans itu berusaha menenangkan dirinya dan menghapus bayang-bayang mengerikan itu dari benaknya.
Zaaron yang menyadari keterdiaman Zhenira sontak menghentikan bicaranya. Pria itu menghela napas sejenak, lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
Zhenira terkesiap. Ia dapat merasakan elusan lembut pada puncak kepalanya saat ini, dan entah kenapa ... itu membuatnya nyaman. Tanpa sadar ia mengalungkan kedua tangannya pada pinggang kokoh Zaaron dan semakin menenggelamkan wajahnya pada kungkungan pria itu.
Zaaron menarik sudut bibirnya ke atas kala menyadari pergerakan Zhenira. Sesungguhnya, ia merindukan momen seperti ini di masa lalu. Ia masih mengingat momen kebersamaan mereka dengan jelas. Yah, walaupun ... Zhenira tidak mengingatnya.
"Sudah, jangan diingat lagi. Sekarang kau tahu 'kan, alasan kenapa aku melarangmu keluar saat malam hari?"
Anggukan Zhenira sudah menjadi jawaban yang cukup memuaskan untuk Zaaron. Ia langsung menuntun Zhenira dan mendudukkan gadis itu di atas ranjang. Menumpukan tangan Zhenira pada bahunya dan membaringkannya.
"Sekarang tidur. Jangan pikirkan apapun, aku akan menemanimu sampai kau tertidur."
Masih tidak ada jawaban.
Zhenira hanya menurut tanpa suara. Tidak memprotes apapun yang dilakukan Zaaron padanya. Bahkan ketika pria itu ikut membaringkan diri di sampingnya, dan memeluknya. Menepuk-nepuk punggungnya seolah tengah menidurkan seorang anak.
Bukankah Zaaron bersikap manis saat ini?
Raja Silvanna yang terkenal kejam dan menyebalkan itu berlaku manis saat ini. Zhenira pun merasa heran, tapi ia terlalu syok, bahkan sekadar bersuara pun ia tak mampu. Elusan di rambutnya menambah rasa nyamannya, memunculkan kantuk yang begitu terasa sampai ke asa.
Tidak lama setelahnya, Zhenira pun jatuh tertidur di pelukan sang raja.
🌌🌌🌌
Malam itu langit begitu cerah, bintang-bintang dan bulan bersinar dengan indahnya. Membuat siapapun yang melihat ke atas sana menjadi senang tak terkira. Namun itu semua tak sebanding dengan perasaan seorang pemuda yang tengah dilanda gundah gulana.
Siapa lagi kalau bukan Zero.
Di saat semua sahabat-sahabatnya sudah tertidur di kamar masing-masing, dirinya justru merenung di rooftop penginapan sembari menatap langit malam di atas sana. Pikirannya terus terbayang oleh Zhenira.
Entah bagaimana keadaan dan keberadaan gadisnya saat ini. Karena sampai sekarang, ia masih belum menemukan titik terang dari pencarian ini. Mereka memang sudah melakukan penyelidikan, tapi semuanya hanya tertuju ke satu fakta.
Zhenira si Putri Silvanna.
Kabar itu memang masih berupa desas-desus yang belum tentu benar. Dari mulut ke mulut hingga sampai ke telinganya. Orang-orang itu membicarakan salah satu Putri Silvanna yang berasal dari Keluarga Evans, bernama Zhenira.
Rasanya Zero masih tak mempercayai ini. Begitupun sahabat-sahabatnya tadi. Linda dan Kesya begitu syok saat mendengar desas-desus yang sempat disampaikan oleh sang pemilik penginapan kala mereka mengatakan kalau mereka tengah mencari dua orang teman yang bernama Zhenira dan juga Oscars.
Kata sang pemilik penginapan, seseorang bernama Zhenira itu dibawa ke kerajaan oleh orang kepercayaan raja. Begitupun dengan seorang laki-laki yang diyakini adalah Oscars, orang yang mereka cari.
Zero sangat menyadari kalau Silvanna adalah nama tengah kekasihnya. Namun ia tidak menyangka, kalau Silvanna adalah nama suatu kerajaan, nama suatu negeri yang penuh dengan orang-orang aneh di setiap bagiannya.
Itu menurut Zero sendiri.
Jadi ia bisa menyimpulkan, kalau semua ini memang sudah disengaja dan direncanakan. Kotak itu, kunci emasnya, jiwa mereka yang bisa masuk ke dalam kotaknya, melewati portal, dan sampailah ke Negeri Silvanna.
"Apa gue harus ke istana sekarang?"
Zero menggeleng.
Ia tidak boleh gegabah.
Paling tidak, ia harus membicarakan ini pada sahabat-sahabatnya. Juga meminta izin pada sang pemilik penginapan. Mengingat mereka yang masih menumpang tempat tinggal dan bekerja di sana.
"Benar, gue harus mikirin ini matang-matang."
Seulas senyum kecil terbit di bibir pemuda yang saat itu masih menatap pemandangan langit malam di atasnya. Senyuman itu menyimpan banyak arti. Senyuman yang pasti, bisa membuat siapapun mengerti.
🌌🌌🌌
Tok! Tok! Tok!
"SIAPA?"
"INI GUE, ZHE."
Oscars?
Zhenira melirik ke jendela yang terbuka di kamarnya dan dirinya baru menyadari kalau matahari sudah terbit. Ia pun buru-buru turun dari ranjang dan langsung bergegas membukakan pintu kamar untuk sepupunya.
Sesaat ia bisa bernapas lega karena pemandangan mengerikan di koridor kamarnya semalam sudah hilang, sudah kembali normal seperti sediakala. Senyumannya mengembang saat melihat sang sepupu berada di depannya sembari membawa senampan makanan untuknya.
"Gue bawa sarapan buat lo nih," kata Oscars sembari menampilkan deretan gigi putihnya. Pemuda itu berjalan masuk ke dalam kamar Zhenira dan meletakkan nampan itu di atas nakas. Lantas merebahkan dirinya di atas ranjang kamar Zhenira. "Makan dah, Zhe. Gue mau tidur bentaran," ujarnya kemudian.
Zhenira mendengkus.
Gadis itu segera mengambil nampan makanan tersebut dan mendudukkan dirinya di sudut ruangan. Ada sebuah meja kecil di sana, Zhenira memilih duduk lesehan sembari memakan sarapannya. Sementara Oscars .... Jangan ditanya, pemuda itu sudah tertidur sekarang.
Keheningan melanda kamar Sang Putri Silvanna. Zhenira terlalu fokus dengan makanannya hingga tak menyadari seseorang sudah berjongkok di depannya.
"Selamat pagi."
"ASTAGA ANAK AYAM!"
Zhenira mendelik pada sang pelaku utama, Zaaronico. Pria itu terkekeh kecil, seolah merasa puas karena telah mengagetkannya. Namun daripada meladeni pria itu, Zhenira lebih memilih menghabiskan sarapannya dengan cepat. Mengambil air minum yang berada di atas nampan dan langsung meminumnya hingga tandas.
Semua aktivitasnya itu tertangkap oleh netra sang raja. Zaaron menatap gadis yang tengah membersihkan bekas piring dan gelas makannya itu dengan lekat.
"Kau masih tidak ingat tentangku?"
Zhenira mendongak, salah satu alisnya terangkat. "Soal apa?" tanyanya bingung.
Decakan kesal terdengar dari bibir sang pria. Zhenira sungguh tidak mengerti dengan perkataan Zaaron sebelumnya. Namun ia bisa menangkap satu hal.
"Apakah kita pernah punya hubungan di masa lalu?"
Keterdiaman Zaaron sudah menjawab semuanya.
Zhenira memijit tulang hidungnya sebentar, merasa sedikit pusing karena fakta yang baru ia ketahui sekarang "Hubungan seperti apa?" tanya Zhenira kemudian. Ia menatap bola mata sebiru kristal itu lekat-lekat. Ia baru menyadari kalau Zaaron begitu tampan.
Tapi lebih tampan Zero baginya.
"Kita pernah saling mencintai, Zhe. Hingga satu kesalahan besar yang kuperbuat, membuatmu berpaling ke Pangeran Dawson."
Deg!
Zhenira membulatkan netranya tak percaya. "Ke-kenapa bisa? Apa yang kau lakukan sampai aku bisa membencimu?" lirih Zhenira. Netranya menyendu, menatap Zaaron penuh rasa bersalah dan iba. Sungguh, ia masih tidak mengerti dengan semua ini. Terlalu banyak teka-teki.
"Aku tidak bisa memberitahumu, kau tidak akan suka mendengarnya."
Napas Zhenira tercekat.
Ia bisa melihat netra biru kristal itu sempat menyendu tadi. Entah kenapa dadanya jadi terasa sesak sekarang. Reflek tangan Zhenira menggenggam tangan besar pria di depannya. "Maaf kalau aku memang pernah menyakitimu, tapi aku ingin kau tahu satu hal. Aku sudah punya kekasih, dan aku mencintainya."
Jleb!
Bagai tertusuk ribuan jarum secara bersamaan, Zaaron bisa merasakan ulu hatinya terasa nyeri sekarang. Sungguh, ia sudah mengetahuinya. Ia sudah lama mengetahui kalau Zhenira dan Pangeran Dawson memang memiliki hubungan. Bahkan di dunia gadis itu, mereka juga berakhir menjadi pasangan.
Ia tidak menyangka kalau rasanya akan sesakit ini saat mendengar kata-kata penolakan itu secara langsung dari bibir gadis yang sampai saat ini masih dicintainya.
Zaaron melepas genggaman tangan Zhenira dengan perlahan. "Kau tidak perlu merasa bersalah, karena semuanya memang berawal dari kesalahanku, Zhe. Aku menerima keputusanmu, meskipun aku membenci Keluarga Dawson." Pemuda itu mengepalkan kedua tangannya di sisi-sisi samping tubuhnya.
Ekspresinya tetap datar tak terbaca, tapi Zhenira tahu kalau pria itu sedang terluka.
"Maaf Zaaron, maaf ..."
Zhenira menunduk dalam-dalam, enggan mendongak dan menatap wajah pria di depannya. Wajah tanpa ekspresi Zaaron membuatnya merasa sangat bersalah. Rasanya begitu mengejutkan saat ia mengetahui fakta, kalau ia pernah menjalin hubungan dengan sang Pangeran Valdo yang kini telah menjadi Raja di Negeri Silvanna itu.
Elusan di pipi kanannya membuat Zhenira mendongak. Netra cokelat madu dan sebiru kristal itu bertemu. Menyalurkan perasaan bersalah, rindu, cinta, dan iba secara bersamaan lewat tatapan mata.
Entah kenapa tatapan Zaaron kali ini berbeda dari biasanya. Begitu dalam, begitu menyenangkan dan menyesakkan yang dirasakan Zhenira saat menyelami netra sebiru kristal itu. Semua perasaan Zaaron tersampaikan padanya.
Semuanya, tanpa terkecuali.
"I'm sorry, but I can't love you like I used to."
🌌🌌🌌
Suasana di kamar besar bernuansa gothic itu begitu berantakan. Tirai-tirai putih terlepas dari tempatnya, sprei hitam berbahan kain sutra terjatuh di dekat ranjang. Begitupun dengan keadaan sang pemilik kamar yang sangat kacau.
Prang!
Cermin besar di kamar itu turut jadi korban kemarahan sang pemilik kamar. Darah segar keluar dari punggung tangan kekar yang otot-ototnya mulai menonjol tersebut. Dibiarkannya tangannya yang terus meneteskan darah. Karena rasa sesak di hatinya lebih mengganggu kali ini.
"Aku benci rasa sakit ini."
Zaaron melepas jubah kebesarannya dengan cepat dan melemparnya ke sembarang arah dengan kesal. Rambut hitam yang biasanya selalu rapi itu kini terlihat acak-acakan. Satu per satu kancing bajunya dilepaskan dan ditanggalkan. Menampilkan punggung kokoh yang terdapat bekas luka berbentuk huruf X melintang di sana.
Luka itu sudah berada di sana sejak ia masih kecil. Didikan dari sang ayah begitu keras, cambukan dan tamparan selalu ia dapatkan. Yang paling parah adalah saat ia pertama kalinya melanggar peraturan dari sang ayah, hingga membuatnya dihukum dan mendapatkan luka itu di punggungnya.
Dirinya memang mendapat didikan yang berbeda dikarenakan statusnya sebagai pangeran utama, tapi keberadaan Zhenira selalu menguatkannya. Terlepas dari semua rasa sakit yang ia dapatkan.
Namun, kali ini ... haruskah ia kehilangan lagi?
🌌🌌🌌
"Sebenarnya, udah sejauh apa hubungan gue sama Zaaron?"
Zhenira benar-benar kepikiran soal ini. Sedari tadi ia hanya berkeliling kamar sembari menunggu rasa kantuk yang tak kunjung datang. Padahal tubuhnya sudah sangat lelah, ia juga ingin tidur siang.
Namun, hal ini sungguh mengganggunya. Entah sedekat apa hubungannya dengan Zaaron di masa lalu hingga pria itu bisa mengatakan kalau mereka pernah saling mencintai.
Apakah sepasang kekasih?
Kalau iya pun, rasanya memang masuk akal. Mengingat sikap pria itu padanya. Akan tetapi ... hal apa yang dilakukan Zaaron sehingga ia membenci pria itu di masa lalu?
"Hah, makin pusing gue."
Zhenira meregangkan tubuhnya dan berjalan kembali ke arah ranjangnya. Merebahkan diri di atas kasur yang ukurannya 2x lipat dari kamarnya di dunia itu dengan cepat.
Setelahnya, gadis bermarga Evans itu mulai menutup matanya dan tertidur di saat matahari sedang terik-teriknya.
•
•
•
Ikut ngerasain nyeseknya Zaaron ಥ⌣ಥ Aa Zaaron sama aku aja dah mending (●´∀`●)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro