14 ߷ Still a Mystery
•
•
•
Oscars saat ini tengah mengutuk pria sok dewasa yang kini berada di depannya. Pria yang telah seenak jidat mengatainya 'pengganggu'. Ohh, ia jelas tidak akan melupakan penghinaan secara tidak langsung itu. Lagipula, apa-apaan tatapannya yang sok menilai dirinya itu?!
"Lo cari mati?" desis Oscars.
"Bisakah kau lebih sopan pada seorang Raja?" decak Zaaron sembari merotasikan matanya.
"Raja? Ohh ayolah, lo tuh nggak lebih dari cowok mesum yang ngincar sepupu gue!"
"Ananda Oscars, jaga bicara Anda di depan Yang Mulia."
Oscars mendelik tajam pada sosok pria seperti perdana menteri yang baru saja menegurnya itu. Pria yang membawanya dan Zhenira ke istana itu menatapnya dengan tajam sekarang. Setahu Oscars, nama pria itu Elmo.
"Biarkan saja El, dia sepupu Zhenira kalau kau lupa. Yah, meskipun dia bukan anggota kerajaan."
Nada meremehkan yang keluar dari mulut sang raja jadian-jadian itu membuat Oscars menggertakkan giginya lantaran merasa kesal. Jika saja ia tidak ada di wilayah kerajaan yang penuh dengan tata krama dan peraturan ini, sudah sedari tadi kepalan tangannya akan mendarat di wajah sok tampan pria itu.
"Di mana sepupu gue?" tanya Oscars dengan ketus. Netra kelamnya menatap mata biru kristal milik sang raja dengan tajam. Kedua manik berbeda warna itu saling melempar tatapan yang sanggup menekan sekitarnya untuk tidak mendekat jika tidak ingin sekarat.
"OSCARS!"
Suara teriakan penuh nada semangat itu membuat sang empunya nama menoleh dengan senyuman kecil yang mengembang di bibir. Oscars merentangkan tangannya untuk menyambut pelukan Zhenira.
Brug!
"Huaaa, kangen."
Zhenira menubruk dada bidang Oscars dan memeluk sepupunya itu dengan erat. Begitupun Oscars yang mengeratkan pelukannya pada Zhenira.
"Alay lo," cibirnya.
Keduanya melepas pelukan, saling pandang, lantas tertawa bersama seolah tanpa beban. Mengabaikan dua laki-laki yang menatap mereka dengan tatapan heran dan tajam. Kalian pasti sudah tahu siapa yang melemparkan tatapan tajam itu.
Zhenira memerhatikan pakaian Oscars yang berbeda dari terakhir kali yang ia lihat. Sepupunya itu memakai pakaian yang hampir sama dengan milik Elmo. Bedanya, Oscars memakai jubah berwarna biru beserta tudung di kepalanya. Sama seperti penyihir-penyihir di film Harry Potter.
"Anjay, keren banget sepupu gue. Lo dapet dari mana nih baju?" ujar Zhenira setelahnya.
"Dikasih tuh om-om," tunjuk Oscars pada Elmo yang sedang menatapnya dengan malas.
"Itu baju saya, nanti jangan lupa dikembalikan." Elmo menyahut dengan enggan. Pria itu sebenarnya tidak rela karena harus meminjamkan setelan baju dan jubah kebanggaannya pada Oscars.
"Ah, maaf ya Elmo. Aku nanti akan membeli saja pakaian untuk Oscars kalau kau memang keberatan meminjamkan pakaianmu pada sepupuku. Tidak apa kok, nanti pasti aku kembalikan. Oke?"
Perkataan Zhenira membuat Elmo terdiam. Ia tidak tega kalau salah satu majikannya itu jadi merasa bersalah padanya seperti ini. "Tidak perlu, Nona. Maafkan saya karena telah lancang, tapi saya sudah tidak apa-apa jika pakaian saya dipinjam oleh sepupu Nona."
Zhenira merangsek maju dan menepuk bahu pria yang usianya ternyata masih dibawahnya itu dengan pelan. "Hei! Jangan begitu dong! Justru aku yang jadi tidak enak padamu. Lagipula, harusnya si Raja itu bisa memberikan pakaian untuk sepupuku, 'kan? Tapi faktanya apa? Malah kau yang memberikan dan mengorbankan pakaianmu untuk dipakai oleh sepupuku. Sungguh tidak peka, pelit pula."
Ctak!
Perempatan imajiner muncul di dahi Zaaron. Laki-laki itu merasa begitu tersinggung dengan perkataan Zhenira. "Apa maksudmu mengatakan semua itu?" tanyanya.
"Apa? Memang benar, 'kan? Kau tidak memberikan sepupuku pakaian. Kau juga menghinanya dan memperlakukannya dengan tidak adil tadi. Itukah yang kau maksud sebagai Raja?" balas Zhenira dengan sengit. Kedua tangannya sudah berada di pinggang dengan tatapan tajam yang ditujukan pada satu-satunya pria yang dipanggil 'Yang Mulia' di sana.
"Kau-"
"Yang Mulia, sudah waktunya."
"Ck! Aku akan membalasmu nanti," ancam Zaaron pada Zhenira. Pria itu segera mengikuti langkah pengawal pribadinya, Elmo. Meninggalkan ruangan dan entah akan pergi ke mana mereka.
Zhenira tidak peduli.
"Skuy, jalan-jalan!" ajaknya pada Oscars yang langsung disambut dengan antusias oleh sepupunya.
🌌🌌🌌
Rapat antara petinggi kerajaan di salah satu ruangan di dalam istana kerajaan itu membuat satu-satunya pemimpin yang duduk di kursi paling ujung menatapnya malas. Terlepas dari apa yang dibicarakan juga tidak terlalu penting menurutnya.
Ya, rapat itu membahas tentang kedatangan Zhenira dan Oscars. Juga keberadaan pangeran dan putri dari Keluarga Merlion dan Dawson yang masih belum menemukan titik terang.
"Bagaimana pendapat Anda, Yang Mulia?"
Tuk, tuk, tuk!
Suara ketukan jari-jari dengan meja itu membuat suasana di ruangan tersebut menjadi hening seketika. Aura yang dikeluarkan oleh Zaaron benar-benar gelap dan mencekam. Tatapan matanya yang tajam sanggup membuat para petinggi kerajaan itu meneguk ludahnya dengan susah payah.
"Apa kalian semua memanggilku ke sini hanya untuk membahas hal yang tidak penting seperti ini?"
Deg!
Zaaron dapat menangkap tatapan ketakutan dari para orang tua di depannya, dan itu cukup membuatnya muak karena tidak ada yang membuka suara. Bahkan untuk sekadar menjawab pertanyaannya barusan. "Ck! Kalau tidak ada lagi hal penting yang ingin dibahas, aku akan keluar."
"Tunggu, Yang Mulia!"
Zaaron yang hendak berdiri dari duduknya itu langsung mengurungkan niatnya. Raja dari Negeri Silvanna itu mendengkus keras dan kembali mendudukkan dirinya di kursi dengan kasar. Ia menunggu salah satu pemimpin dari kerajaan cabang itu membuka suaranya.
"Sebelumnya maafkan saya jika pertanyaan saya lancang, Yang Mulia. Apakah yang mulia masih memiliki perasaan pada Nona Zhenira?"
Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut mendengar pertanyaan yang dinilai cukup berani dari pemimpin kerajaan cabang di bagian Timur tersebut. Semua orang yang ada di ruang rapat menoleh takut-takut pada sang raja yang tampak terdiam dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan.
"Apakah pertanyaan itu harus kujawab?"
🌌🌌🌌
"Zhe, lo udah nemu petunjuk belum? Gimana cara keluar dari tempat ini dan kembali ke dunia kita?"
Pertanyaan Oscars membuat Zhenira terdiam, lalu menggeleng pelan sebagai jawaban. "Gue belum nemuin petunjuk apapun, tapi gue punya cerita yang menarik."
"Ohh ya? Apa itu?"
Senyuman di bibir Zhenira mengembang. Ia menarik sang sepupu ke tempat yang lebih sepi di sekitar taman istana untuk berbicara. Kedua saudara sepupu itu memang berada di taman istana sekarang, terlebih suasana di sana begitu mendukung untuk bercerita.
"Gue dapet info yang mungkin bakalan buat lo tercengang."
Oscars yang sudah begitu penasaran hanya terdiam dengan netra hitamnya yang berkilat-kilat, menunggu kelanjutan kalimat Zhenira yang sepertinya benar akan membuatnya tercengang.
"Negeri Silvanna ini dibagi menjadi empat bagian dengan empat keluarga yang memimpin di dalamnya. Valdo, Merlion, Dawson, dan Evans." Dapat Zhenira lihat raut terkejut dari sepupunya setelah ia menyebut nama-nama itu. "Si Raja itu namanya Zaaron Silvanna Valdo, keluarganya adalah pemimpin utama di Negeri ini."
"Ohh, pantesan dia yang jadi rajanya." Oscars mengangguk-anggukan kepalanya paham.
Zhenira menjentikkan jarinya dengan semangat. "NAH ITU! Tapi Dawson dan Evans, lo tau sendiri 'kan itu marga siapa?" tanya Zhenira.
"Marga keluarga lo dan keluarga Zero," tebak Oscars.
"Bingo!"
"Tapi gue nggak ngerti deh, Zhe. Kenapa baru sekarang mereka nyari lo? Kenapa nggak dari dulu aja?"
Pertanyaan Oscars memang masuk akal.
Jika para orang-orang di Negeri Silvanna mencari para putri dan pangeran yang diasingkan, harusnya mereka sudah memberi tanda-tanda dari dulu. Mengingat kemampuan orang-orang di dunia ini yang tidak ada di dunia tempatnya tinggal. Maksudnya di sini adalah, kenapa mereka tidak dari dulu memunculkan diri ke peradaban?
Kenapa semuanya jadi tak masuk akal untuknya?
"Entahlah, Oscars. Gue sendiri masih nggak paham sama semua ini. Terlalu rumit, otak gue nggak nyampe."
Oscars berdecak dan mengacak rambutnya dengan cepat. Anak tunggal dari Revalino Reyhan itu ikut merasa frustasi lantaran ia dan sepupunya belum menemukan titik terang dari masalah ini.
Ayolah, ia hanya ingin kembali ke dunianya dan bertemu lagi dengan teman-teman bobroknya itu.
🌌🌌🌌
"Jadi, Anda sudah mempunyai kekasih dan namanya adalah Farzero Alando Dawson?"
"Benar, Raina." Zhenira meremas jari-jarinya dengan gusar. "Itulah kenapa aku begitu terkejut ketika tahu kalau Dawson adalah salah satu dari Keluarga Silvanna juga. Kau pasti paham maksudku." Zhenira mengusap wajahnya dengan kasar. Hal ini benar-benar menghantui pikirannya, dan entah kenapa ... ia jadi kangen Zero.
Apa lo tau kalo gue ada di sini, Zero?
Apa lo bakal nyari gue?
Netra secoklat madu itu menyendu. Ia begitu merindukan masakan bundanya, ia juga merindukan pelukan ayahnya. Ia merindukan Kesya dan Linda. Ia juga merindukan anak-anak D'Most Saga. Ia rindu Om Reyhan, ia rindu Zero.
Zhenira menelusupkan wajahnya pada lipatan lututnya, membuat Raina yang melihatnya jadi merasa tak tega.
"Nona, sebaiknya kita kembali ke kamar saja. Ini sudah hampir malam, dan malam di Silvanna begitu berbahaya."
"Berbahaya?"
Raina gelagapan. "Ah, itu ... Ada banyak makhluk malam yang berbahaya. Saya harap Anda tidak keluar kamar saat malam mulai tiba, Nona."
Pernyataan Raina membuat Zhenira semakin mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan perkataan dari sekretaris Zaaron itu. Kalaupun malam memang berbahaya, lantas kenapa mereka membiarkan para prajurit tetap berjaga di luar? Bukankah para prajurit itu bisa dalam bahaya? Hm, mungkin ia akan menanyakannya pada Zaaron nanti.
"Baiklah, tolong antarkan aku kembali ke kamar.
"Dengan senang hati, Nona Zhenira."
🌌🌌🌌
Drap! Drap! Drap!
Suara derap beberapa langkah kaki yang sepertinya tengah berlari, membuat Zhenira yang berada di dalam kamarnya merasa penasaran dengan apa yang terjadi di luar.
Ia masih mengingat perkataan Raina untuk jangan pernah keluar kamar ketika malam sudah tiba. Namun, rasa penasaran itu mendorongnya agar membuka pintu besar yang menjadi penghubung antara kamarnya dan dunia luar sekarang juga.
Dengan jantung yang berdentum keras dan perasaan waswas, Zhenira memberanikan dirinya untuk keluar dari kamar. Membuka pintu besar yang tingginya dua kali lipat dari tinggi badannya itu dengan perlahan.
Deg!
Entah bagaimana Zhenira harus menjelaskan pemandangan mengerikan di depannya saat ini.
Koridor mewah yang ia lihat saat siang hari tadi berubah menjadi lautan darah. Dinding-dinding yang harusnya bagus dan putih mulus, jadi mengelupas di sana-sini dengan bau anyir yang begitu menyengat. Lantai berkilauan yang dipijaknya penuh dengan darah dan tanah basah di mana-mana. Benar-benar mirip seperti sebuah rumah yang habis mengalami pembantaian.
Begitu seram, begitu mencekam yang dirasakan Zhenira saat ini. Bola matanya bergerak ke sana-kemari dengan gelisah. Ia berbalik hendak kembali ke kamar, tapi ia kembali dibuat terkejut ketika pintu kamarnya sudah ditumbuhi tanaman merambat yang begitu tebal seolah tak terawat.
Kaki Zhenira gemetar tanpa sadar.
Memang, tidak ada siapa-siapa di sana. Namun pemandangan horor di koridor ini membuatnya sesak. Air matanya meluruh tanpa diminta. Isakan kecil terdengar setelahnya.
Zhenira terduduk di depan pintu kamarnya dengan kedua tangan yang sudah menutupi wajahnya, gadis itu menangis.
Zaaron yang saat itu memang tengah mengawasi Zhenira lewat emperor eye miliknya jadi berdecak kesal. Dengan langkah lebar, pria yang diketahui sebagai Raja dari Negeri Silvanna itu mengambil jubahnya yang tersampir di kursi kamarnya dan segera melesat cepat menuju tempat Zhenira berada.
Sayap besar yang memang selalu disembunyikannya kala siang, kini terbentang lebar dengan indahnya.
Zaaronico Silvanna Valdo hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 detik untuk terbang menuju tempat Zhenira berada sekarang.
🌌🌌🌌
"Ck! Apa yang kau lakukan di sini, bodoh?! Apa kau tidak mendengarkan larangan Raina agar jangan keluar kamar saat malam hari?!"
Zhenira tidak memedulikan suara penuh kekesalan yang cukup dikenalinya dengan baik itu. Ia masih sibuk menenangkan rasa takutnya setiap kali membuka mata dan menatap pemandangan menyeramkan di koridor depan kamarnya ini.
Zaaron berdecak.
Dengan cepat, pria itu berjongkok di depan Zhenira dan menutupi tubuh mungil gadis itu dengan jubah besarnya. Lalu merangkul bahu gadis yang masih terisak itu dengan kuat untuk menenangkannya.
"Aku akan membawamu kembali ke kamar."
Sesaat kemudian, hanya ada keheningan yang terjadi di koridor itu setelah Zaaron membawa Zhenira pergi bersamanya.
•
•
•
Akhirnya, kelar juga gue nulis.
(●´∀`●) Semoga suka sama part ini, ya! See you next part!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro