13 ߷ The Four Silvanna
•
•
•
"Hoam ..."
Lenguhan kecil yang terdengar begitu lembut itu berasal dari bibir seorang gadis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ranjang yang berbalut kain sutra berwarna merah itu membuatnya begitu nyaman, sampai rasanya jadi tak rela meninggalkan ranjang barang sebentar.
Gadis itu mengucek kedua kelopak matanya dengan pelan, tak lupa meregangkan beberapa persendiannya yang terasa pegal karena tertidur dengan posisi yang sama selama beberapa jam. Netra yang sewarna dengan madu itu terlihat berkilauan ketika sang gadis membuka mata. Begitu teduh dan tenang rasanya ketika netra itu menatap ke sekelilingnya.
"Ah, ternyata gue masih ada di sini."
Kaki jenjang sang gadis turun dari atas ranjang, telapak kaki gadis itu pun memijak lantai beton di bawahnya yang terasa halus dan kokoh. Ia memandangi pakaian yang dikenakannya, masih sama saat terakhir kali ia memakainya. Namun perbedaannya, baju yang ia pakai sudah terasa lengket sekali. Ia tidak tahu di mana kamar mandinya berada. Apakah ia harus bertanya pada seseorang yang berada di luar pintu besar itu?
"Ck, tapi gue males nunjukin wajah bantal gue."
Zhenira, nama gadis itu.
Zhenira Silvanna Evans yang masih merasa asing dengan tempat ini jelas akan sangat berhati-hati ketika berinteraksi dengan para orang-orang yang berada di istana ini. Ia hanya percaya pada sepupunya saja, Oscars.
"Eh, Oscars mana ya?"
Kriett!
Zhenira terkesiap begitu pintu besar di depannya terbuka secara tiba-tiba. Ia merotasikan matanya ketika yang datang adalah pria bersayap yang belum ia ketahui namanya itu. Lagipula, pria itu sedang tidak bersayap kali ini. Entah di mana pria tersebut menyembunyikan sayap besarnya.
"Kau sudah bangun?" tanya pria tersebut.
"Anda bisa melihat sendiri, kenapa masih bertanya?" balas Zhenira dengan ketus. Ia benar-benar masih jengkel dengan pria itu. Seenaknya saja membawanya ke sini setelah meneror dan muncul di mimpinya seenak jidat.
"Kau harus mandi dan mengganti bajumu."
"Huh?" Zhenira mengangkat sebelah alisnya, tidak mengerti dengan maksud dari perkataan pria di depannya barusan.
"Pakaianmu kotor, kau perlu mandi untuk menyegarkan diri dan berganti pakaian," jelasnya.
Zhenira mendengkus. "Saya tidak membawa pakaian."
"Kau pikir aku semiskin apa sampai tak bisa memberikanmu pakaian yang layak dipakai, huh?"
Nada tak suka terlontar begitu jelas dari bibir pria di depannya. Zhenira meneguk ludahnya susah payah.
Gawat! Kalau dia marah, bisa-bisa aku tak dipulangkannya!
"Maaf, tapi bisakah Anda memberitahu saya di mana letak kamar mandinya dan pakaian mana yang harus saya pakai?" tanya Zhenira dengan senyuman manis yang dibuat-buat.
Seringai menyebalkan dapat Zhenira tangkap dari bibir pria itu sesaat kemudian. Diam-diam mengutuk pria itu dalam hati. Ia benar-benar tak terbiasa dengan nada bicara seformal itu. Namun harga dirinya terlalu tinggi untuk mengalah sekarang. Setidaknya, ia ingin pria itu berbicara dan bercerita tanpa harus diminta.
"Mari, ikut aku-"
"Tidak, Anda mau membawa saya ke mana?"
Ctak!
Jitakan yang cukup keras dapat Zhenira rasakan di dahinya. Ia mendelik pada sang pelaku utama yang justru menatapnya dengan tajam.
"Tidak sopan memotong perkataan orang! Aku hanya ingin mengantarmu ke kamar mandi."
Oke, Zhenira jadi merasa bersalah sekarang. "Maaf," cicitnya seraya menunduk pasrah. Ia pun mengikuti langkah pria itu yang membawanya keluar dari kamar.
Dapat ia lihat pahatan-pahatan unik yang menjadi hiasan dinding-dinding istana. Pilar-pilar yang menjadi penopangnya pun tampak megah dengan dominan warna cokelat keemasan. Lantainya yang terasa licin begitu berkilauan. Ia jadi merasa seperti gembel yang nyasar ke tempat orang kaya.
Zhenira kembali dibuat terpukau kala melewati aula yang memiliki sebuah air mancur di dalamnya. Air mancur itu begitu tinggi, hingga ujungnya hampir menyentuh langit-langit. Entah berapa meter tingginya, ia pun tak tahu. Kemudian ada beberapa prajurit yang berlalu-lalang di sekitarnya, ada juga prajurit yang berdiam diri dan berjaga di setiap pintu dengan pakaian yang mirip pemain drumband itu. Lukisan-lukisan indah yang sepertinya dibuat oleh pelukis berbakat pun terpajang di dinding, berbeda-beda ukuran pula.
Sangat memanjakan mata.
"Kau suka?"
Zhenira sedikit terkesiap. "Eh?"
"Apa kau suka dengan istanaku?" tanya pria yang masih memimpin jalan tanpa menoleh itu. Jubah hitamnya yang tampak halus berkibar pelan seiring langkah kakinya yang melangkah.
Zhenira menatap punggung tegap itu dengan kedua alis yang sudah saling bertaut. "Hanya orang bodoh yang tidak suka dengan semua kemewahan ini, bukan?" jawab Zhenira.
Kekehan kecil terdengar setelahnya.
"Ya, kau benar. Istana ini sudah berdiri sejak 500 tahun yang lalu. Berabad-abad, turun-temurun, dari setiap generasi ke generasi lainnya. Hingga berakhir di sini, aku sebagai generasi yang tersisa dari Keluarga Silvanna. Ah tidak, masih ada kau juga."
"Aku?"
"Iya, Zhenira. Bukannya nama tengahmu Silvanna? Itu sudah membuktikan kalau kau bagian dari keluarga ini."
Zhenira semakin tidak mengerti dengan semua ini. Silvanna memang nama tengahnya, tapi apa iya kalau ia bagian dari kerajaan ini? Ya secara, ia yakin kok kalau ia lahir dari rahim sang ibunda, Dhiana Evans. Mungkin, nama Silvanna juga kedua orang tuanya yang memberi.
Orang tuanya juga bukan anggota kerajaan. Mereka manusia biasa yang hidup di dunia. Bukan seperti orang-orang di kerajaan aneh ini. Siluman, manusia setengah binatang, atau apalah itu.
Jadi, bagaimana bisa?
"Aku tidak mengerti."
"Kau akan segera mengerti."
Zhenira mendengkus. Pria di depannya ini terus mengucapkan kalimat penuh teka-teki. Lagipula, apa susahnya bercerita? Kan tinggal menceritakannya saja padanya. Tidak perlu membuat kalimat-kalimat ambigu penuh makna begitu. Ia kan bukan peramal atau paranormal yang bisa menebak isi hati dan pikiran orang.
Beberapa saat kemudian, pria di depannya berhenti di sebuah pintu besar. Begitu dibuka, isi di dalamnya dapat ia lihat dengan jelas. Sebuah bak mandi besar dikelilingi kelambu bening yang tingginya mencapai langit-langit ruangan. Zhenira sampai dibuat terperangah di tempatnya. Ini sama seperti film-film kerajaan yang pernah ia tonton di laptopnya. Bedanya, yang ini terasa lebih mewah dan luas.
"Kenapa kau bengong di situ? Katanya mau mandi."
Suara itu berhasil menyadarkan Zhenira yang sempat terpaku di tempat. Ia mendongak menatap pria di depannya yang juga tengah menatapnya. "Apakah saya harus mandi di sana?"
Satu alis sang pria terangkat. "Kenapa? Kau tidak mau mandi di sana?" tanyanya penuh keheranan.
Zhenira menggeleng cepat sembari mengibas-ngibaskan tangannya. "Tidak! Bukan begitu! Hanya saja ... saya tidak terbiasa."
Hening.
Zhenira menggigiti bibir bawahnya dengan gelisah, ia takut salah bicara. Rasanya ia terlalu banyak meminta, jadi tidak enak sendiri pada pria di depannya. Masa ia harus mandi dengan kelambu bening seperti itu? Nanti kalau ada orang yang lewat dan mengintipnya, bagaimana?!
"Apa yang membuatmu tidak nyaman?"
Suara yang terdengar begitu lembut itu membuat Zhenira mendongakkan kepalanya dengan cepat. Netra secoklat madu dan sebiru kristal itu saling bersirobok. Zhenira bisa merasakan ada suatu tarikan pada mata itu yang membuatnya ingin selalu menatap si biru kristal lebih lama.
Lama terjadi keheningan di antara keduanya hingga suara pintu yang dibuka oleh seseorang membuat tatapan keduanya terputus.
"Maaf Yang Mulia, apakah Anda memanggil saya?" tanya sang pembuka pintu, dia adalah seorang gadis dengan wajah tegasnya. Dari pakaian yang dipakainya, Zhenira bisa tahu kalau gadis itu memiliki jabatan khusus di kerajaan ini.
"Ah, ya. Bisa tolong kau bantu dia membersihkan diri dan berpakaian, Raina?"
Raina?
"Tentu saja Yang Mulia, sesuai perintahmu."
Zhenira hanya diam saat gadis itu mendekatinya dan menuntunnya menuju bak mandi di tengah ruangan. Saat bajunya hendak dilepaskan, barulah Zhenira bereaksi. "Eh, tunggu! Apa yang mau kau lakukan? Aku bisa mandi sendiri."
"Saya akan membantu Anda mandi."
Jawaban polos dan ekspresi datar dari gadis di depannya membuat Zhenira bergidik ngeri. "Tidak! Aku bisa sendiri!"
"Apa kau yakin?" tanya suara berat yang berasal dari sudut ruangan.
Zhenira menolehkan kepalanya cepat, dan seketika dirinya dibuat melotot kala mendapati pria yang membawanya ke sini masih berada di tempat. "Kenapa Anda masih di sini?!" pekik Zhenira. "Apakah Anda mau melihat seorang gadis mandi?!"
"Kenapa tidak?"
Jika tatapan bisa membunuh, maka ia yakin tatapannya sekarang akan menembus mata sebiru kristal yang tampak mengerling jahil di depannya itu. Zhenira benar-benar tidak habis pikir dengan pria yang belum ia ketahui namanya tersebut. Sikap pria itu sangat menjengkelkan menurutnya.
"Keluarlah, Yang Mulia. Biar saya yang membantu Nona Zhenira membersihkan diri."
Zhenira langsung memberikan tatapan harunya pada gadis di sampingnya.
Decakan tak suka terdengar setelahnya. "Kau berani memerintahku?" tanya sang pria dengan netra biru yang sudah berkilat-kilat.
"Bukannya Anda sendiri yang meminta saya melakukannya?"
Helaan napas pasrah dari sang pria menjadi akhir pembicaraan mereka. Tanpa mengatakan sepatah kata apapun, pria tersebut langsung membuka pintu dan keluar dari ruangan dengan ekspresi kesalnya. Namun sepertinya, gadis di sampingnya juga tidak peduli dengan itu. Setidaknya itu yang dapat Zhenira tangkap dari ekspresi gadis di sampingnya yang tampak biasa saja.
"Ayo, saya akan membantu Anda mandi. Tidak perlu malu, karena Anda harus membiasakan diri mulai sekarang."
Apa maksudnya?
Zhenira tidak berani menyuarakan pertanyaannya saat melihat ekspresi datar dari gadis yang saat ini membantu memakaikan sebuah kain putih polos dan melilitkannya pada tubuh telanjangnya. Zhenira bahkan tidak sadar kapan pakaiannya sudah terlepas dan tergeletak mengenaskan di lantai.
"Eum, apakah kamu salah satu pejabat istana?" tanya Zhenira hati-hati.
Gerakan tangan yang semula tengah menyabuni tubuh bagian atas Zhenira itu terhenti. Menatap penuh pada iris cokelat madu sang gadis yang tampak begitu penasaran.
"Saya adalah seseorang yang dibawa Yang Mulia untuk menjadi sekretaris pribadinya."
Zhenira terdiam, menunggu gadis bernama Raina itu melanjutkan perkataannya.
"Yang Mulia adalah orang yang sangat baik dan kejam di saat bersamaan. Ia tidak segan-segan untuk menyingkirkan siapapun yang berani menghalangi jalannya. Siapapun, tanpa terkecuali."
Zhenira meneguk ludahnya susah payah. Setelah ini ia harus hati-hati ketika berbicara dengan pria itu. Bisa-bisa kepalanya terpenggal duluan sebelum mengetahui jalan untuk kembali ke dunianya.
"Jadi, siapa nama pria itu?"
"Anda belum mengetahui nama Yang Mulia?!"
Pekikan terkejut dari gadis yang tengah membantunya mandi itu membuat Zhenira merengut sebal. "Salahkan saja dia yang tak mau memberitahukan namanya padaku!" sungut Zhenira tak terima.
Hei! Memang benar, kan?!
Pria itu sendiri yang tak mau memberitahukan identitasnya!
"Baiklah, kalau begitu saya yang akan memberitahu Anda. Namanya adalah Zaaronico Silvanna Valdo."
Waw, haruskah Zhenira terpukau sekarang?
"Nama yang bagus. Lalu Valdo? Apakah itu nama keluarganya?" tanya Zhenira kemudian.
Raina mengangguk. "Valdo adalah keluarga tertinggi di Negeri Silvanna, dan Yang Mulia adalah keturunan terakhir dari Keluarga Valdo saat ini." Raina kembali melanjutkan kegiatannya sembari terus bercerita. "Yang Mulia adalah anak tunggal dari raja dan ratu sebelumnya. Keduanya meninggal dunia karena konflik besar yang sempat terjadi di kerajaan."
"Konflik seperti apa?"
"Semacam perebutan kekuasaan, seperti kudeta dan sebagainya."
Zhenira mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bukan hal yang mengherankan sih, karena setiap orang punya pemikiran dan pendapat yang berbeda."
"Ya, dan perbedaan pendapat itulah yang bisa memecah belah sebuah keluarga, pertemanan, bahkan kerajaan besar seperti Silvanna." Raina membersihkan tangannya yang penuh dengan busa dan membantu Zhenira mengeringkan tubuhnya dengan kain baru yang sudah ia siapkan. "Keluarga Silvanna terbagi menjadi empat keluarga lagi, Nona. Yang pertama Valdo, keluarga yang memiliki kuasa tertinggi di Silvanna. Yang kedua adalah Merlion, keluarga itu berada di posisi kedua. Yang ketiga adalah Dawson, dan di posisi keempat adalah Evans."
"Tunggu! Dawson dan Evans?!"
"Kenapa? Apakah Anda mengenal kedua nama keluarga itu?" tanya Raina.
"Bagaimana aku tidak kenal jika itu adalah nama keluargaku dan kekasihku!" pekik Zhenira heboh.
Ini benar-benar sebuah kejutan!
"Tapi, nama tengah Zero bukan Silvanna."
Raina menghela napasnya. "Itu bisa saja terjadi, Nona. Karena konflik besar yang saya maksud itu bukan hanya sekadar kudeta dan perebutan kekuasaan saja. Dampaknya lebih daripada itu. Karena menurut yang saya dengar, putri dan pangeran dari tiga keluarga itu diasingkan oleh masing-masing pihak keluarga. Mereka menghapus ingatan para putri dan pangeran itu, lalu mengganti identitas mereka. Namun mereka sepakat tidak mengganti nama keluarga yang menjadi kebanggaan setiap orang di Keluarga Silvanna itu."
Ah, ia paham sekarang.
"Jadi, aku termasuk salah satu dari Putri yang diasingkan itu?"
"Benar, Anda adalah salah satunya."
Zhenira menerima pakaian yang diberikan Raina padanya, dan langsung memakainya secepat kilat. "Lalu kenapa si Yang Mulia itu mengatakan kalau hanya aku dan dia yang merupakan keturunan terakhir dari Keluarga Silvanna?" tanyanya kemudian. Zhenira masih belum mengerti dengan hal itu.
"Menurut saya itu wajar karena konflik para pemimpin yang terjadi di masa lalu. Keluarga Merlion dan Dawson lah yang memprovokasi para petinggi agar menjatuhkan Raja dan Ratu Silvanna yang saat itu dipimpin oleh kedua orang tua Yang Mulia Zaaron."
Oke, semua sudah jelas sekarang. Ia sudah mengerti. Setidaknya, sedikit dari silsilah Keluarga Silvanna.
Valdo, Merlion, Dawson, dan Evans.
Keempatnya adalah keluarga, tapi karena adanya konflik di dalamnya membuat keempat keluarga jadi terpecah belah.
•
•
•
Huaaa, nggak nyangka udah nyampe sini aja. (҂⌣̀_⌣́) Alurnya sangat rumit ya, kan? Samalah kayak otak author yang cara berpikirnya sungguh rumit, hehe. (●´∀`●)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro