12 ߷ What Happened?
•
•
•
Esok hari di kediaman Keluarga Evans. Dhiana Evans selaku ibunda Zhenira dibuat heran kala mendapati kamar putrinya terkunci dari dalam. Terlebih lagi ketika memanggil nama Zhenira untuk ke sekian kalinya, tidak ada jawaban dari dalam sana.
Lalu ada sepatu converse hitam putih yang sangat tak asing baginya. Sepatu milik keponakannya, Oscars. Sudah sedari semalam ia melihat sepatu itu, tapi orangnya tidak kelihatan sama sekali. Ia berpikir Oscars sedang bermain dengan Zhenira di kamar. Biasalah dua sepupu itu kalau sudah bertemu, tidak bisa diganggu.
Namun anehnya, kamar Zhenira sangat sunyi sejak semalam. Ia memakluminya karena itu sudah sering terjadi kalau ada Oscars. Kedua sepupu itu bisa lupa waktu kalau bermain. Entah menonton film, bermain kartu, perang bantal, dan karaoke juga mereka lakukan untuk menghabiskan waktu.
Namun, tidak biasanya sesunyi ini.
Lagipula, bukankah seharusnya mereka berdua sudah keluar kamar? Mengingat matahari yang sudah muncul ke permukaan. Bahkan ini sudah hampir setengah tujuh pagi.
Apakah mereka tidak sekolah?
"Astaga, anak itu. Apakah harus selalu dibangunkan Bundanya dulu baru mau keluar?" geram Dhian sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar Zhenira untuk yang kesekian kalinya.
Darren yang berada di dapur jadi ikut terheran-heran saat terdengar suara gedoran pintu yang cukup keras di lantai atas. Maka dari itu, pria paruh baya yang merupakan ayahanda dari Zhenira itu bangkit dan menuju sumber suara. Terlihat istrinya di sana masih berusaha membangunkan putrinya dan keponakannya karena harus sekolah.
"ZHENIRA-"
"Masih pagi, jangan teriak-teriak. Ambil kunci cadangan sana," interupsi Darren yang spontan membuat Dhian langsung menoleh dan menuruti perkataan suaminya tersebut.
Wanita paruh baya itu buru-buru mengambil kunci cadangan kamar di laci teratas dapur. Semua kunci cadangan memang sengaja diletakkan di sana. Entah kunci cadangan pintu kamar atau bahkan pintu utama berada di sana semua.
Setelah mengambil kunci cadangan kamar Zhenira, Dhian segera menghampiri sang suami yang masih menunggu di depan pintu kamar putrinya dan menyerahkan kuncinya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Darren segera membuka pintu kamar putrinya dan mendapati Zhenira serta Oscars yang masih menutup mata dengan posisi yang terbilang aneh ketika tertidur.
Zhenira yang tidur telungkup, dan Oscars yang berada di bawah, tidur sembari terduduk.
Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Darren. Kotak biru berona silver yang berada di tengah-tengah kedua saudara sepupu tersebut. Kotak itu dalam keadaan tertutup dan terkunci oleh gembok emas.
Kening Darren mengerut dalam.
"Aneh." Darren menoleh ke arah sang istri. "Posisi tidur mereka aneh banget," komentar Dhian yang langsung mendapat anggukan persetujuan dari Darren setelahnya.
"Itulah yang aku pikirkan sekarang," tutur Darren.
Dhian mendekati dua anak adam dan hawa yang masih tertidur itu dengan perasaan campur aduk. Antara kebingungan dan juga khawatir terpancar jelas diwajahnya saat ini. Dhian membangunkan Oscars dengan menepuk-nepuk pipi tirus keponakannya tersebut. Sementara Darren melakukan hal yang sama pada putrinya yang masih tertidur.
Namun, Oscars dan Zhenira tidak ada tanda-tanda terusik dengan hal yang dilakukan oleh kedua pria dan wanita paruh baya itu. Keduanya masih tak bergeming dari tempat. Seolah jiwa mereka memang sedang tidak berada di dalam tubuhnya.
"Kok Oscars nggak bangun-bangun?" heran Dhian. Ia menatap sang suami yang sepertinya juga tidak bisa membangunkan Zhenira dengan penuh rasa heran.
Darren menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu. "Entahlah, apakah kita harus panik?" tanya Darren dengan lugasnya.
"Bodoh! Tentu saja kita harus panik!" Dhian benar-benar tak habis pikir dengan suaminya itu. Bisa-bisanya masih bertanya seperti itu saat putrinya dan keponakannya tidak bergeming sama sekali ketika dibangunkan oleh mereka.
"Entah ini hanya firasatku saja atau bukan, tapi kurasa ini berhubungan dengan dunia mimpi."
Deg!
Dhian menatap sang suami dengan bola mata yang sudah melotot lantaran merasa sangat terkejut. Ia buru-buru membangunkan Oscars dan Zhenira dengan panik. Sementara Darren hanya menghela napasnya dan mengacak rambutnya sebentar.
Netra hitamnya melirik kotak biru misterius yang masih tergeletak dengan anggun di tengah-tengah ranjang. Diraihnya kotak itu dengan hati-hati. Bentuk dan ornamennya yang tidak biasa, membuat Darren berpikir kalau dugaannya mungkin saja benar. Kalau begitu, hanya ada satu orang yang bisa menjelaskan ini semua padanya.
"Zero."
"Hah?"
Darren menatap sang istri dengan serius. "Aku akan menghubungi Zero sekarang," pungkasnya.
🌌🌌🌌
Drrtt! Drrtt!
Suara getaran ponsel yang berada di saku celana seragamnya membuat Zero yang baru saja menyelesaikan acara sarapannya dibuat bingung. Pemuda bermarga Dawson itu menghiraukan tatapan dari para anggota keluarganya dan memilih merogoh ponselnya dengan cepat.
Nama 'Om Darren' yang terpampang di layar semakin membuatnya terheran-heran. Dengan sekali usapan ke atas, Zero segera mendekatkan benda pipih itu ke telinganya.
"Halo, Om. Ada apa, ya?"
"Kamu sudah berangkat sekolah?"
"Belum Om, 'kan mau jemput Zhenira dulu setelah ini."
"Baiklah, segera ke sini ya. Ada sesuatu yang terjadi dengan Zhenira, dan Om rasa kamu tahu apa yang terjadi dengannya."
"Apa?! Memang Zhenira kenapa?!"
Suara Zero yang sedikit meninggi, membuat semua aktivitas sarapan di meja makan berhenti. Semua anggota keluarga Dawson menatap Zero dengan ekspresi yang berbeda-beda. Terlebih sang adik yang menatapnya dengan kebingungan.
"Baik Om, Zero segera ke sana."
Setelah mendapatkan penjelasan singkat dari Om Darren barusan, Zero buru-buru bangkit dari duduknya dengan ekspresi panik luar biasa yang baru kali pertama ia tunjukkan secara terang-terangan di depan anggota keluarganya.
"Zero nggak bisa jelasin sekarang. Intinya, Zero harus ke rumah Zhenira saat ini dan maaf kalo seandainya Zero tidak bisa masuk ke sekolah hari ini. Tolong izinkan Zero, Pa."
Ekspresi panik dan cemas luar biasa terpampang jelas di wajah pemuda itu. Satu-satunya orang yang dituakan di keluarga tersebut, bisa melihat kekhawatiran cucunya yang begitu besar pada sosok Zhenira yang diketahui sebagai kekasih cucunya.
"Biarkan dia pergi," kata Grandma.
"Terima kasih, Grandma! Zero janji akan menceritakan apa yang terjadi setelah semua sudah terkontrol dan baik-baik saja nanti."
Usai mengatakan itu, Zero buru-buru mengambil kunci motornya dan tak lupa menyalami semua anggota keluarganya dan berakhir memberikan kecupan singkat pada pipi sang adik.
"Aku pamit!"
🌌🌌🌌
"Ck, sial! Sial, sial! Semoga nggak terjadi apa-apa sama lo, Zhe."
Raungan motor sport yang dikendarai dengan kecepatan sedang itu membuat sang empunya harus ekstra hati-hati ketika berkendara di jalanan raya yang sangat padat di pagi hari ini. Ia benar-benar panik ketika mendapat kabar dari Om Darren kalau Zhenira tidak bergeming ketika dibangunkan dari tidurnya.
Bukan itu saja, keterlibatan Oscars semakin membuatnya cemas tak karuan. Entah apa yang sebenarnya terjadi kali ini, Zero bersumpah akan menyelamatkan Zhenira. Ia hanya tidak ingin kejadian yang melibatkan Tamara dan dunia mimpi terjadi lagi pada gadisnya.
Pemuda bermarga Dawson itu mempercepat kecepatan motornya saat melewati jalanan yang cukup lenggang, membuatnya lebih cepat sampai di tujuan.
Sepuluh menit kemudian, sampailah Zero di lokasi tujuan.
Rumah Keluarga Evans.
Gerbang hitam yang menjadi sekat antara jalan raya dan rumah kekasihnya itu masih berdiri kokoh di sana. Hitam mulus tanpa adanya karat yang biasa membumbui sisi-sisinya. Sepertinya Om Darren sangat tahu kapan harus mengganti cat pagarnya.
"Ngapa gue jadi terpesona sama pagar, sih?"
Zero menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan pikiran absurd yang memasuki otaknya. Beberapa saat kemudian, ia segera memasukkan motornya ke pekarangan rumah Keluarga Evans. Om Darren ternyata sudah menunggunya, pria paruh baya yang masih tampak tampan di usianya yang sudah tidak muda lagi itu tengah berdiri menunggunya di teras.
"Apa yang terjadi, Om?" tanya Zero sesaat setelah tiba di depan Om Darren. Pemuda itu tampak sangat cemas, terlihat dari kedua alisnya yang menyatu, dan keningnya yang mengerut dalam.
"Om tidak tahu bagaimana kondisi pastinya, tapi Oscars dan Zhenira seolah tak bernyawa. Namun mereka masih bernafas dengan baik, Om sudah mengeceknya tadi. Mereka begitu tenang, benar-benar tak terusik saat dibangunkan."
Kening Zero berkerut semakin dalam, ia tidak tahu apa yang terjadi. Namun bila ini memang berhubungan dengan dunia mimpi, ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa tinggal diam begitu saja. Apa aku harus menghubungi para Guardian?
"Om, apa hal aneh yang terjadi sebelumnya?" tanya Zero kemudian.
Om Darren menggeleng, ia memimpin jalan memasuki rumah menuju lantai atas, ke kamar Zhenira. "Mending kamu lihat sendiri."
Ceklek!
Kriett ...
"Apa-"
Deg!
Zero membulatkan matanya.
Bukan.
Bukan posisi tidur Zhenira dan Oscars yang membuatnya terkejut, tapi keberadaan kotak biru di atas nakas yang sempat mengeluarkan cahaya. "Apa Om melihatnya?" tanya Zero sembari melangkah masuk ke dalam kamar. "Kotak itu bercahaya tadi," tuturnya kemudian.
Dhiana Evans yang duduk di samping ranjang tempat Zhenira dan Oscars terbaring, spontan menggeleng. "Tante tidak melihatnya. Apakah benar bercahaya? Kamu melihatnya, Darren?"
"Tidak."
Zero terdiam.
Ia dengan jelas melihat kotak itu mengeluarkan cahaya biru yang begitu terang tadi. Ya, meskipun hanya beberapa detik saja. Rasanya seolah kotak itu memang memberikan sinyal padanya barusan.
"Sepertinya ini memang ada hubungannya dengan kotak itu."
"Memang itu kotak apa? Tante tidak pernah melihat Zhenira mempunyai kotak seperti itu," tutur Dhiana Evans.
Zero menghela napasnya dan menatap pada kedua orang tua kekasihnya itu dengan serius. "Ini memang berhubungan dengan dunia mimpi Om, Tante. Zero tidak bisa menjelaskannya secara detail karena Zero pun belum tau pasti apa yang terjadi. Namun bisa dipastikan, jiwa Zhenira dan Oscars sedang tidak berada di tubuhnya."
"Jadi intinya, mereka akan terus seperti ini sampai jiwa mereka kembali ke tubuh mereka, begitu?"
Zero mengangguk mantap. "Saya akan mencari cara untuk menyusul Zhenira dan Oscars ke sana. Untuk itu, saya akan membawa kotak ini dan menemui seseorang yang bisa membantu saya dalam hal ini."
Darren memicingkan matanya dan menatap kekasih dari putrinya itu dengan mata yang sudah menyipit. "Siapa orang yang kamu maksud? Apakah ada orang lain yang tau tentang ini selain teman-teman kalian?" tanya Darren.
"Kalau diceritakan akan sangat panjang, Om. Intinya, mereka ini disebut The Guardian. Penjaga perbatasan kedua dunia. Antara dunia nyata dan dunia mimpi. Dua dari delapan di antara mereka ada di bumi sekarang."
Mendengar penjelasan Zero, membuat Dhiana Evans semakin tak tenang. Ibunda dari Zhenira Silvanna Evans itu terdiam dengan mata yang kosong dan tampak menerawang. "Lalu, apa yang harus dilakukan?" lirihnya. Netranya beralih pada putrinya dan keponakannya yang masih tertidur dengan tenang. "Apakah mereka akan baik-baik saja?"
"Tante, Zero akan berusaha sekeras mungkin membawa mereka kembali. Jadi Tante sama Om cukup percayakan ini pada Zero. Para Guardian pasti juga akan membantu, teman-teman juga."
Darren mengurut tulang hidungnya, tak lupa helaan napas halus yang keluar dari mulutnya. "Baiklah, Om serahkan masalah ini padamu." Tatapan mata ayah Zhenira itu begitu yakin. Tidak ada keraguan dalam suaranya ketika mempercayakan permasalahan ini pada Zero.
Karena Darren pun tahu, kalau Zero sangat peduli pada putrinya. Terlebih lagi, Zero juga memiliki keistimewaan yang sama dengan putrinya itu. Jadi untuk sekarang, ia akan mempercayakan masalah ini pada Zero. Ia yakin kalau pemuda itu akan membawa Zhenira dan Oscars kembali.
Sama seperti kejadian beberapa bulan yang lalu.
•
•
•
Hai! Balik lagi nih aku!
Akhirnya bisa up lagi setelah sekian hari, huhu.
Aku emang lagi sibuk banget guys.
Semoga kalian suka sama part ini ya! Jangan lupa tinggalkan jejak!
See you next part ><
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro