Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 ߷ Silvanna's Country



"My King, she's here."

Kelopak mata yang semula tertutup itu kian terbuka. Menampakkan iris biru berkilaunya yang tampak berkilat-kilat. Senyum miring tersungging di bibir merah semerah buah delima itu. Senyum yang begitu mengerikan, sekaligus memabukkan.

"Bawa dia padaku."

"Sesuai perintahmu, Rajaku."

🌌🌌🌌

"Hah, capek banget gue."

Zhenira mengusap keningnya yang bercucuran keringat. Oscars pun tak jauh berbeda dengannya. Kedua saudara sepupu itu sama-sama lelah setelah berkeliling kota untuk mencari pekerjaan. Matahari yang semakin naik pun menambah rasa penat mereka.

"Gimana nih, Zhe? Bisa-bisanya gaada satupun orang yang mau mempekerjakan kita. Gatau aja mereka kalo gue jago main gitar," sungut Oscars dengan kedua alis yang sudah tertekuk sebal.

Zhenira menggeleng. "Gatau juga gue. Kebanyakan alasan mereka nolak karena lihat pakaian yang kita pake. Emang sih, kita kelihatan yang paling beda di sini."

"Iyalah, orang pakaian kita pakaian modern. Cih, dasar orang-orang kuno nggak punya selera fashion."

Oke, Oscars mulai kesal sekarang.

Zhenira tertawa terbahak-bahak mendengar gerutuan sepupunya itu. Sangat jarang bisa melihat Oscars sekesal dan semarah itu, pikirnya. Keduanya masih asik bercengkrama hingga suara pacuan kuda membuat keduanya menoleh ke sumber suara.

Oscars menyipitkan matanya saat melihat seorang pria memakai jubah hitam ala-ala perdana menteri kerajaan turun dari kudanya. Kedatangan pria itu membuat semua orang menghentikan aktivitasnya dan berjejer rapi menyambutnya.

Berbeda dengan Oscars dan Zhenira yang masih mengamati pemandangan itu dari jauh sembari mendudukkan diri di bawah pohon yang daunnya lumayan rimbun.

"Apakah di antara kalian ada yang melihat dua orang asing lewat sini? Perempuan dan laki-laki, pakaiannya juga berbeda dari kebanyakan orang."

Zhenira dan Oscars saling pandang.

"Apakah yang dimaksud kita?" tanya Oscars pada sepupunya.

Zhenira menggeleng tanda tidak tahu. "Nggak tau juga gue, semoga aja bukan."

"Itu mereka di sana!"

Zhenira terkesiap saat orang-orang itu menunjuk dirinya dan Oscars. Kakinya gemetar tanpa sadar. Ia merasa ini bukanlah sesuatu yang baik. Buru-buru ia menarik sepupunya bangun dari duduknya dan berlari keluar dari wilayah tersebut.

"Hei! Tunggu! Jangan lari!"

Zhenira menghiraukan teriakan orang asing itu. Ia mendengar dengan jelas suara tapak kaki kuda yang mengejarnya dan sepupunya. Oscars yang masih dilanda kebingungan hanya mengikuti langkah kaki Zhenira.

"Kenapa kita lari sih, Zhe?" tanyanya dengan suara yang sedikit dikeraskan agar terdengar oleh Zhenira.

"Ya karena kita dikejar, bego! Gue nggak tau dia orang baik atau bukan! Lo mau kita kenapa-napa di dunia asing ini?!" sentak Zhenira. Ia mempercepat langkah kakinya kala mendengar suara tapak kaki kuda yang semakin mendekat.

"Iya juga sih," balas Oscars.

Zhenira mendengkus.

Gadis bermarga Evans itu mengkode Oscars agar mempercepat langkah kakinya. Apalagi ketika melihat sebuah hutan di depan mereka saat ini. Ia lebih baik lari ke dalam hutan daripada tertangkap orang asing yang seperti perdana menteri kerajaan itu. Ia benar-benar tidak ingin melibatkan diri dengan siapapun di dunia asing ini.

Setidaknya, sampai ia menemukan cara untuk kembali ke dunia asalnya.

Jdak!

Brug!

"ZHE!"

"Akh, kepala gue."

Oscars buru-buru membantu Zhenira yang terjatuh. Dilihatnya kening sepupunya itu sampai berdarah karena terjatuh tepat di jalan berbatu di depan mereka. "Duh! Kok lo nggak hati-hati, sih?!" tanya Oscars panik.

Zhenira hanya menjawab dengan gelengan. Kepalanya berdenyut-denyut, sungguh pusing dan sakit yang dirasakannya sekarang. "Oscars ..." lirihnya.

Tuk tik tak tik tuk

Oscars panik saat suara langkah kaki kuda itu terasa semakin dekat. Tanpa ba-bi-bu lagi, ia langsung menggendong Zhenira di punggungnya. Lantas kembali berlari menghindari kejaran sang pria asing tersebut.

"Tunggu! Jangan lari! Saya tidak berniat jahat!"

Teriakan tersebut membuat Oscars menghentikan langkah kakinya seketika. Menoleh ke belakang dan mendapati pria asing tersebut sudah berdiri bersama kuda hitamnya di sana. Tepat beberapa meter di depannya. Oscars melirik sang sepupu yang tampak memejamkan mata dan meringis kesakitan. Lantas ia menurunkan Zhenira dan mendudukkan sepupunya itu di bawah pohon.

"Cepat katakan apa maumu!" ujar Oscars setelahnya. Tatapan pemuda itu menghunus tajam pada sang pria berjubah hitam. Tatapan penuh kewaspadaan yang kini Oscars tunjukkan sekarang.

"Mohon maaf sebelumnya, tapi ini perintah Raja kami. Beliau mengundang Nona Zhenira ke istana."

Bingung, heran, dan bertanya-tanya.

Semua itu tergambar jelas di wajah Oscars dan Zhenira.

"Aku? Tapi kenapa? Aku bahkan tidak mengenal kalian." Jelas saja Zhenira merasa bingung sekarang. Dia merasa tidak pernah punya masalah atau hubungan apapun dengan kerajaan dan dunia asing ini, apalagi sang raja.

"Anda salah, justru Anda adalah seseorang yang paling ditunggu-tunggu kedatangannya oleh kami. Negeri Silvanna ini membutuhkan keberadaan Anda, Nona."

Nyut!

Zhenira reflek memegang kepalanya yang kembali berdenyut-denyut. Ia menatap Oscars yang melihatnya dengan tatapan linglung. "Zhe, Silvanna bukannya nama tengah lo, ya?" tanyanya. Anggukan tanpa suara yang dilakukan Zhenira semakin membuat Oscars terkejut bukan main.

Apakah ini suatu kebetulan?

Kenapa nama negeri ini dan nama tengah Zhenira bisa sama?

Itulah yang dipikirkan Oscars saat ini.

"Kalo bener lo suruhannya si Raja itu, bawa gue sama sepupu gue ke sana."

"Enggak! Apaan, sih?! Kok lo main ngikut aja?! Gue nggak mau, ya!" Zhenira melayangkan kalimat protesnya dengan cepat. Ia menolak mentah-mentah keputusan sepihak Oscars tersebut.

"Lihat keadaan lo dulu, bego! Lo butuh perawatan segera!" sentak Oscars dengan netra kelamnya yang berkilat-kilat. Tidak ada yang ia pikirkan selain keadaan sepupu tersayangnya itu saat ini.

"Ck, lo pikir gue selemah apa, hah?!" sentak Zhenira tak terima.

"Nona, benar kata sepupu Anda. Luka di kening Anda harus segera diobati agar tidak infeksi."

"Diam kau!" Zhenira menatap pria asing berjubah hitam itu dengan sengit. Ia tidak akan ikut ke istana secara suka rela. Titik!

Setelahnya Zhenira kembali berdebat dengan Oscars tentang penolakannya, hingga tak menyadari kalau pria asing berjubah hitam itu telah berdiri di belakangnya dan memukul tengkuknya dengan keras.

Seketika, Zhenira pingsan di tempat.

"Woy! Lo apain sepupu gue, anj?!"

"Ayo! Saya hanya punya waktu sampai matahari terbenam untuk membawa kalian ke istana," terang pria tersebut sembari membawa Zhenira dalam gendongannya.

Oscars melongo.

Beberapa detik setelahnya, ia segera mengikuti langkah kaki pria yang sepertinya seumuran dengan salah satu bodyguard kesetiaan papanya itu. Ah, ia tiba-tiba jadi merindukan sang papa.

Papa lagi apa ya, sekarang?

Tahu nggak ya, kalau anak sama keponakannya hilang dan terdampar di dunia antah berantah?

🌌🌌🌌

"Ugh, pusing banget kepala gue."

Zhenira yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya tidak menyadari kalau ada sosok pria yang mendengar keluhannya barusan. Ia baru menyadarinya ketika pria itu tiba-tiba sudah berada di samping ranjang tempatnya berbaring sekarang.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya.

Zhenira terkesiap sampai tak bisa berkata-kata. Apalagi ketika netra biru berkilauan itu tampak tak asing buatnya. Wajah tampan dan ekspresi dingin itu juga terasa familiar.

"Lo-"

"Kamu."

"Hah?"

"Pakai aku-kamu."

"Dih! Ogah banget." Zhenira merotasikan matanya. Ia menatap tajam pria di depannya ini. "Lo pria bersayap yang waktu itu dateng di mimpi gue, 'kan?! Yang ngebakar burung elang cantik dan gemoy itu, 'kan?!" tudingnya.

Kedua alis pria tersebut tampak menyatu dengan kening berkerut saat mendengar kata terakhir yang terdengar asing di telinganya.

"Gemoy?"

Zhenira berdecak. "Gemoy itu lucu!"

"Ohh."

Bibir Zhenira berkedut kesal, siap menumpahkan sumpah serapahnya jika saja kedatangan Oscars tidak mengalihkan perhatiannya saat itu. Sepupunya tersebut muncul dari arah pintu besar yang sepertinya adalah pintu satu-satunya untuk akses keluar-masuk kamar ini.

"Zhe! Lo nggak kenapa-napa, 'kan?! Gila si, anjir! Itu om-om jubah hitam keknya punya penyakit tempramen ..." ujar Oscars setibanya di samping ranjang Zhenira. Ia bahkan mengabaikan sosok pria bermanik biru yang kini menatapnya dengan tajam. Tampak terganggu dengan kedatangan Oscars yang tiba-tiba dan tanpa mengetuk pintu seperti seharusnya orang yang punya sopan santun.

"... untung cuma pingsan doang," ujar Oscars mengakhiri ocehannya.

Mendengar perkataan Oscars, membuat gadis yang masih terbaring di ranjang itu menunjukkan deretan gigi putihnya disertai kekehan kecil yang terdengar dari bibir mungilnya. "Gue gapapa kali, cuma agak pusing aja." Zhenira meraba-raba keningnya dan baru menyadari kalau luka di daerah pelipisnya itu sudah hilang.

Oscars yang menyadari kebingungan sepupunya itu akhirnya menjelaskan. "Tadi ada tabib penyihir yang nyembuhin luka lo. Keren banget, sumpah. Di dunia kita mana ada sihir-sihir penyembuh kayak gitu, ya 'kan?"

"Iya, sih." Zhenira mengedarkan pandangannya ke segala arah dan tatapannya berhenti pada pria bermanik biru yang masih menatapnya dalam diam.

Seketika suasana canggung menyelimuti ketiganya. Baik Oscars dan Zhenira tidak ada yang membuka pembicaraan hingga pintu kamar kembali terbuka dan muncul sosok pria berjubah hitam yang membawa Zhenira dan Oscars ke tempat ini.

"Hormat hamba, Yang Mulia."

"Apakah semua persiapan untuk penyambutan sudah siap?"

"Sudah, Yang Mulia. Semuanya telah disiapkan dengan sangat baik. Apakah Anda membutuhkan sesuatu yang lain?"

"Tidak, tapi tolong bawa pemuda ini pergi. Dia sangat mengganggu. Aku ingin berbicara empat mata dengan Zhenira."

Oscars yang merasa tidak terima langsung melayangkan protesannya. "Woy! Lo pikir gue apaan?! Jangan mau, Zhe! Nih orang pasti punya maksud tertentu!" sungut Oscars. Anak tunggal dari Revalino Reyhan itu merasa sangat kesal sekarang.

"Udah gapapa, lo keluar aja dulu. Biarin gue ngomong berdua sama nih orang, gue juga perlu tanya beberapa hal. Lo pasti paham maksud gue," ujar Zhenira yang berusaha meyakinkan sepupunya tersebut. Sama seperti Oscars, diapun tidak terima dengan perkataan pria itu yang seolah mengusir sepupunya secara terang-terangan tadi. Bagaimanapun, Oscars itu sepupunya. Sepupu satu-satunya pula.

"Ck! Ya udah, gue keluar dulu kalo gitu." Ya, Oscars pun tidak bisa berbuat apa-apa jika Zhenira sudah berkehendak. Sepupunya itu pasti tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Termasuk mengorek informasi sebanyak-banyaknya dari orang-orang ini. Siapa tahu mereka bisa menemukan informasi untuk bisa kembali ke dunia mereka.

Ya, setidaknya untuk saat ini.

🌌🌌🌌

"Jadi, apa yang ingin Anda bicarakan?"

"Kenapa jadi Anda? Aku-kamu."

"Terserah saya, ini mulut-mulut saya. Cepat katakan! Saya masih pusing dan ingin kembali beristirahat."

Keheningan terjadi di antara kedua anak adam dan hawa itu. Zhenira yang masih menunggu jawaban, dan pria bermanik biru itu yang masih mencari kata-kata untuk menjelaskan apa yang ingin ia katakan pada gadis di depannya.

"Pertama, aku adalah orang yang memberikanmu kotak biru itu. Kotak itu adalah satu-satunya portal yang bisa membawamu keluar-masuk ke negeri ini. Itu kenapa kamu bisa ada di sini setelah berhasil membuka kotaknya."

Zhenira mengerutkan keningnya. Ia mengetukkan jari-jarinya ke dagu, mencoba menyatukan kepingan memori yang akhir-akhir ini dialaminya.

"Jadi, burung gagak dan di koridor laboratorium itu Anda?" tanya Zhenira.

"Ya, itu aku. Aku mencoba memberimu petunjuk, tapi kau tidak peka-peka. Ya sudah, aku datangi saja mimpimu waktu itu. Berpura-pura menjadi penyelamat di dunia mimpi yang aku ciptakan sendiri."

"Tunggu-tunggu, dunia mimpi yang Anda ciptakan sendiri? Jadi siluman elang raksasa bernama Raina itu tidak nyata?"

Gelengan kepala didapati Zhenira atas pertanyaannya barusan. "Tidak, dia nyata. Namun Raina bukanlah siluman, dia salah satu orang kepercayaanku. Sama seperti Elmo."

Zhenira berdecak. "Elmo siapa lagi?"

"Yang sepupumu panggil om-om tadi. Padahal dia lebih muda darimu. Ia baru berumur 17 tahun bulan kemarin."

Mulut Zhenira terbuka tanpa sadar.

Hei! Siapapun tidak akan percaya kalau pemuda tampan, tinggi, dan memakai jubah hitam resmi seperti perdana menteri itu baru berumur 17 tahun!

"Lalu, Anda sendiri bagaimana?"

Pertanyaan Zhenira yang tiba-tiba itu membuat pria di depannya ini menatapnya dengan lekat. Zhenira tidak dapat menggambarkan bagaimana netra biru berkilauan itu menatapnya sedemikian rupa.

"Kau ingin aku menceritakannya atau mencari tahu sendiri?"

"Apa maksud Anda? Anda tidak ingin menceritakannya pada saya?"

Kekehan kecil terdengar dari bibir penuh pria tersebut. "Aku-kamu. Baru aku akan menceritakannya padamu." Sebuah seringai terbit di bibir merah semerah buah delima itu.

"Ogah banget, emang lo siapa gue? Pacar bukan, kenal juga nggak, mau pake aku-kamuan. Dih, ogah."

"Ya sudah, kalau begitu kau harus mencari tahu sendiri. Pembicaraan ini cukup sampai di sini, karena aku harus mengurus beberapa hal."

Cup!

"Beristirahatlah."

Zhenira terpaku.

Perlahan tangannya naik dan mengusap keningnya yang baru saja mendapat sebuah kecupan dari pria bersayap yang belum ia ketahui namanya itu.

Apa-apaan itu?!



Omoo, aku nulis apa ini?!
(T▽T)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro