10 ߷ Exposed
•
•
•
Suasana kantin SMA Negeri Majalengka pada pagi hari itu terasa tegang. Ketujuh anak adam dan tiga anak hawa duduk melingkar di area pojok kantin. Padahal bel masuk jam pertama sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, tapi mereka tidak beranjak dari tempat duduk masing-masing.
Fokus tatapan mereka mengarah pada seorang gadis yang masih terpaku di tempatnya tersebut. Meminta penjelasan atas hal yang baru saja mereka dengar.
Biarlah mereka membolos di jam pertama, karena hal apapun yang melibatkan gadis itu adalah prioritas mereka sebagai sahabat. Mereka tidak akan tenang jika Zhenira belum menceritakan persoalan yang tengah dihadapinya sekarang.
"Zhe, apa yang lo bilang tadi bener?"
"Lo nggak mau cerita sama kita?"
Pertanyaan beruntun dari Oscars dan Trax yang ditujukan untuk Zhenira itu membuat sang empunya nama semakin merasa terpojok.
Semuanya bermula ketika ia dan Zero tanpa sengaja menyinggung soal kotak biru berona silver di tengah para sahabatnya tadi. Ia benar-benar lupa kalau ia tidak hanya berdua dengan Zero di kantin. Melainkan ada sahabat-sahabatnya juga. Jadilah mereka meminta penjelasan darinya sekarang.
Zhenira menghela napas, menatap satu per satu sahabatnya dengan ekspresi wajah lelah dan frustasi yang tidak bisa dideskripsikan. Kedua telapak tangannya terangkat ke belakang, membenarkan kunciran rambutnya yang sedikit longgar.
"Gue harus mulai dari mana?" tanya Zhenira dengan tenang. Ekspresi tenang yang ditunjukkannya sekarang, berbanding terbalik dengan pikiran dan perasaannya yang campur aduk. Susah untuk mendeskripsikan suasana hatinya saat ini.
"Semuanya, Zhe. Dari awal. Ceritain semuanya," tuntut sang sepupu─Oscars─dengan penuh penekanan. Tatapan pemuda itu begitu mengintimidasi Zhenira sekarang.
"Jadi begini ..."
Setelah itu, mengalirlah semuanya.
Zhenira menceritakan semua yang dia alami tanpa ditutup-tutupi sedikit pun. Bahkan hal yang belum ia ceritakan pada Zero juga ia ceritakan sekarang. Semuanya, tanpa terkecuali.
"... gue bingung sama semua kejadian ini. Semuanya masih abu-abu buat gue," ujar Zhenira mengakhiri cerita panjangnya.
Hening.
Semua tatapan para sahabatnya tak bisa Zhenira deskripsikan sekarang. Pikirannya terlalu lelah untuk sekadar menerka atau menebak-nebak apa yang dipikirkan oleh sahabat-sahabatnya saat ini.
"Argh! Otak gue nggak nyampe!" pekik Maxime. Suara pemuda itu berhasil memecah keheningan yang sempat terjadi di antara mereka.
Beruntung karena suasana kantin sedang sepi, jadi mereka tidak terlalu khawatir kalau pembicaraan mereka akan didengar orang.
"Burung gagak, manusia berkepala binatang, pria bersayap misterius, dan siluman elang raksasa? Apa maksud semua ini, Zhe?" tanya Linda sembari memegang telapak tangan Zhenira yang kebetulan duduk di sampingnya tersebut. Ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi cemasnya kala salah satu sahabatnya mengalami hal yang begitu mistis dan magis seperti ini.
Zhenira semakin menundukkan kepalanya, menahan tetesan air yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia meremas jari-jemari Linda yang masih setia memegang tangannya.
"Gue takut, Lin."
Linda terkesiap, ia buru-buru menarik kepala Zhenira ke pelukannya. Diusapnya punggung sahabatnya yang gemetar karena menahan isak tangis tersebut.
Oscars dan Zero diam-diam mengepalkan kedua tangannya di bawah meja. Pikiran kedua pemuda yang paling dekat dengan Zhenira itu sama. Merasa marah karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk gadis itu.
"Satu-satunya cara, kita harus temuin para guardian," celetuk Marcell.
"Tidak perlu."
Suara asing yang memasuki indra pendengaran, membuat kesepuluh remaja itu menengok ke sumber suara. Kening Kesya mengerut heran saat melihat dua anak baru di kelasnya itu tiba-tiba menghampiri ia dan teman-temannya.
"Apa maksud lo?" tanya Oscars dengan sinis. Ia merasa tidak suka saat ada orang asing yang tiba-tiba bergabung di pembicaraan penting mereka. Lagipula, bukankah ini masih jam pelajaran? Bagaimana dua orang ini bisa keluar kelas?
"Kenalin, gue Aronaz dan ini Ravgaz. Gue sama Ravgaz anak baru di kelas Zhenira, kalo itu yang mau lo denger."
Perkataan pemuda bersurai dark blue itu membuat semua yang berada di sana mengerutkan kening dengan bingung. Mereka merasa heran dengan kemunculan dua orang itu yang terasa begitu tiba-tiba.
"Kalian nggak perlu bersusah payah ingin bertemu para guardian, karena dua di antara mereka sedang ada di bumi dan mengawasi kalian." Ravgaz menarik sudut bibirnya diam-diam saat melihat para remaja di depannya mulai menunjukkan ekspresi terkejut.
Terlebih Zero, dan Zhenira yang sudah berhenti dari acara menangisnya. Gadis itu menatap lekat-lekat pada dua anak baru di kelasnya tersebut. Wajah kedua pemuda itu memang tidak asing di matanya. Ia melirik Zero yang ternyata juga tengah menatapnya.
Tatapan mereka bertemu.
Zero mengangguk, seolah mengerti dengan tatapan Zhenira. Lalu kembali mengalihkan tatapannya pada dua pemuda yang masih berdiri itu.
"Biar gue tebak, dua guardian itu pasti lo berdua, 'kan?" tanya Zero. "Kalau nggak salah, kalian guardian ketiga dan keempat. Aronaz dengan surai dark bluenya dan Ravgaz dengan surai hitamnya."
"Bingo!"
Aronaz tertawa.
"Sebenarnya, kami tidak bisa asal menunjukkan diri seperti ini. Namun kami juga sudah lelah main petak umpet begini. Kami tahu kalau kalian bisa dipercaya, jadi tolong rahasiakan identitas kami." Ravgaz berujar dengan penuh wibawanya. Aura kepemimpinannya sangat terasa.
Zhenira ingat sekarang!
Ya! Ia pernah melihat wajah dua orang itu di antara para guardian yang dikenalkan oleh Geraldz waktu itu. Bagaimana bisa ia tidak menyadarinya selama ini? Apalagi dua orang itu sudah menjadi murid baru sebelum skandalnya dengan Tamara waktu itu. Berarti sudah sangat lama kedua guardian itu mengawasi dirinya dan teman-temannya.
"Kau benar Zhenira, kami sudah cukup lama mendapatkan misi dari Geraldz untuk mengawasimu dan teman-temanmu," ujar Aronaz seolah bisa membaca pikiran Zhenira.
Zhenira terkesiap.
"Lalu, apakah Geraldz mengatakan sesuatu pada kalian soal kotak itu?"
Aronaz dan Ravgaz mengangguk serempak. "Geraldz bilang, ada suatu bisikan asing yang menyuruhnya untuk memberikan kotak itu padamu. Selebihnya, kami masih mencari tahu."
Zhenira mendesah kecewa saat tak mendapatkan jawaban yang memuaskan atas rasa penasarannya. "Soal kejadian aneh yang gue alami, apa kalian juga mengetahuinya?" tanya Zhenira lagi.
"Kami mengetahuinya, tapi kami tidak tahu apa artinya. Kalau ini bisa memberikanmu pertunjuk, maka akan kukatakan." Ravgaz menjeda kalimatnya sejenak, ia melirik Aronaz seolah meminta persetujuan. Aronaz mengangguk, mengizinkan Ravgaz mengatakan apa yang diketahuinya.
"Ada sesuatu atau seseorang yang sedang mengincarmu. Yang berusaha terhubung denganmu lewat kotak dan mimpi-mimpi itu, Zhenira."
🌌🌌🌌
Memutar musik dengan volume keras-keras adalah hal yang dilakukan Zhenira untuk menenangkan dirinya saat ini. Ia tengah menyendiri di taman sekolah. Menolak ajakan para sahabatnya yang kembali mengajak berkumpul di kantin untuk makan siang bersama di istirahat kedua kali ini. Bahkan ia juga menolak Zero saat kekasihnya itu menawarkan diri untuk menemaninya ke taman.
Ia hanya butuh sendiri.
Isakan-isakan kecil kembali terdengar dari bibir mungil gadis cantik bersurai hitam itu. Dilesakkannya wajah sembab itu pada lipatan lututnya. Menangis keras-keras untuk mengusir rasa gelisah dan gundah di hatinya.
Sungguh, ia tidak ingin berurusan dengan dunia mimpi lagi. Dengan apapun yang berbau mimpi dan supranatural. Ia sudah tidak ingin terlibat lagi.
Zhenira memukul-mukul bagian dadanya yang terasa diremas kuat dari dalam. Membuat napasnya kembali sesak tak terkendali.
Zero yang berdiri tidak jauh dari tempat Zhenira duduk hanya bisa menatap gadisnya dengan perasaan campur aduk. Perasaan marah, tidak berdaya, dan keputusasaan tergambar jelas di netra sekelam malam itu. Beberapa saat kemudian, pemuda bermarga Dawson itu memilih pergi dari sana dan membiarkan gadisnya sendiri. Ia sangat tahu kalau Zhenira butuh menenangkan diri sekarang. Ia tidak akan memaksa gadisnya untuk merengek atau bercerita padanya saat ini.
Namun, ia akan mencari tahu secepatnya. Mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini.
🌌🌌🌌
"Lo nggak paham, Oscars! Lo pikir segampang itu jadi gue, hah?!"
Bagaimana Zhenira tidak emosi? Sepupunya itu dengan gamblangnya bilang kalau Zhenira mungkin saja hanya mengalami 'lucid dream' dan pengakuan dua guardian itu hanyalah untuk menakut-nakuti sepupunya saja.
"Kalo gue lucid dream, kunci sama kotak itu nggak bakalan ada di sini sekarang!" pekiknya. Zhenira mendudukkan dirinya ke sofa dengan kasar, tak lupa menenangkan diri karena amarah yang memuncak.
Ya, Oscars memang sedang berada di rumahnya saat ini. Sepupunya itu bilang kalau dia khawatir, maka dari itu Oscars memutuskan untuk menghampirinya di rumah. Namun lihat?! Bukannya semakin tenang, ia malah semakin marah dibuatnya.
Beruntung sang ibunda sedang ada di kantor bersama ayahnya. Jika tidak, ia yakin kalau Oscars akan mendapatkan bogeman mentah dari sang ayah.
Oscars mengacak rambutnya, merasa ikut frustasi dengan situasi yang tengah dihadapi oleh sepupunya. "Iya maaf, kan gue cuma ngeluarin pendapat aja. Jadi gimana? Nggak mungkin 'kan gue diem aja waktu tau ada orang yang ngincar lo."
Zhenira menggelengkan kepalanya. "Gue juga nggak tau," lirihnya. "Entah ini emang beneran keistimewaan atau kesialan, gue nggak tau."
Ya ... Oscars pun juga tidak tahu harus bagaimana sekarang. Secara, yang mereka hadapi ini sesuatu hal yang berbau supranatural. Sesuatu yang mungkin tidak akan dipercaya oleh orang awam akan keberadaannya.
Padahal, mereka benar-benar ada.
"Gini deh, gimana nggak lo coba buka aja kotak itu sekarang? Bisa aja di dalam kotak itu emang ada petunjuk tentang semua hal yang lo alami beberapa hari ini."
Zhenira terdiam, jari telunjuknya terangkat dan mengusap-usap dagunya. "Lo ada benernya, sih. Semua kejadian itu 'kan bermula sejak gue dapet kotak itu," ungkap Zhenira.
"Nah! Mending lo cari tau isi kotak itu sekarang, biar nggak makin penasaran."
Zhenira mengangguk, menyetujui pendapat sang sepupu. Buru-buru ia menarik tangan Oscars ke kamarnya. Kedua saudara sepupu itu tidak tahu, apa yang akan mereka alami setelah ini.
🌌🌌🌌
"Lo simpen di mana kotaknya, Zhe?" tanya Oscars setibanya di kamar Zhenira.
"Di laci nakas paling atas, sebelah kanan."
Oscars mengangguk, ia segera mengeluarkan kotak itu dari tempatnya. Sementara Zhenira tengah mengunci pintu kamarnya, agar tidak ada orang yang masuk dan mengetahui adanya kotak biru berona silver misterius itu.
Bisa gawat kalau sampai ada orang yang tahu soal kotak itu selain ia dan para sahabatnya. Takutnya malah disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Klik!
Setelah memastikan pintu kamarnya telah terkunci rapat, Zhenira segera bergabung dengan sepupunya di atas ranjang. Keduanya duduk berhadapan dengan kotak biru itu sebagai penengah.
"Buka kotaknya, Zhe."
Zhenira mengangguk, ia mengambil kunci emas yang tergeletak di atas tutup kotak itu dan mulai memasukkan kunci tersebut pada lubang gembok yang menjadi penghalang untuknya.
Setelah berhasil membuka gemboknya, Zhenira langsung membuka tutup kotak tersebut. Seketika ia bisa merasakan ada aura magis yang kuat keluar dari dalam kotak itu. Namun, bukan itu yang membuat Oscars dan Zhenira terperangah sekarang.
Melainkan isi di dalamnya.
Bukan harta karun atau benda-benda aneh seperti ramuan, surat, dan foto lama seperti yang kalian pikirkan.
Namun, sebuah miniatur kerajaan.
Kerajaan yang pasti mempunyai nama besar di masa kejayaannya.
Oscars dan Zhenira tidak sempat menyuarakan kekaguman mereka. Karena tiba-tiba, jiwa mereka sudah tertarik ke dalamnya.
🌌🌌🌌
Brug!
"Aw, badan gue."
Ringisan kecil keluar dari bibir mungil gadis cantik bersurai hitam itu. Dilihatnya tempat asing yang menjadi tempatnya terdampar.
Sebuah kota dengan para masyarakatnya yang kaya raya.
Namun, bukan itu yang membuat Zhenira merasa heran sekarang. Melainkan sebuah geraman rendah yang terdengar begitu dekat dari tempatnya. Netranya menoleh ke bawah saat merasakan sebuah pergerakan dari tempat yang didudukinya.
"Ya ampun, Oscars!"
Zhenira meringis kala mengetahui kalau ia menduduki punggung sepupunya itu tadi. Bisa dilihatnya tatapan tajam Oscars yang tertuju padanya dengan penuh amarah.
"Sakit, bego! Dikira lo nggak berat, apa?!"
Netra Zhenira membulat sempurna. Ia mendelik ke arah sepupunya yang sibuk membersihkan debu yang menempel pada bajunya. "Kan gue nggak sengaja, Bambang!" belanya.
Oscars berdecak. Ia tidak menanggapi perkataan sepupunya itu. Anak tunggal dari Revalino Reyhan itu baru menyadari kalau ia dan Zhenira saat ini tengah berada di tempat asing. "Di mana kita?" gumamnya.
Zhenira menggelengkan kepalanya tidak mengerti. "Yang gue tau, ini pasti wilayah kerajaan yang ada di kotak itu."
"Jangan bilang kalo kita masuk ke dalam kotak aneh itu." Oscars bergidik ngeri kala membayangkan kalau ia benar-benar terseret masuk ke dalam kotak misterius itu.
"Emang iya. Lo bisa lihat sendiri, kan?"
"What?!" Oscars menatap sepupunya tak percaya. Jawaban enteng yang diberikan Zhenira tadi membuatnya sedikit kesal. "Zhe! Lo jangan bercanda, deh!"
"Lo pikir gue lagi bercanda?! Lo lihat sekeliling lo, Oscars! Ada di mana kita sekarang?!"
Oscars menurut. Ia kembali mengedarkan pandangannya.
Rumah-rumah kuno bergaya Eropa, pakaian aneh yang dipakai orang-orangnya membuat ia sakit mata seketika. Jalanan beton dari batu asli, air mancur di tengah-tengah jalan. Jangan lupakan logat aneh yang orang-orang itu gunakan.
Ia melirik pakaiannya sendiri dan pakaian Zhenira. Sangat berbeda dengan orang-orang itu. Ia dan Zhenira masih memakai pakaian yang tadi. Ya, pakaian yang sama seperti yang mereka gunakan sebelum terdampar di sini.
"Lo lihat, 'kan?"
Suara Zhenira membuat Oscars kembali tersadar. Ia mengangguk tanpa suara. Sekarang ... ia bingung harus bagaimana menghadapi situasi semacam ini.
"Lo tenang aja, gue bakal cari cara supaya kita bisa bertahan hidup di tempat asing ini."
•
•
•
Huaa, akhirnya nyampe juga di awal konflik. Huhu, nulis part ini bikin deg-degan sumpah ಥ⌣ಥ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro