Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09 ߷ Eagle Stealth & Winged Man



"Ohh, astaga! Di mana lagi aku?"

Zhenira mengedarkan pandangannya ke segala arah. Sejauh mata memandang, hanya ada pasir. Tidak ada kehidupan, bangunan, ataupun kota.

Hanya ada pasir.

Zhenira tahu kalau ini adalah mimpi, tapi tempat ini benar-benar tidak pernah ada di mimpinya. Ia tidak pernah bermimpi di padang pasir seperti ini. Terlebih lagi, angin malam di sini sangatlah kencang.

Netranya menatap ke arah pakaian yang dipakainya. Kaos oblong warna biru dan celana kain berwarna hitam.
Pakaian ini jelas tidak akan membantunya untuk menghangatkan diri. Zhenira menepuk dahinya dengan keras dan mengacak-acak rambutnya frustasi. "Entah kenapa di saat kayak gini gue malah keinget Oscars," gumamnya dengan tatapan menyendu.

Zhenira berjalan tak tentu arah, waktu terasa begitu lambat rasanya. Entah kapan ia akan terbangun dari tidurnya, atau paling tidak berpindah tempat ke tempat yang lebih layaklah. Bukan di padang pasir tanpa ujung seperti ini.

Tak!

Gadis dengan rambut panjang tergerai itu berjengit kaget. Netranya menunduk ke bawah, mengangkat kaki kanannya dan mencoba memeriksa benda apa yang diinjaknya. Belum sampai niatnya terlaksana, tanah yang dipijaknya tiba-tiba terbuka dan menyeretnya ke bawah.

"HUAAA!" Zhenira tidak bisa menahan teriakannya lagi. Ia menutup matanya erat-erat saat dirasa tubuhnya meluncur ke bawah dengan cepat.

Brug!

"Aw, kepala gue."

Zhenira dengan cepat membuka matanya saat merasakan kepalanya membentur sesuatu yang keras saat mendarat. Baru seperkian detik ia membuka netranya, ia dikejutkan dengan suara gemuruh yang datang dari atas. Bahkan tempatnya duduk saat ini terasa bergetar dengan kuatnya.

Langit-langit gelap di atasnya runtuh akibat aktivitas kuat di atas sana, sehingga membuat cahaya bulan berhasil menerobos tempat tersebut.

Ya, langit-langitnya berlubang.

Zhenira menatap sekelilingnya yang penuh dengan tong-tong besar dan tumpukan jerami. Di tengah-tengah ruangan terdapat sarang burung yang ukurannya sangat besar. Ia lalu menolehkan kepalanya ke kanan dan menemukan sebuah batu besar di sampingnya. Ia menepuk batu tersebut dengan kesal. Karena ia yakin kalau batu itu yang ia tabrak saat mendarat tadi.

Tiba-tiba saja sebuah bayangan muncul dari langit-langit yang berlubang tersebut. Seekor elang raksasa turun dengan gagahnya.

Zhenira sampai dibuat terpaku di tempat. Netranya menatap penuh kekaguman pada elang raksasa tersebut. Elang itu jelas berbeda dari manusia elang yang ditemuinya di mimpi waktu itu. Karena yang ia lihat saat ini benar-benar elang, tanpa tubuh manusia di bawahnya.

Diam-diam ia perhatikan elang besar yang mungkin seukuran patung dino di kebun binatang itu mulai menyamankan diri di sarangnya. Sesekali kepalanya akan menelusup di antara bulu-bulunya dan menggunakan paruhnya untuk menggaruk bagian tubuhnya yang gatal.

Tanpa sengaja Zhenira melihat sebuah benda berkilauan yang menyembul di balik bulu-bulu di bagian leher sang elang. Netranya menyipit untuk melihat dengan jelas benda apa itu sebenarnya.

"Kunci," gumamnya. Manik kecoklatannya menatap penuh rasa takjub pada sang elang yang mulai menutup matanya. Entah kenapa setelah melihat kunci tersebut, ia jadi ingin mendekati sang elang dan mengambil kunci itu dari lehernya.

"Tapi ... gimana cara ngambilnya, ya?"

Zhenira memaksa otaknya untuk berpikir keras sekarang juga. Sesekali netranya mengedarkan pandangan ke sana-kemari untuk mencari petunjuk ataupun cara yang mungkin bisa membantunya mengambil kunci tersebut.

Sang elang nampaknya sudah tertidur pulas sekarang. Entah apa yang dilakukan elang raksasa itu di luar sana hingga baru kembali saat malam hari seperti ini.

Biarlah.

Ia tidak harus peduli, kan?

Setelah meyakinkan diri, Zhenira membawa kakinya untuk melangkah mendekat ke arah elang raksasa tersebut. Pelan-pelan disentuhnya bulu yang ukurannya lebih besar 10× lipat dari aslinya itu, diam-diam merasa takjub saat jari-jarinya bisa merasakan kelembutan bulu tersebut.

Srek! Srek!

Zhenira terkesiap saat sayap elang raksasa itu bergerak, kakinya reflek mundur beberapa langkah ke belakang. Bersembunyi di antara tumpukan jerami yang tidak terlalu tinggi. Namun setidaknya mampu menyembunyikan tubuh mungilnya dari pandangan sang elang raksasa tersebut.

"Fyuh, untung aja gue gercep."

Ia kembali mendekati elang tersebut. Namun bedanya, kali ini ia menghadap langsung pada tubuh bagian depan sang elang. Ia bisa melihat ada tali yang mengikat kunci tersebut pada leher sang elang. Seperti sebuah kalung pada umumnya.

Jika dilihat dari depan seperti ini, rasanya Zhenira tidak ada apa-apanya dibandingkan sang elang. Bahkan ia tak lebih besar dari kaki elang tersebut. Ia merasa seperti Alice di film Alice in Wonderland.

Terlalu kecil, terlalu mungil.

Plak!

"Bukan saatnya untuk insecure, Zhe! Fokus pada tujuan!"

Setelah menguatkan hati, pikiran, serta tenaga, Zhenira semakin memberanikan diri untuk mendekati sosok sang elang raksasa. Semakin dekat hingga ia berhasil menaiki kakinya dan memanjat di antara bulu-bulu elang raksasa tersebut.

Elang tersebut tertidur dengan pulas sekali. Tidak ada pergerakan yang berarti dari sang elang ketika Zhenira memanjat tubuhnya. Hingga ia berhasil mencapai leher sang elang, ia bisa melihat ada tali hitam yang mengikat kunci itu. Butuh perjuangan untuknya memanjat bulu-bulu yang terlampau halus tersebut. Ia hampir berkali-kali terpeleset karenanya.

Saat tangannya hendak meraih kunci emas yang tergantung di leher sang elang, tiba-tiba saja elang tersebut terbangun dan berdiri dari duduknya. Membuatnya langsung tergelincir dan terjatuh dari atas ketinggian yang kira-kira berkisar 7 meter tersebut.

Zhenira sudah pasrah, ia menutup matanya rapat-rapat. Berharap ketika membuka mata, pemandangan kamarnya lah yang akan ia lihat pertama kali.

Namun satu tarikan kuat dari seseorang membuat Zhenira terpaksa membuka matanya. Netra kecoklatan miliknya terpaku pada seorang pria yang menggendongnya dan mendekapnya dengan kuat. Jangan lupakan kedua sayap hitam besar di kedua punggung pria itu, juga kondisi tubuhnya yang bertelanjang dada. Tatapan pria itu terasa menghunus tajam pada burung elang raksasa yang sudah terbangun dari tidurnya tersebut.

Zhenira benar-benar tidak mengerti dengan situasi yang ia hadapi saat ini. Otaknya tidak bisa berpikir sama sekali, jantungnya pun berdegup sangat kencang. Ia hanya memejamkan matanya kuat-kuat saat suara pertarungan di sekitarnya terdengar begitu mengerikan.

Blarr!

Kedua mata Zhenira sontak terbuka lebar saat mendengar suara ledakan tersebut. Netranya membulat sempurna saat mendapati sang elang raksasa tampak begitu kesakitan dengan api hitam besar yang membakar tubuhnya. Ia mendongakkan kepalanya menatap pada pria penyelamatnya yang ternyata juga sedang menatapnya.

Tatapan keduanya terpaku satu sama lain. Zhenira sendiri sangat terkejut saat melihat bola mata berwarna biru berkilauan tersebut. Sama seperti burung gagak di balkonnya, dan seorang pria misterius di kegelapan koridor laboratorium saat itu.

Mungkinkah dia orangnya?

Graargh!

Zhenira dibuat terkesiap saat suara besar penuh rasa kesakitan itu keluar dari paruh sang burung elang raksasa. Ia kembali menatap pada sang penyelamatnya, tanpa ragu memohon untuk sang elang raksasa. "Tolong padamkan apinya! Dia terlihat sangat kesakitan!"

Tatapan pria tersebut menajam. "Dasar gadis bodoh! Aku berniat menyelamatkanmu dari siluman elang itu!"

"Aku tidak peduli! Cepat padamkan apinya!" pekik Zhenira tak mau kalah. "Cepat padamkan atau aku akan menjatuhkan diri sekarang juga!"

Zhenira tidak serius dengan kalimat terakhirnya. Ia bukan gadis gila yang akan menjatuhkan diri dari ketinggian 10 meter ini. Bisa-bisa ia langsung mati di tempat.

"Ck, baiklah."

Ayunan tangan dilayangkan si pria bersayap pada sang elang raksasa. Api hitam yang membakar tubuh sang elang perlahan memudar, menyisakan beberapa luka bakar yang tampak mengerikan di tubuh sang elang. Zhenira yang melihatnya merasa tidak tega, tak terasa air matanya turun, ia sampai terisak dibuatnya.

"Hei! Aku sudah memadamkannya, kenapa kau malah menangis?!"

Pria tersebut benar-benar tidak habis pikir dengan gadis di depannya. Perlahan ia mengepakkan sayap besarnya dan membawa gadis yang menangis dalam gendongannya itu turun. Setelah menapak pada tanah, ia menurunkan sang gadis dan mendudukkannya di dekat sang elang raksasa.

Zhenira perlahan membuka kelopak matanya yang basah dan menatap penuh rasa bersalah pada burung elang yang tampak menatapnya sembari mengerang kesakitan. Didekatinya sang burung elang dengan air mata bercucuran.

"Maaf, kau jadi begini karena aku."

Hening.

Cahaya yang begitu menyilaukan tiba-tiba menyinari burung elang raksasa itu. Setelah cahaya tersebut redup, Zhenira terkesiap saat mendapati seorang gadis dengan jubah putih yang kondisinya sudah compang-camping di sana-sini. Buru-buru ia mendekati gadis tersebut dan menanyakan keadaannya.

"Hai! Kamu Zhenira, 'kan? Perkenalkan, Aku Raina. Aku siluman elang raksasa tadi, kau tidak perlu cemas padaku. Aku bisa menyembuhkan diriku sendiri kok."

"Kau tahu namaku?" tanya Zhenira yang tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

Tawa kecil keluar dari bibir sang gadis siluman elang. "Tentu saja aku mengenalmu. Ohh iya, terima kasih sudah menyelamatkanku. Sebagai gantinya, ambillah kunci ini. Kau menginginkannya, bukan?"

Zhenira menatap lamat-lamat kunci emas yang sudah berada di telapak tangannya itu. Ia menggeleng dan kembali mendongak. Keningnya mengerut ketika sudah tak mendapati siapa-siapa di depannya. Kepalanya ia tolehkan ke belakang, hendak melihat pria bersayap yang sempat menyelamatkannya.

Namun, beberapa serbuk kuning yang ditiupkan seseorang tepat di depan wajahnya membuat pandangannya gelap seketika.

🌌🌌🌌

Kelopak mata tersebut mengerjap-erjap. Berusaha menghalau sinar matahari yang memaksa masuk ke retinanya. Setelah menyesuaikan diri, netra kecoklatan yang semula bersembunyi itu akhirnya terbuka.

Zhenira mengedarkan pandangannya. "Gue udah di kamar ternyata." Ia menghela napas lega. Mimpinya semalam terasa begitu nyata. Diangkatnya kedua tangannya ke atas, meregangkan tubuh yang terasa pegal-pegal sehabis tidur.

Tanpa sengaja netranya menatap sebuah benda berkilauan di dekat cermin riasnya. Ia mendekati sumber cahaya yang menyilaukan tersebut, lalu dibuat terkesiap saat itu juga.

"Kuncinya!" pekik Zhenira.

Gadis bermarga Evans itu membolak-balikkan kunci emas tersebut untuk memastikan apakah kunci itu sama dengan kunci yang diberikan siluman elang raksasa dalam mimpinya semalam.

Ternyata, memang kunci itulah yang diberikan untuknya semalam.

"Apa maksud semua ini? Tunggu, mungkinkah ..."

Buru-buru Zhenira berdiri dan membuka laci nakasnya, mengeluarkan kotak biru berona silver itu dari tempatnya. Dimasukkannya kunci emas itu pada lubang gembok milik kotak tersebut.

Klik!

Terbuka!

Netra Zhenira berbinar-binar saat berhasil membuka gembok emas itu. Namun dirinya harus mengurungkan niatnya untuk membuka kotak misterius tersebut karena teriakan mamanya yang menyuruhnya untuk segera bersiap-siap ke sekolah.

"ZHENIRA! CEPAT TURUN, SARAPAN! SUDAH JAM BERAPA INI?!"

Zhenira berdecak.

Dengan terpaksa ia kembali mengunci gembok tersebut dan meletakkan kunci emas beserta kotak itu di laci nakasnya seperti semula. Setelahnya, ia buru-buru menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi ketika tanpa sengaja melihat jam dinding yang sudah mengarah ke angka enam.

Gerbang sekolahnya ditutup pada pukul 06.45. Jika tidak segera bersiap-siap, ia bisa terlambat. Tentunya ia tidak ingin itu terjadi.

🌌🌌🌌

"Tumbenan gue jemput belum siap," ujar Zero saat Zhenira sudah mendudukkan dirinya di jok belakang motor pemuda tersebut.

Zhenira dengan wajah masamnya menjawab, "Kesiangan bangunnya." Ia dapat mendengar kekehan Zero dari balik helm full face pemuda itu. Membuatnya kian sebal dan cemberut.

"Nggak usah cemberut gitu. Nanti sampe di sekolah gue beliin ice cream, gimana?"

"Dua ice cream, ya?!"

Tawaran Zero langsung diiyakan dengan semangat oleh Zhenira. Siapa juga yang akan menolak makanan gratisan? Oho, Zhenira tidak akan menolak makanan yang disodorkan padanya secara cuma-cuma. Pengecualian kalau makanan itu berisi racun.

"Iya, gue beliin dua ice cream. Dah, sekarang pegangan yang erat. Nanti kita telat ke sekolah."

Dengan senang hati Zhenira akan melakukan perintah kekasihnya. Dipegangnya kedua pundak pemuda Dawson itu dengan erat.

Kedua kening Zero mengerut dalam. Dibukanya kaca helmnya dan menengok ke belakang. Netranya menatap tepat di kedua bola mata kecoklatan kekasihnya.

"Kok pegangan di situ? Di perut gue."

Blush!

Zhenira mengangguk dengan kedua pipi yang sudah memerah. Perlahan ia mengalungkan kedua tangannya pada perut atletis sang pemuda. Dapat dirasakannya otot-otot yang sudah terbentuk di balik kain seragam sekolahnya itu. Membuat Zhenira jadi membayangkan kalau ia dapat menyentuh langsung perut kotak-kotak itu.

Zhenira menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran kotornya.

"Udah? Kita berangkat sekarang."

Suara Zero membuat Zhenira sedikit terkesiap. Ia mengangguk singkat sebagai isyarat agar Zero segera menjalankan kuda besinya.

Usai melihat anggukan Zhenira dari kaca spion, Zero pun segera menjalankan motornya. Setelahnya, hanya suara derum motor yang menjadi tanda kalau keduanya sudah meninggalkan area rumah Keluarga Evans, dan sekarang tengah dalam perjalanan menuju SMA Negeri Majalengka.

Benar-benar pagi yang indah.



Mwo, gimana part ini?! Semoga suka ya! Jangan lupa tinggalkan jejak!
ヽ(*⌒∇⌒*)ノ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro