07 ߷ One Hearts, One Goal
•
•
•
"Eh, jadi nggak liburannya?"
Spontan semua mata memandang pada Marcellino Bintara yang barusan mengajukan pertanyaan.
"Jadi. Gue udah bilang sama Papa gue buat suruh pelayan di sana bersihin villa," jawab Oscars sekenanya.
"ASIK!"
"Liburan juga akhirnya."
"Kita berangkat kapan nih, jadinya?" tanya Maxime.
"Minggu aja, gimana?" usul Kevin.
Zhenira dan Kesya mengangguk. "Boleh tuh!" seru keduanya serempak. Kedua gadis itu tampak sangat semangat soal liburan kali ini.
"Gue sih setuju aja," sahut Zero kemudian. Pemuda itu tampak fokus dengan artikel yang dibacanya saat ini.
"Gue juga setuju," timpal Shadow setelahnya.
"Oke, fiks. Berarti Minggu ya?"
🌌🌌🌌
"Zhe, gue mau tanya."
Zhenira yang tengah asik mencomot ice cream cup di tangannya langsung menoleh ke arah Zero dengan kening berkerut. "Nanya apa?"
Keduanya saat ini tengah dalam perjalanan menuju kelas. Mengingat bel masuk sebentar lagi berbunyi. Teman-teman mereka juga sudah kembali ke kelas masing-masing. Sementara Kesya dan Linda yang merupakan teman sekelas Zhenira, izin pergi ke toilet dulu katanya.
Jadilah Zhenira kembali ke kelas bersama Zero sekarang.
"Ini soal yang dibisikin Bunda lo tadi pagi ke gue," terang Zero, mimik wajahnya berubah menjadi serius.
Zhenira terdiam sejenak. Gadis bermarga Evans itu cepat-cepat menghabiskan ice cream miliknya yang tinggal sedikit dan membuang wadahnya ke tempat sampah terdekat. "Hm? Jadi apa itu?" tanya Zhenira yang sudah fokus sepenuhnya ke pembicaraan.
"Bunda lo bilang kalo kemaren lo jatuh dari tempat tidur karena mimpi, lo mimpi apa?" tanya Zero to the point. "Jujur Zhe, kayaknya ini ada hubungannya pas lo tidur di kelas sambil nangis itu, 'kan?" lanjutnya.
Zhenira terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab bagaimana sekarang. Masalahnya, ia takut Zero tidak akan percaya dengan apa yang dialaminya seperti delusinya waktu itu.
"Zhe, jujur sama gue." Zero memegang kedua bahu Zhenira agar gadis itu fokus padanya. Koridor tampak sepi karena bel masuk sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Namun Zero dan Zhenira sepertinya tidak menyadari hal itu.
"Gue ngalamin banyak hal aneh semenjak Geraldz ngasih kotak biru misterius ke gue, Zero."
"Geraldz? Pemimpin The Guardian?" tanya Zero memastikan.
"Iya."
Pegangan Zero pada bahu Zhenira terlepas. Entah apa yang dipikirkan pemuda bermarga Dawson itu, Zhenira pun tidak mengerti.
"Ada di mana kotak itu sekarang?"
Zhenira meneguk ludahnya susah payah saat melihat aura serius Zero yang tampak menakutkan baginya. "Ada di rumah," jawab Zhenira apa adanya. Ia menyimpan kotak itu di laci nakasnya.
"Nanti sepulang sekolah tunjukin ke gue," pinta Zero. Tangan Zero terangkat mengelus puncak kepala Zhenira yang baru saja mengangguk, mengiyakan permintaannya. "Gue tunggu lanjutan cerita lo nanti. Sekarang, mending lo masuk ke kelas dulu. Bel udah bunyi daritadi loh," ujarnya disertai senyuman lembut yang mengembang.
Zhenira yang semula takut karena aura serius Zero menjadi rileks kembali karena usapan lembut pada puncak kepalanya. Jangan lupakan senyuman Zero yang membuat pipinya bersemu merah sekarang.
"Iya, lo juga langsung ke kelas ya."
Zero kembali tersenyum. Kali ini senyuman lembut yang syarat akan kasih sayang. Dibawanya kepala Zhenira yang hanya sebatas dagunya itu mendekat, dikecupnya kening gadis itu dengan penuh kasih.
"Bye, my pretty girl!"
Blush!
Zhenira sudah tak dapat menahan rasa panas yang mulai membakar wajahnya. Dengan wajah merah padam, ia berlari kencang menuju kelasnya. Mengabaikan Zero yang menatap punggungnya dengan heran.
🌌🌌🌌
Dua jam sudah Marcell berada di sana. Rapat untuk pemilihan Ketua OSIS periode selanjutnya benar-benar menyita waktunya. Bukan hanya dia, namun para anggota OSIS yang lain juga. Mereka sampai harus mengambil surat dispensasi tadi.
"Gimana, Ris? Udah selesai data-datanya?" tanya Marcell pada sang wakil, Risa. Sang empunya nama mengangguk. Risa menyerahkan sebuah map biru pada Marcell yang langsung dibuka oleh pemuda itu.
Manik sekelam malam itu bergulir menelusuri kalimat-kalimat di kertas tersebut. Setelah memastikan kalau semuanya sudah lengkap dan benar, Marcell kembali memasukkan kertas tersebut ke dalam map, lalu memberikannya pada Risa.
"Minta anggota yang lain buat nyiapin para kandidat ketos dan waketos, kita bakalan tour sekolah setelah ini."
Risa mengangguk patuh. Gadis itu segera keluar dari ruangan dan melaksanakan perintah sang ketua dengan cepat. Memerintahkan para anggotanya untuk pergi mempersiapkan para kandidat untuk pergi tour keliling sekolah. Tour ini bertujuan agar calon ketos dan waketos periode selanjutnya benar-benar mengenal setiap bagian sekolah mereka dengan baik.
Sangat tidak lucu jika calon pemimpin tidak tahu tentang tempat yang akan dipimpinnya bukan?
Itulah yang ada di benak Marcellino Bintara sekarang. Makanya ia menambahkan program ini pada pemilihan ketos dan waketos periode selanjutnya.
Setelah memastikan kalau pekerjaannya di ruang OSIS selesai, Marcell beranjak berdiri dan menyusul Risa yang sudah berada di lapangan untuk memimpin persiapan para kandidat.
🌌🌌🌌
"Ingat! Kalian harus mengerti seluruh fungsi, visi, dan misi setiap ruangan yang berada di sekolah ini. Seperti UKS, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain. Kalian tidak perlu menghafalnya, cukup dipahami saja."
"Bisa dimengerti?"
"SIAP, MENGERTI!"
Risa melebarkan senyumannya. "Bagus!" Gadis itu merasa puas saat ini. Ia tinggal menunggu Marcell saja sekarang. Diliriknya jam tangan putih yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam tersebut sudah mengarah pada pukul sebelas.
Pantesan aja panas banget cuacanya!
Tidak lama kemudian, yang ditunggu-tunggu sudah menampakkan batang hidungnya. Marcell muncul dari koridor kelas sebelas dan berjalan ke arah mereka.
Risa diam-diam menyeringai saat mendapati para kandidat menatap Marcell dengan ekspresi takut yang sangat kentara di wajah mereka.
Haha! Takut kan lo pada?!
Ketua OSIS mereka itu memang terlihat sangat tegas jika sedang bertugas seperti ini, padahal aslinya Marcell adalah orang yang sangat baik dan ramah. Terlihat dari banyaknya teman yang dimilikinya. Terlebih ada para sahabat-sahabatnya juga.
"Udah lo jelasin ke mereka?" tanya Marcell setibanya di lapangan.
Risa mengangguk singkat. "Udah gue jelasin kok," jawabnya.
"Baiklah."
"Mohon perhatiannya sebentar."
Suara penuh penekanan itu menggema di lapangan utama SMA Negeri Majalengka. Marcell menatap satu per satu dari keenam kandidat di depannya. Empat di antara mereka adalah anggota OSIS murni, sementara dua di antaranya adalah pilihan para guru. Marcell tidak akan membeda-bedakan keenamnya, semua diperlakukan sama rata.
"Kalian akan menjalani tour keliling sekolah selama dua jam dari sekarang. Tugas kalian adalah mencatat, mengingat, dan kalau bisa juga menghafal semua fungsi, visi, dan misi dari setiap tempat yang ada di sekolah ini. Bisa dimengerti?"
"Siap, bisa!"
"Bagus! Setelah ini, kita mulai dari area kelas sepuluh terlebih dahulu. Jangan lupa siapkan buku catatan kalian!" titah Marcell dengan tegas.
Setelahnya, rombongan para kandidat itu mengelilingi SMA Negeri Majalengka untuk mempelajari setiap tempat dan ruangan yang ada di sekolah. Sesekali Marcell dan Risa akan memberikan pertanyaan pada para kandidat, dan mereka harus siap dengan jawaban mereka.
Jika Risa dan Marcell tengah sibuk dengan para kandidat ketos dan waketos, lain lagi dengan Kevin yang saat ini tengah duduk bersandar di tribun paling bawah sembari mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah setelah bermain basket sebanyak dua quarter bersama timnya.
Tatapannya beralih ke koridor di sampingnya. Terlihat Kesya yang tampak kesulitan membawa buku paket ditangannya. Sepertinya gadis itu hendak ke perpustakaan.
"Kenapa tidak ada yang membantunya?" gumam Kevin.
"Kenapa, Vin?" tanya salah satu anggotanya. Ah! Sepertinya dia mendengar gumamannya tadi.
"Nggak. Gue izin ke toilet bentar," ujarnya yang langsung beranjak pergi tanpa menunggu jawaban dari rekannya tersebut.
Sesampainya di samping Kesya, Kevin dapat mendengar gerutuan gadis itu dengan jelas. Sepertinya Kesya pun belum menyadari akan keberadaannya yang masih memakai jersey basket tersebut.
"Nyebelin banget, sih! Mana Zhenira sama Linda nggak mau bantuin lagi! Awas aja ya tuh dua orang!" gerutu Kesya dengan langkah kaki yang sedikit dihentak-hentakkan. Tatapannya fokus ke depan, tapi bibirnya komat-kamit mengucap sumpah serapah untuk kedua sahabat laknatnya itu. "Bisa-bisanya tega biarin seorang Amanda Kesyara yang cantik dan paripurna kesusahan bawa buku paket sendirian! Ck, bener-bener emang!"
Kevin ingin sekali tertawa mendengar gerutuan Kesya yang penuh rasa percaya diri itu, tapi ia menahannya. Tidak akan seru kalau menunjukkan dirinya sekarang, bukan?
"Btw, di antara Linda dan Zhenira, cuma gue doang yang belum dapet pacar. Hng, jadi iri. Kayaknya seneng kalo ada yang merhatiin," ucap Kesya tiba-tiba. Bibir gadis itu dimajukan beberapa senti, sesekali decakan sebal keluar dari bibir mungilnya.
"Pacaran sama gue aja, gimana?"
Kesya menghentikan langkahnya. Dengan gerakan kaku, ia menoleh ke sumber suara. Netranya seketika membulat sempurna saat melihat Kevin sudah berdiri di sampingnya dengan senyuman lebar pemuda itu.
Rasa panas dengan cepat menjalari wajah Kesya, buru-buru ia melangkahkan kakinya menjauhi Kevin. Namun pemuda itu malah mengejarnya dengan mensejajarkan langkah kaki mereka.
"Biar gue bantu," tawar Kevin, tak tega melihat Kesya membawa buku-buku yang tergolong berat itu sendirian.
"Nggak perlu, gue bisa sendiri," jawab Kesya dengan cepat. Ia semakin mempercepat langkahnya untuk menghindari Kevin lantaran masih merasa malu akan kalimat yang pemuda itu lontarkan sebelumnya.
Ya, Kesya mendengar dengan sangat jelas tadi. Namun ia tidak ingin terlalu berharap pada pemuda yang terkenal playboy itu. Ia tidak ingin menjadi korban selanjutnya. Walaupun sebenarnya ia sudah menyukai Kevin terlebih dahulu.
"Tapi itu berat banget loh!"
Kesya berdecak. "Kalo gitu ..."
Brug!
"... bawa itu ke perpustakaan dan biarin gue pergi."
Kevin menatap tak percaya pada kedua tangannya yang kini terasa berat karena semua buku-buku paket tersebut Kesya berikan padanya. Sementara gadis itu malah berlalu pergi dengan cueknya.
Shit!
Dengan sedikit tidak rela, Kevin akhirnya mengantarkan buku-buku tersebut ke perpustakaan sekolah mereka. Dalam hati ia sedikit bingung dengan sikap Kesya yang tiba-tiba jadi dingin padanya. Atau mungkin ... itu hanya perasaannya saja?
🌌🌌🌌
"Gimana? Udah nemu kandidat yang cocok?" tanya Zhenira sembari menelusupkan jari-jemarinya di antara helaian rambut sang pujaan hati.
"Belum," jawab Zero sekenanya.
Keduanya saat ini tengah berada di taman belakang sekolah yang lumayan sepi. Anak-anak kebanyakan memilih ke kantin daripada istirahat di tempat seperti ini. Namun itu menguntungkan untuk mereka berdua. Zero dan Zhenira jadi lebih leluasa mengumbar kemesraan tanpa peduli ada yang melihat atau tidak.
Seperti sekarang ini.
Zhenira yang duduk bersandar di bawah pohon dan Zero yang merebahkan dirinya di rerumputan dengan paha Zhenira sebagai bantalan. Kedua netra sekelam malam itu tertutup rapat saat usapan lembut di kepalanya berubah menjadi pijatan ringan.
"Pasti capek banget, ya? Nanti gue bantu cariin kandidat buat ekskul lo."
Zero menggeleng tanpa membuka kedua kelopak matanya. "Nggak perlu, Zhe. Masih banyak anggota lain yang bisa ngelakuin hal itu. Lo nggak perlu membebani diri lo dengan masalah ekskul gue. Biar gue selesain itu sendiri."
"Tapi, gue pengen bantu ..."
Seulas senyum kecil terbit di bibir Zero. "Dengan lo manjain gue aja udah cukup membantu kok," ujarnya disertai seringai menggoda. Netra kelamnya terbuka menatap wajah merona Zhenira dari bawah.
Sangat menggemaskan!
"Apa, sih?! Gombal banget!" Zhenira memberikan pukulan kecil pada lengan pemuda yang masih senantiasa rebahan di pahanya itu.
"Bukan gombal, tapi fakta."
Perkataan Zero membuat Zhenira menunduk. Kedua netra berbeda warna itu bertatapan dengan lekat, mengagumi satu sama lain dalam tatapan yang tepat. Beberapa saat kemudian, tangan Zero terangkat dan memegang pipi Zhenira yang berada di atasnya. Satu usapan lembut dirasakan Zhenira pada pipinya.
"Lo emang udah bantuin gue kok, Zhe. Dengan lo yang selalu ada di samping gue, itu udah jadi bantuan terbesar yang lo kasih buat gue."
Senyuman Zhenira mengembang sempurna. Gadis bermarga Evans itu terharu dengan perkataan Zero barusan. Ia jadi merasa berarti dan dibutuhkan. Dalam 17 tahun hidupnya, baru kali ini ia merasakan perasaan semacam ini.
Itupun karena seorang pemuda.
Farzero Alando Dawson namanya.
"Thanks buat semua kasih sayang dan kepedulian yang lo kasih buat gue, Zhe."
Zhenira tidak bisa menahan dirinya lagi. Tangisnya seketika pecah, air matanya menetes, ia merasa benar-benar terharu sekarang.
Dengan telaten, Zero mengusap lelehan air mata yang terus berjatuhan dari pipi sang dara. Senyum tulus tersungging di bibirnya kala matanya bersirobok dengan netra kecoklatan milik gadisnya.
"Gue sayang lo, Zhe."
"G-gue lebih sayang lo, Zero."
Setelahnya, hanya para rumput dan bunga-bunga di taman yang menjadi saksi bisu akan besarnya rasa cinta yang dirasakan oleh kedua sejoli tersebut.
Baik Zero maupun Zhenira tidak tahu akan hal apa yang menanti keduanya esok hari.
Yang pasti, takdir akan selalu mengikat keduanya dalam pola yang rumit.
•
•
•
Akhirnya, kelar juga nulis part ini. Jangan lupa tinggalkan jejak ya!
See you next part!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro