04 ߷ Scary Dream
•
•
•
"Lo beneran gapapa, Zhe?"
Zhenira berdecak. "Dibilang gue gapapa!" Bagaimana ia tidak kesal? Itu sudah pertanyaan yang ke delapan kali dari Kesya selama satu jam ini. Padahal ia sudah bilang dengan tegas kalau dirinya baik-baik saja. Namun sahabatnya itu tetap bersikeras kalau dirinya pasti kenapa-napa.
"Lo tadi tidur sambil nangis loh. Mana di kelas sepi lagi, cuma lo doang sendirian. Mimpi apaan, sih?"
Lihat, kan? Amanda Kesyara dan segala rasa penasarannya memang menyebalkan!
"Kalo gue cerita, lo nggak akan percaya."
"Ya kasih tau dulu lah. Baru gue putusin, gue bisa percaya sama lo atau enggak."
Apa-apaan itu?!
Sudut bibir Zhenira berkedut, siap menumpahkan sumpah serapahnya. Namun keberadaan Zero di ujung koridor membuatnya menelan bulat-bulat kalimat sumpah serapahnya untuk Kesya dan berniat menghampiri sang pujaan hati.
"AYANG BEB!" panggilnya. Zhenira mengembangkan senyumannya saat melihat kekasihnya itu tersenyum dan mulai berjalan menghampirinya.
"Apaan sih, Zhe?! Alay bener panggilan lo! Geli gue!"
Oh, hampir saja ia lupa kalau masih ada Kesya. "Iri? Bilang Bos!" Zhenira memeletkan lidahnya untuk mengejek sahabatnya tersebut. Kemudian berlari menjauh sebelum Kesya sempat membalasnya.
Dasar Zhenira!
🌌🌌🌌
"Farzero~"
Ya Tuhan! Godaan macam apalagi ini?
Zero memaksakan senyumnya saat melihat kedipan genit dari kekasihnya. Entah apalagi yang akan dilakukan Zhenira sekarang. Zhenira yang sedang datang bulan memang lebih aneh dari biasanya.
"Perutnya udah mendingan? Tehnya tadi udah diminum belum?"
"Udah kok, makasih ya. Duh, jadi makin sayang ... hihi."
Kan?!
Zero mengerutkan keningnya saat Zhenira tiba-tiba melirik ke kanan dan kirinya dengan takut-takut, seperti waspada terhadap sesuatu?
"Kenapa, Zhe?"
"Eh, nggak kok. Udah selesai 'kan rapat ekskulnya? Pulang yuk!"
Zero hanya mengangguk singkat saat sang gadis mengajaknya pulang dan menarik tangannya dengan cepat. Lagipula, dia juga sudah sangat lelah dan ingin segera merebahkan diri di ranjang kesayangannya. Karena jujur saja, hari ini benar-benar hari yang melelahkan untuknya.
"Tadi gimana rapatnya?" tanya Zhenira memecah keheningan. Keduanya saat ini tengah berjalan menuju parkiran sekolah dengan tangan yang saling bertautan.
"Sangat melelahkan," jawab Zero apa adanya.
Setelahnya, keheningan kembali mengiringi langkah kedua pasangan tersebut. Baik Zero dan Zhenira tidak ingin membuka percakapan lagi. Keduanya sama-sama tahu, kalau satu sama lain sangat lelah dengan hari ini. Tidak menebak, karena semuanya tergambar jelas di wajah masing-masing.
Parkiran sekolah mereka sudah terlihat, tinggal beberapa kendaraan saja yang berada di sana. Baik punya siswa, maupun punya guru yang belum pulang. Mungkin masih ada urusan atau memang ingin berlama-lama di area sekolah.
Entahlah, Zero pun tak terlalu peduli tentang itu. Ia hanya ingin cepat-cepat tiba di rumah dan mengistirahatkan tubuhnya. "Ayo Zhe, langsung pulang aja, ya?"
"Iya, langsung pulang aja." Zhenira pun cepat-cepat naik ke jok belakang motor sport Zero dengan memegang bahu pemuda itu sebagai tumpuan.
Setelah memastikan kalau Zhenira sudah nyaman dan aman dengan posisi duduknya, Zero langsung tancap gas meninggalkan area sekolah mereka.
🌌🌌🌌
"Istirahat ya, jangan lupa makan siang. Besok pagi gue jemput lagi, oke?"
Zhenira mengembangkan senyumnya dan mengangguk semangat. "Lo juga, ya! Langsung istirahat kalo udah sampe di rumah! Dadahh!"
Zero terkekeh. Ia mengangkat tangan kanannya untuk membalas lambaian tangan kekasihnya. Setelah itu, ia langsung memasang kembali helmnya dan mulai meninggalkan area rumah Keluarga Evans.
Zhenira pun hanya menatap punggung Zero yang mulai menjauh. Kemudian ia segera masuk ke dalam rumahnya, di mana sang ibunda sudah menunggu kepulangannya di ruang tamu.
"Zhenira pulang!"
"Akhirnya pulang juga kamu, Zhe. Kok lama pulangnya?" tanya Dhiana Evans pada putrinya. Wanita paruh baya itu langsung saja menyambut kepulangan putri semata wayangnya yang tampak kelelahan itu dengan sebuah pelukan kasih sayang.
"Tadi nungguin Zero rapat ekskul dulu, Bun. Makanya agak telat pulangnya," jawab Zhenira apa adanya. Gadis itu merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu, bahkan seragamnya sampai kusut karena itu.
"Ganti baju dulu, Zhe!"
"Iya, bentar lagi."
Dhian menghela napasnya. Wanita paruh baya itu membiarkan putrinya rebahan di sofa, sementara ia langsung beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Belum lagi harus menyiapkan dan mengantarkan makan siang untuk suaminya, Darren.
Setelah berkutat selama hampir satu jam di dapur, Dhian beranjak ke kamar Zhenira untuk memanggil putrinya tersebut. Namun siapa sangka, ternyata Zhenira tak ada di sana. "Ck! Anak ini ... dibilang langsung ganti baju."
Dengan langkah lebar, wanita paruh baya bernama Dhiana Evans itu langsung melangkah ke ruang tamu, di mana kemungkinan putrinya masih berada di sana. Benar saja dugaannya. Zhenira masih berada di sana dengan posisi meringkuk menghadap sandaran sofa. Seragam dan rambutnya sudah kusut di sana-sini. Bahkan tas sekolahnya tergeletak begitu saja di lantai.
"Hah.." Dhian memijit pelipisnya sebentar, lalu mendekat ke arah putrinya dan membangunkannya. "Zhenira, ayo makan siang dulu sayang." Digoyangkannya bahu putrinya dengan sedikit kuat hingga sang anak terbangun.
Zhenira menggeliat pelan, meregangkan kedua tangannya ke atas, dan menutup mulutnya yang menguap. Kelopak matanya mengerjap dan mendapati sang ibunda sudah berdiri dengan tangan berkacak pinggang di depannya.
"Hoam, selamat pagi Bunda!" sapa Zhenira dengan senyuman lebarnya. Jangan lupakan kedua tangannya yang sudah terbentang, meminta sebuah pelukan.
"Pagi apanya. Ini udah siang! Cepat mandi sana!"
"Masa, sih?"
"Udah buruan ke kamar, mandi, ganti baju. Bunda mau nganter bekal makan siang dulu buat Ayah di kantor," ujar Dhian sembari menepuk-nepuk totebag yang ditentengnya.
Zhenira mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan cepat diambilnya tas sekolahnya yang tergeletak di lantai. "Ya udah, deh. Hati-hati ya, Bun!" ujarnya sembari beranjak meninggalkan ruang tamu.
"Iya! Bunda berangkat ya!"
Setelahnya, hanya keheningan yang melingkupi rumah Keluarga Evans tersebut. Karena Zhenira pun, lebih memilih melanjutkan acara tidur siangnya di kamar.
🌌🌌🌌
Di dalam tidurnya, Zhenira kembali memasuki alam mimpi. Mimpinya kali ini sedikit berbeda dari yang dulu-dulu. Karena ini─
"Di mana ini?"
─terlalu sunyi.
Zhenira mengedarkan pandangannya ke segala arah. Pohon-pohon mati tanpa daun, jalan berbatu, dan suasana yang mencekam. Namun aneh, ini terlalu sepi, terlalu sunyi, dan ... terlalu senyap.
"Apakah tidak ada satupun makhluk hidup di sini?"
Diikutinya jalanan berbatu yang entah akan membawanya ke mana. Setidaknya, ia akan melakukan apa saja di sini sampai raganya yang ada di dunia nyata terbangun.
Ya, kenapa tidak sekalian jalan-jalan saja?
Dengan senyuman mengembang, Zhenira berlari menyusuri jalanan berbatu tersebut sembari bersenandung pelan. Sesekali gadis itu akan melompat-lompat dengan riangnya. Mengabaikan beberapa tatapan─entah siapa─yang sedari tadi mengawasinya.
Setelah hampir setengah jam menelusuri jalanan berbatu, Zhenira memutuskan untuk mendudukkan dirinya di atas sebuah batu berukuran sedang. Nampak ekspresi kelelahan di wajahnya, sesekali ia juga mengusap keringat yang terus menetes dari dahinya.
Namun aneh, benar-benar aneh. Karena sudah sejauh ini, tapi ia tidak menemukan tanda-tanda kehidupan sama sekali. Tidak ada sama sekali.
"Mending gue bangun aja nggak, sih? Nggak ada apa-apa juga di sini, mana haus banget lagi."
Nyut! Nyut!
"Aw, kaki gue."
Gadis bermarga Evans itu bisa merasakan kalau kedua betisnya berdenyut-denyut sekarang. Sangat pegal rasanya. "Iya sih, udah lama juga gue nggak jalan jauh kayak tadi. Padahal cuma mimpi, tapi rasa pegalnya nyata banget."
Dengan telaten, Zhenira memijit-mijit kedua betisnya dengan pelan. Sesekali ringisan terdengar dari bibir mungilnya kala rasa pegal itu semakin menjadi-jadi. Namun itu tak bertahan lama, karena entah bagaimana, Zhenira sudah berpindah tempat sekarang.
Masih di tempat yang sama. Namun bedanya, ada makhluk hidup di sana. Makhluk-makhluk yang menjadi mitos di dunia nyata, sekarang ada di depannya. Zhenira bisa melihat mereka berbaur satu sama lain layaknya manusia biasa. Menjual dan membeli dengan beberapa koin emas yang tidak ia ketahui pasti berapa nilai satuannya.
Ya, ia berada di pasar sekarang.
Pasar yang berisi para makhluk dengan tubuh manusia berkepala binatang. Ya, tubuh mereka memang tubuh manusia, tapi kepala mereka tidak.
Glek!
Jelas saja Zhenira merasa takut sekarang. Apalagi langit di atas sana sudah mulai menggelap, sementara suasana pasar di depannya semakin ramai. Zhenira dapat merasakan bulu kuduknya meremang saat tiba-tiba semua makhluk itu menyadari keberadaannya dan menatapnya dengan berbagai tatapan.
Dengan kaki yang sedikit gemetar, Zhenira melangkah mundur sedikit demi sedikit. Tatapan waspada ia tunjukkan pada makhluk-makhluk di depannya. Ayolah, bangun sekarang Zhenira! Ya, sementara dirinya juga memaksa alam bawah sadarnya agar terbangun dari mimpi aneh ini.
Bruk!
Zhenira terkesiap saat merasa punggungnya menabrak sesuatu yang keras. Perlahan ia tolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati seseorang dengan kepala elang tengah menatapnya tajam. Tatapan Zhenira turun ke bagian paruh manusia elang itu dan mendapati darah segar di sana.
Sontak saja ia tidak bisa menahan diri untuk berteriak. Begitupun dengan kedua kaki kecilnya yang langsung berlari menjauh dari orang-orang tersebut. Dapat Zhenira lihat beberapa puluh meter di depannya sebuah gapura yang sepertinya merupakan jalan keluar masuk pasar tersebut. Segera saja ia berlari kencang ke arah sana.
Namun ketika hampir mencapai gapura, Zhenira merasakan kalau kakinya tertahan oleh sesuatu yang berat. Gadis bermarga Evans itu spontan menunduk dan melihat seekor ular piton yang sangat besar tengah melilit kakinya.
Netranya membulat sempurna, dirinya terpaku dengan kedua bola mata melotot, menatap sang ular yang semakin membelitnya.
Deg! Deg! Deg!
Zhenira memukul-mukul bagian dadanya yang berdentum-dentum heboh di dalam. Napasnya mulai tidak teratur, begitupun netranya yang mulai berkunang-kunang.
Hal terakhir yang Zhenira lihat sebelum jatuh pingsan, adalah sekelebat kabut hitam yang muncul di pintu gapura pasar.
🌌🌌🌌
Brug!
"Aduh!"
Tap, tap, tap!
Brak!
"Zhenira?! Kok kamu tidur di bawah?!"
Gadis yang masih terlentang di lantai sembari mengelus kepalanya itu menengok ke arah sumber suara. Ternyata itu sang ibunda.
"Bunda denger suara benda jatuh dari kamar kamu, makanya langsung ke sini," papar Dhiana Evans sembari menghampiri sang anak gadisnya.
"Itu Zhenira, Bun. Jatuh dari atas kasur, barusan." Ringisan kecil keluar dari bibir Zhenira. Gadis itu masih mengelus-elus kepala belakangnya yang terasa berdenyut-denyut karena menghantam lantai dengan keras. Beruntungnya ia tidak sampai berdarah.
"Astaga, Zhe! Sini Bunda lihat!"
Jelas saja Dhian khawatir. Putrinya jatuh dari tempat tidur dengan sangat keras, bahkan ia yang berada di lantai bawah bisa mendengarnya. Ia baru saja tiba dari kantor suaminya untuk mengantar makan siang, dan malah mendapati sang putri terjatuh saat tidur begini.
"Kamu mimpi apa, sih? Sampe jatuh dari kasur gitu," tanya Dhian kemudian. Ia membimbing putrinya untuk duduk di atas ranjang dengan tangan yang masih mengusap-usap kepala belakang putrinya.
"Mimpi seremlah pokoknya, Zhenira lagi males cerita."
"Ya ampun, untung cuma mimpi."
Zhenira menghela napasnya. Ya, meskipun cuma mimpi, tetap saja itu sangat menyeramkan untuknya. Beruntung ia langsung terbangun di dunia nyata saat pingsan tadi. Jika tidak, entah hal aneh apalagi yang akan dialaminya di mimpi tersebut.
"Kamu belum makan, 'kan? Habis ini langsung makan aja. Udah Bunda panasin sayurnya tadi."
"Iya, Bunda. Kalo gitu Zhenira mandi dulu."
"Ya udah, Bunda ke kamar dulu. Kalo ada apa-apa, ke kamar aja."
"Siap, Bun! Tenang aja!"
Ceklek!
Blam!
Klik!
Setelah memastikan sang ibunda sudah keluar dari kamarnya, Zhenira buru-buru menutup dan mengunci pintu kamarnya. Dengan sedikit tergesa, dibukanya laci nakas miliknya dan ia pun mengambil kotak biru itu di dalam nakas. Zhenira meletakkan kotak tersebut di atas nakas, dan menelitinya. Mengamati tiap struktur dan bagiannya.
"Sebenarnya, isi kotak ini apa?"
Netranya terpaku pada gembok emas yang belum terbuka tersebut. Mau dibuka pun, ia tidak tahu kuncinya berada di mana. Ia juga belum bertemu Geraldz lagi setelah Guardian itu memberikan kotak tersebut untuknya.
"Apa gue tanya Geraldz aja, ya? Tapi gimana caranya? Dia 'kan kalo muncul selalu tiba-tiba. Masa iya gue nunggu dia yang manggil gue ke perbatasan?"
"Gue juga baru sadar kalo gue nggak punya alat atau media komunikasi buat ngehubungin para Guardian."
"Jadi gimana, dong?"
Entahlah, Zhe. Sepertinya kamu harus mencari tahu sendiri. Bukan tidak mungkin kalau kamu duluan yang meminta Geraldz untuk menemuimu. Namun sayangnya kamu harus berpikir sendiri tentang, bagaimana cara memanggil pemimpin The Guardian tersebut.
"Ya, aku akan memikirkannya dan mencobanya sendiri nanti."
Senyuman manis terbit di bibir gadis SMA berusia tujuh belas tahun tersebut.
•
•
•
Hai! Gimana part ini?
Semoga suka ya!
Jangan lupa tinggalkan jejak!
See you next part!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro