03 ߷ Dream or Delusion?
•
•
•
Di sinilah Zhenira berada sekarang.
Toilet sekolah.
Setelah pengakuannya di kantin tadi, kedua sahabatnya langsung bergerak cepat membantunya. Kesya yang berlari menuju kelas untuk mengambil jaketnya, dan Linda yang berlari ke koperasi untuk membeli pembalut yang dibutuhkannya.
Kemudian mereka berdua membantu Zhenira memakaikan jaketnya di pinggul gadis itu. Lalu memerintahkan para anak cowok yang sedari tadi hanya terbengong memerhatikan untuk berbalik badan sampai keadaan aman. Bahasa singkatnya, tidak boleh mengintip!
Segera saja Kesya menyuruh Linda mengantarkan Zhenira ke toilet, sementara dirinya buru-buru mengelap tempat duduk Zhenira yang terdapat sedikit bercak darah mensnya, lalu menuang air mineral yang ada di atas meja pada kursi tersebut, dan mengelapnya lagi supaya benar-benar bersih.
Kesya melakukan itu dengan sangat cepat. Bahkan tidak sampai dua menit tempat duduk Zhenira sudah bersih dari noda darah. Ya, walaupun masih sedikit basah. Namun itu tidak masalah.
"Keren 'kan gue?" tanya Kesya sembari mengangkat dagunya angkuh. Ia baru saja menceritakan kisah kepahlawanannya di kantin tadi.
Zhenira mencibir. "Iya-iya, keren. Makasih ya, Key. Makasih juga ya, Lin."
Linda tersenyum mendengar ucapan terima kasih Zhenira yang terdengar sangat tulus di telinganya. "Santai aja, kan lo sahabat kita, Zhe. Lagipula, kodrat kita sebagai cewek juga 'kan kalo urusan datang bulan?"
Kesya mengangguk-angguk setuju. Gadis itu membalikkan badannya dan melangkah masuk ke arah salah satu bilik toilet saat dirasa ingin buang air kecil. Sementara Zhenira saat ini tengah melipat roknya yang terkena noda darah tadi dan memasukkannya dalam kresek. Beruntungnya ia selalu membawa rok dan celana dalam cadangan di awal-awal bulan seperti ini.
Ya, untuk antisipasi tentunya.
"Katanya hari ini ketua ekskul pada sibuk, ya?" tanya Zhenira membuka percakapan. Ia dan Linda masih menunggu Kesya di depan wastafel toilet sembari berkaca.
"Ya gitulah, pada sibuk nyari pengganti mereka. Tapi Marcell udah punya kandidat kuat sih, katanya."
Zhenira mengangguk mengerti. Zero tadi juga bilang padanya, kalau pemuda itu kemungkinan akan sedikit sibuk hari ini. Jadi setelah ini, ia harus merelakan sisa waktunya di sekolah tanpa sang kekasih. Ah, mungkin Linda juga demikian. Mengingat posisi Marcell sebagai Ketua OSIS.
Ceklek!
"Udah selesai, Key?" tanya Linda sesaat setelah melihat Kesya yang baru saja keluar dari bilik toilet.
Yang ditanya mengangguk dan menghampiri kedua sahabatnya. "Iya nih, kuy balik ke kelas."
Ketiganya pun memutuskan untuk kembali ke kelas mereka karena jam istirahat sebentar lagi selesai. Sesekali candaan Kesya membuat langkah ketiga sahabat itu menjadi lambat karena diselingi dengan tawa.
Zhenira pun demikian. Gadis itu menutup mulutnya dan tertawa lepas hingga tanpa sengaja netranya bersirobok dengan tatapan tajam seseorang yang membuatnya terpaku di tempat.
Kakinya gemetar tanpa sadar.
Di sana, di sudut paling gelap koridor laboratorium yang memang jarang dilalui siswa karena tempatnya yang sedikit angker dengan banyaknya debu dan sarang laba-laba di sekitarnya.
Zhenira melihatnya.
Tatapan tajam dan warna mata yang serupa milik burung gagak semalam.
Zhenira tidak mungkin salah lihat.
Apalagi ketika badan kekar yang setengah telanjang itu berbalik dan menunjukkan punggung kokoh dengan luka melintang yang membentuk huruf X di sana.
Hanya seperkian detik, sebelum pemandangan itu tertelan oleh kegelapan sepenuhnya.
"ZHE! BURUAN!"
Zhenira tersentak. Kepalanya ia tolehkan pada kedua sahabatnya yang berdiri beberapa meter di depannya.
"Lo ngapain berdiri di situ, sih?!" tanya Kesya yang lebih terdengar seperti gerutuan.
"Ada yang ganggu pikiran lo?" sahut Linda ikutan bertanya.
Zhenira menggeleng cepat. Ia buru-buru menyusul langkah kedua sahabatnya dan mengamit lengan mereka. Ia berusaha menghilangkan apa yang baru saja dilihatnya tadi dalam pikirannya. Karena itu benar-benar mengganggunya saat ini.
Sebenarnya, siapa orang itu?
🌌🌌🌌
Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa lelahnya Zero saat ini. Rapat untuk mendiskusikan calon ketua ekskul jurnalistik yang baru benar-benar menguras emosi dan pikirannya. Apalagi ketika para kandidat yang dipilih oleh para anggotanya masih jauh dari kriteria ketua ideal yang diinginkannya.
"Hah.." Helaan napas kembali terdengar dari bibir pemuda bermarga Dawson tersebut. Diliriknya jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Udah jam dua belas ternyata, bentar lagi istirahat kedua. Hm, keknya gue nggak perlu balik ke kelas."
Ya, Zero memilih untuk langsung ke kelas kekasihnya saat ini. Mengajaknya ke kantin untuk makan siang bersama tentunya. Ah, bukankah hari ini gadisnya sedang datang bulan? Apakah kepribadian Zhenira akan berubah jika tamu bulanannya itu datang?
Rasanya memang baru pertama kalinya ia menghadapi seorang gadis yang sedang kedatangan tamu bulanannya. Biasanya ia hanya mendengar cerita dari teman-temannya yang memiliki pasangan, kalau perempuan yang sedang haid itu sangat menyeramkan.
Zero meneguk ludahnya susah payah dan segera menggelengkan kepalanya untuk mengusir rasa takut yang tiba-tiba hinggap pada pikirannya. Seseram apapun gadisnya saat datang bulan, ia pasti bisa mengatasinya.
Ya, gue pasti bisa!
Benar, Zero tengah menyemangati dirinya sendiri saat ini. Apalagi kelas Zhenira tinggal beberapa langkah lagi dari tempatnya sekarang. Bel istirahat masih sekitar lima menit lagi, jadi ia memutuskan untuk menunggu gadisnya di luar.
Lima menit kemudian, bel istirahat kedua berbunyi. Semua siswa-siswi mulai berhamburan keluar kelas.
Tak terkecuali dengan Lindayana Ayodya dan Amanda Kesyara.
"Mana Zhenira?"
Kening pemuda bermarga Dawson itu mengernyit heran kala tak mendapati Zhenira keluar bersama Linda dan Kesya. Kedua sahabat kekasihnya itu hanya menggeleng dan menyuruh Zero untuk langsung masuk ke dalam.
Tanpa ba-bi-bu lagi, Zero langsung saja melangkah masuk dan mendapati Zhenira tengah meletakkan kepalanya di atas meja dengan tangan kiri yang meremas perutnya. Jangan lupakan bibir bawah yang digigit oleh sang empunya, tampak sangat kesakitan sepertinya.
Dengan sedikit terburu-buru, bahkan hampir tersandung kaki meja, Zero menghampiri sang dara dan bersimpuh di sampingnya. Ditatapnya lekat-lekat netra Zhenira yang terpejam dengan kedua alis menyatu, sesekali ringisan kecil keluar dari bibir mungilnya.
"Hei," sapanya lembut seraya mengusap rambut sang dara perlahan.
Kedua kelopak mata itu akhirnya terbuka. Menampakkan manik kecoklatannya yang tampak berembun. "Sshh, Zero .." ringis Zhenira menahan rasa perih pada perut bagian bawahnya. Selalu saja begini jika hari pertama, dan ia membenci rasa sakitnya.
Seulas senyum lembut terbit di bibir sang pemuda. "Iya, ini gue. Masih sakit?" tanyanya hati-hati. Anggukan kepala sang gadis sudah menjadi jawabannya.
Dengan telaten, Zero mengusap keringat dingin yang timbul di dahi Zhenira menggunakan tangannya. Tak perlu sapu tangan ataupun tisu, karena ia tak merasa jijik sama sekali. Justru keadaan kekasihnya yang lebih penting sekarang.
"Mau sesuatu yang hangat? Teh misalnya? Biar gue beliin di kantin."
"Mau, tapi jangan lama-lama ya?"
Zero terpaku.
Apakah ia baru saja mendengar nada manja keluar dari bibir Zhenira?
Jika iya, itu sangat menggemaskan!
Dilihatnya sang dara yang tampak menatapnya dengan manik sayu dan bibir mengerucut lucu. Ya Tuhan ... tidakkah Zhenira tahu kalau dirinya terlihat sangat menggemaskan di matanya sekarang?!
"Ekhem!" Zero berdehem sedikit keras untuk menutupi rasa panas yang mulai menjalar ke wajahnya. Ia berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdetak di luar batas kewajaran. "Ya udah, gue beliin teh hangat dulu. Lo jangan ke mana-mana! Tetap di sini!" titahnya.
Zhenira mengangguk tanpa memindahkan posisi kepalanya yang masih berada di atas meja. Ia hanya mendongak untuk menatap wajah Zero yang tersenyum lembut padanya. Usapan pada kepalanya terasa begitu nyaman saat tangan besar Zero yang melakukannya.
Zhenira memejamkan matanya.
Sementara Zero sudah melesat keluar kelas. Ia segera berjalan cepat ke kantin sekolah dan membeli minuman hangat untuk kekasihnya.
🌌🌌🌌
Zhenira, dengan ringisan kecil yang keluar dari bibirnya tak henti-hentinya meremas bagian bawah perutnya yang terasa perih. Rasanya seperti ditusuk-tusuk oleh banyak jarum di dalam sana. Setiap datang bulan memang seperti ini, dan seharusnya ia sudah terbiasa.
Namun ternyata tidak. Ia tidak kuat dengan rasa sakit yang timbul karena sel telurnya meluruh dan melebur menjadi gumpalan darah kotor yang dinamakan darah haid.
Sejenak ia masih sibuk dengan rasa sakitnya, sebelum sebuah tangan besar menangkup tangan kecilnya yang berada di atas perutnya.
Zhenira terkesiap.
Spontan menatap pada perutnya dan menegakkan tubuh, lalu memandang ke segala arah. Namun nihil. Hanya ia sendirian yang berada di kelas saat ini.
Bulu kuduk Zhenira meremang.
Putri tunggal Keluarga Evans tersebut benar-benar merasakan ada tangan besar yang menangkup tangan kecilnya tadi. Tidak mungkin ia berhalusinasi, karena itu terasa sangat nyata untuknya.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" lirih Zhenira. Netra kecoklatan itu mulai berkaca-kaca dan menumpahkan tetesan airnya.
Sejak Geraldz memberikan kotak biru itu padanya, ia jadi mengalami hal-hal yang aneh. Sungguh, ia tidak mengerti dengan semua teka-teki ini. Sebenarnya, ia terlibat dalam hal apalagi sekarang?
"Zhenira, ini tehnya ... Hei! Kok nangis?!"
Zero yang baru saja tiba dari kantin sembari membawa segelas teh hangat di genggamannya jelas saja dibuat terkejut. Kekasihnya sedang menangis saat ini.
Apa yang sebenarnya terjadi?
"Z-zero, gue-"
"Sstt, kenapa?" Zero membawa kepala gadis itu kepelukannya. Dapat ia rasakan bagian depan seragamnya basah oleh air mata gadisnya. Ia benar-benar tidak mengerti, hal apa yang membuat Zhenira menangis sampai seperti ini. "Kenapa, hm?" tanyanya sekali lagi.
Gadis di dekapannya menggeleng. Sementara Zero hanya menghela napasnya sembari tetap mengusap-usap puncak kepala gadis itu. Teh hangat tadi sudah diletakkannya di atas meja.
Setelah beberapa saat dilanda keheningan, Zhenira akhirnya melepaskan diri dari pelukan Zero dan menghapus jejak-jejak air mata di pipinya. Diraihnya gelas plastik berisi teh hangat di atas meja dan diteguknya cepat hingga tinggal setengah.
Zhenira masih terdiam. Bingung, ia harus menceritakannya pada Zero atau tidak. Karena jujur saja, ia merasa parno saat ini. Bisa saja hal-hal aneh itu akan datang lagi jika ia sedang sendirian, bukan?
"Eum, Zero ... Mungkin ini terdengar aneh, tapi gue ngalamin hal-hal ganjil belakangan ini."
Zero mengangkat salah satu alisnya, merasa heran dan bertanya-tanya. Namun pemuda itu hanya diam sembari menunggu gadisnya meneruskan kalimatnya.
"Kemaren waktu gue tidur siang, Geraldz datang ke mimpi gue. Dia ngasih sebuah kotak berwarna biru. Waktu gue tanya dari siapa, Geraldz juga nggak tau. Intinya kotak itu dia kasih ke gue, karena sebelumnya nama gue muncul di atas tutupnya."
Zhenira melirik Zero yang masih berdiam diri di sampingnya, lalu Zhenira pun melanjutkan ceritanya.
"Setelah gue bangun, gue nggak nemuin kotak itu di manapun. Sampe waktu itu, ada seekor burung gagak di balkon kamar gue. Gue ajak dia ngomong, haha. Sampe akhirnya gue bawa masuk itu burung ke dalam, terus gue ke kamar mandi."
"Nah, setelah dari kamar mandi, burung itu udah gaada, dan anehnya kotak yang gue cari-cari udah ada di atas kasur gue. Aneh, 'kan?"
Zero yang merasa pegal karena terus berdiri, menarik kursi di samping kanan Zhenira dan mendudukkan dirinya di sana. "Lalu? Apa yang terjadi?" tanyanya kemudian.
"Kemaren sih cuma itu aja. Tapi tadi waktu gue mau ke kelas, gue lihat sesuatu. Lebih tepatnya, seseorang. Seseorang dengan tatapan dan warna mata yang sama kayak burung gagak semalem. Lalu pas tadi lo ke kantin. Ada tangan yang nangkup tangan gue, di sini." Zhenira menunjuk ke arah perutnya.
Hening.
Zhenira tidak bersuara lagi setelahnya. Sepertinya gadis itu menunggu pendapat Zero sekarang.
"Hah ..." Zero menghela napasnya dan memijit tulang hidungnya sebentar. Ia mengalihkan tatapannya pada Zhenira yang kembali berkaca-kaca. "Kayaknya lo beneran lagi nggak sehat, deh. Efek mensnya makin parah, ya? Mau ke UKS aja, nggak?"
Zhenira menunduk dan menggertakkan giginya. "Lo nggak percaya sama gue?" tanyanya dengan nada yang tiba-tiba berubah dingin.
"Bukan gitu-"
"Lo nggak percaya sama gue?"
"Zhe-"
"Lo nggak percaya 'kan sama gue?!"
"ZHENIRA!"
Deg!
"Lo kenapa, Zhe?! Kata Zero lo tidur sambil nangis, tapi dibangunin kaga bangun-bangun. Dia panik, makanya langsung manggil kita."
"Hah? Gu-gue tidur?"
"Iya! Lo tidur sambil nangis! Lo mimpi apaan, sih?!"
Dengan sedikit linglung, Zhenira menatap ke segala arah. Linda dan Kesya ada di depannya saat ini, pun dengan teman-teman sekelasnya juga sudah ada di kelas semua. Lalu Zero ...
"Ke mana Zero?" tanyanya kemudian.
"Dia udah balik ke kelas. Nih, teh hangat buat lo. Zero tadi yang beliin," ujar Kesya sembari memberikan gelas plastik berisi teh hangat itu padanya.
Zhenira menerima gelas tersebut dengan tangan yang sedikit gemetar. Apa itu tadi? Delusi? Atau mimpi? Kenapa sangat nyata? Ditatapnya gelas plastik berisi cairan hitam kecoklatan bernama teh itu dengan lekat. Teh ini ... bukannya udah gue minum? Apa itu tadi beneran mimpi? Jadi, gue yang cerita ke Zero itu cuma mimpi? Bahkan minum teh itu juga mimpi? Pelukan Zero juga mimpi?
Deg! Deg! Deg!
Apa?
Apa artinya ini semua?
Mimpi?
Atau delusi?
•
•
•
Huaa, tidak menyangka aku akan menulis ini. Semoga suka☃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro