02 ߷ Looking at the Future
•
•
•
Farzero Alando Dawson.
Pemuda itu kini sudah duduk manis di atas jok motornya sembari menunggu gadisnya yang tengah berpamitan pada kedua orang tuanya. Hari ini Selasa, hari yang cukup sibuk di sekolah menurutnya. Ya, ada beberapa agenda yang harus dikerjakannya sebagai Ketua Ekskul Jurnalistik. Terlebih lagi dirinya sudah menginjak kelas dua belas sekarang. Ia harus mencari seseorang yang cocok dan pantas untuk menggantikan posisinya sebagai ketua.
"Yuk, berangkat."
Pemuda tersebut langsung mengalihkan pandangannya pada Zhenira yang baru saja keluar dari gerbang rumah gadis itu. Ditatapnya sang gadis yang tampak sedang menalikan kedua lengan jaket abu-abunya pada pinggang rampingnya. Kebiasaan Zhenira jika naik motor. Alasannya agar rok sekolahnya aman dan tidak berkibar ketika di perjalanan nanti.
"Udah selesai?" tanya Zero yang langsung dijawab dengan anggukan singkat dari Zhenira. Gadis itu segera naik ke jok belakang motor Zero dan mendudukkan dirinya di sana.
"Pegangan yang erat."
Dengan senang hati Zhenira akan menuruti perintah kekasihnya tersebut dan mengalungkan tangannya pada perut sang pemuda. Zero diam-diam tersenyum tipis di balik helm full facenya. Ia memegang punggung tangan Zhenira untuk mengeratkan pelukannya pada perutnya.
Jangan ditanya, yang jelas Zhenira sudah merona sekarang. Gadis itu berusaha menenangkan jantungnya yang berdentum-dentum heboh saat ini. Rasa-rasanya, ia harus mulai membiasakan diri karena perhatian kecil dari Zero bisa saja membuat kesehatan jantungnya dipertanyakan.
Namun, Zhenira suka perasaan ini. Perasaan bahagia dan berdebar-debar ketika berdekatan dengan seorang Farzero.
Brum! Brum!
Akhirnya motor sport yang dinaiki oleh sepasang kekasih itu melaju membelah jalanan komplek perumahan elite tersebut.
🌌🌌🌌
SMA Negeri Majalengka.
Sebuah Sekolah Menengah Atas yang selalu menjadi favorit para orang-orang di sekitarnya. Yang bisa masuk ke sekolah ini bukan sembarang orang. Hanya orang-orang pintar dengan IQ tinggi yang bisa menyelesaikan ujian masuknya.
Masalah derajat atau kekayaan? Oh ayolah ... Itu hanya bonus, Kawan!
Yang diutamakan di sini hanyalah kualitas otak dari para siswa dan siswinya.
Anda anak orang kaya, tapi tak bisa menyelesaikan ujian masuknya? Maaf saja, kami akan menolaknya. Anda anak orang tidak punya, tapi nilai ujian masuknya sempurna? Selamat! Anda adalah anggota SMA Negeri Majalengka selanjutnya!
Maxime yang baru saja memarkirkan motornya di tempat parkir SMA Negeri Majalengka itu adalah salah satu dari sekian banyak orang beruntung yang bisa masuk ke sana.
Personil D'Most Saga itu adalah anak dari keluarga yang kurang berada. Awalnya ia hanya mencoba peruntungan dengan mendaftar ke SMANEKA. Karena di SMP, ia merupakan anak yang tergolong pintar.
Namun, siapa sangka?
Ia berhasil berdiri di sini sekarang. Di antara orang-orang berotak encer lainnya. Bertemu teman-teman yang mau menerimanya dengan tangan terbuka. Membangun sebuah band bersama ketiga orang lainnya dengan posisinya sebagai drummer.
Maxime bersyukur karena takdir membawanya ke sini. Ke masa penuh kenangan di SMA Negeri Majalengka.
"MAXIMEEE!"
Pemuda dengan setelan seragam yang agak sedikit kusut di beberapa bagian itu menoleh ke sumber suara. Seketika bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman tipis kala melihat salah satu sahabatnya tengah melambaikan tangan dengan semangat padanya.
"Hai, Zhe! Berangkat sendiri?"
"Enggak, bareng Zero gue. Masih markirin motor anaknya."
Maxime berdecak. "Pagi-pagi udah ngapel aja lo berdua," cibirnya terang-terangan.
"Sstt! Jomblo diem aje."
"Sialan!"
Marcell dan Zhenira sama saja. Kalau urusan untuk mengejeknya pasti kompak. Mentang-mentang yang sudah punya pacar. Lihat saja, setelah ini ia juga akan mencari pacar. Tentu saja, agar bisa pamer kemesraan kepada para sahabatnya.
Hei! Ia juga ingin pamer pacar, tahu!
"Ya ya ya, semoga berhasil, Kawan!"
Maxime mengerjapkan matanya tidak mengerti. "Lo bisa denger suara hati gue?" tanyanya linglung.
Zhenira mengangguk-angguk penuh percaya diri. "Suara hati lo terdengar jelas di telinga gue."
"Hah? Gimana bisa?"
"Lo itu tadi nggak ngomong dalem hati, ogeb!"
Lihat! Bagaimana Zhenira tidak gemas dengan sahabatnya ini?! Sepertinya hari ini Maxime tidak membawa otaknya ke sekolah. Mungkin otaknya tertinggal di rumah, pikirnya. Ingatkan Zhenira agar memukul sahabatnya ini jika dia masih seperti itu.
"Masa, sih?" tanya Maxime yang masih tidak percaya dengan perkataan Zhenira.
Zhenira mendelik. "Bodo, ah!"
"Kalian lagi ngapain?"
Suara tersebut membuat keduanya menoleh pada sang pemilik suara. Zero berjalan ke arah mereka dengan satu tangan yang menenteng tas ranselnya dan menyampirkannya di bahu. Pemuda itu menatap Zhenira dan Maxime dengan salah satu alis terangkat.
"Gapapa, lagi ngobrol biasa aja. Udah yuk, ke kelas!" jawab Zhenira sembari mengamit lengan Zero yang satunya. Tas yang dipegangnya hampir saja merosot karena tindakan tiba-tiba sang gadis.
Zero hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menyadari tingkah Zhenira yang kelewat bar-bar. Diliriknya Maxime yang juga mulai melangkah mengikuti dirinya dan Zhenira. Mereka memang tidak sekelas, tapi kelas mereka cukup berdekatan.
🌌🌌🌌
"Belajar yang rajin, jangan bandel."
Zero memberikan tatapan tajamnya saat menyadari sang kekasih akan membantah perkataannya dengan kalimat-kalimat rayuan gadis itu. Zero sudah sangat hafal dengan perangai Zhenira yang sedikit jahil dan banyak tingkah. Ia bahkan baru tahu dari salah satu gurunya, kalau Zhenira adalah siswi yang berlangganan masuk BK karena sering membolos dan membuat kekacauan.
Apalagi jika sudah disatukan dengan Kesya. Kedua gadis itu tidak akan bisa dihentikan. Padahal Linda─salah satu sahabat mereka─tidak seperti itu. Linda sangat anggun dan dewasa. Sangat cocok bersanding dengan sahabatnya, Marcell.
Apapun itu, Zero tidak masalah. Zhenira tetaplah gadis yang disayanginya. Gadisnya yang harus ia jaga dengan sepenuh hati.
"Jangan bolos, Zhe!"
"Bawel! Iya-iya!"
Zero terkekeh saat melihat gadisnya itu melangkah masuk ke dalam kelasnya dengan kaki yang sengaja dihentak-hentakkan ke lantai. Apalagi pipinya yang menggembung dan memerah lantaran merasa kesal.
Sangat menggemaskan.
Setelah memastikan Zhenira duduk di bangkunya, Zero pun langsung memilih berjalan ke kelasnya yang berjarak empat kelas saja dari kelas Zhenira. Dilihatnya Kevin pun sudah ada di dalam sembari memakai earphone. Entah lagu apalagi yang didengarkan oleh sahabatnya tersebut. Ia hanya harus menunggu sampai Kevin menceritakan dan memamerkannya pada dirinya.
Sret!
Zero mengambil earphone yang terpasang di kepala Kevin tiba-tiba. Sontak saja sang empunya terkejut. Kevin melirik sinis pada sang pelaku, yang tidak lain dan tidak bukan adalah sahabatnya sendiri.
"Ck! Apaan sih, Zer? Lagi asik juga," gerutunya.
"Lo nggak lihat ada Pak Broto di depan kelas kita?"
"HAH?!"
Kevin langsung saja mengalihkan pandangannya ke depan kelas, dan benar saja kata Zero barusan. Ada Pak Broto, kepala sekolah mereka yang saat ini tampak tengah memandangi seluruh isi kelasnya. Entah apa yang dilakukannya di sini, pikir Kevin.
"Sudah berapa lama kursi di belakang ruangan itu dibiarkan rusak? Lemari itu, apakah ada isinya? Sarang laba-laba di langit-langit kenapa tidak kalian bersihkan? Lantai kelas juga masih kotor, siapa yang piket hari ini?"
Glek!
Semua anggota kelas meneguk ludah bersamaan, menatap ngeri pada keberadaan kepala sekolah mereka yang tidak terduga. Apalagi yang merasa piket hari ini.
"Zero."
"Iya, Pak?"
"Tolong pimpin teman-teman kamu untuk membersihkan kelas, ya. Lalu kursi-kursi yang rusak itu bawa ke gudang aja," titah Pak Broto.
Zero mengangguk patuh. Tentu saja ia akan melaksanakan perintah dari kepala sekolah yang sangat dihormatinya tersebut. Lagipula saat melihat keadaan kelasnya yang memang cukup kotor hari ini, tidak salah jika Pak Broto menyuruh mereka untuk bersih-bersih.
"Ya sudah, Bapak kembali patroli dulu," ujarnya sembari berjalan keluar kelas. "SEMANGAT BERSIH-BERSIHNYA ANAK-ANAK!" seru Pak Broto sebelum benar-benar menghilang di balik tikungan.
Zero memijit tulang hidungnya sebentar. Sudah dipastikan ini akan benar-benar menjadi hari yang melelahkan.
🌌🌌🌌
Di sinilah Shadow sekarang, bersama dengan ketika anggota D'Most Saga lainnya. Di mana lagi kalau bukan rooftop sekolah. Ya, seperti biasa. Ia, Trax, Maxime, dan Oscars akan bolos di jam pertama. Memang sudah menjadi rutinitas mereka untuk membolos di jam pertama. Marcell saja sudah tidak heran jika menemukan keempatnya di rooftop saat pemuda itu berpatroli sebelum bel masuk.
"Lo lagi ngapain, Trax? Bikin lagu baru?" tanya Maxime yang baru saja selesai menyalin tugas milik teman sekelasnya.
Anggukan dari sang ketua sekaligus vokalis utama D'Most Saga itu sudah menjawab pertanyaan Maxime barusan. Ia pun hanya ber-oh ria untuk menanggapinya. Di antara mereka berempat, memang hanya Trax yang berbakat membuat lirik lagu. Sementara ia dan kedua anggota lainnya yang akan membuat aransemennya.
Kini perhatian Maxime teralihkan pada Shadow yang tampak diam saja sembari memandangi langit biru di atas sana. "Lo lagi ngapain, dah?" tanyanya heran.
"Menatap masa depan."
Jawaban Shadow membuat Oscars yang awalnya fokus dengan ponselnya menjadi mengalihkan tatapannya. Trax yang semula fokus dengan buku liriknya sembari menulis beberapa kata di dalam sana menjadi terdiam. Sementara Maxime yang tadi bertanya menjadi terperangah dan menatap Shadow tak percaya.
"Wow!" takjubnya.
"Gue sadar, kita nggak bisa terus-terusan kayak gini. Bolos-bolosan, ngerjain guru, dihukum, dan jadi anak nggak tau aturan. Kemaren waktu gue remidi MTK, gue dinasehatin sama Pak Broto. Soal masa depan gue yang mungkin aja terancam kalo gue nggak ngerubah sikap. Secara, yang kemaren emang parah banget." Shadow menatap kepada teman-temannya yang terdiam dan masih mendengarkannya bicara. "Lo pada pasti tau kalo gue jagonya MTK, tapi apa? Kemaren gue remidi, haha lucu."
Kemudian, helaan napas terdengar dari pemuda bermarga Artzilla tersebut. "Di keluarga gue, cuma gue satu-satunya sekarang. Satu-satunya yang bisa diandelin dan memperbaiki nama baik keluarga gue. Perbuatan adik dan bokap gue emang nggak bisa dimaafin. Tapi gue nggak bisa biarin nama keluarga gue terus dipandang buruk sama orang lain."
Oscars, Maxime, dan Trax tertegun.
Mereka tidak pernah melihat Shadow seserius ini. Apalagi berbicara sepanjang itu tadi. Entah Shadow sadar atau tidak, tapi perkataannya benar.
Mau sampai kapan mereka seperti ini?
"Lo bener. Kita udah di kelas akhir. Setelah liburan tengah semester nanti, kita akan menghadapi hari-hari penuh ujian, simulasi, dan sebagainya."
"Gue udah ambil keputusan." Ketiganya menoleh ke arah Trax yang barusan bersuara. "Setelah liburan nanti, gue minta kalian fokus belajar buat ujian. Kita bakalan libur dulu ngebandnya. Ya, setidaknya sampai Ujian Akhir Semester selesai."
"Gue setuju," ujar Oscars.
"Gue juga setuju!" seru Maxime seraya tersenyum lebar.
"Gue udah pasti setuju sih," kata Shadow sembari tersenyum tipis.
Trax terkekeh. Ya, ia rasa keputusan mereka sudah benar. Saat-saat bermain sudah selesai. Kini saatnya menata masa depan.
🌌🌌🌌
"Mereka pada kenapa?"
Kesya dan Zhenira memandang ngeri pada member D'Most Saga yang masing-masing membawa buku pelajaran ke kantin. Bahkan Maxime yang biasanya banyak tingkah terlihat kalem dan fokus pada buku di tangannya. Sesekali pemuda itu akan menyendokkan batagor pada mulutnya, lalu kembali fokus pada bukunya.
Tak berbeda jauh dengan Maxime, Oscars pun demikian. Pemuda yang biasanya membenci Matematika itu, kini tengah berdiskusi bersama Shadow tentang materi yang sulit dipahami olehnya.
Trax juga. Pemuda itu tengah sibuk menghafal beberapa vocabulary yang menurutnya agak sulit diingat.
Benar-benar mencengangkan.
"Sumpah, lo berempat kesambet apaan dah?" tanya Kevin sembari menatap keempat sahabatnya tanpa berkedip. Ia dan Zero sampai dibuat terheran-heran saat baru sampai di kantin dan melihat keempatnya sudah seperti ini tadi.
"Biarin ajalah, justru bagus. Akhirnya mereka jadi peduli sama pelajaran, 'kan? Meskipun pada dasarnya mereka udah pintar, tapi keseringan membolos juga bisa menurunkan kepintaran otak seseorang loh."
"Sok tau lo, Marimar! Gue aja yang jarang belajar nilainya tetep bagus!" sela Kesya tidak terima. Perkataan Marcell seolah bilang kalau mereka bisa saja menjadi bodoh karena terlalu sering membolos dan meninggalkan pelajaran.
"Cih, faktanya emang gitu! Kalo otak nggak diasah, mana bisa tajam. Ya sama kayak pisau," sanggah Marcell kemudian.
"Bener kata Marcell, Key. Kita emang udah pinter, tapi belajar juga penting." Linda yang sedari tadi terdiam memerhatikan perdebatan teman-temannya, akhirnya buka suara.
Kesya berdecak, merasa argumennya tidak akan menang kali ini. "Mending gue makan," sewotnya yang langsung menusukkan ujung garpunya pada siomay di depannya, dan memakannya bulat-bulat.
Linda hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan sahabatnya itu. Netranya kemudian melirik pada Zhenira yang tampak gelisah sembari meremas ujung roknya di bawah meja. "Lo kenapa, Zhe?" tanyanya cemas.
Spontan semua tatapan sahabatnya langsung mengarah pada gadis bermarga Evans tersebut. Tak terkecuali Zero yang berada di samping kekasihnya tersebut.
"Lo kenapa?" tanya Zero yang baru menyadari kalau gerak-gerik Zhenira terlihat gelisah.
"Kayaknya gue datang bulan deh," cicitnya.
Zero mematung, Kesya menjatuhkan garpunya, sementara Linda menutup mulutnya saking kagetnya. Ketiganya langsung menatap horror pada Zhenira yang malah menunjukkan cengiran lebarnya. Mereka bertiga memang duduk berdekatan dengan Zhenira, jadi ketiganya dapat mendengar perkataan gadis itu meskipun sangat pelan tadi.
"Duh, lo ada-ada aja sih, Zhe."
•
•
•
Awokawok, penutupan part yang sangat membagongkan:v
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro