01 ߷ Black Crow
•
•
•
"Zhenira."
Panggilan itu membuat Zhenira yang masih berada di alam bawah sadarnya menjadi kebingungan. Netranya menoleh ke sana kemari mencari sumber suara yang memanggil namanya itu.
"Ini aku, Geraldz."
"Lo di mana?"
"Aku tidak bisa menunjukkan diri sekarang, karena aku hanya sebentar."
"Yah, padahal gue kangen."
"Curang! Kalau kayak gitu, gimana aku bisa jahilin kamu!"
Pemuda bersurai silver itu tiba-tiba muncul di samping Zhenira yang masih berdiri di atas tebing dan menatap pemandangan laut biru di depannya. "Mimpi kamu kali ini damai banget ya," ujarnya kemudian.
Zhenira tersenyum kecil. "Ya, sangat damai. Seandainya di dunia nyata ada tempat sebagus ini."
Geraldz mendengkus. Pemuda itu ikut mengarahkan tatapannya pada pemandangan indah di depannya. Sesekali keningnya akan mengerut dan bibirnya berdecak pelan. Tampak sedikit frustasi menurut pandangan Zhenira sekarang.
"Ada yang mau lo sampein ke gue?"
Geraldz tersentak.
Netranya menatap penuh kegelisahan pada gadis di sampingnya. Zhenira sendiri tidak bisa menyembunyikan ekspresi bingungnya karena tingkah pemuda tersebut yang cukup aneh menurutnya.
"Lo kenapa sih? Lagi ada masalah ya di perbatasan?" tanya Zhenira bertubi-tubi. Ia benar-benar tidak tenang jika melihat Guardian itu bersikap gelisah seperti ini.
"Ya, aku tidak tahu apakah ini akan menjadi masalah atau tidak."
"Maksudnya?" Sungguh, Zhenira benar-benar tidak mengerti dengan perkataan dari pemuda bersurai silver tersebut.
Diperhatikannya gerak-gerik Geraldz yang tampak mengeluarkan sesuatu dari balik jubah putih kebesarannya. Netra Zhenira membulat sempurna saat Geraldz menunjukkan sebuah kotak berwarna biru padanya. Bukan apa, tapi tampilan fisik kotak itu sangat indah. Ia benar-benar dibuat terpesona saat melihatnya.
Geraldz meraih tangan kanan Zhenira dan meletakkan kotak tersebut di telapak tangan gadis itu. Zhenira mengernyitkan keningnya tidak mengerti.
"Kurasa ini milikmu."
"Hah?"
"Aku menemukan kotak ini sudah tergeletak di ruanganku, lalu ranting-ranting itu bergerak dan muncul namamu," papar Geraldz kemudian.
"Hah?"
Guardian bersurai silver itu berdecak.
"Sudah, intinya kotak itu untukmu. Terserah mau diapakan. Aku harus segera kembali ke perbatasan."
Zhenira mengangguk mengerti. Ia tersenyum pada Geraldz yang mulai memudarkan dirinya hingga menjadi percikan cahaya yang begitu memanjakan mata. Ditatapnya kembali kotak biru di tangannya. Gembok emas yang menjadi penguncinya membuat Zhenira semakin penasaran dengan kotak tersebut.
"Hm, gimana cara bukanya kalo dikunci gini?" Zhenira mengelus-ngelus hidungnya sembari berpikir keras. Sesaat kemudian, ia berdecak sebal lalu menyenderkan dirinya di salah satu pohon dan bergumam. "Lebih baik gue balik sekarang."
🌌🌌🌌
Tok! Tok! Tok!
"Zhenira anak Bunda yang paling cantik. Ayo bangun, sayang! Makan malamnya udah siap ini loh."
Tok! Tok! Tok!
"ZHENIRA!"
Ibunda Zhenira, Dhiana Evans kembali mengetuk pintu kamar putrinya dengan sedikit keras. Putrinya kalau sudah tidur memang sangat sulit dibangunkan.
"ZHE-"
Ceklek!
"Apa sih, Bun? Teriak-teriak mulu." Zhenira dengan wajah masamnya menatap sang ibunda yang saat ini tengah berdiri di depan pintu kamarnya dan memberikan tatapan tajam padanya.
"Kamu itu dibangunin kok susah banget. Cepet cuci muka! Abis itu langsung turun ke meja makan!"
Anggukan kecil dari Zhenira mengakhiri perdebatan singkat antara kedua ibu dan anak tersebut. Dengan cepat, kedua perempuan bermarga Evans itu kembali ke aktivitasnya masing-masing. Dhian dengan masakannya, dan Zhenira dengan acara cuci mukanya.
Setelah kurang lebih tiga menit untuk cuci muka dan merapikan tempat tidurnya, Zhenira langsung menuju ke lantai bawah, di mana kedua orang tuanya sudah menunggunya di meja makan untuk makan malam.
"Sudah cuci muka?" tanya Dhian sesaat setelah Zhenira mendudukkan diri di kursi.
"Udah, Bun."
Jawaban Zhenira membuat sang ibunda tersenyum singkat. Ditatapnya sang suami yang tampak masih fokus dengan ponselnya di sudut kursi sana. Dengan gerakan secepat kilat, Dhian mengambil ponsel sang suami dan memasukkannya di saku apronnya. "Makan dulu!" titahnya disertai tatapan tajamnya.
Darren, sang suami hanya memutar bola matanya malas. Namun tetap menuruti perintah istrinya. Netranya baru menyadari kehadiran Zhenira di salah satu kursi, putrinya itu menatap keduanya dalam diam.
"Anak Ayah kok ngelamun?"
"Eh?!"
Zhenira mengerjapkan kelopak matanya, dirinya baru menyadari kalau kedua orang tuanya saat ini tengah memandangnya dengan raut wajah heran sekaligus cemas.
"Ah, bukan apa-apa kok. Hanya kepikiran soal ulangan besok Ayah, Bunda." Zhenira mengibaskan tangannya dan tertawa canggung setelahnya. "Ayo kita makan!" serunya yang langsung mengambil piring dan menyendokkan nasi plus lauk-pauk di atas piringnya. Mengabaikan tatapan kedua orang tuanya yang sepertinya masih tidak percaya dengan perkataannya.
Ingatkan Zhenira kalau Ayah Darren dan Bunda Dhian adalah orang yang paling bisa mendeteksi semua kebohongan yang keluar dari mulutnya.
Ya, sebenarnya Darren dan Dhian menyadari kalau ada sesuatu yang disembunyikan oleh putrinya tersebut. Namun mereka juga tidak bisa memaksa Zhenira untuk bercerita pada mereka jika bukan gadis itu sendiri yang ingin cerita.
"Wah! Masakan Bunda memang yang terbaik!"
Dhiana Evans menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah putrinya yang begitu heboh. Ia melirik ke arah sang suami yang juga tengah menatap putrinya dengan sudut bibir yang sudah terangkat membentuk sebuah senyuman kecil.
Zhenira adalah harta mereka yang paling berharga. Harta satu-satunya yang tidak akan bisa tergantikan oleh apapun. Buah hati mereka dan princess satu-satunya di Keluarga Evans.
"Uhuk!"
"Zhe! Pelan-pelan makannya!"
🌌🌌🌌
Setelah makan malam bersama Ayah dan Ibundanya, Zhenira memutuskan untuk langsung kembali ke kamar. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia bohong waktu mengatakan akan ada ulangan besok. Padahal sebenarnya, dirinya masih kepikiran soal kotak yang diberikan Geraldz padanya.
Zhenira mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamarnya, mencari tanda-tanda kotak biru misterius itu berada. Ia sangat yakin kotak itu sudah ada di sini. Secara saat di alam mimpi, Geraldz sudah memberikan kotak itu padanya, bukan?
Tapi di mana?
Gadis bermarga Evans itu mulai beranjak dan menelusuri kamarnya. Mulai dari kamar mandi, lemari, laci-laci nakas, bahkan di meja belajarnya. Namun, Zhenira tak bisa menemukan kotak tersebut.
"Ck! Gue yakin kotak itu pasti udah ada di sini!"
Tek!
Zhenira mengernyit. "Suara apa itu?"
Tek! Tek!
Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras. Zhenira mencoba menajamkan pendengarannya, dan ternyata asalnya dari balkon kamarnya. Dengan sedikit tergesa, ia membuka pintu balkon dan mendapati seekor burung gagak berdiri di sana.
"Burung gagak?"
Ya, benar. Burung gagak. Burung itu menatap Zhenira yang berdiri di pintu balkon dengan mata biru berkilaunya. Sorot mata yang begitu dingin dan begitu tajam. Didekatinya burung gagak tersebut dengan perlahan.
Aneh.
Burung tersebut bukannya terbang menjauh, tapi malah melompat ke lengannya. Zhenira dapat merasakan cakar-cakar kecil itu berusaha menyamankan dirinya pada pijakannya.
Seulas senyum terbit di bibir sang gadis. Rambut panjangnya yang tergerai bergerak lembut karena sapuan angin. Diangkatnya burung berbulu hitam tersebut di depan wajahnya.
"Aku suka warna matamu."
Diusapnya bulu-bulu gagak yang terasa sedikit kasar itu. Gagak tersebut hanya diam, tapi Zhenira tahu kalau burung tersebut menyukai usapannya. Terlihat dari mata sang gagak yang mulai terpejam.
"Kau tau? Aku kadang ingin sekali menjadi burung sepertimu. Bisa terbang bebas ke manapun yang aku mau tanpa harus ingat kalau besok ada PR atau ulangan dadakan dari guruku." Zhenira terkikik geli. Jari-jemarinya masih ia mainkan di bulu-bulu gagak itu sembari berceloteh ringan. "Tapi sayangnya, takdirku adalah manusia. Ya, akupun harus bersyukur akan hal itu, bukan?"
Senyuman Zhenira mengembang. Ia membawa gagak tersebut masuk ke dalam kamarnya tanpa menutup kembali pintu balkon. Membiarkan angin malam masuk dengan bebas memenuhi udara kamarnya. Zhenira meletakkan burung gagak tersebut di atas ranjangnya, sementara ia langsung berlari ke kamar mandi untuk buang air kecil.
Tidak membutuhkan waktu lama, Zhenira kembali muncul dari balik pintu kamar mandi. Netranya langsung mengarah pada ranjang kesayangannya, di mana ia meninggalkan burung gagak itu di sana.
Namun, keberadaan burung gagak tersebut sudah lenyap tergantikan oleh kotak biru yang tadi sempat dicari-carinya di seluruh sudut kamarnya. Zhenira masih berdiri mematung di pintu kamar mandi, sementara netranya terus mengarah pada benda berbentuk persegi panjang tersebut.
"Da-dari mana kotak itu muncul?" cicitnya seraya terbata-bata. "La-lalu di mana perginya burung gagak tadi?"
Zhenira menggelengkan kepalanya tak percaya. Dengan perlahan, langkah kakinya menuju ke arah ranjangnya. Menatap tanpa berkedip kotak biru yang tampak sangat indah sekaligus misterius di depannya.
Kotak itu sama persis seperti kotak yang diberikan Geraldz dalam mimpinya tadi. Biru gelap segelap warna air lautan, rona silver di beberapa sisinya, dan ukiran-ukiran ranting yang dibuat sedemikian rupa menjadi pesona tersendiri pada kotak itu.
Zhenira terpesona.
Terpesona pada warnanya, terpesona pada teksturnya, terpesona pada ukiran-ukirannya, dan terpesona dengan permata yang menghiasi salah satu sisinya. Zhenira sampai dibuat penasaran dengan isi di dalamnya.
"Geraldz bilang ini untukku. Apa isinya, ya?"
Diangkatnya kotak tersebut hingga sejajar dengan wajahnya. Gembok emas yang menjadi penghalang untuk melihat isi di dalamnya membuat Zhenira jadi merengut. "Gue inget kalo ini terkunci. Kenapa Geraldz nggak ngasih kuncinya sekalian, sih?!" gerutunya sebal.
Diletakkannya kotak tersebut di samping nakasnya. Zhenira berjalan ke arah pintu kamarnya dan menguncinya. Kemudian lekas mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidurnya. Ditepuk-tepuknya kedua bantalnya sebelum merebahkan diri di sana.
Zhenira memposisikan dirinya untuk tidur menyamping dan memandangi kotak biru yang masih berdiri anggun di atas nakas. Ia tidak tahu menahu tentang kotak itu. Perkataan Geraldz juga masih menjadi teka-teki untuknya.
Bermenit-menit ia memandangi kotak tersebut dalam diam hingga kantuk mulai menyerangnya. Beberapa detik setelahnya, gadis cantik bernama lengkap Zhenira Silvanna Evans itu menutup kedua kelopak matanya dan akhirnya tertidur.
🌌🌌🌌
Cit cuit cit cuit cit cuit
Pagi kembali menyapa, burung-burung bernyanyi dengan gembira. Daun-daun basah karena embun semata. Suara alat-alat dapur yang saling beradu juga memasuki indra pendengarannya.
Zhenira, dengan kondisi yang masih setengah ngantuk langsung beranjak ke kamar mandi setelah mengambil handuknya yang tersampir di belakang pintu. Gadis itu melaksanakan ritual mandinya dengan cepat. Setelah itu langsung mengeringkan tubuhnya dan memakai seragam sekolahnya.
Seragam sekolahnya itu bermodel sailor. Dengan atasan putih berlengan pendek, rok kotak-kotak yang panjangnya dibawah lutut berwarna hitam dan abu-abu untuk perempuan. Lalu atasan putih dan celana hitam panjang untuk laki-lakinya. Jangan lupakan badge biru di lengan kanan seragam yang menjadi icon sekolahnya. Kemudian ada juga badge merah yang bertuliskan XII sebagai penanda angkatan.
Setelah memakai seragam dan memasang dasinya dengan rapi, Zhenira memutuskan untuk merias dirinya sebentar. Tidak lama, hanya bedak tabur dan sedikit lip balm karena bibirnya sering kering jika sudah terkena panas matahari. Tidak lupa ia menyemprotkan sedikit parfum beraroma citrus pada beberapa titik badannya.
Ketika dirasa sudah siap, gadis bermarga Evans itu langsung turun ke lantai bawah untuk sarapan. Di meja makan pun sudah ada kedua orang tuanya dan Zero yang menunggunya.
Eh, tunggu ..
"ZERO?!"
Netra Zhenira terbelalak begitu menyadari kalau sang kekasih duduk di sebelah sang ayah. Seulas senyum tipis dapat Zhenira tangkap dari Zero. Gadis itu langsung saja mendudukkan dirinya di samping pemuda bermarga Dawson itu dengan kedua alis yang bertaut.
"Gue mau jemput lo, terus diajak sarapan sama Tante Dhian," terangnya.
Aaa, Zhenira paham sekarang.
Dengan senyuman mengembang, ia segera memulai acara sarapannya bersama dengan kedua orang tuanya dan juga Zero tentunya. Ia melirik ke arah pemuda di sampingnya yang tampak selalu tampan di setiap saat dan di setiap kesempatan. Apalagi jika sudah menggunakan seragam khas SMA Negeri Majalengka tersebut. Karena seragam itu membungkus tubuh sang pemuda dengan sempurna.
"Ekhem! Zhenira, dijaga matanya!"
Zhenira sedikit berjengit kala suara teguran sang ibunda memasuki gendang telinganya. Ditatapnya ibu yang sudah melahirkannya itu dengan bibir yang sudah mengerucut sebal.
"Sayang kalo pemandangan indah di pagi hari dilewatin, Bun!"
Dhiana Evans mendelik begitu mendengar kalimat itu keluar dari bibir putrinya. Reflek ia menggetok punggung tangan Zhenira dengan sendok sayur yang dipegangnya hingga sang putri mengaduh kesakitan.
"Kasar banget sih, Bunda!"
Zhenira kesal, Zhenira sebal.
Darren hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat perdebatan anak dan istrinya itu. Pemandangan seperti ini memang sudah biasa untuknya. Istrinya yang pemarah dan keras kepala, juga putrinya yang banyak tingkah.
"Sudah, nanti kamu terlambat ke sekolah loh, Zhe."
Zhenira seketika mengalihkan tatapannya pada sang ayah. Gadis itu masih merengut di tempatnya. "Bunda itu loh! Ngeselin banget!" Ya, mengadu kepada sang ayah adalah alternatif yang terlintas dipikirannya saat ini.
Dhian mendelik. Wanita paruh baya itu menatap kekasih putrinya yang sedari tadi hanya diam sembari melihat perdebatan mereka. "Zero, kamu kok mau sama Zhenira yang modelannya begini? Mending sama Tante aja, gimana?" ujarnya sembari menaik-turunkan alisnya menggoda.
Zero terkejut, Darren tersedak, dan Zhenira terperangah di tempatnya. Ketiga orang itu menatap tak percaya pada satu-satunya wanita paruh baya yang ada di sana.
"Jangan bercanda!"
"Bunda apaan, sih?!"
"Maaf Tante, tapi saya sayangnya sama Zhenira."
Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Zero itu membuat semua anggota Keluarga Evans kembali terperangah. Apalagi Zhenira yang sudah bersemu merah.
Benar-benar pagi yang penuh warna.
•
•
•
Piu! Gimana sama part satunya?
Semoga feel-nya dapet ya!
Jangan lupa vote & komennya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro