57 ߷ The End
•
•
•
"Akh, sialan! Leher gue nyeri banget lagi." Tamara terduduk memegangi lehernya yang terasa sakit. Ia dengan santai mendongakkan kepala dan seketika itu juga dirinya dibuat terkejut. "Lo pada ngapain di kamar gue, bangsat?!" serunya saat melihat Marcell, Oscars, Trax, Maxime, Kevin, juga sang kakak ( Shadow ) berkumpul di kamarnya dan menatapnya dengan tajam.
Oscars yang emosi langsung menarik lengan Tamara turun dari ranjang dan mencekiknya. "Lo apain sepupu gue?" tanyanya, suara Oscars begitu dingin. Tamara sedikit gentar ditatap seperti itu oleh Oscars. Ia menoleh pada Shadow, berusaha meminta pertolongan.
"Gue nggak nyangka lo senekat itu," kata Shadow. Tatapannya begitu datar, tidak ada rasa iba sama sekali meskipun Tamara adalah adiknya sendiri.
"Lo apain sepupu gue, hah?! Kenapa dia belum bangun?!" Oscars mengeratkan cekikannya sehingga membuat Tamara susah bernapas.
"Zero juga belum bangun, apa yang sebenarnya terjadi di sana?" tanya Maxime yang ikutan cemas. Ia berinisiatif menghampiri Zero dan Zhenira yang masih menutup mata itu. Mengecek napas dan nadi keduanya.
"Tubuh Zhenira dingin banget, woy!" seru Maxime yang membuat Oscars spontan melepaskan cekikannya pada leher Tamara dan menghempaskan cewek itu ke lantai. Marcell merangsek maju dan langsung mengecek suhu tubuh Zhenira. Benar saja, tubuh gadis itu sedingin es. Marcell kemudian mengecek nadi Zhenira. "Masih ada harapan, napas Zhenira masih ada meskipun sangat lemah. Detak jantungnya juga, gue bisa ngerasain itu."
Trax berjalan ke arah Tamara yang masih terduduk di lantai sembari memegangi lehernya. "Gue nggak mau kasar sama cewek. Cepet jawab, apa yang terjadi sebenarnya?" tanyanya yang sudah berjongkok di depan Tamara.
"Hahaha, bego."
Entah apa yang lucu dari pertanyaan Trax sehingga membuat Tamara tertawa puas seperti itu. Trax berdecak tidak suka. "Apa yang lucu?"
Tamara tersenyum miring. "Zhenira gue bunuh di sana, gue tusuk perutnya pake belati dan tadaaa."
"She's dead."
Deg!
"Nggak usah bercanda ya, bego!" seru Trax, tangannya bahkan sudah mengepal kuat. Tidak hanya Trax, Oscars pun sudah siap berdiri jika sebuah tangan tidak mencegahnya.
"Zero?"
Mereka yang berada di dalam kamar tersebut langsung menoleh ke arah sang empunya nama yang baru saja terbangun. Tatapan mata Zero tampak begitu sayu dan lelah. Sinarnya meredup, tapi bibirnya tersenyum.
"Lo baik-baik aja, 'kan?"
"Apa yang terjadi di sana?"
"Zero, jawab dong!"
Zero tidak merespon pertanyaan teman-temannya. Ia menoleh ke samping, ke arah Zhenira yang masih menutup matanya. Ia menggenggam tangan mungil milik gadisnya. "Gue kira gue udah berhasil," gumamnya. Tatapan mata Zero menyendu.
Oscars mengguncangkan bahu Zero tiba-tiba. "Kasih tau gue, kasih tau gue Zhenira kenapa?!" tanyanya.
Zero menuding Tamara. "Tanya sama dia," ujarnya.
Seketika itu juga Oscars langsung kembali menerjang Tamara dan mencekik gadis yang masih terduduk itu dengan kuat. "Mati lo, anjing!"
"Akhh, le-pas-in gu-gue."
Marcell dan Kevin membulatkan matanya saat wajah Tamara mulai membiru. Keduanya dengan kompak menarik Oscars menjauh dari Tamara. "Lo gila?! Lo bisa bunuh dia!" sentak Marcell tepat di depan wajah Oscars.
"Lo mau belain dia? Iya? Dia udah bunuh Zhenira, sialan! Zhenira sepupu gue! Minggir! Gue mau bikin perhitungan sama dia!" Oscars terus meronta-ronta dengan kesetanan dalam cekalan Marcell dan Kevin.
"STOP!"
Semua mata mengarah ke sumber suara di mana Om Darren dan Om Reyhan berdiri di sana. Kedua pria paruh baya tersebut masuk dan berdiri di tengah-tengah mereka. Om Darren merangsek maju dan melayangkan sebuah tamparan keras pada Oscars sampai pemuda itu tertoleh ke kanan.
"Putri saya masih hidup, bagaimana bisa kau menyebutnya sudah mati?" tanya Om Darren dengan tenang. Tidak ada ekspresi kemarahan sama sekali di wajah pria paruh baya tersebut.
"Tapi Om-"
"Tutup mulutmu, Oscars!" bentak Om Reyhan. "Kendalikan emosimu," lanjutnya. Om Reyhan berjalan menghampiri keponakannya yang masih tertidur itu. Lantas netranya menoleh pada Zero yang masih terduduk kaku di atas sofa. "Kamu Zero, 'kan? Bisa ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?"
Zero mengangguk dengan kaku, air wajahnya berubah datar. Ia kemudian menceritakan semuanya mulai dari awal sampai akhir, hingga di mana ia berusaha membuat Zhenira tetap sadar. Namun sudah terlambat, tubuh Putri Cina yang ditempati Zhenira telah meninggal dunia.
"Berarti jiwa Zhenira masih hidup sekarang, dan mungkin ia tidak bisa bangun karena kondisi tubuh aslinya sekarat." Om Reyhan mengambil kesimpulan dari keseluruhan cerita Zero barusan. Mereka yang ada di sana mengangguk-angguk setuju.
"Tadi saya coba cek, detak jantungnya masih terdengar meskipun lemah. Mungkin karena pengaruh racun pada tubuhnya," sahut Marcell.
"Racun?" beo Om Darren.
Marcell mengangguk cepat. "Tamara menyuntikkan racun pada Zhenira, katanya dia punya penawarnya."
Tatapan Darren dan Reyhan seketika menggelap. Dua kakak-adik ipar itu berjalan dengan aura membunuh ke arah Tamara yang sudah bergetar ketakutan. Sungguh, dua pria dewasa itu lebih menakutkan dan mengintimidasinya. "Mana penawarnya?" tanya keduanya.
"Ak-aku tidak punya."
"Apa maksud lo nggak punya, sialan?!" Oscars yang masih berada di cekalan Kevin dan Marcell berseru keras.
Om Darren mencengkram dagu Tamara dan menekannya dengan kuat. "Apa maksud perkataanmu?" tanyanya dengan tatapan tajam.
"Aku tidak punya penawarnya."
Darren langsung menghempaskan Tamara dengan kuat. "Bawa dia ke kantor polisi dan bawa Zhenira ke rumah sakit," ujarnya.
"Biar saya dan beberapa anak ini yang akan mengurus Tamara, kau fokus saja pada Zhenira," sahut Om Reyhan yang membuat Om Darren langsung menganggukkan kepalanya. "Sebagian dari kalian ikut saya dan sebagian lagi ikut Darren. Cepat, kita harus bergegas!"
"Siap, Om!"
Mereka langsung melaksanakan tugas masing-masing, Darren sendiri langsung mengangkat dan menggendong putrinya untuk segera dibawa ke rumah sakit dan mendapatkan penanganan.
Marcell, Zero dan Oscars memilih mengikuti Om Darren ke rumah sakit. Mereka terus berharap dan berdoa di sepanjang jalan semoga Zhenira baik-baik saja.
🌌🌌🌌
Cahaya yang begitu terang tampak berusaha menerobos masuk melalui celah kelopak matanya hingga memaksanya membuka kedua matanya. Gadis bermarga Evans itu menggerutu saat tahu dirinya berada di perbatasan.
"Kok gue di sini lagi, sih? Ulah para Guardian nih pasti."
"GERALDZ!"
"Astaga Zhenira, kenapa kau berteriak seperti itu?" Geraldz yang baru saja muncul dari balik salah satu ruangan sontak berkacak pinggang kesal karena merasa terganggu dengan teriakan membahana tamunya tersebut.
"Lo pasti narik gue ke sini lagi, 'kan?!" tanya Zhenira menggebu-gebu. Yakin sekali dia kalau Geraldz yang membawa dia ke sini. Dia mau langsung pulang padahal, kangen rumah.
Geraldz terkekeh dan reflek mengacak rambut Zhenira dengan gemas. "Ututu, gemesnya pacar Farzero." Zhenira langsung blushing begitu mendengar nama Zero disebut.
"Apa, sih?! Enggak, kok!"
"Halah, kamu kira saya gatau kalo kalian udah pacaran? Ngaku aja deh," ujar Guardian bersurai silver itu sembari menoel-noel pipi Zhenira. Gadis itu langsung menepis tangan Geraldz dari pipinya dengan wajah yang sudah semerah tomat.
"Haha, malu-malu segala, padahal mah iya. Mana romantis banget lagi. Seluruh dunia tuh sampai iri sama kalian berdua."
Zhenira memutar bola matanya malas mendengar Geraldz yang melebih-lebihkan, terlalu hiperbola menurutnya.
Hihi, tapi gue kan emang pacarnya Farzero.
Zhenira langsung terdiam saat mendapati Geraldz menatapnya dengan teduh dan juga senyuman menawan guardian itu. "Kamu hebat, Zhe. Kamu makhluk fana terhebat yang pernah saya temuin."
"Maksudnya?" Zhenira menggeleng tidak mengerti.
Geraldz memegang kedua bahu gadis itu dan tersenyum bangga. "Seandainya saja kamu itu jadi pendamping hidup saya-"
"Ngadi-ngadi."
Geraldz berdecak kesal. "Saya belum selesai ngomong."
Zhenira ber-oh ria, ia menganggukkan kepalanya mengerti. "Lanjut-lanjut," ujarnya.
"Nggak jadi."
"Lahh? Gue kepo lanjutannya, gimana, sih?! Cepetan nggak?!" Zhenira mendelik tajam pada Geraldz yang tengah menggaruk tengkuknya dengan ekspresi bingung.
"Emang kita lagi bahas apaan?" tanyanya.
"GER-"
"Iya-iya, maaf. Udah intinya gitu pokoknya."
"Gitu gimana, sih?! Nggak jelas lu, Bambang!"
"Geraldz, bukan Bambang!"
Zhenira memijit pangkal hidungnya untuk mengurangi rasa pusing yang tiba-tiba melanda. Ia menatap Geraldz dengan serius. "Jadi Pak Ketua, kenapa Anda membawa saya ke sini?"
Geraldz berjalan ke sudut ruangan, menatap pada jendela yang menampilkan pemandangan taman. Pemuda itu membelakangi Zhenira yang tengah menatapnya dengan bingung.
"Awalnya kami para Guardian begitu marah karena kamu seenaknya sendiri menggunakan keistimewaan itu. Namun, makin ke sini kami sadar. Kalau kamu memang orang yang tepat, yang ditakdirkan oleh Sang Pencipta untuk memiliki keistimewaan itu."
"Gue nggak ngerti."
Geraldz berdecak kesal, ia menoleh dan menatap Zhenira dengan jengah. "Kan apa saya bilang, kamu nggak bakalan ngerti. Susah-susah dijelasin juga. Udah lah, pulang aja sana."
Zhenira terbahak-bahak.
"Lahh, kok sewot?"
Geraldz menghela napasnya. "Pahami saja apa yang saya katakan tadi, Zhenira. Intinya, Sang Pencipta memang sudah memilih kamu. Sekarang, saya akan mengirim kamu kembali ke duniamu."
"Barang kali dikirim," gumam Zhenira. Namun gadis itu tetap menurut saat Geraldz memintanya untuk menutup mata. Zhenira dapat merasakan tubuhnya seperti didorong dan terhempas jatuh dari ketinggian.
🌌🌌🌌
Kelopak dengan bulu mata lentik itu mengerjap, mencoba membuka matanya yang terasa berat, Zhenira terbangun. Ia menatap pada sekeliling tempatnya berada, bau obat-obatan khas rumah sakit menyeruak masuk ke indra penciumannya.
Ceklek!
Gadis yang masih dilanda kebingungan itu menoleh ke arah pintu.
"Morning, Zhenira!"
"Dokter Sari?"
Dokter Sari mengangguk dan tersenyum hangat pada pasiennya tersebut. "Saya terkejut loh kamu beneran ngunjungin saya, tapi dalam keadaan sakit." Zhenira memiringkan kepalanya tidak mengerti. "Kamu pasti lupa, ya? Saya ingat waktu kamu mau pulang, kamu bilang-"
"Nanti deh sesekali saya bakalan mampir ngunjungin dokter ke sini. Nunggu sakit dulu tapi, ya?"
"Abis itu kamu ketawa kenceng."
Zhenira terkikik geli. Ia ingat sekarang, waktu pulang dia memang pernah bilang begitu sama Dokter Sari. Mau bagaimana lagi, dia juga tidak tahu siapa yang membawanya ke rumah sakit. Harusnya dia sudah mati keracunan, kan?
"Eh Dok, saya mau nanya deh. Saya beneran keracunan, ya?" tanya Zhenira pada Dokter Sari yang tengah mengganti kantong infus miliknya.
Sang dokter tersenyum tipis dan mengangguk. "Saya waktu itu sudah di rumah, sekitar pukul 3 pagi rumah sakit telepon. Katanya ada pasien bernama Zhenira yang butuh pertolongan. Keluarga kamu gamau dokter lain selain saya. Jadi ya sudah, jam segitu saya langsung berangkat ke rumah sakit. Apalagi pas tau kalau pasiennya itu kamu."
Zhenira meringis, meminta maaf. "Maaf ya Dok, Ayah saya tuh pasti. Maaf banget ya, duh jadi nggak enak."
Dokter Sari mengacak-acak rambut Zhenira dengan gemas. "Nggak perlu minta maaf, kan sudah tugas saya."
"ZHENIRA!"
Suara itu menginterupsi dokter dan pasien yang tengah asik berbincang tersebut. Zhenira tersenyum manis saat melihat keluarga dan semua teman-temannya memasuki kamar rawatnya. Zhenira mengernyit bingung saat Oscars memberikan sebuah buku padanya.
"Apa nih maksudnya?"
Oscars menyeringai mendengar pertanyaan dengan nada kebingungan dari sepupunya. "Dari Zero, khusus dia cetak buat lo."
Zhenira meraih buku yang berada di tangan Oscars dan menatap pada buku berjudul 'My Dream Adventure' itu. "Ini novel, ya? Ceritanya tentang apa?" tanya Zhenira.
Oscars mengendikkan bahunya tak acuh. "Tanya aja sama yang kasih, tuh."
Zhenira mengikuti arah yang ditunjuk Oscars, seketika senyumannya mengembang begitu melihat Zero yang baru saja membuka pintu.
Zero tersenyum kikuk karena semua mata di ruangan itu menatapnya dengan berbagai macam arti. Namun, dia lebih takut karena tatapan Om Darren begitu menusuk. Rasanya sampai tulang-tulangnya ikut bergetar mengikuti irama jantungnya yang deg-degan.
Cowok dengan setelan kaos berwarna abu-abu dan celana training hitam itu langsung melangkahkan kakinya ke arah Zhenira. Senyumannya mengembang saat melihat Zhenira memeluk buku pemberiannya. Gadis itu terlihat baik-baik saja sejak terakhir mereka membawanya ke rumah sakit ini.
"Ekhem, keknya kita harus keluar dulu deh. Cari makan. Soalnya gue laper banget, aduh. Lo pada pasti juga laper kan, gaes? Pulang sekolah belum makan, langsung ke sini. Pasti laper banget ya, 'kan?"
Linda yang paham akan kode Kesya pun ikut menambahkan. "Iya nih, gue laper banget gilaa. Aduhh, cacing-cacing di perut gue meronta."
Mereka yang berada di dalam ruangan pun hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua gadis itu. Namun mereka semuanya paham, kalau Zero dan Zhenira butuh waktu berdua untuk berbicara. Jadilah mereka langsung keluar dari ruangan berjamaah.
"Mereka kenapa, deh?" tanya Zhenira yang tidak paham situasi.
Zero terkekeh geli. "Gapapa, gimana kabar lo?" ujarnya sembari menarik kursi dan duduk tepat di samping ranjang Zhenira.
"Seperti yang lo lihat, gue baik-baik aja. Btw makasih ya bukunya, nanti gue baca."
Zero mengangguk singkat, lalu dengan cepat memberikan kecupan pada tangan Zhenira yang bebas dari infus. Membuat pipi gadis itu langsung merona. Ahh, sepertinya Zero punya hobi baru sekarang.
"Gue sayang lo, cepet sembuh ya."
•
•
•
FINISH
Gimana ceritanya?
Semoga kalian suka ya.
Kalau ada kritik ataupun saran, ketuk aja roomchat ku.
Ohh, iya! Jangan lupa baca kelanjutan kisah ini di 'My Dream Box' ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro