41 ߷ Their Plan
•
•
•
"Eh, Zhe! Lo tau, nggak? Tamara dibebasin dari tuduhannya yang udah celakain lo!"
Semua yang berada di sana sontak mendelik tajam pada sang pelaku yang berani membahas itu di depan Zhenira, siapa lagi kalau bukan Maxime. Cowok itu meneguk ludahnya susah payah, lantas menampilkan cengiran lebarnya.
"Sorry, keceplosan."
Trax menepuk dahinya keras. "Kalo lo gitu lagi, gue tendang masa depan lo," ancamnya yang membuat Maxime auto bergidik ngeri.
"Maksud Maxime tadi apa?" Zhenira menatap satu per satu teman-temannya yang tiba-tiba terdiam bukannya menjawab pertanyaannya. "Oscars, maksudnya apa?" tanyanya lagi pada sang sepupu.
Oscars menggeleng dan menghampiri Zhenira, memeluk gadis itu sebentar. "Bukan apa-apa."
"Jangan bohong! Kasih tau gue!" Zhenira mendorong Oscars hingga pelukannya terlepas begitu saja. Tanpa disadari, pemuda itu sudah mengepalkan tangannya sejak tadi.
"Apa yang dikatakan Maxime, itu bener. Tamara bebas dari tuntutan karena udah bikin lo kayak gini tempo hari lalu. Polisi bilang dia masih di bawah umur, jadi Tamara cuma dapet denda."
Oscars mengatakan semuanya dengan lugas. Zhenira terdiam dan menunduk. Kedua tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Tamara bangsat!"
"Lo tenang aja, Zhe. Om Darren sama Papa gue bakal selidikin ini lebih lanjut."
"Kita juga bakal bantu selidikin si Mak Lampir itu."
Zhenira mengabaikan suara teman-temannya. Ia hanya butuh ketenangan, karena emosinya sedang di ubun-ubun sekarang. Bagaimana bisa Tamara bebas dari tuduhan dengan alasan seperti itu?! Belum cukup umur katanya, cih.
Ohh gue sampe lupa, bokapnya kan pejabat. Pasti gampang lah, tinggal ngeluarin duit doang.
Zhenira tersenyum sinis, emosinya makin menjadi saat mengingat senyuman puas dan kemenangan Tamara saat berhasil mencelakainya dan mengirimnya ke rumah sakit seperti sekarang ini.
Dia pikir gue bakal biarin dia bebas gitu aja? Setelah apa yang dia lakuin ke gue? Maaf Tamara, tidak bisa.
Seringaian kejam terlukis di bibir Zhenira. Otaknya sudah siap merencanakan rencana-rencana licik untuk menangkap ular berbisa itu. Ya, Tamara mungkin licik dan berkuasa, tapi dia lupa kalau Zhenira lebih licik.
"Jadi, rencana kita apa?"
Para remaja yang berada di ruangan tersebut saling pandang. "Kita belum tau sebenarnya Zhe, nanti kita pikirin lagi bareng-bareng. Kita tunggu aja dulu. Tamara pasti juga nggak bakalan tinggal diem karena kita udah bawa dia ke kantor polisi," kata Marcell dengan raut wajah seriusnya.
Zhenira mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. "Kalau gitu, apa nggak sebaiknya kalian gabung aja sama Ayah dan Om gue?"
"Maksudnya?"
"Iya, kalian selidikin bareng-bareng sama mereka. Pasti bakalan lebih cepat kalau kerja sama."
"Gue setuju sama usul Zhenira," sahut Shadow yang baru saja membuka suara.
Zhenira menjentikkan jarinya dan tersenyum puas. "Tuh, Shadow aja setuju sama gue."
"Nanti gue coba diskusiin ini sama Om Darren," ujar Oscars. Para remaja di sana mengangguk setuju. Bagaimanapun, kasus ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Yang bersalah tetap harus mendapat hukumannya.
"Ya udah, kalo gitu kalian pulang dulu sana. Gue ngantuk, pengen istirahat." Zhenira berujar demikian sembari meregangkan badannya dan menguap beberapa kali. "Tuh kan, udah ngantuk gue."
Kesya memicingkan matanya tidak yakin. "Jadi lo ngusir kita? Wahh, parah sih."
Zhenira mendelik dan cepat-cepat mengibaskan tangannya. "Beneran ini weh, enak aja lo nuduh-nuduh gitu. Udah sana ah, hush hush. Termasuk lo juga, Oscars."
Oscars menunjuk dirinya sendiri. "Kok gue juga? Kan gue disuruh jagain lo di sini."
Zhenira meringis, dia jadi gelagapan sendiri. "Ma-maksudnya tuh, gue kan mau tidur, jadi lo keluar aja. Ke kantin rumah sakit kek, ke taman kek, ke mana aja terserah. Pokoknya gue mau tidur tanpa ada gangguan."
Oscars menghela napas pasrah. "Ya udah lah, lo semua pulang aja. Udah siang juga kan ini. Takutnya ntar bokap-nyokap lo pada nyariin," ujar Oscars pada teman-temannya. Trax yang paling dekat dari pintu berasa di usir, dengan terpaksa mereka akhirnya pulang.
Terkecuali Zero yang hanya berpura-pura pulang, dia kan masih punya janji buat dengerin cerita Zhenira. Cewek itu pasti sudah menunggunya sekarang. Tunggu Oscars keluar dulu, baru ia bisa masuk ke dalam dan menemui sang pujaan hati. Batinnya tertawa geli kala menyebut Zhenira sebagai sang pujaan hati.
Nembak tuh cewek aja belum gue. Nunggu waktu yang pas aja, lah.
🌌🌌🌌
"Gimana? Oscars udah beneran pergi?"
Zhenira bertanya dengan nada yang sangat pelan saat melihat Zero baru saja memasuki kamar rawatnya dengan mengendap-endap seperti pencuri. Setelah memastikan bahwa semuanya aman, barulah Zero menghampiri Zhenira.
"Aman, lo tenang aja. Gue tadi nggak sengaja denger dia mau nyari makan di luar."
Zhenira bertepuk tangan pelan, merasa kalau rencana aktingnya berhasil mengusir teman-temannya pulang. Sedikit licik memang, tapi tidak apa lah. Yang penting, dia harus segera menyelesaikan kegundahan hatinya sejak kejadian di perbatasan semalam.
"Jadi, mau cerita apa?" tanya Zero yang saat ini sudah duduk di kursi yang berada di samping ranjang Zhenira.
"Lo pasti tau maksud gue. Soal kedua dunia dan perbatasannya. Sebelum itu gue mau nanya sama lo, apa bener kalo gue nggak sadar selama dua hari?"
"Hmm, dua setengah hari lebih tepatnya, emang kenapa?"
Zhenira membulatkan kedua bola matanya dengan sempurna. "Selama itu?!"
Zero mengangguk kaku. "Lo nggak sadar dua setengah hari setelah operasi."
Jadi, ini maksud Geraldz waktu itu? 'Maaf karena sudah membawamu dalam kondisi seperti ini'. Jadi maksudnya kondisi gue yang lagi nggak sadarkan diri setelah operasi?
"Zhe, kok bengong?"
Zhenira mengerjapkan kelopak matanya, lantas menggaruk pipinya canggung. "Sorry, gue cuma kepikiran perkataan seseorang." Zhenira menarik napasnya perlahan, dan menghembuskannya dengan cepat.
"Jadi gini ..."
Mengalirlah semua cerita yang Zhenira alami di perbatasan kedua dunia dan soal Guardian.
Zero mendengarkan setiap kata yang terucap dari bibir Zhenira dengan serius. Dia tidak ingin melewatkan satu kata pun karena hal yang disampaikan oleh Zhenira juga berhubungan dengannya.
"Jadi lo udah ketemu The Guardian?"
Zhenira mengangguk cepat. "Ya, tapi cuma berenam. Yang dua lagi katanya sedang ada tugas, nggak ngerti juga gue."
Zero menyapu bibir bawahnya dengan cepat. Semua ini tampak tak masuk akal baginya. Netranya kembali menatap pada Zhenira yang terlihat gelisah. "Apa yang mereka bilang?" tanya Zero.
"Mereka bilang, kalo gue dalam bahaya. Gue udah ngelakuin kesalahan besar Zerooo dan itu semua nggak bisa dimaafin." Zhenira mendongak dan mengipasi matanya yang terasa panas dengan telapak tangannya.
Zero bingung dengan situasi yang ia hadapi sekarang ini. Sebenarnya, ia pun juga khawatir. Kalau benar Zhenira dalam bahaya, maka ia juga harus membantunya untuk keluar dari bahaya tersebut.
"Mereka bilang apa lagi? Ada ngasih saran atau solusi?"
"Ada, Geraldz bilang kalo gue harus berhenti ikut campur dan ngundang orang lain masuk ke dalam mimpi gue. Setidaknya sampai keadaan kedua dunia membaik katanya. Gue takut banget, gue gatau apa yang bakal menimpa gue setelah ini."
Dengan inisiatif, Zero berdiri dan menarik Zhenira dalam pelukannya. Mengusap rambut sang gadis dengan lembut, berusaha memberi ketenangan dan rasa aman. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini. Namun setelahnya, Zero pun akan mencoba untuk ikut mencari tahu perihal masalah ini.
"Lo tenang aja, gue bakal selalu ada di sini buat bantuin lo. Sama seperti dua tahun ini, gue nggak bakal biarin lo berjuang sendirian Zhenira. Karena bagaimanapun, kita berdua terlahir dengan keistimewaan yang sama."
Zhenira merasa terharu sungguh, ia tidak tahu kalau Zero begitu peduli padanya. Ia pikir, mereka hanya sebatas teman di dunia mimpi saja. Namun ternyata tidak, ia bisa merasakan kalau Zero benar-benar peduli padanya. Khawatir padanya.
"Thanks ya, karena lo udah care banget sama gue." Zhenira berkata sembari melepaskan dirinya dari pelukan Zero dan menatap lekat mata sekelam malam itu. Tanpa sadar pula, Zero membalas tatapan itu dan mengelus pipi Zhenira dengan lembut. Senyuman di bibir keduanya terbit secara bersamaan.
Tanpa lo sadari, lo udah jadi salah satu orang yang berarti buat gue, Zhe.
Tatapan Zero melembut, ia menurunkan tangannya dari pipi Zhenira dan sedikit memundurkan badannya. Ia takut khilaf kalau dekat-dekat dengan gadis itu. Bagaimanapun ia pria normal yang mempunyai hasrat, dan bibir Zhenira tadi sempat membuatnya hampir kehilangan fokus.
"Kalo gitu gue pulang, ya? Takut Oscars tiba-tiba dateng juga terus lihat gue berduaan sama lo kayak gini. Nanti auto bonyok gue sama dia." Zero terkekeh geli di akhir kalimat.
Zhenira tersenyum ceria dan mengangguk kecil. "Hati-hati ya pulangnya, nitip salam sama orang di rumah lo."
Zero menarik sudut bibirnya dan mengacungkan jempolnya sesaat sebelum keluar dari pintu. Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun lagi, Zero akhirnya benar-benar menghilang di balik pintu.
Sementara Zhenira? Jangan ditanya lagi, gadis itu tengah berusaha mengendalikan jantungnya yang terus berdentum heboh sedari tadi.
•
•
•
Avv, pasti baper sama perlakuan Zero ya, Zhe? ( ꈍᴗꈍ)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro