Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

39 ߷ Injustice and Preparation



"Ya ampun Zhenira, kamu kapan siumannya sayang? Bunda kok nggak tau."

"Hehehe, biar surprise."

Ya, pagi itu Zhenira kembali harus menjawab pertanyaan yang sama dari orang-orang di sekitarnya. Dimulai dari dokter yang merawatnya, ayah dan bundanya, Om Reyhan juga. Teman-temannya sudah Oscars kabari perihal dia yang sudah siuman, mungkin sepulang sekolah mereka akan ke sini.

Ingatannya kembali pada saat dirinya berada di perbatasan kedua dunia. Ia sungguh tidak tahu kalau kesalahannya begitu besar. Ya, mengajak teman-temannya untuk masuk ke dalam mimpinya memanglah hal yang menyenangkan. Namun, sepertinya perkataan Zero waktu itu benar.

Semua itu bisa jadi Boomerang.

Ceklek!

Zhenira tersenyum saat melihat Dokter Sari, dokter yang telah merawatnya kini berkunjung untuk mengecek keadaannya seperti biasa.

"Selamat pagi Ibu Dhian, pagi juga Nona Zhenira."

"Pagi Dokter, mau pemeriksaan rutin ya?" tanya sang bunda. Zhenira hanya memerhatikan percakapan kedua wanita dewasa itu dalam diam. Terkadang ia sedikit tidak paham dengan pembicaraan ibu-ibu.

"Iyaa, seperti biasa. Kamu gimana perasaannya Zhenira? Ada ngerasa sakit atau nyeri di bagian kepala? Saya sebenarnya cukup terkejut kalau ada luka juga di pergelangan kaki kiri kamu," ujar Dokter Sari sembari memakai stetoskopnya.

"Ya, kepala saya masih terasa sakit. Ahh, kalau soal pergelangan kaki ... saya rasa itu sudah tidak apa-apa, Dokter."

Dokter Sari tersenyum mendengar jawaban dari sang pasien. "Kalau kamu bilang 'sudah tidak terasa sakit' mungkin saya bisa mengizinkanmu pulang. Sayangnya tadi kamu bilang masih sakit, ya nggak jadi deh."

"LOH KOK GITU?!"

"NGGAK JADI BILANG SAKIT KALO GITU!"

Dhian aka sang bunda hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan putri satu-satunya itu, sementara Dokter Sari hanya terkekeh pelan. Tidak lama setelahnya pun, pemeriksaan selesai.

"Kalau nanti sore keadaan kamu sudah lebih baik, besok boleh pulang."

Manik kecoklatan Zhenira seketika berbinar-binar. Ia mengangguk dengan semangat. Dokter Sari izin pamit untuk memeriksa pasiennya yang lain. Setelahnya, ia benar-benar sendiri bersama sang ibunda.

🌌🌌🌌

"Apa?! Bagaimana bisa tuntutan itu dihapus dengan alasan tidak masuk akal seperti itu?!"

Oscars sedikit gentar mendengar suara penuh kemarahan dari Om Darren di seberang sana. Oscars menoleh pada teman-temannya yang saat ini tengah duduk melingkar di rooftop sekolah.

"Oscars juga tidak mengerti Om, Polisi mengatakan kalau kecelakaan yang Tamara perbuat tidak disengaja dan karena ia masih tergolong remaja di bawah umur, jadi Tamara hanya mendapatkan denda."

Darren menggertakkan giginya kesal di seberang sana, tangannya sudah terkepal erat. "Aku dan Reyhan akan menyelidiki ini sendiri."

Tut!

Oscars memasukkan ponselnya itu kembali ke dalam saku seragamnya. Netranya melirik satu per satu teman-temannya yang menampilkan beragam ekspresi. "Kita harus gimana?" tanya Maxime memecah keheningan.

"Bokapnya Tamara itu bukan orang sembarangan, beliau adalah pejabat yang cukup tersohor di negeri ini. Udah jelas itu pasti ulah bokapnya yang membungkam pihak kepolisian," celetuk Zero.

Kevin mengangguk setuju dengan pendapat Zero. "Gue rasa Zero ada benernya," ujarnya.

"Menurut lo gimana, Trax?" tanya Marcell yang sedari tadi diam menyimak.

"Gue rasa, kita juga harus ikut andil dalam penyelidikan ini. Nggak mungkin juga kan kita diem aja lihat pelaku yang udah celakain Zhenira dengan santainya masih cengar-cengir dan tebar pesona kek orang kaga punya dosa."

Marcell setuju dengan pendapat Trax. Begitupun dengan yang lainnya, terutama Oscars.

"Oke, sudah diputuskan. Kita bakal ikut selidikin kasus ini dan cari bukti apakah benar ada sangkut paut orang dalam atas pembebasan Tamara dari tuduhan."

"Iya, gue setuju. Secara menurut undang-undang, hal yang dilakuin Tamara itu udah masuk tindakan kriminal."

Ketujuh remaja laki-laki tersebut saling pandang, kemudian secara bersamaan mengeluarkan seringai jahat dari bibir mereka.

🌌🌌🌌

Tamara saat ini tengah berada di salah satu bilik toilet. Saat ingin keluar dari bilik, ia tidak sengaja mendengar suara Linda dan Kesya di luar. Ada satu hal yang membuatnya tertarik dengan percakapan mereka.

"Asli ya Lin, gue pengen masuk ke mimpi Zhenira lagi deh. Pengen request zaman Kekaisaran Jepang. Siapa tau gue bakal jadi permaisuri lagi, ahahaha."

"Halu mulu hidup lo, Key. Lo nggak lihat Zhenira masih sakit gitu? Nanti ajalah kalo dah sembuh."

Tamara mengernyitkan keningnya. Masuk ke mimpinya Zhenira? Apa maksudnya? Tamara semakin merapatkan telinganya ke pintu bilik toilet agar bisa mendengarkan lebih jelas.

"Hmm bener juga sih, tapi kan gue juga nggak bilang harus sekarang. Btw kita jadi jenguk dia ke rumah sakit kan pulang sekolah nanti?"

"Iya jadi, kan bareng yang lain juga ntar. Nggak sabar gue ketemu Zhenira. Udah beberapa hari dia nggak sekolah, malah terbaring di rumah sakit."

"Heem, inget banget gue pas dia operasi. Nggak ada henti-hentinya gue doa, biar operasinya berhasil dan Zhenira selamat."

"Yahh, dan doa kita terkabul. Dah ah, kuy balik ke kelas."

Setelah beberapa saat, barulah Tamara membuka pintu bilik tersebut. Bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah seringaian. Wahh Zhenira, keistimewaan apa lagi yang lo punya? Sepertinya gue pengen itu juga dari lo.

Tamara terkekeh sinis.

Sepertinya gadis itu tidak akan membiarkan rivalnya hidup tenang.

🌌🌌🌌

"Risa, gimana persiapannya? Sponsornya udah dapet, 'kan?"

Saat ini Marcell dan anggota OSIS lainnya tengah rapat untuk mempersiapkan acara kontes pencarian bakat yang diadakan tahun ini di SMA Negeri Majalengka.

Risa mengangguk kecil merespon pertanyaan dari sang ketua barusan. "Sponsor udah semua kok, kita tinggal kirim proposal aja buat mereka acc. Ya, semoga aja proposal kita bikin mereka tertarik."

Marcell mengelus dagunya dan mengetuk-ngetukkan jari-jari panjangnya pada meja. "Kalau untuk tempat? Kita jadi pake lapangan? Nggak mau pake aula aja?"

"Kata lo sendiri udah bosen di aula. Tahun-tahun yang lalu kan udah di aula. Gapapa lah, kan konsep kita outdoor."

Bener juga.

"Ya udah, tapi nanti gimana sekiranya jangan sampe terlalu panas."

Risa berdecak kesal. "Kan acaranya malem, pinter. Mana ada panas."

Marcell menggaruk pipinya yang tidak gatal, ia jadi tidak fokus begini. "Ya sorry, gue lupa. Yang lain? Ada kendala dalam persiapannya?"

Salah satu adik kelas mengangkat tangannya. Marcell melirik pada nametag adik kelasnya itu, Rio.

"Silakan, Rio."

"Saya bagian perlengkapan, Kak. Waktu saya cek, kabelnya kurang satu, itu gimana Kak? Kita perlu beli atau pinjam aja?"

Marcell terdiam sejenak, tampak berpikir, lantas menjawab. "Menurut kamu gimana?" tanyanya sembari menopang dagunya pada meja.

"Kalau menurut saya lebih baik pinjam aja Kak, jadi tidak membuang-buang uang juga. Uangnya masih bisa digunakan untuk yang lain," jawab Rio yang mendapat senyuman puas dari Marcell.

"Great answer, Rio. Ada lagi?"

Marcell menatap satu per satu anggotanya yang terdiam. "Oke, sepertinya tidak ada. Rapat saya tutup sampai di sini. Jika ada pertanyaan atau kendala dalam persiapan, silakan beritahukan pada rapat selanjutnya. Kalau memang mendesak, beritahu Kak Risa. Saya izin permisi dulu."

"Baik, Kak."

"Siap, terima kasih Kak."

Risa tersenyum tipis usai Marcell keluar dari Ruang OSIS. Dengan langkah pasti, ia pun mengajak anggota-anggotanya untuk ke lapangan. Ya, untuk survei tempat.



Semangat untuk para calon kandidat Ketua dan Wakil Ketua OSIS🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro