35 ߷ Critical
•
•
•
Darren yang mendengar kabar buruk tentang putrinya itu tanpa sadar sudah menekan kotak bekal yang dibawakan istrinya tadi dengan kuat hingga retak dan pecah. Tatapannya menggelap, dengan tergesa ia segera mengambil ponsel dan kunci mobilnya.
"Batalkan meeting hari ini."
Suara tegas itu menggema di ruangan besar yang banyak berisi berkas-berkas penting tersebut. Sang sekretaris sampai terkejut mendengar suara bosnya yang begitu dingin.
"Tapi Pak, para kepala divisi sudah datang. Mereka sudah menunggu Bapak di ruangan meeting."
"Saya bilang batalkan meeting hari ini. Apa kau tidak dengar, hah?!" Darren murka, jika saja sekretarisnya ini bukan seorang wanita, pasti dia sudah babak belur dipukulnya sejak tadi.
Sang sekretaris langsung menunduk takut. "Ba-baik Pak Darren. Saya akan segera menghubungi para kepala divisi untuk memberitahukan pembatalan meeting hari ini." Setelahnya sekretaris tersebut langsung berjalan keluar dari ruang Darren dengan cepat. Bosnya itu kalau marah, seramnya ngalah-ngalahin seramnya setan.
Tidak ingin membuang waktu lagi, Darren segera keluar dari ruangannya untuk menyusul sang istri yang entah kenapa lama sekali di pantry. Padahal bikin kopi doang.
Hanya dua menit waktu yang dibutuhkan Darren untuk sampai ke tempat di mana istrinya berada, dilihatnya sang istri tengah berbincang-bincang dengan salah satu karyawannya sembari memegang segelas kopi di tangannya. Darren pun segera menghampiri sang istri di sana.
"Dhian, kita perlu bicara."
Karyawan tersebut langsung membungkukkan badannya dan mohon izin undur diri saat melihat Darren datang. Dhian menoleh ke arah sang suami dengan alis yang terangkat satu, bertanya.
"Ada apa? Kenapa dengan ekspresimu itu?" Jelas saja Dhian bertanya seperti itu. Suaminya saat ini terlihat sangat kacau dengan beberapa bagian jasnya yang kusut, rambut yang berantakan seperti habis dijambak, dan urat-urat lehernya yang menonjol seperti tengah menahan emosi yang siap meledak kapan saja.
"Tidak ada waktu lagi, ikut aku. Kita bicarakan di mobil nanti."
Darren langsung menarik tangan istrinya tersebut dan menyeretnya agar segera sampai di lantai bawah. Sementara Dhian yang bingung, tidak berani bertanya sebelum suaminya itu benar-benar menjelaskan. Dia sangat hafal tabiat Darren jika sedang emosi seperti ini.
Ibunda dari Zhenira itu hanya pasrah mengikuti langkah suaminya yang entah akan membawanya ke mana.
🌌🌌🌌
"Udah 20 menit, kok Om Darren belum dateng?"
Linda menggigit bibirnya gelisah, ia juga tidak tahu. Oscars menjambak rambutnya frustasi, sepupunya itu harus segera mendapatkan pertolongan lebih lanjut.
Tap, tap, tap!
Keenam remaja itu berdiri dengan serempak saat sang dokter mendatangi mereka.
"Kondisi Nona Zhenira memburuk, operasi harus segera dilakukan."
Deg!
Linda panik, ia berjalan mendekati Oscars, mengguncangkan bahu cowok itu dengan kuat. "Oscars, kita harus gimana?! Zhenira sekarat! Kenapa Om Darren belum dateng juga, sih."
"GUE JUGA NGGAK TAU!"
Brak!
Oscars menendang kursi tunggu yang berada di sana dengan keras sehingga menimbulkan suara yang sangat nyaring. Bahkan Kevin dan Kesya yang duduk di atasnya jadi terlonjak kaget karena ulah brutal Oscars. Bagaimanapun, Oscars juga tidak bisa tinggal diam seperti ini.
"Dok, tolong lakukan saja operasinya. Saya takut Om dan Tante saya datang terlambat. Saya mohon, selamatkan sepupu saya. Saya mohon, Dok."
Oscars sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Ia bahkan rela memohon seperti ini hanya demi keselamatan sepupunya. Ia tidak ingin terjadi apa-apa pada gadis itu, apalagi jika sampai kehilangannya.
Dia tidak sanggup.
"Baik, mohon doanya untuk keselamatan pasien. Kami akan melakukannya dengan sebaik mungkin."
Sang dokter langsung kembali ke dalam Ruang UGD dan melakukan tugasnya. Tidak lama setelahnya para tim medis keluar lagi dengan membawa brankar di mana Zhenira lagi terbaring lemah di sana. Wajah gadis itu bahkan sangat pucat.
Mereka berenam terkejut, mereka langsung mengikuti ke mana arah brankar itu dengan cemas. Dokter yang menangani Zhenira sejak tadi menoleh ke arah para remaja di belakangnya ini. "Kami akan membawanya ke Ruang Operasi. Setelah orang tua Nona Zhenira datang, tolong untuk meminta mereka menunggu di ruangan saya."
Oscars dan yang lainnya mengangguk patuh. Sesampainya di ruang operasi, mereka harus kembali menunggu di luar dengan cemas.
Ponsel Linda bergetar, masih dengan sedikit sesenggukan, ia mengangkat panggilan dari sang kekasih. Linda lupa kalau dia belum memberi kabar pada Marcell, tapi Marcell pasti sudah tahu sekarang. Dari mana lagi jika bukan dari grup sekolah yang heboh.
"Halo Marcell."
"Lin, kamu ada di rumah sakit kan? Gimana keadaan Zhenira?"
Air mata Linda kembali turun, gadis itu menghapusnya dengan kasar, lantas menjawab pertanyaan Marcell semampunya. "Buruk, dia sekarat. A-aku gatau harus gimana. Kamu ada di mana? Cepetan ke sini."
"Astaga, kamu serius? Aku lagi sama Shadow juga Maxime. Di kantor polisi ngurusin kasus Tamara ini. Tunggu ya, kita bertiga otw ke sana."
Tut!
Usai mengatakan itu, Marcell langsung mematikan panggilan dari Linda secara sepihak. Linda menatap layar ponselnya yang sudah mati dan meletakkan benda pipih itu kembali ke dalam saku seragamnya. Netranya menunduk, melihat ke arah badannya yang penuh darah. Kemudian ia menoleh ke arah Kesya yang tak jauh berbeda dengannya.
Kesya menggigit bibirnya lantaran merasa sangat tidak tenang dengan keadaan Zhenira di dalam sana. Begitupun dengan Kevin, Trax dan juga Zero. Ketiga cowok itu hanya menatap lantai rumah sakit dalam diam. Sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing.
🌌🌌🌌
Tap, tap, tap!
"Di mana putri saya?!"
Keenam remaja tersebut sontak menoleh saat mendengar suara bariton itu menggema di koridor rumah sakit. Oscars yang melihat kedatangan Om Darren, Tante Dhian, dan sialnya juga ada sang papa pun jelas sangat terkejut. Seingatnya ia tidak menghubungi atau memberi kabar pada papanya sama sekali.
Oscars merangsek maju mendekati Om Darren untuk memberi penjelasan.
"Om, saya-"
BUAG!
Tanpa aba-aba, Om Darren memukul wajah Oscars dengan kuat hingga cowok itu tersungkur dan menabrak dinding di belakangnya.
"Mana janji kamu buat jagain Zhenira, hah?!"
Om Darren murka sekarang, Oscars bisa melihatnya dengan jelas. Ia tidak berani membuka suara untuk menjawabnya. Karena ia tahu, semakin ia menjawab semakin ia salah. Oscars melirik ke arah papanya yang ikut menatapnya dengan tatapan membunuh. Revalino Reyhan, tidak jauh berbeda dengannya. Papanya itu akan berubah menjadi iblis saat tengah dilanda kemarahan.
"Jawab saya, Oscars!"
Darren akan kembali melayangkan pukulannya jika saja Trax tidak menghalanginya. "Om, tolong jangan buat keributan di sini. Zhenira lagi berjuang untuk hidupnya di dalam."
Perkataan Trax barusan sukses membuat Darren menggertakkan giginya kesal. Ayah dari Zhenira itu memutuskan menghampiri istrinya yang tengah menangis untuk menenangkannya.
Ceklek!
Semuanya menoleh ke arah sumber suara saat mendengar suara pintu terbuka. Sang dokter yang menangani Zhenira baru saja keluar dengan keringat dingin di dahinya.
"Dok, apakah operasinya sudah selesai?"
"Bagaimana keadaan putri saya?"
"Dok, Zhenira gapapa kan?"
Sang dokter menghela napasnya pelan, ia mendongak pada para keluarga dan teman dari pasiennya.
"Nona Zhenira sedang kritis."
Perkataan itu terdengar jelas di telinga Zero, ia merasakan napasnya sempat berhenti beberapa detik. Linda menutup mulutnya tidak percaya, air mata kembali mengalir dari netra gadis itu. Tidak jauh berbeda dengan Oscars yang saat ini dirinya tengah dipapah oleh Trax karena pukulan Om Darren membuat wajah tampannya tergores di sana-sini.
Om Darren merangsek maju, memegang tangan dokter tersebut dengan kuat, bahkan bisa dikategorikan mencengkramnya. "Selamatkan putri saya apapun yang terjadi. Saya akan bayar berapapun asal putri saya bisa selamat."
Sang dokter paham betul apa yang dirasakan mereka semua. Ia sudah biasa menghadapi kondisi yang seperti ini. Ia dan tim medis pastinya juga akan berusaha keras. Namun untuk saat ini, hanya Nona Zhenira yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri.
"Saya mengerti, tapi untuk saat ini. Hanya Tuhan dan Nona Zhenira sendirilah yang bisa menyelamatkan dirinya sendirinya. Saya mohon izin untuk kembali masuk ke dalam."
Usai mendapat persetujuan, sang dokter kembali memasuki ruang operasi dan mulai melakukan pembedahan, tentunya beliau sangat hati-hati dan mengerahkan seluruh ilmu dan kemampuan prakteknya selama ini. Ia tidak ingin mengecewakan setiap keluarga pasiennya. Karena bagaimanapun, ia pernah ada di posisi mereka.
•
•
•
Duh, Zhenira ... Semoga kamu baik-baik aja😭😭😭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro