Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19 ߷ The First Warning



"Lo mau pesen apa? Biar gue yang pesenin." Zero berusaha menawarkan diri, ia jadi tidak tega melihat Zhenira yang tampak sedikit pucat saat ini.

Zhenira menggeleng pelan. "Nggak usah, gue nggak laper." Gadis itu malah menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya yang berada di atas meja.

Zero mendengkus kesal. "Bodo amat, dah. Tunggu di sini, biar gue pesenin." Ya, Zhenira yang keras kepala dan Zero yang lebih keras kepala.

Sementara Zero pergi memesan makanan, Zhenira merogoh ponselnya di saku seragamnya. Membuka aplikasi whatsapp dan mendial nomor Oscars. "Gue pengen pulang," rengeknya dengan suara menahan tangis.

Oscars di seberang sana jelas panik saat mendengar suara Zhenira yang tiba-tiba merengek minta pulang tersebut. Oscars menanyakan keberadaannya.

"Gue ada di kantin sekarang sama Zero, tapi tuh anak lagi pesen makanan," jawab Zhenira sekenanya. Jujur tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Di seberang sana, Oscars jelas bingung. Sejak kapan mereka berdua jadi sedekat itu? Tidak ingin membuat sepupunya menunggu, Oscars yang awalnya berada di kelas langsung berdiri, mematikan panggilan dan menyusul Zhenira ke kantin.

Lima menit kemudian, Zero datang membawa dua porsi nasi goreng dan dua gelas orange juice. Menyerahkan satu porsinya pada Zhenira yang sudah menegakkan posisi duduknya begitu mencium bau harum dari makanan yang dibawa Zero.

"Makan dulu, dikit juga gapapa. Yang penting perut lo keisi," kata Zero.

Zhenira mengangguk kecil. Gadis itu langsung mengambil sendoknya dan menyuapkan sesendok penuh nasi goreng pada mulutnya. Zero pun juga melakukan hal yang sama. Kedua sejoli itu fokus pada makanan mereka dalam keheningan, hingga kehadiran Oscars memecah keheningan tersebut.

Sret!

"Ayo, kata mau pulang," ajak Oscars yang sudah mendudukkan dirinya di samping sepupunya, Zhenira. Zero melirik ke arah Oscars yang kebetulan juga tengah melihat ke arahnya. "Hai, Bro! Thank's ya, udah jagain sepupu gue. Dia emang ngerepotin banget anaknya, sorry banget ya."

Zhenira mendelik tajam kala mendengar kalimat yang Oscars lontarkan. "Gue nggak gitu, ya!"

Zero mendengkus dan tersenyum tipis. "Santai aja, gue nggak merasa direpotin kok," ujar Zero yang membuat Zhenira auto kegirangan karena mendapatkan pembelaan.

"Tuh! Dengerin!"

Oscars mencibir.

Ketiganya seketika terdiam. Zhenira dan Zero memutuskan kembali fokus menghabiskan makanannya. Sementara Oscars sibuk dengan pikirannya sendiri. Sebenarnya ia masih kepikiran soal Kevin, ingin bertanya pada sepupunya langsung, tapi takut Zhenira kembali ingat sama kejadian itu. Kalau nggak ditanya juga, ntar dia kepikiran terus.

"Zhe," panggil Oscars.

Zhenira melirik pada sepupunya sekilas, menelan nasi goreng yang sudah dia kunyah. Kemudian bertanya, "Apaan?"

"Kevin udah minta maaf belum sama lo?"

Baru saja Zhenira akan menyuapkan nasi goreng itu pada mulutnya, kegiatannya seketika harus berhenti karena mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Oscars.

"Belum."

Jawaban yang sangat singkat. Oscars meringis pelan, sudah ia duga reaksi Zhenira akan seperti itu. Zero di tempatnya tetap fokus memakan makanannya, meski sesekali akan melirik pada kedua saudara sepupu tersebut. Dia tidak ingin ikut campur. Toh, beberapa hari yang lalu dia sudah memberi wejangan-wejangan pada sahabatnya, Kevin. Entah wejangan darinya akan digunakan atau hanya dianggap sebagai angin lewat semata. Dia tidak peduli. Itu bukan urusannya. Setidaknya itulah yang ada dipikiran Zero sekarang.

"Jam berapa sekarang?" tanya Zhenira pada kedua pemuda di depannya.

"10.30" jawab Oscars dan Zero bersamaan.

Zhenira menganggukkan kepalanya. Gadis itu meminum orange juice miliknya hingga tandas. Mengelap bibirnya yang berminyak dan basah dengan tisu yang tersedia di meja. Kemudian langsung mengambil uang sepuluh ribu rupiah yang berada di kantong sakunya.

"Nih, gue ganti duitnya. Thank's ya, Zero. Ayo sepupu, anterin gue pulang," ujar Zhenira yang sudah berdiri dari acara duduknya setelah memberikan selembar uang itu pada Zero.

Oscars pun akhirnya ikut berdiri dari acara duduk gantengnya. "Gue duluan ya, Zer. Sekali lagi gue minta maaf kalo sepupu gue ini ngerepotin lo," kata Oscars seraya menepuk-nepuk bahu Zero beberapa kali.

Zero membalasnya dengan senyuman tipis. "Iye, santai aja sama gue. Hati-hati ya lo berdua."

Zhenira dan Oscars mengacungkan kedua jempolnya sebelum benar-benar pergi untuk keluar dari area kantin. Oscars mengantarkan Zhenira dulu ke kelas gadis itu untuk mengambil tas, sekaligus berpamitan pada Linda dan Kesya yang tampak khawatir karena Zhenira pulang lebih awal.

"Gue cuma capek aja, nggak usah lebay deh lo berdua."

Lihat, kan? Bukannya berterima kasih atau merasa bersalah sudah membuat kedua sahabatnya khawatir, gadis itu malah mengatakan kedua sahabatnya lebay. Emang bener-bener si Zhenira. Minta dimandikan dengan air bunga tujuh rupa kali ya, biar setan yang ada di tubuh Zhenira keluar semua.

"Gue pamit ye, nitip absen," ujar Zhenira setelah selesai membereskan buku-bukunya dan sudah menggendong tas punggungnya.

Linda dan Kesya mengangguk sebagai jawaban. Ketiganya berpelukan singkat sebelum benar-benar melepas Zhenira yang akan pulang.

"Hati-hati loh," pesan Linda.

"Oscars! Jagain sahabat gue, ya! Anterin sampe rumah dengan selamat! Awas aja lo kalo sampe lecet!" seru Kesya, membuat Oscars yang saat ini tengah bersandar di dinding luar kelas mereka mendengkus kesal. Kenapa coba Zhenira harus berteman dengan orang aneh seperti Kesya, pikirnya.

"Dah ya, bye!"

Zhenira melambaikan tangannya, kemudian langsung keluar kelas menghampiri Oscars yang sudah menunggunya. Kedua saudara sepupu tersebut langsung melangkahkan kakinya ke area parkiran sekolah.

"Ntar nyampe rumah langsung istirahat, jangan kebanyakan pikiran. Gamau ya gue, kalo lo lagi-lagi minta anterin pulang di tengah jam sekolah kayak gini."

Zhenira memutar bola matanya malas mendengar ocehan sepupunya. "Iya bawel. Ayo buruan ah, udah pusing banget ini gue."

Oscars mendengkus. Tanpa banyak bicara lagi, dia langsung menjalankan mobilnya keluar dari area SMA Negeri Majalengka untuk mengantarkan sepupunya pulang ke rumah dengan selamat. Entah bagaimana reaksi Tante Dhian nanti melihat Zhenira yang lagi-lagi pulang lebih awal seperti ini.

🌌🌌🌌

Zhenira saat ini tengah berguling-guling tidak jelas di kasurnya. Dia baru saja sampai di rumah, sementara Oscars langsung kembali ke sekolah setelah mengantar dirinya. Beruntung saja sang ibunda tidak marah kepadanya saat tahu lagi-lagi dia pulang lebih awal dari biasanya.

"Gimana, nih? Aaaa, gue takut banget."

Zhenira memeluk kakinya yang bergetar seraya menenggelamkan wajahnya pada lipatan kakinya tersebut. Netranya bahkan sudah memerah menahan tangis.

Tok, tok, tok!

"Sayang, Bunda masuk ya?"

Zhenira buru-buru bangun dari posisinya dan mendudukkan dirinya di ranjang. "Masuk aja Bun, nggak di kunci kok," ujarnya merespon kalimat sang ibunda.

Ceklek!

Tersenyum begitu melihat sang ibunda masuk sembari membawa senampan makanan untuknya, Zhenira berterima kasih kepada sang ibunda. "Makasih loh, Bun. Jadi ngerepotin Bunda gini."

"Nggak ngerepotin dong sayang, kan kamu anak Bunda," kata sang ibunda sembari mengusap kepala Zhenira pelan. "Kamu kenapa kok pulang lebih awal lagi? Nggak enak badan? Apa kamu ada masalah di sekolah?" lanjutnya seraya meletakkan nampan berisi semangkok bubur itu di nakas.

Zhenira menggeleng ragu, lantas melebarkan senyumannya hingga mata gadis itu menyipit. "Aku gapapa kok, tapi aku kangen Ayah. Kapan Ayah pulang? Kok lama banget."

"Ohh iya, Bunda lupa bilang. Ayah tadi ngabarin, katanya dia pulang nanti malam atau besok. Udah di perjalanan kok dia."

Netra Zhenira berbinar senang. Ia begitu merindukan sosok ayahnya tersebut. Sudah hampir seminggu ayahnya itu ditugaskan di luar kota sehingga membuat ia dan bundanya berdua saja di rumah.

"Bunda serius?" tanya Zhenira memastikan. Senyuman dari sang ibunda sudah menjadi jawaban yang memuaskan untuknya.

"Aaaa, akhirnya Ayah pulang juga."

Zhenira kembali berbincang-bincang dengan ibundanya sembari memakan buburnya. Kedua ibu dan anak itu begitu semangat, membahas berbagai topik dengan senang. Zhenira sejenak berhasil melupakan kegundahan hatinya.

🌌🌌🌌

"Lihatlah dia, begitu manis dan polos. Kasihan sekali, dia tidak tau kalau dirinya dalam bahaya."

Pemuda yang memiliki rambut berwarna coklat keemasan itu menatap remeh pemandangan ibu dan anak di bawah sana. "Bukankah itu bagus? Mahkluk pendosa seperti dia tidak pantas diberi ampun."

"Allucaz, jaga bicaramu."

Pemuda bersurai silver yang baru saja menegur Allucaz muncul dari balik pintu. Ya, dia adalah sang pemimpin, Geraldz. "Kau jangan terlalu membela gadis itu Ger, atau Sang Pencipta akan murka," cerca Allucaz dengan sinis.

"Aku tidak membelanya, aku hanya memperingatkanmu. Yang pantas menghakiminya hanya Sang Pencipta. Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya tidak pantas menilai salah satu ciptaan-Nya yang lain seperti itu. Apalagi gadis yang tidak tau apa-apa seperti Zhenira."

"Sudahlah, kenapa kalian selalu saja membahas hal ini?" sahut pemuda bersurai merah, dia adalah Uoranz yang sedari tadi sudah jengah mendengar perdebatan antara Allucaz dan Geraldz.

"Tidak bisa! Bukankah kalian juga sudah dengar? Dia bahkan sampai ke Black Zone! Bukankah tempat itu terlarang?!" Allucaz emosi, kenapa orang-orang ini malah sesantai itu saat kedua dunia sudah benar-benar tidak terkendali.

"Bilang saja kau iri pada makhluk fana itu. Secara kita, termasuk kau juga tidak pernah sampai ke Black Zone," celetuk pemuda bersurai orange, Ilpyonz.

"Apa maksudmu?!" Allucaz berdiri, tidak terima akan perkataan Ilpyonz yang memojokkan dirinya.

"Hentikan perdebatan kalian. Jangan seperti makhluk tidak tau aturan. Kalian itu para Guardian, bersikaplah seperti seharusnya." Ravgaz yang sedari tadi hanya menyimak, akhirnya membuka suara. Dirinya benar-benar merasa terganggu dengan ocehan para partnernya tersebut. Allucaz berdecak kesal dan beranjak pergi dari sana menuju ke ruangannya.

"Hah, anak itu benar-benar." Geraldz memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa berdenyut. Berdebat dengan Allucaz memang selalu menguras emosinya. Beruntungnya karena para Guardian lain tidak seperti dia.

"Jadi bagaimana, ketua? Haruskah kita memperingatkan gadis itu secara langsung?" tanya Aronaz, si pemilik surai berwarna dark blue.

Geraldz tampak berpikir, lantas mengangguk. "Aku akan mengirimmu dan Ravgaz untuk tugas itu. Turunlah ke bumi, karena kalian tidak hanya kutugaskan untuk memberinya peringatan, tetapi sekaligus untuk mengawasinya," ujarnya yang membuat Aronaz dan Ravgaz saling pandang, kemudian keduanya mengangguk menyetujui perintah dari ketua mereka.



Wahh, para guardian sampai turun tangan langsung dong:"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro