Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18 ߷ Be Horrified



Zero saat ini tengah menyibukkan dirinya di ruang ekskul. Dengan laptop dan buku catatan di depannya. Cowok itu tengah merevisi beberapa tulisannya sebelum dikirimkan ke penerbit tujuannya. Tidak banyak, hanya 2 naskah saja. Sebagian lagi sudah dia revisi di rumah, tinggal beberapa bab lagi dan semuanya akan sempurna.

Ceklek!

"Ada apa? Kalau ingin mengumpulkan berita, silakan taruh saja di meja. Cepat keluar kalau sudah, saya lagi sibuk," ujar Zero tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.

"Ohh, jadi Kakaknya lagi tidak bisa diganggu ya? Oke deh, saya keluar aja kalo gitu."

Zero mengernyit kala suara itu terdengar sangat tidak asing baginya. Kemudian ia menoleh ke sumber suara, seketika bola matanya membulat sempurna begitu melihat Zhenira tengah berdiri di pintu sana.

"Zhenira? Ada perlu apa?" tanya Zero seraya berdiri dari acara duduknya dan menghampiri gadis itu.

Zhenira tersenyum begitu Zero sampai di depannya, gadis itu menggeleng sebagai jawaban. "Hanya berkunjung, gue ganggu lo ya?"

Zero menggeleng cepat. "Nggak sama sekali, justru gue seneng lo dateng. Ayo masuk, ngobrol di dalem aja." Zero tidak sadar, kalau perkataannya barusan sukses membuat wajah Zhenira memerah lantaran merasa malu.

Zhenira mengikuti langkah Zero ke ruangannya. Iya, setiap ketua ekskul memang punya ruangannya sendiri. Keren kan? Keren lah. SMA Negeri Majalengka doang nih yang begini.

"Kenapa kita ke ruangan lo? Kenapa nggak di luar aja?" tanya Zhenira yang membuat Zero menoleh ke arahnya.

"Lahh? Kenapa lo ngikutin gue? Gue cuma mau ngambil kertas doang di sini."

Zhenira menepuk dahinya keras, bibirnya komat-kamit menyumpah serapahi dirinya sendiri. Kenapa sih gue suka malu-maluin? Hiks, malu sama Zero. Zhenira memutuskan untuk langsung keluar dari ruangan Zero dan mendudukkan dirinya pada salah satu kusen jendela yang lumayan luas di ruang ekskul Jurnalistik ini.

Zero yang sudah selesai mengambil kebutuhannya di ruangan pribadinya langsung menyusul Zhenira keluar. "Kok duduk di situ, Zhe? Ada kursi, noh."

Zhenira menggeleng cepat. "Gue duduk di sini aja."

"Ya udah, senyaman lo aja."

Zero kembali melanjutkan revisinya. "Lo nggak ke kantin emangnya? Malah ke sini. Kaget gue tiba-tiba ada lo," ujar Zero yang membuat Zhenira otomatis langsung mengalihkan pandangannya pada cowok yang tengah berkutat dengan laptopnya tersebut.

Zhenira berdehem pelan, berusaha menetralkan kegugupannya. "Ada hal yang pengen gue tanyain sebenarnya." Zhenira mendongak menatap langit-langit ruangan lantas menutup matanya. Zero meliriknya sebentar.

"Soal apa?"

"Dunia mimpi."

Zero yang awalnya tengah mengetik, langsung menghentikan kegiatannya. Perhatiannya langsung benar-benar teralihkan begitu mendengar topik yang ingin dibahas oleh Zhenira. Setelah terdiam cukup lama, Zero akhirnya membuka suaranya.

"Cerita aja. Gue dengerin," katanya.

Zhenira menundukkan kepalanya, dia jadi bingung sekarang. Haruskah dia menceritakan kejadian yang dia alami kemarin? Bukankah itu seharusnya privasi dan tidak boleh diceritakan? Apa boleh buat, daripada terus kepikiran.

"Sebenarnya, gue semalem mimpi. Gue ada di sebuah tempat yang gelap banget. Gelap, kayak gaada batas. Cuma ada setitik cahaya yang kelihatannya jauh, tapi ternyata deket. Tepat di depan gue. Gue gatau itu tempat apa, selama ini gue nggak pernah nemuin tempat kayak gitu di mimpi-mimpi gue. Gue takut banget waktu itu, gue takut kalo gue ternyata ngelakuin kesalahan besar dan nggak bakal bisa balik ke dunia nyata. Gue takut gue nggak bisa bangun di kasur gue lagi. Gue bingung banget Zero, gue-"

"Udah, nggak perlu dilanjut. Tenangin diri lo dulu." Entah bagaimana, tapi saat ini Zero sudah berada di depan Zhenira dan mengusap rambutnya dengan lembut.

Zhenira mengusap sudut matanya yang sudah berembun dan siap menumpahkan tetesan airnya. Ia menatap telapak tangannya yang tanpa sadar malah bergetar hebat.

Zero mengambilkan Zhenira sebotol air dari ruangannya yang langsung diminum seperempatnya oleh gadis itu.

"Udah tenang?" tanyanya.

Zhenira mengangguk. "Thanks ya."

Zero mengetuk-ngetukkan ujung jarinya pada meja, tampak tengah berpikir. "Kalo gue ceritain apa yang gue alami, lo bakal percaya nggak?"

"Apa?"

"Sekitar dua hari yang lalu, gue mimpi masuk ke sebuah hutan. Anehnya, itu hutan punya jalan setapak berkarpet merah. Karena gue kepo, ya gue ikutin jalannya. Lalu sampailah gue di sebuah taman, lo pasti bakalan suka banget sama pemandangan taman di sana."

"Bagus banget ya?" tanya Zhenira yang membuat Zero tersenyum tipis.

"Iya bagus, tapi bukan itu inti dari ceritanya. Gue ketemu sama delapan orang yang semuanya laki-laki, pakai jubah putih dengan warna rambut berbeda-beda. Mereka memperkenalkan diri sebagai 'The Guardian', penjaga perbatasan kedua dunia. Antara dunia nyata dan dunia mimpi."

Zero melirik ke arah Zhenira yang memasang tampang serius yang justru kelihatan begitu lucu baginya. Ia pun melanjutkan ceritanya.

"Percaya atau tidak, tapi salah satu di antara mereka yang bawa gue ke sana. Mereka minta gue buat kasih tau lo soal bencana kedua dunia bila kita makhluk fana terlalu ikut campur dalam urusan kedua dunia."

"Gue nggak paham," kata Zhenira.

"Apalagi gue, intinya mereka bilang gitu. Kalo dari yang gue tangkep, kesimpulannya mereka peringatin kita tentang dunia nyata dan dunia mimpi. Bisa jadi yang dimaksud itu tentang kita yang bisa mengendalikan mimpi kita sendiri. Paham nggak maksud gue barusan?"

Zhenira mengangguk-anggukkan kepalanya. "Berarti, keistimewaan yang kita punya, juga bisa jadi boomerang buat diri kita sendiri?"

Zero menjentikkan jarinya. "Good, itu yang gue maksud. Ralat, mungkin itu yang mereka maksud."

Zhenira menghela napasnya, ingatannya kembali ke saat-saat di mana dia seenak jidat keluar masuk mimpi dan request mimpi sesuka hati. Ya, dia tidak tahu kalau keseringan akan membawa dampak buruk bagi kedua dunia. Entah dampak buruk seperti apa, dia juga tidak tahu. Yang jelas, berarti dia selama ini telah melakukan kesalahan. Pantas saja para Guardian memperingatkan keduanya secara langsung lewat mimpi Zero.

"Nggak usah terlalu dipikirin. Yang penting sekarang, lo udah tau apa yang harus lo lakuin buat mencegah terjadinya bencana pada kedua dunia."

Zhenira mengangguk lesu. Gadis itu masih merasa bersalah sekarang. Rasanya selama ini, ia memang terlalu terbuai dengan semua keistimewaan yang ia punya. Sehingga membuatnya lupa diri dan tidak bisa mengontrol keinginannya sendiri.

"Ayo, mending sekarang kita ke kantin. Ngisi energi sekaligus nenangin pikiran," ajak Zero kemudian yang langsung diangguki oleh Zhenira. Keduanya langsung berjalan beriringan menuju kantin. Keduanya bahkan tidak sadar kalau banyak siswa-siswi yang mulai memerhatikan mereka berdua.



Haduhh, ada-ada aja ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro