09 ߷ The Guardian
•
•
•
"Jadi ini perbatasan antara dunia nyata dan dunia mimpi?"
"Iya, kau benar sekali. Kami berdelapan adalah 'The Guardian' penjaga perbatasan kedua dunia itu."
"Guardian adalah singkatan dari masing-masing nama kami. Ciri khas kami ada di warna rambut masing-masing. Aku yang pertama, Geraldz, dengan ciri khas rambut berwarna silver. Yang kedua Uoranz, ciri khasnya adalah rambut merah gelapnya. Dark blue, itulah Aronaz. Ravgaz yang berambut hitam pekat. Devdaz dengan rambut hijau army. Ilpyonz, yang rambutnya orange menyala. Allucaz, coklat keemasan adalah ciri khas rambutnya. Terakhir, Neutraz dengan rambut ungunya."
Zero semakin sweatdrop dengan penjelasan yang di dengarnya. "Itu emang belakangnya huruf Z semua gitu ya?" tanyanya.
Geraldz tertawa akan pertanyaan tidak terduga yang dilontarkan oleh Zero. "Benar, itu juga ciri khas para Guardian."
Zero menggaruk tengkuknya kikuk. "Jadi, kenapa saya bisa ada di sini?"
"Sebenarnya kami yang membawamu ke sini, tepat ketika kamu jatuh tertidur." Aronz menjawab dengan tenang. "Kami ingin memperingatkan dirimu dan anak hawa itu agar tidak salah langkah," lanjutnya.
"Anak hawa? Siapa?" Zero membeo, tidak mengerti sama sekali dengan perkataan Aronz. Hubungannya dengan dia apa?
"Zhenira Silvanna Evans, bukankah kamu mengenalnya?" tanya Geraldz kemudian. Zero mengangguk cepat, tentu saja dia mengenal Zhenira.
"Dia sudah beberapa kali melanggar aturan kedua dunia. Jika hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin dunia akan semakin kacau balau karena ulah manusia seperti kalian-kalian ini." Allucaz menyahuti dengan tatapan sinis yang sangat ketara pada ekspresi wajahnya.
"Saya masih tidak mengerti maksud kalian. Dua dunia? The Guardian? Zhenira? Hubungan semua itu apa?" Zero masih terus mencoba mengorek informasi sebisa mungkin, dia tidak bisa tinggal diam ketika nama Zhenira disebut-sebut.
Geraldz tersenyum dengan wibawanya, pemuda berambut silver itu berdiri dari duduknya dan menghampiri Zero. "Kamu akan mengerti setelah ini. Untuk sekarang, lebih baik kembalilah tidur." Usai mengatakan hal itu, Geraldz mendorong dahi Zero dengan perlahan dan mengucapkan beberapa kata yang terdengar seperti mantra di telinganya.
Setelah itu Zero merasakan dirinya terjatuh dari ketinggian.
🌌🌌🌌
Saat terbangun, Zero sudah mendapati dirinya berada di kamarnya. Cowok itu melirik jam di atas nakas, tepat pukul 6 pagi. Zero memutuskan bangun dan segera beranjak ke kamar mandi. Soal mimpi yang dia alami semalam, bisa dipikirkannya nanti saat di sekolah.
Lima belas menit kemudian, dirinya sudah siap dengan seragam yang telah terpasang sempurna. Kakinya melangkah turun dan berjalan ke arah meja makan untuk sarapan.
"Udah bangun cucu Granma?"
Zero menoleh ke arah sang granma yang barusan bertanya. "Masih tidur Granma, yang Granma lihat sekarang itu arwahnya Zero," ujarnya dengan suara yang dibuat semenakutkan mungkin. Sang Granma memutar kedua bola matanya malas.
"Dasar anak nakal!"
Zero terkekeh pelan, netra kelamnya mengedarkan pandangan ke sekitar. Terlihat sang mama tengah memasukkan gula ke dalam teh yang dibuatnya, sang adik yang tengah asik mengganggu mamanya dengan mencomot teh tersebut dengan sendok kecil yang dibawanya. Jangan lupakan sang papa yang tengah fokus dengan layar laptopnya.
"Masih pagi loh, Pa. Masa iya udah pegang laptop aja," komentar Zero yang membuat papanya seketika menoleh dengan mengangkat sebelah alisnya bertanya.
"Biasa emang Papa kamu. Kerja mulu yang dipikirin, Mama dianggurin," sahut sang mama ikut menimpali.
"Nggak gitu sayang-"
"Halah, udah hafal aku sama kamu Mas."
Zero tertawa pelan melihat perdebatan kecil kedua orang tuanya. Dirinya pun ikut mendudukkan diri di tengah-tengah nenek dan adiknya. "Ma, tau anak D'Most Saga kan?" Zero bertanya pada sang mama sambil menyendokkan nasi goreng pada piringnya.
Mamanya mengangguk, lantas tersenyum. "Temen Kevin yang sering kamu ceritain itu?"
Zero berdehem pelan. "Temen Zero juga sih sebenarnya. Cuma Zero jarang mau kalau disuruh ngumpul bareng mereka."
"Kenapa gitu?"
Zero menggeleng dan menampilkan deretan giginya. "Kan Mama sendiri yang bilang, Zero harus bisa jaga pergaulan. D'Most Saga itu pergaulannya agak liar, yahh meskipun anaknya emang pada baik semua sih."
Sang mama mendengkus kesal mendengar pengakuan putranya. "Sempit banget pemikiran kamu," komentarnya. Zero memerhatikan mamanya yang baru saja duduk sembari menuangkan teh ke dalam gelas papanya. Mamanya kembali berujar. "Jaga pergaulan bukan berarti tidak bergaul. Kalau mereka emang dasarnya anak baik, mereka tidak akan menyeret kamu dalam pergaulan yang tidak-tidak. Paham sampe sini?"
"Bergaul aja sama mereka, anaknya baik-baik kok. Papa tau siapa mereka karena orang tua mereka adalah rekan bisnis papa," sahut sang papa ikut menasihati. Zero tampak berpikir dan menimbang-nimbang.
"Hmm, baiklah."
🌌🌌🌌
Zero yang baru saja menapakkan kakinya di parkiran sekolah seketika menghentikan langkahnya ketika melihat Marcell berjalan menghampirinya. "Ada apa?" tanyanya.
"Tolongin gue sebentar, bisa?"
Zero mengangguk dan langsung mengikuti langkah kaki Marcell ke arah belakang sekolah. Marcell membawanya ke gerbang yang berada di belakang sekolah, nampak di luarnya terdapat banyak sekali kotak kardus yang entah isinya apa.
"Bantuin gue bawa kotak-kotak itu ke Ruang OSIS," pinta Marcell setelahnya.
Zero mengacungkan jempolnya dan langsung mengangkat dua kotak kardus di tangannya. Karena penasaran, Zero memutuskan untuk bertanya. "Ini isinya apaan, dah?"
"Kertas-kertas bekas, ya semacam arsip gitulah. Rencana mau gue buang, biar di daur ulang. Eh si Risa malah ngamuk pas tau kardus-kardusnya gue taruh sini."
Zero hanya ber-oh ria mendengar penuturan Marcell. Keduanya kembali terdiam selama perjalanan membawa kardus-kardus itu ke Ruang OSIS. Di sana bahkan sudah terdapat Risa yang tengah berkacak pinggang sembari menatap Marcell dengan garang.
"Lain kali tanya gue dulu baru buang!" cerca Risa dengan ketus sambil mengambil alih kardus yang berada di tangan Marcell itu. Netranya melirik Zero yang berada di samping Marcell. "Lo juga kenapa mau aja disuruh sama nih curut?!"
Marcell mendelik tak terima, sementara Zero mendengkus pelan. "Gue cuma bantuin doang. Ya kali temen minta tolong kaga gue bantuin." Marcell tersenyum bangga begitu mendengar penuturan Zero. Risa mencibir lantas langsung masuk ke dalam Ruang OSIS untuk meletakkan kardus-kardus itu dan merapikannya.
Setelah kepergian Risa ke dalam, Zero bersuara. "Lo nemu di mana sih wakil galak kek gitu?" Marcell terkekeh pelan, mengusak rambutnya yang sedikit menghalangi pandangan. "Galak gitu tapi dia tekun."
Zero menyeringai. "Udah kelihatan sih."
"Hahaha, thanks udah bantuin gue."
"Santai aja, gue ke kelas duluan ye."
"Hati-hati!"
Marcell melambaikan tangannya pada Zero yang sudah berlari dan menghilang dibalik tikungan koridor. Senyuman tipis terbit di ujung bibir sang Ketua OSIS tersebut. Kemudian Marcell pun ikut berlalu masuk ke dalam Ruang OSIS untuk membantu Risa.
🌌🌌🌌
"Lo berdua tau nggak?" Zhenira bertanya dengan semangat pada kedua sahabatnya yang saat ini tengah menatapnya malas.
"Kalo nggak seru, gue gamau denger," sela Kesya yang membuat Zhenira auto cemberut.
"Dengerin dulu makanya!"
"Iya-iya, udah buruan ah cerita." Linda yang sudah penasaran langsung menyahut. Tatapan matanya bahkan sudah fokus dan siap mendengar cerita Zhenira.
"Jadi semalem kan gue ke cafe sama si Oscars. Ada anak-anak D'Most Saga yang lain juga. Eh yang bikin gue kaget tuh, ternyata ada Kevin sama Zero!"
"Ohh, kalo Kevin udah nggak kaget sih gue," komentar Linda sambil menyeruput bobanya.
Zhenira menatapnya heran. "Kok bisa?" tanya gadis itu.
Linda mengangguk, netranya mengarah pada Kevin yang baru saja terlihat melewati kelas mereka bertiga. "Tuh anak emang temennya anak D'Most Saga juga, cuma jarang ikut ngumpul aja. Kalo Zero gue nggak tau karena emang jarang lihat dia berkeliaran di sekitar anak D'Most Saga."
Zhenira dan Kesya ber-oh ria sembari mengangguk-anggukan kepalanya. "Kali aja mereka emang bener temenan kan? Toh gaada salahnya juga," ujar Kesya ikut berkomentar.
Linda mengangguk setuju dengan pendapat Kesya. "Ya emang nggak salah, sih."
"Tapi gue masih bingung, deh."
Kesya menatap Zhenira malas. "Bingung soal apa lagi?"
Zhenira memainkan ujung jari-jarinya dan tampak tersenyum malu-malu. "Gue bingung sama perasaan gue," jawab gadis itu pelan.
"Jangan bilang lo suka sama Zero cuma gara-gara dia itu cowok yang ada di mimpi lo?!" tebak Kesya yang sepertinya tepat sasaran.
"Aaaa, dia itu manis tau." Zhenira merengek seraya menghentak-hentakkan kakinya gusar.
Kesya menangkup pipi Zhenira dan sedikit menekannya. "Buka mata lo, Zhe! Ini itu dunia nyata! Bukan dunia mimpi!" ujarnya tepat di depan wajah Zhenira.
Linda terkekeh geli. "Udah biarin aja Key, ntar juga dia sadar sendiri."
Kesya menggelengkan kepalanya tidak setuju. "Nih anak kalo nggak dibilangin sekarang, ntar bakal ngeyel!"
Zhenira memonyongkan bibirnya, menirukan gaya bicara Kesya yang mengomel tadi tanpa suara.
"Nyenyenye."
Kesya mendelik melihat kelakuan Zhenira. Tangannya bahkan sudah ancang-ancang akan melemparkan botol boba miliknya pada sahabat laknatnya itu. Sayangnya Zhenira bahkan sudah kabur terlebih dahulu untuk menghindari amukannya keluar kelas.
"Sabar Key, sabar!"
•
•
•
Wkwk, kelakuan Zhenira emang bikin elus dada.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro