08 ߷ Little Cardio
▪︎
▪︎
▪︎
"Tiga puluh menit lebih lima detik."
"Lama bener lo berdua, ngobrol apa ngopi?"
Zhenira menampilkan cengiran andalannya, bergelayut manja pada sepupunya Oscars. Mencomot kentang goreng yang berada di depannya, kemudian menyeruput orange juice yang entah punya siapa. "Bentaran doang," ujarnya.
"Punya gue, weh!" Trax mendelik tak terima saat orange juice miliknya diminum Zhenira hingga tersisa setengahnya itu. Zhenira meringis meminta maaf.
Oscars menatap sepupunya tajam. "Gue gatau ya sebenarnya apa yang terjadi antara lo sama si Zero, tapi yang pasti lo harus hati-hati sama sepupu gue ini, Zer."
Spontan Zhenira membuka mulutnya dan mendelik tak terima. "Kok jadi gue?"
Oscars mengedikkan bahunya tak acuh. "Gue kenal banget sama Zero, dia nggak bakal macem-macem kecuali lo yang mulai."
Maxime dan Trax sontak terbahak mendengar penuturan Oscars yang ditujukan untuk Zhenira tersebut. Hal itu sudah cukup menjelaskan seberapa berbahayanya Zhenira untuk pemuda baik-baik seperti Zero. Itu yang berusaha dikatakan Oscars sedari tadi.
Zhenira mencebikkan bibirnya kesal. Dia mah sudah biasa jadi bahan bulian mereka kalo udah ngumpul gini. Tangan mungilnya meraih pergelangan tangan sepupunya Oscars dan melihat jam yang melingkar di sana. "Kok udah jam segini aja? Ayo pulang, udah kemaleman ini gue. Ntar dicariin Bunda."
Oscars mengangguk, lantas berdiri dari duduknya. "Gue duluan ye, mau balikin nih bocah dulu ke induknya."
Zhenira mengikuti langkah sepupunya yang sudah berjalan duluan. "Gue pamit, ya! Jangan pulang malam-malam kalian!" serunya sebelum menghilang bersama Oscars di balik pintu cafe.
Shadow menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Gila," gumamnya yang masih terdengar jelas oleh kelima laki-laki yang tersisa di sana.
Maxime terkekeh geli. "Untung temen ye," sahutnya kemudian.
Setelah kepergian Zhenira dan Oscars, para pemuda yang tersisa masih sibuk berbincang-bincang hingga satu jam lamanya. Biasa ngobrolin masalah cowok. Membahas masa lalu, menentukan tempat nongkrong selanjutnya dan lain-lain.
🌌🌌🌌
Brum, brum, brum ...
Suara derum motor terdengar mendekat dari kejauhan. Seorang wanita paruh baya otomatis langsung berdiri dari duduknya begitu mendengar suara derum motor tersebut. Tangannya yang sudah mulai muncul keriput membuka pintu utama rumah di mana terlihat Zero yang baru saja turun dari motornya.
"Baru pulang, Bang? Dari mana?"
Zero menoleh dan mendapati sang mama tengah menatapnya dengan penasaran dari balik pintu. Zero mengulas senyum tipisnya lantas menghampiri mamanya dan mendaratkan sebuah kecupan di pipi sang mama. "Zero taruh motor di garasi dulu ya," ujarnya yang langsung kembali menuntun motornya ke garasi rumah.
Tidak lama setelahnya, Zero kembali menghampiri sang mama yang masih berdiri menunggunya di depan pintu. "Mama kok belum tidur?" tanyanya kemudian. Mamanya menggeleng dan menunjuk ke dalam, tepat ke arah sofa ruang tamu. Di mana dapat Zero lihat, sang adik tengah menonton televisi sembari memakan cookies di tangan kecilnya.
"Lahh, belum tidur tuh bocah?"
"Nungguin kamu pulang, mau nagih janji katanya."
Zero menepuk dahinya keras, ia lupa dengan hal itu. Kakinya melangkah ke dalam rumah, menghampiri sang adik yang masih fokus dengan kartunnya. "Woy! Kok belum tidur?"
Farzico Cardio Dawson menoleh cepat begitu mendengar suara sang kakak di sampingnya. "ABANG! MANA MAINAN YANG JANJI ABANG BELIIN BUAT ZICO?!"
"Yeee, bocah. Jangan teriak-teriak, nanti Granma bangun." Zero otomatis langsung membekap mulut berisik adiknya tersebut. "Besok dah janji, Abang beliin. Tadi lupa soalnya."
Zico cemberut, bibirnya manyun. "Mamaa, Bang Zero ingkar janji!" adunya yang membuat sang mama cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah anak bungsunya itu.
"Nanti Mama marahin Abang kamu. Sekarang mending kamu ke kamar, udah malem. Tidur ya, besok masih harus sekolah." Zico mengangguk menurut, bocah laki-laki berusia 7 tahun tersebut langsung turun dari sofa dan berlari kecil menuju kamarnya.
"Kamu juga, Zero. Besok jangan sampai terlambat bangun," lanjut sang mama. Zero tersenyum, ia mengangguk mengerti. "Mama ke kamar dulu." Sang mama mendaratkan tepukan pada bahu putra sulungnya tersebut sebelum Zero pergi ke kamarnya.
🌌🌌🌌
Zero yang baru saja sampai di kamar, mengernyit bingung saat melihat kamarnya terlihat sangat rapi. Seingatnya tadi ia meninggalkan banyak tumpukan kertas di meja belajar dan kasurnya.
"Hm, paling juga kerjaan Mama."
Badannya terasa sangat pegal, Zero memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu di kamar mandi sebelum tidur. Tangannya menyambar handuk yang tersampir di kursi belajarnya dan langsung memasuki kamar mandi untuk memulai ritual mandi malamnya.
Dua puluh menit kemudian, Zero sudah keluar dari kamar mandi dengan badan yang terlihat sudah segar. Pemuda itu mendudukkan dirinya di kasur dan menyambar ponselnya. Membuka lockscreen yang terpasang dan mengecek jadwal pelajarannya untuk besok.
"Rabu ... Matematika, Biologi, Kimia. Buset dah, mapel berat semua ini jadinya? Ck!" Zero menjatuhkan badannya ke atas kasur, terlentang. Kedua tangannya ia tekuk untuk dijadikan bantal. Kelopak matanya sudah sangat berat sekarang ini, mengantuk. Tanpa sadar, pemuda itupun sudah terlelap tidur.
🌌🌌🌌
Zero mengedarkan pandangannya ke segala arah, netranya sungguh asing dengan tempat ini. Pepohonan yang hijau, sungguh lebat. Seperti sebuah hutan, tetapi hutan tidak mungkin ada jalan dengan karpet merah sebagus ini.
"Bukankah kita harus memperingatkan anak hawa itu?"
"Tidak perlu, dia tidak akan melakukannya lagi."
"Kenapa kau sangat yakin? Apa kau tidak bisa melihat dengan jelas kalau dia sudah melanggar aturan dunia?"
Zero mengerutkan keningnya saat samar-samar mendengar suara beberapa orang yang berdebat tidak jauh dari tempatnya berdiri. Rasa penasaran dalam dirinya membuatnya berjalan mengikuti karpet merah itu dan memasuki hutan lebih dalam.
"Lalu apa yang ingin kau lakukan? Kita bahkan belum mendapatkan perintah resmi."
Suara itu kian dekat rasanya. Zero bersembunyi di balik sebuah pohon mapple, netra kelamnya mencoba mengintip apa yang sebenarnya terjadi.
"Waw, siapa mereka?" gumamnya pelan. Zero sungguh dibuat takjub dengan pemandangan di depannya. Apa yang dilihatnya sekarang adalah tempat yang sangat indah dengan banyaknya bunga-bunga dan kolam air susu dengan angsa yang berenang di sekitarnya. Jangan lupakan kedelapan laki-laki dengan jubah putih mereka yang tampak begitu pas di badan kekar mereka.
"Apakah mereka malaikat?" Zero bertanya-tanya dengan penuh keheranan sekaligus takjub. Ketampanan kedelapan orang itu sungguh berada di atas rata-rata. Mustahil rasanya ada manusia setampan mereka. Jika benar mereka adalah malaikat, wahh betapa beruntung dirinya saat ini.
"Hei, kau! Sedang apa kau di situ?!"
Zero membulatkan matanya terkejut.
Sial, dia ketahuan.
Sibuk dengan rasa paniknya, sampai Zero tidak sadar kalau salah satu dari mereka sudah ada di depannya. "Aku tanya sekali lagi, siapa kau?" ujarnya dengan tatapan menusuk. Bukannya takut, Zero justru terpesona dengan orang di depannya.
Puji Tuhan, beneran malaikat nih?
"Sepertinya kau menakutinya Allucaz."
"Cih! Yang benar saja!"
Zero memperhatikan orang-orang di sekitarnya saat ini. Ketampanan di atas rata-rata, jubah putih yang nampak kontras dengan kulit mereka dan juga warna rambut yang warni-warni macam pelangi.
"Kalian boyband ya?"
Kedelapan pemuda tampan itu saling menatap satu sama lain dengan bingung. "Boyband? Apa itu?" tanya salah satunya yang berdiri di pojok kiri dengan rambut berwarna orange menyala. Macam Ichigo Kurosaki di anime Bleach.
Zero seketika sweatdrop. "Ganteng sih, tapi ketinggalan jaman," gumamnya pelan. Orang-orang ini masih sibuk sendiri, Zero bingung harus bagaimana sekarang. "Eum permisi, maaf sebelumnya. Kalian ini siapa ya? Sebenarnya ini tempat apa? Kenapa saya bisa terdampar di sini?"
Suara Zero berhasil mengalihkan kedelapan pemuda tersebut. Salah satu di antara mereka maju mendekatinya, meneliti penampilan Zero dari atas ke bawah. "Hmm, kau bukan berasal dari sini ya?" Zero mengangguk cepat sebagai jawaban. "Nama kamu siapa?" tanyanya lagi.
"Farzero Alando Dawson."
"OH! JADI KAU YANG NAMANYA ZERO?!" Pemuda berambut dark blue tiba-tiba berseru sembari menunjuk-nunjuk Zero dengan heboh.
"Tidak sopan, Aron!" Seorang pemuda berambut merah gelap menegurnya sambil mendelik tajam.
Zero sungguh bingung dengan situasi yang dia hadapi sekarang ini. Pemuda bersurai silver, yang sepertinya paling disegani di antara mereka menepuk bahu Zero pelan. "Saya yang akan menjelaskannya pada kamu." Senyum tipis tersungging di bibir pemuda tersebut.
▪︎
▪︎
▪︎
Wahh, mimpi seperti apa yang Zero alami kali ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro