2. Firasat Orangtua
Happy Reading
Halo .... Vote komen~
Maaf slow update
•••••••••
Nyaman.
Perasaan itu meresap sampai ke hati seorang Nara Shikadai saat dirinya mendapati kenyamanan yang tidak bisa dia deskripsikan. Mungkin seperti perasaan nyaman saat dipeluk oleh ibunya, tapi rasanya lebih daripada itu, Shikadai juga tidak paham, pastinya dia merasa ingin merasakan hal ini terus menerus.
"Shikadai"
Samar-samar dirinya mendengar suara dari kejauhan, dia tidak tau pasti itu suara siapa namun seperti memanggilnya.
"SHIKADAI"
"NARA SHIKADAI,"
Shikadai seperti terhempas kebawah secara paksa hingga rasa sakit benar-benar membuatnya sadar bahwa dirinya ada di kamar, lebih tepatnya dibawah kaki tempat tidurnya. Dia mengusap punggung yang sempat terkena kaki meja, lalu menggrutu. "Kaasan, kenapa berteriak seperti itu?" Shikadai memastikan keadaan dirinya yang baik-baik saja, tidak patah tulang.
"Nara Shikadai,"
Shikadai mengerutkan kening saat mendapati suara ayahnya, dia pikir hanya ada ibunya, tidak biasa ayahnya ke kamar hanya untuk membangunkannya, jadi Shikadai memutuskan untuk mendongak menatap kedua orangtuanya yang kini berdiri menatapnya dengan pandangan sulit diartikan oleh Shikadai, namun dirinya merasakan firasat aneh. Ditambah dirinya baru sadar, kedua orangtuanya memanggil nama lengkapnya. Pasti ada sesuatu.
"Bangun," perintah ibunya dengan nada dingin. Shikadai tanpa berpikir dua kali, langsung sigap berdiri, dia merasakan tingkat marah ibunya berbeda kali ini.
"Kaasan ada ap--"
"Bisa jelaskan?" Ibunya, Temari bertanya dengan nada yang sama kepada anak tunggalnya. Namun bukannya menjawab Shikadai dibuat bingung karena dia tidak tau harus menjelaskan apa.
"Apa maksud kaasan?"
Temari menatap anaknya lalu melihat kearah belakang Shikadai, jadi dengan otomatis pemuda itu melihat pandangan ibunya, dan betapa terkejutnya, dia mendapati bahwa ada satu manusia lagi yang berada ditempat tidurnya, bergender perempuan pula sedang memandangi Shikadai dan kedua orangtuanya dengan pandangan bingung, sekaligus takut.
"Siapa perempuan itu?" Tanya Temari bersidekap memandangi anaknya yang saat ini sudah mulai paham dengan situasi.
"T-Tunggu Kaasan, Tousan, ini ada kesalahan, perempuan itu aku temukan di hutan Nara, lalu aku melihatnya pingsan dan seingatku, aku sama sekali tidak membawanya kesini, maksudku aku tidak tau kenapa dia disini dan aku.. maksudku.." Shikadai bingung menjelaskannya, dia juga tidak tau mengapa bisa tiba-tiba ada di kamar, bersama dengan perempuan itu, satu ranjang pula, padahal seingatnya, dia tidak membawa perempuan itu pulang.
Temari semakin curiga. "Shikadai, apa kau mabuk dan membawa gadis ini?" Tanya Temari langsung membuat Shikadai menggeleng.
"Tidak, aku bersumpah kaasan, aku juga tidak paham," jawab Shikadai dengan memijit pelipisnya bingung, otaknya seperti terkena sistem yang membuat semua blank.
Sementara itu gadis yang dibicarakan oleh mereka juga tidak paham dengan kondisi, jadi sedari tadi gadis itu hanya bisa diam, memandangi sekitar sekaligus memutar memorinya hanya untuk mendapati ingatan yang kabur.
"Nona," panggilan tersebut menyadarkan sang gadis dan kini atensinya menatap Temari. "Apa kau ingat?" Tanya wanita tersebut mencoba untuk lembut dan tidak menakuti, beda dari sebelumnya, namun gadis tersebut hanya bisa menggeleng membuat Temari menghembuskan nafas, wanita itu mendapati tepukan lembut dari Shikamaru, suaminya.
"Kita bicarakan ini setelah sarapan," ujar Shikamaru memutuskan dengan final untuk mencairkan suasana yang tegang.
•••••••••••
Temari meletakkan beberapa roti di atas meja milik kamar anaknya, setelah itu dia mendengar sebuah pintu kamar mandi terbuka dan muncul seorang gadis dengan pakaian rumahan miliknya sewaktu muda, karena mengingat tubuh gadis itu yang lebih kurus darinya, maka pakaian itu masih terasa longgar.
"Apakah nyaman?" Tanya Temari memerhatikan gadis tersebut.
Gadis itu mengangguk walau masih linglung, melihat itu Temari merasa dirinya tidak bisa memarahi anak dihadapannya.
"Aku ingin bicara denganmu, boleh?" Tanya Temari, sebenarnya dia bisa saja langsung to the point namun semenjak menjadi nyonya Nara, dia mengemban sopan santun ditangannya.
Gadis itu mengangguk sebagai jawaban, akhirnya Temari mempersilakannya untuk duduk di kasur milik anaknya sambil menyerahkan satu roti untuk di makan oleh gadis itu.
"Sebelumnya aku ingin tau, apakah kau ingat namamu?"
Gadis itu terlihat mengerutkan kening mencoba menggali memorinya cukup dalam. "Diingatanku, aku dipanggil [Yourname]," jelasnya membuat Temari mengangguk. "Aku Temari, ibu dari Shikadai," balas Temari, kemudian dilanjutkan.
"Apakah kau ingat tempat tinggalmu?" Pertanyaan tersebut dijawab gelengan setelah [Yourname] mencoba mengingat dan hasilnya gagal.
"Kau hanya ingat nama?" [Yourname] mengangguk. Temari menghela nafas, perasaannya mengatakan bahwa ini akan rumit. Jadi Temari tidak memaksa lebih lanjut, dia hanya menepuk bahu gadis disebelahnya.
"[Yourname]-san, aku hanya ingin kau bisa menerima keputusan yang akan diberikan nanti," jelas Temari penuh akan ambigu membuat [Yourname] memiringkan kepala tanpa sadar karena bingung.
"Apa maksudnya?"
"Kita akan bicarakan lebih lanjut setelah kau makan," perkataan dari Temari membuat [Yourname] hanya bisa mengangguk walaupun di dalam kepalanya penuh tanda tanya.
Setelah beberapa menit kemudian, dua perempuan berbeda usia itu telah menyelesaikan sarapan walaupun lebih ke gadis muda yang menghabiskan sarapan, Temari hanya menemani saja. Lalu kembali kepada dua perempuan yang saat ini duduk di lantai tatami. Temari duduk disebelah suaminya dan [Yourname] disebelah Shikadai. Mereka dipisahkan oleh satu meja beralas tatami. Suasana tegang disana tampak mulai memenuhi ruang utama tersebut.
Shikamaru sebagai kepala keluarga Nara berdehem untuk mencairkan suasana, lalu tatapannya mengarah pada gadis disebelah anaknya.
"Jadi namamu [Yourname]-san, benar?"
[Yourname] mengangguk sebagai jawaban, gadis itu tidak banyak bicara karena seperti paham situasi. Shikamaru jadi menilai bahwa gadis dihadapannya ini memiliki sopan santun yang bagus juga pendiam.
"Bagaimana makanannya, enak?" Shikamaru bertanya penuh akan basa-basi membuat Temari yang ada disebelahnya menyikut pinggang suaminya, seperti mengingatkan bahwa pertanyaan suaminya tidak penting.
Namun [Yourname] tetap menjawab dengan anggukan. "Terimakasih, itu sangat enak," perkataan tersebut membuat kedua pasutri saling pandang, kemudian Shikamaru kembali pada topik yang ingin dibicarakan.
"Begini [Yourname]-san, setelah aku bicara pada anakku, maksudku Shikadai tentang kronologis kejadian ini, aku memutuskan bahwa sekarang kau harus ada dalam pengawasan kami," ujar Shikamaru memulai topik dan gadis dihadapannya memperhatikan.
Shikamaru masih meneliti ekspresi gadis disamping anaknya, kemudian melanjutkan. "Intinya [Yourname]-san karena kau ditemukan di wilayah Nara, jadi sekarang kau akan jadi tanggung jawab kami"
[Yourname] mengedip beberapa kali masih mencerna. "Maksudnya aku jadi bagian Nara?" Tanyanya bingung. Shikamaru langsung membalas.
"Ya, bisa dibilang begitu namun mungkin lebih ke ikatan yang lain,"
"Maksud Tousan?" Shikadai bertanya karena daritadi dia hanya memperhatikan. Semenjak dia berbicara dengan kedua orangtuanya, dia mendapati respon yang berbeda. Ibunya yang tidak bisa dia prediksi, berbanding terbalik dengan ayahnya yang seperti memikirkan sesuatu. Shikadai jelas tidak paham situasi ini.
Shikamaru melihat Temari, lalu wanita itu mengangguk seperti paham dengan tatapan Shikamaru. Lalu kepala keluarga Nara itu kembali berbicara.
"[Yourname]-san akan menjadi bagian Nara dengan ikatan pernikahan denganmu, Shikadai,"
"Huh?" Shikadai jelas terkejut, ayahnya tidak bilang apa-apa dan malah memutuskan. Jadi dia protes. "Otousan tidak mengatakan apa-apa tadi, sekarang kenapa memutuskan aku menikah?" Tanya anak tunggal Nara tersebut.
Shikamaru melihat anaknya, memandang iris mata yang turun dari istrinya dengan serius. "Shikadai, setelah kau bercerita mengenai masalah ini dan mengapa [Yourname] ada bersamamu dalam satu kamar sekaligus satu kasur, ayah dan ibu memutuskan untuk mengikat kalian," jawab Shikamaru tegas.
"Tapi aku tidak melakukan apapun," Shikadai protes, ibunya menatap tajam. "Shikadai, sebagai seorang lelaki kau harus tanggung jawab mau bagaimanapun kondisinya, lagipula suka atau tidak suka kau akan menikah nanti," tambah ibunya membuat Shikadai menelan protesnya.
Gadis disebelah Shikadai memandangi situasi, lalu kemudian mencoba berbicara. "Maaf aku menginterupsi, tapi memang benar Shikadai-san tidak melakukan apapun, jadi pernikahan ini sepertinya tidak perlu," ucap [Yourname] mencoba menatap Temari dan Shikamaru.
"Apakah kau ingat kejadiannya?" Tanya Shikamaru membuat [Yourname] terdiam. Masalahnya gadis itu tidak ingat. Temari yang melihat itu menghebuskan nafas. "[Yourname]-san, ini yang aku katakan tadi, karena kau tidak ingat, kita tidak tau apa yang terjadi," ucap Temari.
"Kalian bisa saja membiarkanku lalu aku akan..."
"Kau akan jadi masyarakat disini, begitu?" Pertanyaan retoris dari Shikamaru membuat [Yourname] memandanginya seperti menunjukan bahwa mungkin itu jalannya, namun ekspresi selanjutnya dari Shikamaru adalah gelengan.
"Walaupun negara ini sudah berdamai, akan tetapi negara api termasuk desa Konoha yang sekarang kau masuki itu punya peraturan ketat, jika kau bukan salah satu dari kerabat jauh, maka kau akan sulit untuk tinggal, dan juga mengingat kau sama sekali tidak ada asal-usul, apakah kau yakin akan diterima?" Shikamaru menatap [Yourname] untuk mendapati reaksi terdiam dari gadis itu.
Kemudian tatapan kembali kearah anaknya. "Shikadai kau paham situasinyakan? Walaupun aku meminta izin dari Hokage-sama, tetap saja akan banyak yang tidak setuju, kau taukan kasus Mitsuki, karena dia anak dari Orochimaru, mereka jadi ketat padanya," ungkap Shikamaru.
Shikadai membalas tatapan ayahnya, lalu menghela nafas. "Tck, mendokusei," dia berdecak dan langsung dihadiahi plototan dari ibunya.
"Terserah," akhirnya Shikadai hanya bisa mengeluarkan kalimat pasrahnya membuat kedua orangtuanya tersenyum tipis.
"Karena Shikadai tidak menolak, berarti [Yourname]-san aku harap kau bisa paham situasinya," kata Shikamaru yang membuat [Yourname] hanya bisa diam sebagai jawaban.
"Bagaimana pernikahanku dengan keluarga negara angin?" Shikadai memberikan ingatan kepada orangtuanya bahwa masih ada masalah lain, kali ini Temari yang menjawab. "Ibu pikir akan membatalkannya, walaupun ini resiko juga, tapi anggaplah kau sudah punya kekasih," jelas ibunya.
"Ini sebagai alasan kau tidak akan menikah dengan salah satu putri dari petinggi negara angin," tambah Shikamaru lagi.
Shikadai melihat ayah dan ibunya sekali lagi, kemudian menghembuskan nafas. "Kalau begitu aku serahkan semua ke tousan dan kaasan," jelasnya dengan ketidakpedulian, lalu bangkit berdiri meninggalkan ruangan. Temari jelas ingin membentak anaknya karena tidak sopan namun Shikamaru menahan.
"Biarkan saja,"
Sementara itu [Yourname] menatap punggung Shikadai, walau baru mengenal, dia tau bahwa Shikadai tidak ingin menikah dan menolak, siapa juga yang ingin menikah jika di jodohkan oleh orang asing. [Yourname] bisa mengerti dan paham dengan penolakan dari Shikadai. Namun ada yang lebih penting dari ini setelah dia mencerna semuanya, dia menatap kembali pasutri dihadapannya. "Bolehkah aku tau mengapa kalian lebih memilihku? maksudku kalian baru mengenalkukan," tanyanya mengeluarkan isi pikirannya.
Kini giliran Temari yang menatap Shikamaru, lalu wanita itu kembali melihat kearah [Yourname] dengan senyuman lembut.
"Firasat orangtua,"
[Yourname] mengerjap tidak paham, melihat itu Shikamaru tersenyum geli. "Ada satu dua hal yang akan kamu ketahui nanti [Yourname]-san, jadi sekarang kau bisa berpegang pada firasat orangtua untuk mengetahui alasan kami,"
Alasan tersebut harus dipegang oleh [Yourname] namun dirinya juga tidak yakin apa yang dimaksud dengan firasat orangtua.
Situasi ini jelas akan membawanya pada hal yang rumit.
~to be continued
Sifat shikadai jauh lebih rumit daripada Mitsuki, jadi mohon maaf kalo tidak sesuai ekspetasi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro