Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Titip rindu buat Ayah

Benar kata orang, hujan itu sarat akan kenangan. Meski deras, kakiku terayun lambat, membiarkan kepala berbalut hijab abu-abu, terinjak oleh setiap tetesnya. Percuma terus berlari, jika rindu yang dikemas apik dalan rintik yang jatuh tetap tak bisa kuhindari.

Langit meradang seharian, membuat orang-orang turut pilu menyaksikan muramnya. Jika biasanya ada jemari kukuh yang mengamankanku dari amukan hujan, hari ini aku dipaksa mengakui bahwa sosok itu tak lagi ada. Aku mendongak menatap langit, berharap Ayah mengawasiku di atas sana. "Yah, Alin kangen," gumamku.

Petir berteriak nyaring, tetapi indra pendengaranku justru didominasi oleh bising sirine ambulans yang tempo hari membawa tubuh ringkih Ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Adik menangis, dan aku hanya bisa mengatakan, Ayah sudah tidak sakit lagi, Dik."Besar harapan, itu bisa meredam pedihnya. Walaupun sebenarnya hati menjerit kontras, mempertanyakan mengapa Ayah pergi begitu cepat?

Sesulit itu menyederhanakan kehilangan. Tak mudah pula memaknai dengan bijak sesuatu yang hilang beriring sesal. Ya, kepergian Ayah membuatku menyesali banyak hal. Satu di antaranya karena ada kalimat yang tak sempat kusuarakan.

Andai waktu bersedia mundur beberapa langkah, pada hari di mana terakhir kalinya aku dan Ayah beradu tatap, yang ingin kukatakan hanya Alin sayang Ayah.

Sebagai anak sulung, aku dituntut untuk menjadi kuat. Selama mendampingi Ayah yang sakit, tak sekalipun aku menangis di hadapannya. Lebih sering membuang pandang, menyibak perih yang mencengkeram erat setiap kali kulihat penyusutan bobot tubuhnya. Yang dulu menuntunku tatkala belajar berjalan, berbalik harus kutuntun karena sosotnya tak lagi tajam.

Banyak orang menatapnya aneh, tak sedikit pula yang melepaskan sorot kasihan. Namun, Ayah tak sedikit pun tampak terganggu oleh bagaimana mereka menatapnya.

Berawal dari benjolan kecil di belakang telinga—yang tak tampak, tetapi teraba—Ayah harus bergulat dengan rasa sakit dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Berbagai jenis obat diminumnya untuk meredakan sakit, membuatku takut kalau obat-obatan itu bukan malah menyembuhkan, justru mencederainya lebih banyak. Hingga satu tahun berlalu, tak sedikit pun tampak perubahan. Benjolan itu semakin besar dan mengganas. Sebelah wajahnya lumpuh. Face paralysis, demikian yang dokter katakan.

Penyakit itu melumpuhkan kukuhnya. Mendorong kami selangkah demi selangkah, hingga terhenti di bibir jurang putus asa. Saat kami mulai menyerah, bingung ke mana membawa hati yang lemah ini mengarah, Ayah dengan tegas menyuarakan harapannya. Tolong beri Ayah kesempatan sampai akhir. Seandainya tidak ada lagi harapan, Ayah akan berhenti. Karena setidaknya, saat hari itu -tiba, Ayah sudah jauh berjuang untuk tetap bertahan.

Tak banyak yang aku katakan hari itu. Benteng kukuh yang kubangun susah payah, meluruh tak berbentuk dalam dekapnya. Ayah ... Ayah ... Ayah! Ayah adalah orang terhebat yang pernah aku kenal.

Aku sempat bernapas lega saat dokter mengatakan kalau Ayah bisa melakukan operasi pengangkatan tumor. Namun, aku harus kembali menuai kecewa saat tahu kalau operasi tidak bisa dilakukan karena penyakit itu mulai meluas hingga ke pembuluh darah. Lebih kecewa lagi karena kami tidak diberikan informasi bahwa operasi hari itu hanya biopsi semata, bukan pengangkatan tumor seperti yang dijanjikan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melakukan radioterapi dengan masa tunggu tiga minggu lebih. Saat itu aku hanya berharap kalau Ayah bisa bertahan.

Sebagai tenaga kesehatan, aku menyesal karena tidak bisa menggiring ayah meninggalkan rokok lebih cepat. Tidak perhatian pula dengan membiarkan Ayah menjalani hidup sesukanya. Padahal, nyaris setiap hari aku memberikan edukasi tentang obat-obatan atau sekadar mengingatkan pasien tentang pola hidup sehat. Waktu yang kupunya lebih banyak dihabiskan untuk bekerja dibanding bersama keluarga.

Selama masa tunggu sebelum radioterapi, dengan berat hati aku harus mengantar Ayah pulang ke kampung halaman. Bukan aku tak sayang atau tidak ingkn merawatnya, tetapi di sini Ayah lebih sering aku tinggalkan. Aku cemas Ayah akan terjatuh karena pandangannya yang tidak lagi normal. Ingatannya pun tidak setajam dulu. Ayah bisa terdiam cukup lama untuk sekadar mengingat hal kecil. Itu membuatku menyimpulkan kalau penyakitnya mulai menekan bagian otak.

Ayal tinggal bersama ibunya, walaupun sesekali Bunda berkunjung memenuhi permintaanku. Kedua orang tuaku memang sudah bercerai, jadi Ayah dan Bunda tidak lagi bisa tinggal bersama. Ayah bertingkah seperti anak kecil, tak hanya sekali mencoba kabur dan beralasan ingin bertemu Bunda. Hasilnya apa? Ayah berulang kali pula terjatuh.

Saat terakhir kami bertemu pun tak banyak yang aku katakan karena Ayah tampak sudah tidak lagi mengenaliku, bahkan lebih banyak tidur dibanding mengobrol seperti biasa. Kupanggil namanya, Ayah membuka mata sebentar. Tak lama setelahnya kedua netra itu kembali terpejam. Lagi, kupanggil nama Ayah. Kami beradu tatap, kemudian Ayah bertutur lirih, mau obat. Detik itu aku menyadari betul kesakitannya karena hanya obat yang diingat Ayah.  Kuciumi punggung tangannya sembari berkata, Ayah harus kuat. Ayah jangan nakal. Jangan kabur-kaburan seperti semalam. Alin enggak akan ke sini lagi kalau Ayah nakal. Alin minta maaf, Yah, karena Alin enggak bisa selalu di samping Ayah. Alin harus mencari uang untuk biaya sekolah Adik.

Ayah menatapku, tetapi tidak mengatakan apa pun.

Aku kembali bersuara, Ayah mengerti?

Anggukannya membuatku senang karena berarti Ayah mengenali dan memahami ucapanku. Aku takut, takut kalau Ayah akan benar-benar melupakanku dan semua yang pernah kami lalui.

Hingga suatu malam, pahit itu datang. Beriring isak tangis, Bunda menghubungiku, dan mengatakan bahwa Ayah sudah tidak ada. Aku menangis dalam diam, menyesalkan kenapa aku tidak berada di sampingnya saat Ayah menutup mata untuk selamanya? Semua itu tak langsung aku percaya. Bagaimanapun kami sempat bertemu satu minggu sebelumnya, dan Ayah sempat menunjuk-nunjuk berkas untuk ke rumah sakit. Keinginannya untuk sembuh memang luar biasa, membuat kami yang nyaris putus asa malu.

Namun, kesadaranku tertarik sepenuhnya ke dalam kepahitan itu saat tubuhnya terbaring kaku. Kumandikan Ayah untuk terakhir kali, dikafani, lalu disalatkan. Perasaanku semakin terkoyak saat menyaksikan tubuhnya dibenamkan ke dalam liang lahat. Kedua adikku saling berpeluk, menguatkan satu sama lain, sementara aku terdiam beku, tak lagi dapat menangis. Semua sakit berhimpun dalam hati.

Kalau dulu aku takut menikah karena enggan menyaksikan orang tuaku duduk di sudut yang berseberangan, sekarang aku justru takut menikah tanpa Ayah yang menyaksikan.

"Ayo aku antar."

Aku terkesiap saat sebuah motor berhenti tak jauh dari posisiku. Pria berbalut jas hujan lengkap dengan helm yang melindunhi area kepalanya, tengah menatapku.

"Enggak perlu, sebentar lagi Ay--" Kalimatku tertahan. Otakku dengan keras berteriak. Ayah sudah tidak ada!

"Lin, ayo."

Aku menggeleng. Kepalaku kini berotasi, menatap sebuah ruko tempat di mana Ayah biasa menungguku pulang kerja. Biasanya Ayah berjongkok di sudut sana, setelah aku mendakat, Ayah berdiri, lalu berjalan sembari merangkulku.

"Alin, jangan sedih."

Ayah juga sering mengatakan hal itu. Alin jangan sedih. Alin jangan terlalu sering makan mie. Alin mau makan apa? Nanti Ayah masak. Alin kalau mau ke ATM tunggu Ayah, jangan pergi sendiri. Daerah sana rawan kalau malam. Aku merindukan itu semua.

Pemuda itu turun dari tunggangannya, lalu berjalan mendekat. Tangannya terulur mengusap jejak air mata di pipiku, meski samar oleh air hujan. "Ayah kamu sudah tidak sakit lagi, Alin. Kamu di sini pun harus hidup dengan baik."

Bagaimana aku bisa hidup dengan baik kalau setiap detik yang aku lalui terapit sesal. Aku belum bisa membahagiakan Ayah. Aku tidak ada di samping Ayah di saat terakhirnya. Dan aku tidak sempat mengatakan bahwa aku menyayanginya. Aku benci mengakui bahwa aku tak lebih dari anak yang tidak berguna.

"Ayo ikut aku."

Dia menarik pergelangan tanganku. Mengajakku naik ke motornya dengan tubuh yang sudah basah kuyup tersiram hujan.

Motor Harry berhenti di taman kota. Tak peduli malam semakin larut dan suasana kian sepi. Dia mengajakku turun, lalu duduk di sudut taman. Pemuda itu membuka helm dan jas hujan yang dikenakannya, kemudian mengarahkan pandanganku ke langit lepas.

Aku berusaha menerka, apa yang coba Harry sampaikan.

"Walaupun langit saat ini begitu gelap, tapi lihat, masih ada bintang yang dominan terangnya di atas sana."

Hati kecilku membenarkan ucapannya. "Lalu?"

"Dengarkan hatimu, rasakan keluhannya, dan luapkan sekarang. Anggap bintang di atas sana orang yang membuat resah hati kamu. Tapi, kamu harus janji ini terakhir kalinya kamu bersedih."

Kepalaku mendongak, memusatkan pandang pada bintang di atas sana. Beranalog seolah itu memang Ayah.  "Yah, Alin kangen Ayah. Alin menyesal belum bisa menjadi putri yang baik untuk Ayah. Menyesal tidak selalu ada di samping Ayah. Alin rindu masakan Ayah. Dan Alin menyesal tidak sempat mengatakan kalau Alin sayang Ayah. Alin memang pernah marah marah karena apa yang Ayah lakukan terhadap Bunda dan kami semua, tapi Alin sadar, jauh sebelum Ayah menyakiti kami, ada belasan tahun yang Ayah habiskan untuk membahagiakan kami. Alin minta maaf karena pernah membenci Ayah."

Harry mengusap bahuku. "Lin, tidak ada waktu untuk menyesal. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah hidup dengan baik, doakan ayah kamu, dan bahagiakan keluarga kamu yang masih tersisa. Kalau kamu serapuh ini, apa mereka akan bahagia?"

Kubiarkan air mata ini meluruh hebat, meluapkan semuanya. Paduan rindu dan sesal membuat dadaku sesak. Aku tidak pernah merasa sehancur ini karena kehilangan begitu banyak. Padahal, tahun lalu aku begitu bahagia karena bisa mengambil potret keluargaku dalam formasi utuh. Merasakan kembali utuh yang sempat hilang. Dan saat ini, aku dipaksa untuk kembali berdiri dengan pincang.

"Cepat atau lambat kita pun akan berpulang, Lin. Hanya tinggal menunggu giliran. Jangan biarkan kesedihan itu membuat kamu tenggelam. Justru kamu harus bisa bangkit, kalahkan ketakutan dan kesedihan itu. Tunjukkan pada almarhum ayah kamu kalau semua akan baik-baik saja. Sebagai anak tertua, tugas kamu selanjutnya adalah membahagiakan bundamu, mengarahkan adik-adikmu agar menjadi orang sukses. Itu pasti membuat ayahmu bangga, Lin."

Aku tertegun mendengar ucapan Harry. Benar. Tidak seharusnya aku berlarut terlalu lama dalam kesedihan ini. Ayah tidak akan suka, dan keluargaku tidak akan bahagia. "Terima kasih, Harry."

Dia membuka jaket yang dikenakannya, beralih memakaikan benda itu ke tubuhku. "Ayo pulang. Sudah malam. Ingat janji kamu, 'kan? Jangan menangis lagi," katanya sembari mengusap air mataku untuk kesekian kali.

Kedua sudut bibirku terangkat membentuk sebuah senyum, lalu mengangguk sebagai jawaban. Jujur, aku sangat beruntung memiliki sahabat sepertinya. Sesak yang semula mendekap erat, perlahan mengendur. Harry mempertemukanku dengan bintang, membuatku punya tempat menitipkan rindu untuk Ayah.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro