Saat Jiwa Pesimis Meronta
Sudah berjam-jam shava menghabiskan waktu hanya untuk melamun. Pikirannya begitu kosong. Shava mengetuk-ngetukan ujung bolpoin di atas meja. Kertas polos itu belum ternoda pena sedikit pun.
"Kenapa, lagi-lagi aku sulit mendapatkan ide untuk tugas cerpenku."
Shava melihat kertas-kertas yang ia buang sembarangan sudah berserakan di dalam kamarnya. Shava tersenyum getir ada rasa tak percaya diri dalam dirinya, bahwa ia bisa mewujudkan cita-citanya menjadi seorang penulis.
Shava mengambil ponselnya di atas nakas. Jemarinya mencari kontak sang sahabat di ponselnya. Shava membutuhkan seseorang untuk membuang pikiran negatifnya saat ini. Jarinya perlahan mengetikan nama "Ana."
Setelah chat terkirim, Ana pun membalasnya. "Iya, shav."
"Kau, sedang apa?"
"Menonton tv, ada apa?"
Shava pun membalas kembali chat dari Ana "Biasa, Ana. Kau juga pasti tahu maksudku."
"Tugas event lagi?"
"Iya."
"Hmm..., Apa kali ini tugasnya semakin sulit?"
"Aku rasa, iya. Haruskah aku berhenti? Rasanya aku memang tak punya bakat dalam menulis."
Shava pun menaruh ponselnya, lalu bangkit dari mejanya, dan membersihkan sampah-sampah kertas yang berceceran di lantai kamarnya. Tak lama kemudian ponselnya berdering. Dia melihat nama sahabatnya tertera di layar. Shava pun segera mengangkatnya. "Halo."
"Shav, kau kenapa?"
"Entahlah, rasanya kepalaku mau pecah, Ana."
"Shav." panggil Ana.
"Hmm..."
"Kau masih ingat? waktu pertama kali kau memberitahu ku jika kau ikut komunitas kepenulisan."
"Iya, aku ingat."
"Kau tahu, aku mengenalmu sudah lama, tapi, aku belum pernah melihatmu seantusias ini dengan sesuatu hal yang baru kau sukai."
Shava tak menjawab, tapi Ana tahu jika sahabatnya mendengarkannya bicara.
"Shav, semua itu berawal dari nol. Seorang penulis yang hebat pun pasti sama sepertimu dulu. Tidak mungkin tiba-tiba menjadi seorang penulis yang hebat, kan?"
"iya, kau benar."
"Semua itu butuh proses. Jika kau ingin mendapatkan sesuatu, berarti kau harus berusaha. Pelan-pelan saja, pasti kau akan terbiasa."
"Benar, kah?"
"Tentu saja! Dan aku akan selalu mendukungmu. Aku akan selalu menjadi pendengar setia untukmu."
Mendengar ucapan sahabatnya, Shava merasa terharu. Ada rasa hangat dalam hatinya. Dia merasa beruntung memiliki sahabat seperti Ana.
"Terima kasih, Ana. Kau memang yang terbaik. Aku sayang padamu."
"Hehee! Jangan nangis dong. Goda Ana.
"Sialan! enak saja. Aku gak nangis tahu."
Mereka menghabiskan waktu bersama selama 1 jam lewat telepon.
Terdengar nyaring suara alarm berbunyi memecah kesunyian pagi. Shava yang merasa terganggu pun segera mematikannya, dan kembali melanjutkan tidurnya. Namun beberapa menit kemudian seseorang mengetuk-ngetuk pintu kamarnya.
Tok tok tok!
"Shava! Cepat bangun. Sudah jam 6 pagi, nanti kau terlambat ke sekolah."
"Iyaa..!" Teriak Shava dari dalam kamar. Shava pun langsung bangun, dan terduduk di tepi ranjang. lalu ia berjalan gontai menuju kamar kamar mandi.
Hanya butuh waktu 10 menit untuk Shava bersiap-siap ke sekolah. Shava pun bergegas keluar kamar, karena Kakaknya pasti sudah menunggunya.
"Selamat, Pagi."
"Pagi."
"Sudah siap?" tanya pria bersuara tegas itu.
"Hmm," ucap Shava sambil melahap roti isi dagingnya.
"Ayo, kita berangkat sebelum terjebak macet." Pria itu menyalakan mesin mobilnya, dan pergi menuju sekolah untuk mengantarkan adiknya, Shava.
Saat di dalam mobil, Shava memejamkan matanya kembali. Tak kuasa untuk menghalau rasa kantuk yang semakin merasuki benaknya.
Diliriknya sang adik. Nando merasa adiknya akhir-akhir ini hidupnya tidak teratur. Makan tidak teratur, tidur pun selalu larut malam. Semenjak ia tahu jika adiknya ikut kepenulisan ada rasa bangga, tapi juga kasihan.
"Kau pasti sangat lelah." Pria itu mengelus surai sang adik dengan lembut.
10 menit berlalu akhirnya mereka tiba di sekolah.
"Shav, bangun. Kita sudah sampai."
Shava mengucek-ngucek matanya sambil menguap lebar. "Kita sudah sampai?" tanya shava.
"Iya, kita sudah sampai.
Shava mengangguk mengerti, lalu pergi masuk ke dalam gedung sekolah.
Bel sekolah berbunyi tiga kali, tanda jam pelajaran terakhir telah selesai. Semua siswa segera keluar dari kelasnya masing-masing. Namun, Shava memutuskan untuk mampir ke toko buku dulu sebelum ia pulang.
Selama di perjalanan shava memikirkan ide untuk event nya kali ini. Tema kali ini sangat sulit tentang 'Hero' yang artinya seseorang memiliki kekuatan, dan bisa menolong semua orang dengan kekuatannya.
Shava memejamkan matanya sejenak. Berharap dia bisa mendapatkan ide saat membuka matanya nanti. Namun yang terjadi Shava tertidur, dan bus yang ia tumpangi melewati halte yang seharusnya ia berhenti.
"Sial! Aku ketiduran."
Shava memutuskan berjalan kaki untuk kembali menuju halte yang dimana seharusnya ia turun. Shava menendang-nendang batu kerikil, dan menghentakan kakinya dengan kesal.
Shava melirik jam yang ada di tangannya "jam 4." Shava duduk di pinggir jalan kakinya merasa pegal. Dia berjalan cukup jauh. "Dasar bodoh! Bisa-bisanya kau memejamkan matamu, dan kau berharap ide akan muncul begitu saja, yang ada kau akan tertidur," gerutu Shava.
Shava merasakan ponselnya bergetar dari balik saku jaket.
Drrttt...
Drrttt...
"Ana."
"Halo."
"Shav, kau dimana?"
"Anaaa,..... Aku tersesat."
"Huh, kau tersesat? Apa kau tertidur saat di dalam bus?"
"I-iya," cicit Shava.
"Dasar bodoh! Lebih baik sekarang kau pulang, aku menunggu mu di rumah."
"Apa?" Shava terkejut mendengar ucapan sahabatnya. Ana di rumah?
"Kenapa berteriak?"
"Hehehe! Maaf, ya sudah ku tutup teleponnya. Sampa bertemu di rumah, Bye!"
Sesampainya di rumah Shava mencari sosok yang begitu ia rindukan, tapi Shava tak menemukannya di setiap sudut rumah.
"Anaaaa ..., Anaaaa ..., " Shava berteriak-teriak memanggil sahabatnya.
"Kau, membohongiku?" lirih Shava. Shava pun naik ke atas menuju kamarnya dengan wajah tertekuk muram.
Cklek
Shava mendengar pintu kamarnya terbuka, tapi dia coba tak mengindahkannya. Sampai suara lembut itu mampu membuat lengkungan bibir yang semula cemberut kini menarik sebuah senyuman cantik. "Shava."
Shava langsung menghamburkan tubuhnya untuk memeluk sang sahabat. "Aku pikir kau berbohong."
Ana mengusap punggung sahabatnya lembut. "Aku punya sesuatu untukmu."
Shava melepas pelukannya "hadiah?" Shava menatap sahabatnya heran.
"Ini." Ana memberikan tas paper bag pada Shava.
"Apa ini?"
"Buka saja." Ana tersenyum.
"Kaset film? Untuk apa?"
"Ya, TUHAN Shava. Kau masih saja belum mengerti?" Ana menepuk pelipisnya. Dia masih tak menyangka bahwa sahabatnya ini memang benar-benar bodoh.
Shava menatap sahabatnya menampakkan senyuman bodoh.
"Ini adalah film super hero. Lewat ini mungkin kau bisa mendapatkan ide-ide yang keren untuk tugasmu kali ini." Jelas Ana.
"Kau memang yang terbaik, Sayang. Kalau begitu ayo kita menontonnya," seru Shava.
Shava, dan Ana kini sedang menonton film di kamarnya. Hening tak ada yang membuka obrolan. Keduanya terlihat fokus menonton.
"Ana."
"Hmm ..."
"Apa, kau yakin aku bisa mewujudkan impianku menjadi seorang penulis?" Matanya masih betah menatap ke layar tv.
"Apa yang selalu membuatmu menjadi pesimis?"
"Aku merasa bahwa tulisanku semakin buruk, dan tak ada perubahan yang signifikan. Masih tetap sama. Padahal aku bergabung dengan mereka sudah 3 bulan."
Shava menghela napas. Dia merasa benar-benar tak punya bakat dalam hal ini.
"Apa kau akan menyerah?"
"Entah lah." Shava mengedikkan bahunya.
"Shava, dengarkan aku. Jujur, aku bangga padamu setiap kali kau memberi tahu hasil karyamu padaku. Aku melihat cara penulisanmu sedikit meningkat, dari bahasamu yang mudah di pahami. Meskipun, terkadang ada beberapa salah penempatan tanda baca, tapi itu semua bukan berarti karyamu tidak layak untuk dibaca, bukan?"
Ana menatap Shava dengan tatapan sendu. Dia tahu betul sifat sahabatnya. Di balik sifatnya yang ceria ada rasa kecemasan yang menyelimuti dirinya. Ana pun ikut merasakannya.
"Tapi, aku selalu merasa kesulitan dalam menuangkan ide-ide ke tulisanku, dan yang terkadang membuatku sulit adalah cara memahami alur ku sendiri. Mata Shava mulai berkaca-kaca. "Itu yang terkadang membuat ku tak percaya diri." Air matanya lolos menerobos di kedua sudut mata Shava.
Ana membawa Shava ke dalam pelukannya. Dia mengusap lembut punggung sang sahabat. Mencoba menyalurkan ketenangan.
"Aku malu saat karyaku tidak ada yang membacanya. Bukankah itu artinya karyaku jelek?" Shava semakin terisak dalam pelukan sahabatnya.
"Kau hanya perlu bersabar, semuanya butuh proses. Kau masih terbilang pemula. Kuncinya adalah usaha, membaca dan terus belajar."
Ana menarik Shava dalam pelukannya. Tangannya mengangkat menghapus lelehan airmata di wajah cantik sahabatnya.
"Jangan pernah berhenti menulis, dan jangan jadikan sebuah beban. Menulis lah sesuai suasana hatimu. Jika kau butuh komentator aku siap jadi komentatormu, tapi jika harus menjadi tutormu aku rasa, aku tidak mampu. Yang ada karyamu akan semakin jelek, Hahaa!" Ana tertawa lepas, sehingga membuat Shava tersenyum."
"Kalau begitu aku pulang dulu, ya Authornim," goda Ana.
Shava memukul Ana. Ada semburat merah di wajah pipinya.
Sebelum Ana keluar dari kamar Shava dia kembali mengingatkan sahabatnya. "Jangan lupa, sebelum kau mengirimkan hasil event mu, kau harus memperlihatkannya dulu padaku, kau mengerti?"
"Baik lah, dewan juri yang cerewet," Shava tertawa melihat tingkah sahabatnya. Ana pun menghilang dari balik pintu kamar shava.
"Terima kasih, Ana."
3 hari kemudian. Sepulang sekolah Shava berada di depan laptopnya. Jari-jarinya melesat di papan tuts. Ide-ide bermunculan setelah menonton film bersama Ana 3 hari yang lalu.
Shava merasa Ana adalah moodboosternya. Selain memiliki sifat yang sama, rasa humor yang sama. Mereka berdua begitu sangat cocok. Namun sayangnya Shava, dan Ana berbeda sekolah.
Shava melirik pada jam yang di samping laptopnya. "Sudah Jam 7 malam. Pantas saja perut ku sedari tadi berbunyi, Hehehe! Shava terkekeh.
"Ah, Punggung ku sakit." Shava meregangkan tubuhnya ke kiri, dan ke kanan. Saat Shava akan pergi membersihkan diri, Shava mengambil ponsel nya di atas nakas. Dia mencoba mengirimkan pesan pada sahabatnya. "Ana, kau sedang apa? Apa kau sibuk?"
Shava menunggu balasan dari Ana. Namun, tak ada jawaban Shava pun menyimpan ponselnya kembali, dan akan memberi tahunya setelah dia selesai mandi, dan makan malam.
Setelah Shava mandi, dan makan malam. Shava pun berbaring di kasurnya yang empuk. "Ah, hari ini tenaga, dan pikiranku terkuras habis."
Saat Shava akan memejamkan matanya dia teringat pada Ana, dia berjanji akan mengirimkan tugas eventnya malam ini padanya. Shava pun membuka kembali laptonya. Lalu, membuka email, dan mengirimkan filenya pada Ana.
"Oke, kirim."
Shava melihat di layar laptopnya bahwa filenya sudah terkirim pada Ana. Shava pun mengambil ponselnya lalu mengirimkan pesan.
"Ana, apa kau sudah tidur? Aku sudah mengirimkan hasil event ku padamu. Tolong beri komentarmu yang baik-baik, ya, Heehe! Terima kasih, selama ini kau sudah membantuku, mendukungku, dan juga tidak pernah bosan mendengar segala keluhanku. Aku sangat menyayangimu, Ana. Selamat malam!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro