Reparasi
Ini semua terjadi dua tahun yang lalu.
Siang itu, lagi-lagi aku marah. Pulang sekolah sudah capek dengan pelajaran, ketika di rumah disambut dengan makanan dan air yang berceceran di lantai, juga aroma kencing yang sungguh sangat memualkan.
Ayah pasti sedang pergi keluar, karena itu kekacauan ini bisa menyambutku. Aku sebenarnya akan senang hati membereskan makanan dan minuman yang ditumpahkan kakek, tapi tidak dengan celananya yang basah oleh hajat kecilnya sendiri.
Kakekku pikun. Dia memang sudah mengganti celananya sendiri, tapi celana yang basah tadi ia letakkan di tempat tidurnya. Bahkan aku yakin, dia hanya menggantinya, tanpa benar-benar membersihkan sisa-sisa hajat itu dari tubuhnya, dan tidak mungkin, 'kan kalau aku yang melakukannya? Karena aku masihlah perempuan kelas empat.
“Kenapa tadi nggak tunggu aku pulang? Kan makanannya jadi tumpah gini.”
“Yaa, aku sudah lapar jadi mau makan.”
Kakek bilang begitu, dan entah mengapa aku mendadak bisu. Tidak bisa kuungkiri menahan lapar memang tidaklah enak.
Pertama-tama, kubersihkan dulu makanan dan minuman yang tumpah. Kemudian mengambil celana basah kakek untuk meletakkannya di ember cucian. Namun, tangan ringkih kakek entah mengapa mendadak kuat. Dahiku bertaut menyiaratkan kebingungan karena artinya sama saja kakek tidak mau menyerahkannya, pun bau ini akan abadi sampai kuminta ayah membantu kakek membersihkan sisa hajatnya.
“Harus dicuci,” kataku. “Sini.” Tangan kananku terukur.
“Ngapain? Ini lagi dikeringin.”
“Tapi itu kotor.”
“Kotor opo toh,” cibir kakek sambil memanyunkan bibirnya dan mengalihkan pandangan dariku.
Gigiku menggertak akibat kesal. Benar-benar ngeselin rasanya kalau orang tua ini mulai bandel. “Terserah!” kataku, yang tadinya mencoba mengatakannya dengan biasa saja tapi gagal. Yang barusan lebih terdengar seperti bentakan.
Usai mengepel untuk menghilangkan bau yang rasanya cukup percuma karena sumber utama adalah kakek dan celananya sendiri. Kutelepon ayah dan mengatakan apa yang terjadi, tapi dia bilang sedang sibuk dan pulang sore atau malam nanti.
Beruntung pamanku datang untuk menengok. Tanpa kuminta dia tahu apa yang harus dilakukan. Aku tersenyum, senang karena baunya dapat dihilangkan.
Selesai dari kamar mandi aku memberikan makanan untuk kakek. Dia makan dengan bantuan paman sementara aku memerhatikannya sebentar sebelum bermain ponsel kembali. Sekadar menunjukkan kalau aku benar-benar peduli padanya, walau sebenarnya agak risi karena jam istirahat malah disuruh jagain kakek.
Urusanku sudah selesai. Tinggal tunggu ibu pulang untuk melakukan kegiatan lainnya. Tugasku hanyalah menjaga kakek di siang hari, ketika hanya aku dan dia di rumah.
Paman beranjak. Tanpa dia bilang pun aku tahu dia akan pulang.
“Aku pulang dulu. Jagain kakek,” pesannya, dan ku jawab dengan, “Iya.” Sebelum mengunci pagar kembali.
Derum motor matic terdengar dan bayangan biru—warna motornya—mulai pergi dari balik pagar. Aku kembali masuk ke dalam dan melihat kakek sedang diam sambil melihatku. Aku hanya melihatnya sejenak sebelum kembali bermain ponsel.
Tiga puluh menit lagi adalah jam mainku. Sebenarnya aku lelah, tapi main itu seru jadi aku tetap ikut. Tepat ketika waktunya tiba, suara seseorang yang menyerukan namaku mulai terdengar. Segera kumatikan televisi, mengambil uang dan kunci pagar. Karena mainnya di depan rumah, pagar tidak lagi kukunci.
Kami sepakat bermain taplak gunung. Entahlah sudah berapa lama kami bermain. Kini giliranku, tapi ketika hendak melemparkan batu ...
“Sarah, itu kakek kamu keluar!” Perkataan Mbak Mirna seperti sirene peringatan. Aku terlonjak, detik itu juga berlari mengejar kakek yang jaraknya sudah lima meter lebih dariku saat ini. Ah sial, jalannya cepat sekali.
Aku refleks berlari. “Aku jalan nanti aja. Kalian duluan!”
Aku merasa orang-orang di sekelilingku menatapku aneh karena berlari tidak jelas, tapi aku tidak peduli. Sekarang harus kejar kakek. Bakal ribet kalau dia hilang nanti dan aku pula yang disalahkan.
Bibirku benar-benar gatal untuk marah-marah, tapi kurasa itu terlalu mencolok dan tidak baik karena kami sedang di luar rumah.
Tangannya kutahan dan dia berhenti berjalan. Dengan napas terengah-engah aku berkata, “Ngapain keluar? Nanti hilang.”
“Lho, aku cuman jalan-jalan saja kok.” Kakek mengatakannya sambil tersenyum.
Aku refleks menatapnya dengan sorot khawatir, sedih, dan lelah. Untuk kali ini, kekesalan itu pergi. Aku terenyuh, baru sadar bahwa kakek lebih lama menghabiskan waktu di dalam rumah daripada di luar.
Kakek tidak memakai sendal lantaran kakinya bengkak entah karena apa dan harus dikempiskan. Keluargaku memang mengizinkannya untuk jalan-jalan tapi dalam pengawasan, dan sekarang aku sedang bermain, begitu berat untuk menemaninya sementara keinginan untuk bermain sangatlah kuat.
Jadi, kuputuskan untuk bilang padanya, “Ya udah, nanti jalan-jalan sama aku dan Mbak Rika. Kakek di rumah dulu ya habis ini? Bentar lagi Mbak Tika sama ibu udah pulang.”
“Ya udah kalau begitu,” katanya, dan kami mulai berjalan bersisian dengan aku yang memandang ke samping kiri, tidak menatap kakek lagi.
***
Aku benar-benar melakukannya dengan Mbak Rika. Namun hari-hari selanjutnya menjadi lebih berat dan aku lebih rentan marah dan membentak.
Mengejar kakek yang memutari kelurahan yang luasnya ... ah aku tidak tahu. Tapi luasnya cukup untuk menampung gedung kelurahan, bangunan bertuliskan Listrik Pintar, dan dua lapangan di masing-masing sisi bangunan. Kejadian tersebut terus berulang hingga aku kesal. Ingin biarkan, tapi takut kesasar. Jadi, aku memutuskan untuk mengunci pagar lagi agar dapat bermain dengan tenang.
Teman-temanku terlihat biasa saja karena mereka tahu itu juga demi kebaikan kakek sendiri. Lagi pula, fakta bahwa ia pernah hilang lebih dari sepuluh kali bukan lagi rahasia. Itulah sebabnya kami sama-sama membantu untuk menjaga kakekku. Aku benar-benar berterima kasih pada mereka yang mau mengerti dan membantu. Itu sedikit, ah tidak. Kalau dipikir-pikir tetap saja aku yang kerepotan.
Keluargaku tahu betapa kerepotannya aku mengurusi kakek. Dimulai dari hajatnya, makanan, serta upayanya untuk keluar rumah yang menimbulkan kemarahan ku juga lantaran sifatnya yang keras kepala.
Terkadang aku suka menangis dan meninggalkannya saking sakit hati karena dia tidak nurut. Bagaimana pun aku ingin bermain bersama teman tanpa harus lari-larian dan dipandang aneh orang-orang. Nyatanya, pandangan orang lain tetaplah menjadi pertimbangan untukku. Aku bukanlah gadis kecil yang tidak peduli pada sekeliling. Aku baru sadar setelah mendengar Rani bilang bapak-bapak dekat kelurahan kebingungan kenapa aku lari-larian seperti sedang mengejar pencuri. Rani dibilang adikku, dan aku cukup malu karena baru tahu telah menjadi pusat perhatian. Benar-benar pusat perhatian.
Kejadian tersebut kuceritakan pada ibu dan Mbak Rika. Kuceritakan bersama kekesalanku pada kakek secara terang-terangan, sekaligus memberi kode tidak mau mengurusinya lagi. Mereka berkata kalau aku harus bersabar karena kakek adalah orang tua dan memang pikun. Aku hanya mengangguk, meski dalam hati berseru tidak setuju.
Meski begitu, mau seberapa amarahnya aku pada kakek. Mau seberapa kesalnya aku karena sikap keras kepalanya. Mau seberapa kesal karena aku terus diganggu olehnya, ketika dia menyebabkan suatu masalah, aku tidak bisa untuk tetap diam saja. Badanku seperti bergerak sendiri seolah itulah yang harus dilakukan—dan memang begitu. Dan sesuatu dalam lubuk hatiku merasa tidak tega. Pada akhirnya, aku tetap mengurusi kakek sampai puncak kekesalanku.
Itu terjadi beberapa bukan berikutnya. Kejadian terakhir adalah dia yang buang air kecil sebelum dapat ke kamar mandi. Ada ayah, dan seharusnya aku pergi ke rumah teman untuk main. Namun tertahan untuk membantu kakek. Aku mengepel dan menyiapkan celananya, sementara ayah membantunya di kamar mandi dan memakaikan celana.
Kakek semakin rentan, dan aku semakin mudah kesal. Namun itu hanya untuk beberapa saat, karena dua hari setelahnya kakek sudah kembali ke kampung. Dia akan diurusi dengan saudara di kampung.
Kalimat terakhirku padanya hari itu menyuarakan semua isi hatiku. Ketika aku sedang mengepel sementara dia sedang duduk di sofa, aku menatapnya dengan sorot tajam. Benar-benar tajam sampai-sampai aku bersumpah yakin itu menyiaratkan kebencian. Namun, aku yakin rasanya lebih seperti sebuah kemarahan yang levelnya jauh lebih besar, tapi aku tidak sampai membencinya. Kalimat itu adalah, “Aku harus tahan. Lagi pula kakek bakal pergi bentar lagi. Jadi aku tidak perlu mengurusi kakek lagi.”
Terdengar kejam, tapi itu benar-benar dalam lubuk hatiku.
Ketika kakek pergi, aku tinggal bersama ayah sementara ibu dan pakan mengantar kakek pulang ke kampung. Aku senang, dan rasanya sungguh berbeda ketika dia tidak ada. Bisa main leluasa, tidak disambut dengan aroma kencing dan tumpahan makanan ketika pulang sekolah.
Aku senang, tapi sekarang malah kangen kakek. Ini aneh, padahal beberapa hari yang lalu aku sangat ingin dia segera pergi dari sini. Ahh, dasar emang. Ternyata aku sudah terlalu sayang kakek. Sayangnya rasa sayangku dulu terlalu tertutupi dengan kekesalan karena ulahnya.
Namun, sekarang aku lebih memilih untuk menatap ke depan. Menikmati saat-saat damai ini.
Kakek akan baik-baik saja di sana. Di kampung banyak yang akan menjaganya. Mereka akan lebih sabar daripada aku.
Inginnya, sih begitu. Namun siapa sangka, tiga bulan selanjutnya tepat ketika besoknya adalah hari pertama masuk sekolah sebagai siswi kelas 6, kabar kakek meninggal terdengar lewat telepon saudara bersama dengan isakan tangis baik dari seberang telepon atau pun dari rumah kami.
Saat itu aku tidak percaya, sekaligus bingung harus sekolah atau pergi ke kampung. Besok adalah hari pertama masuk sekolah, tapi hari ini adalah kabar meninggalnya kakek.
Aku bingung, tapi pada akhirnya ikut.
Tidak jadi pergi menggunakan pesawat lantaran tiket tidak cukup, kami pergi menggunakan mobil teman Ayah dengan kecepatan luar biasa. Jarak yang biasa memakan waktu satu hari satu malam berubah menjadi satu hari saja. Besoknya kami sudah sampai, dan entah apa yang terjadi, keramaian di depan rumah kakek dan mobil ambulans di sana mengundang tangisku.
Air mataku tumpah seketika tanpa sempat kucegah. Kejadian-kejadian di masa lalu menggempurku. Kejadian di mana aku bersama kakek memutar dengan derasnya. Terlampau cepat, hingga dadaku rasanya teriris dan menyisakan sebuah luka di sana.
Kerabat-kerabatku di sana bilang aku lebih beruntung daripada mereka karena aku yang lebih banyak waktu bersama kakek. Namun aku merasakan hal yang berbeda. Memori aku membentaknya dan tentang lebaran tahun ini terasa hangat di kepalaku.
Lebaran tahun ini aku belum sempat minta maaf pada kakek. Saat itu ruang tamu ramai dan aku malu untuk minta maaf dikelilingi orang-orang. Mau minta maaf saat semuanya pergi dan tersisa keluarga juga rasanya memalukan. Karena itu kuputuskan untuk melakukannya di lebaran selanjutnya. Namun siapa sangka hari itu tidak akan pernah ada?
Aku benar-benar menyesal karena menyia-nyiakan momen itu. Seharusnya kuraih tangannya dan minta maaf. Tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang memandangku aneh, terkejut, atau hal lainnya.
Aku benar-benar menyesal telah mengatakan hal buruk pada kakek. Aku benar-benar menyesal karena tidak bisa menjadi lebih sabar. Aku menyesal. Aku menyesal. Aku menyesal.
Kakek, aku minta maaf. Dua tahun yang lalu, aku memperlakukanmu dengan buruk. Aku bahkan membentakmu. Ingin sekali minta maaf, tapi tidak bisa. Kamu sudah tidak ada di dunia. Yang dapat kulakukan sekarang hanyalah mengirim doa dan meminta Tuhan menyampaikan permintaan maafku. Tapi rasanya tidak cukup. Aku ingin kau kembali. Aku ingin minta maaf dengan benar. Aku ingin memberlakukanmu dengan baik.
Tapi tidak bisa. Penyesalan ini masihlah ada. Mendekam di sudut hatiku. Menjadikannya sesak acap kali mengingatnya.
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro