Cappucino
Sebuah pesan pertemuan yang kuterima telah berhasil membuatku bimbang. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau apa yang sebenarnya harus dirasakan saat ini. Aku bahkan tidak kebingungan untuk tampak cantik di pertemuan nanti. Gaun putih gading selutut telah melekat di tubuhku dengan pita biru terlilit di bagian perut. Aku mengikat tinggi rambutku dan menyisakan beberapa untai rambut.
Aku memilih berjalan kaki ke tempat pertemuan itu. Cukup dekat jaraknya dari rumahku, meskipun salju malam ini tampaknya cukup lebat. Hanya saja, aku ingin berpikir dengan perasaan yang sedang kurasakan ini.
Yah, lagi-lagi perasaan asing ini muncul. Tidak cukup waktu untuk aku memahami perasaan ini.
Di temani lampu-lampu jalan yang cukup temaram, aku melangkahkan kakiku ke tempat pertemuan. Sebuah kafe kecil yang pernah menjadi saksi bisu atas kisahku. Pikiranku melayang-layang entah berada di mana. Aku mulai meragukan rasa rindu yang tampaknya sudah menguap di lubuk hati. Aku kira saat menerima kabar kedatangannya ... hatiku akan bersorak, mungkin aku akan menyanyi-nyanyi dengan girang. Nyatanya, aku hanya memandang bisu pesan itu. Hatiku bingung untuk bereaksi. Aku nyaris putus asa dengan hatiku sendiri.
Kembali mengingat tiga tahun yang kulewati tanpa hadirnya. Sulit sekali, aku sangat hancur di saat pertama. Melewati hari-hari dengan memandangi potret dirinya. Mendengar suaranya hanya melalui telepon. Aku nyaris tidak sanggup. Kesibukan yang kian hari kian membunuh hubunganku dan dia, membuatku frustasi dengan rasa rindu untuk bertemu.
Dalam pikiranku kala itu ... aku harus kuat, aku pasti bisa. Tampaknya, aku justru berusaha terlalu keras.
Aku sampai tidak menyadari telah menjadi terbiasa tanpa dia. Terbiasa tanpa hadirnya, tidak menggantungkan dirinya dalam persoalan yang kuhadapi. Aku terbiasa untuk bahagia tanpa ada dia. Kata-kata cinta terasa hanya pesan tanpa makna, hanya untuk rutinitas semata. Rasa penasaran tentang kabarnya pun sudah hilang. Aku hanya hidup untuk diriku sendiri, tanpa sebuah beban tentang dirinya.
Bukan, bukannya aku mendua atau memalingkan hati. Tidak. Hidupku baik-baik saja di sini, tanpa ada lelaki yang menemaniku atau lelaki yang menggodaku. Aku hidup untuk diriku sendiri, bahagia karena aku ingin bahagia. Hingga aku lupa jika seharusnya aku menunggu. Seharusnya, aku memendam rindu untuk seseorang yang menjaga hatinya untukku. Bukankah ini begitu buruk? Aku sangat buruk sekali.
Langkahku semakin pelan begitu persimpangan jalan di depan terasa semakin pendek. Kafe di persimpangan jalan itu terlihat paling terang –dibanding tempat di sekitarnya— dengan lampu neon berwarna keemasan. Suara musik mengalun terdengar sampai di sini.
Harusnya aku bahagia, kan? Mengapa ini terasa sesak?
Ponselku berdering kecil, membuatku buru-buru membukanya. Pesan darinya muncul, rasa lega memenuhi sedikit dadaku.
Sayang, maaf ya aku agak terlambat. Kalau kamu sudah sampai, pesan saja dulu. Di sini ada kecelakaan kecil. Aku takut ini akan memakan waktu. Kuusahakan naik taksi kalau bisnya lambat sekali.
Senyumku merekah, tapi tak tahu untuk apa. Untuk isi pesannya atau untuk si pengirim pesan? Senang karena pertemuan yang akan terlambat atau senang karena tidak sabar berjumpa?
Astaga, apa yang sedang kupikirkan? Mengapa aku picik sekali?
Jantungku berdebar-debar, memikirkan sebuah hal yang terbersit begitu saja. Kalau dia datang, bagaimana aku harus bereaksi? Apa yang harus dilakukan seseorang yang tidak berjumpa dengan kekasihnya selama tiga tahun? Haruskah aku berteriak gembira atau memeluknya erat? Aku bahkan tidak yakin bisa menangis karena akhirnya bertemu dia. Aku tidak yakin dengan diriku sendiri.
Takut, aku sangat takut untuk mengecewakannya.
Aku mendorong pelan pintu kafe yang membuat bel berdenting. Tidak pernah berubah. Meski sudah lama tidak ke sini, suasananya nyaris tidak berubah. Hanya beberapa ornamen kecil ala natal yang membuat kafe ini tampak lebih berwarna. Seorang gadis menawariku duduk di sudut kafe dekat kaca, usai menanyakan untuk berapa orang.
Beberapa pasangan terlihat saling bergenggaman tangan, ada juga yang mengambil potret bersama. Terasa sangat hangat dan menyenangkan. Aku dulu juga menghabiskan waktu di sini dengan dia sembari berpegangan tangan dan tertawa. Tempat ini favorit kami. Aku memesan cappucino hangat sebelum duduk di bangku. Gadis itu mengiakan dan segera pergi ke dapur. Dulu, dia masih gadis yang tempak berantakan, tapi kini dia terlihat dewasa.
Tanganku sibuk meremas-remas bantal yang ada di bangku. Rasa takut semakin menjalar di tubuhku, aku takut, aku tidak mau bertemu dia. Aku takut mengacaukan segalanya. Aku bahkan tidak lagi merindukannya. Aku takut menyakiti dia. Aku takut.
Apakah semua yang telah berlalu membuat hatiku mati? Aku sudah lupa bagaimana caraku mencintainya, bagaimana caraku mulai suka dengan dia, bagaimana hatiku berdegup kencang di kencan pertama kami. Aku tidak tahu dan lupa. Begitu buruknya aku.
Aku menyesap cappucino yang tergolong panas dan bukan hangat. Cuaca di luar yang begitu dingin mulai teredam dengan panas cappucino. Apakah perasaanku juga bisa seperti ini? Perasaan dingin yang muncul dan terkubur, apakah bisa menghangat begitu melihat dia?
Pertanyaanku belum terjawab, tapi pintu kafe sudah berdenting membuatku menengok seseorang yang baru saja masuk. Lelaki jangkung yang mengenakan topi rajut di kepalanya, entah apa yang mau disembunyikan di balik sana. Coat berwarna kaki disampirkan pada tongkat kayu dekat pintu. Kepalanya bergerak cepat seolah mencari seseorang, sampai matanya bertemu tatap denganku ... senyumnya merekah. Senyumnya terlampau bahagia.
Oh tidak, jantungku berdetak cepat. Bukan, bukan karena ada kupu-kupu berterbangan di hatiku, bukan itu. Aku gugup, aku tidak tahu harus bagaimana. Saat kakinya melangkah lebar ke arahku, aku semakin takut karena tidak tahu harus bagaimana.
Dia masih tampak sama, kurasa hatinya juga masih sama. Mungkin dia masih berdebar melihatku. Hanya aku yang berubah, aku yang tak lagi sama seperti pertmuan kami yang terakhir.
“Alona, I miss you so much.” Itu kata-kata yang keluar dari bibirnya begitu sampai di hadapanku. Sekuat tenaga, aku berusaha bangkit dan mengumpulkan akal sehatku. Tidak, harusnya aku tidak begini. Harusnya aku bahagia dan memeluknya.
Dengan segala kepalsuan di hatiku, tanganku merengkuh tubuhnya. Memeluknya erat tanpa berkata apapun. Semua masih sama, masih dingin seperti udara di luar. Tidak ada rasa hangat yang mencoba mencairkan hatiku seperti cappucino. Ini menyebalkan, aku sangat menyebalkan.
“Aku kangen kamu,” ucapnya lagi sembari membalas pelukanku. Namun, rasanya masih sama. Aku tidak tahu harus bagaimana.
Cepat-cepat, aku melepaskan pelukan ini. Membuatnya agak terkejut. “Sana, kamu pesan dulu.” Hanya kata-kata itu yang berhasil kuucapkan. Bukan kata rindu atau cinta. Aku sangat takut dengan diriku sendiri, aku sangat takut akan membuatnya kecewa. “Kamu pasti capek.”
Aku duduk di bangku sembari menunggunya memesan ke kasir, usai menanyai makanan yang ingin kupesan. Dia terlihat sangat percaya diri, berbeda dengan dia tiga tahun yang lalu. Orang yang tidak yakin dengan kemampuannya, seseorang yang takut rapuh jika tidak ada aku. Kurasa, dia juga berubah.
“Kamu makin cantik kalau dilihat langsung,” ucapnya sembari duduk di hadapanku. Aku tersenyum simpul membalasnya. Tidak tahu harus bagaimana. “Lebih feminim dari terakhir kali kuingat. Tiga tahun itu terasa panjang ya, aku sampai harus sadar kalau ada yang harus berubah. Anehnya, kafe ini masih terasa sama seperti dulu.”
Ah, benar sekali ucapannya. Tiga tahun itu memang panjang, sampai aku tidak tahu hal apa saja yang sudah berubah dari aku. Aku mengakui kalau hanya tempat ini yang masih sama. Kami yang berubah.
“Kita yang berubah. Kupikir perasaan kita juga.”
“Perasaanmu berubah?” tanyanya. “Aku pergi terlalu lama, ya? Membuat seorang putri kebingungan dengan perasaannya. Benar?”
Bagaimana mungkin dia bisa menebak begitu benar. Apa yang sudah membuatnya berubah? Dia tidak seperti ini dulu, dia orang yang tidak akan mengerti perasaanku sekeras apapun dijelaskan. Namun, sekarang dia bisa menebak tepat ke hatiku.
“Aku juga,” ucapnya lagi sebelum aku sempat membalas. Aku tidak menjawabnya, tapi sangat penasaran dengan kelanjutan yang akan dia katakan. Tanganku berpangku di atas meja, menunggunya bercerita. “Tiga tahun itu membuatku lupa kalau ada perasaan yang harus aku simpan, aku lupa dan semua terasa hilang. Namun, aku sadar kalau ada rumah untukku pulang. Aku tidak boleh membiarkan hati ini terbunuh begitu saja. Semua kenangan kita membuatku sadar kalau aku sayang kamu. Hanya saja, kalau hatimu sudah bukan buatku lagi ... tidak apa-apa. Aku tidak akan membebanimu dengan perasaan ini.”
“Aku nggak tahu. Aku nggak tahu dengan perasaan ini, semua terlalu dingin di hatiku seolah ada salju menumpuk di dalamnya. Melihatmu masih tidak bisa mencairkan dinginnya hatiku. Aku benar-benar bodoh, ya?” Dia menggeleng dan mengelus puncak kepalaku. “Dari tadi aku sangat takut, aku takut berjumpa kamu. Aku takut kamu kecewa. Kalau kamu suruh aku pergi pun, aku tetap tidak tahu. Semuanya memuakkan sampai aku kesulitan untuk tahu.”
Senyumnya merekah, aku tidak tahu apa yang lucu dari perkataanku. Namun, ada sedikit rasa hangat yang muncul. Semua memang tak sama, tapi dia berusaha untuk kembali ke hatinya, yaitu aku. Hanya saja, bagaimana dengan aku?
“Sebuah lilin kecil tidak bisa melelehkan salju di satu kota. Semua ada waktunya, Lona. Melihatku tidak membuat saljumu cair, aku butuh waktu untuk mencairkan salju di hatimu. Kamu mau membiarkan aku berusaha mencairkannya? Sampai di mana kamu bilang berhenti atau lanjut, aku akan tetap berusaha. Apa kamu mau membiarkan aku untuk memulai segalanya dari awal? Di tempat ini, sama seperti perjumpaan kita yang pertama?”
Aku mengangguk tanpa sadar. Ada perasaan lega yang muncul di hatiku. Semuanya terasa normal dan cukup baik, melihatnya berusaha memahamiku.
“Sampai saat itu, aku juga akan berusaha mencari jalan untuk kembali ke hatimu. Kamu harus sabar menunggu ya?” tanyaku dengan sebuah senyum di bibir.
Tawanya yang selembut musik di kafe membuatku terenyuh. Aku terkejut perasaan ini muncul sendiri. Ternyata, aku harusnya tidak sebingung ini. Aku hanya harus melakukannya, begitu saja tanpa perlu merasa takut.
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro