Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. Pertengkaran

Sarapan pagi bersama seluruh saudaramu sangatlah menyenangkan, karena pasti akan ada di antara saudara yang suka bersenda gurau.

Misalnya, Taufan dan Blaze.

"Blaze, tau nggak? Kemaren aku pergi ke toko, trus liat si A lagi bla bla bla bla!"

"Hahahaha! Masa sih?! Kok bisa si A itu bla bla bla bla?!"

"Bisa lah! Kan si A bla bla bla bla!"

Sungguh, mereka berdua benar-benar bilang 'bla-bla-bla', bukan Author-nya yang malas ketik✌️

Karena ke-gaje-an yang dibahas oleh dua saudara pembuat masalah ini, Halilintar pun mengeluarkan aura kakak tertuanya. "Kalian bisa diem nggak?!"

Gempa pun turut menasihati dengan lembut. "Taufan, Blaze, kalau makan jangan sambil mengobrol. Nanti keselek loh."

Ice juga menyikut Blaze yang duduk di sampingnya. "Jangan berisik."

Jika itu Halilintar yang marah, mungkin Taufan dan Blaze tidak akan begitu patuh. Tapi, karena Gempa dan Ice sudah ikut bicara, jadi keduanya langsung tak bersuara dan melanjutkan makan dengan tenang.

Kemudian, Halilintar yang seharusnya kembali makan, tiba-tiba menatap Blaze dengan ekspresi rumit. "Blaze, kamu sudah kelas tiga sekarang."

"Ya, terus?" Blaze mengangguk membenarkan.

Kau merasa sedikit aneh, tidak biasanya Halilintar akan membahas masalah seperti ini.

"Kamu sudah siap sama universitas pilihanmu?"

Ruang makan menjadi hening seketika.

Kalian semua―minus dua orang yang bersangkutan―saling menatap dengan bingung.

Masa SMA mungkin menjadi masa terindah bagi para remaja, tapi itu juga masa sulit di mana kita akan menentukan jalan masa depan kita; apakah memilih langsung bekerja atau melanjutkan belajar dengan kuliah. Untukmu, Thorn, dan Solar―yang masih kelas satu―masih memiliki waktu luang, begitu pula dengan Ice yang di kelas dua. Namun, bagi Blaze yang sudah kelas tiga, itu benar-benar harus membuat pilihan untuk lanjut kuliah atau tidak.

Pada dasarnya, apa yang ditanyakan oleh Halilintar adalah hal yang normal. Sebagai saudara tertua di keluarga ini, ia memang harus memperhatikan masa depan adik-adiknya.

Tapi, jelas semua orang tahu, Blaze bukanlah orang yang suka belajar. Alih-alih memilih lanjut kuliah, ia pasti lebih suka bekerja―tidak, bahkan menurutnya bekerja itu merepotkan.

Singkatnya, Halilintar pasti tahu bagaimana sifat Blaze, mengapa saudara tertuamu ini masih menanyakannya?

"Aku tidak lanjut," balas Blaze dengan ketus. "Aku mau jadi pemain e-sport!"

Hobi bermain game, jadi bekerja sebagai pemain e-sport? Luar biasa, batinmu yang kehabisan kata-kata setelah mendengar pernyataan saudara keempatmu.

"Menjadi pemain e-sport belum tentu sukses. Kamu bisa saja menjadi pemain cadangan. Pekerjaan ini tidak terjamin, lebih baik kuliah," kata Halilintar dengan tegas.

Sekarang kalian semua―termasuk Blaze―bisa merasakan keanehan dari Halilintar. Biasanya, saudara tertua ini tidak akan peduli dan hanya mengangguk setuju, mengapa ia membuat alasan untuk menolak?

Blaze tidak bisa menahan kerutan alisnya, mulai tidak sabar dengan obrolan ini. "Kak, sudah aku bilang nggak mau lanjut kuliah! Kalaupun aku gak jadi pemain e-sport, aku bisa jadi pemain sepak bola! Pokoknya, aku nggak mau lanjut!"

"Terus apa bagusnya jadi dua profesi itu?!" Halilintar juga tampak tidak sabar dan mulai menaikkan nada bicaranya. "Kamu bisanya cuma main saja! Nilaimu di bawah rata-rata! Bagaimana hidupmu di masa depan nanti!"

Braaak!

Blaze menggebrak meja dengan keras hingga sendok dan gelas terjatuh. Ia menatap marah pada Halilintar. "Biarin! Ini hidupku! Suka-suka aku!"

"Dan aku kakakmu!" Tak mau kalah, Halilintar juga membanting meja. "Aku mengkhawatirkanmu! Aku peduli padamu! Aku tidak mau kamu menjadi orang yang tak berilmu!"

Gempa tidak tahan dengan obrolan yang berubah menjadi pertengkaran ini. Lantas, ia pun menengahi keduanya. "Tenanglah kalian, mari kita bicara baik-baik."

Tapi, keduanya sudah terlanjur emosi dan tidak bisa mendengarkan kalimat lembut Gempa.

"Kakak peduli?! Biasanya Kakak cuma iya-iyain aja! Kenapa baru sekarang mau peduli?!"

"Karena kamu adikku! Kalau aku tidak peduli, siapa lagi yang bisa peduli pada kamu yang taunya main?!"

"Dan kamu kakakku! Sebagai kakak, seharusnya kamu mendukung pilihanku!"

"Aku menolaknya karena pilihanmu tidak menjamin masa depanmu!"

Pertengkaran ini semakin membuatmu tidak nyaman sehingga kehilangan nafsu makan. Kau mencoba melerai, tapi perdebatan keduanya semakin memburuk.

Blaze tidak tahan lagi. "Diem 'napa! Serah aku mau ngapain!"

Halilintar juga kelihatannya tidak bisa menahan kemarahan. Tanpa sadar berkata, "Aku begini karena ibu khawatir!"

Kalimat itu mengubah ruang makan menjadi keheningan yang panjang.

Dua orang yang saling berselisih terdiam dengan nafas yang terengah-engah.

Halilintar mencubit tengah alisnya, kemudian meninggalkan dapur ke lantai atas tanpa mengatakan apa pun.

Blaze jatuh terduduk ke kursinya dengan wajah lelah. Ice segera membantu menahannya agar tidak salah mendarat ke lantai.

Tidak ada yang melanjutkan sarapan dengan suasana tidak nyaman seperti ini. Gempa bangkit dari kursi dan menyusul Halilintar ke atas; Taufan tidak mungkin menghadapi Halilintar, jadi ia bersama Thorn datang menghibur Blaze.

Melihat Solar yang tidak bergerak dari kursinya, kau pun mengajaknya bicara.

"Sol, besok kalian pergi ke Rumah, 'kan?" tanyamu tiba-tiba, membuat Solar sedikit terkejut.

" ... Ya, maaf karena kami masih tidak bisa membawamu ikut," jawabnya dengan wajah bersalah.

Kau menggelengkan kepala dengan senyum menenangkan. "Nggak masalah, toh aku juga nggak pingin ke sana." Matamu memandang saudara keempatmu yang secara tidak normal menjadi pendiam, kemudian pandanganmu pindah ke lantai atas. "Dengan suasana ini, apa tidak masalah?"

Solar juga melihat ke lantai atas. "Aku rasa ... aku tahu kenapa Kak Hali sengaja seperti ini."

"Hm?" Kau mengedipkan mata beberapa kali dengan bingung. "Kak Hali sengaja bertengkar?"

"Kak Hali pasti tau kalau Kak Blaze tidak mau lanjut kuliah, tapi dia masih bertanya. Menurutmu kenapa?" Solar memulai mode detektifnya. "Dan Kak Hali juga menyebutkan tentang ibu ... sementara besok kita akan berkumpul di Rumah Utama*; kita pasti bertemu ayah dan ibu."

Kau pun akhirnya mengerti maksud Solar. "Ayah dan ibu pasti bertanya pada Kak Blaze tentang hal yang sama. Kalau Kak Blaze menjawab seperti ini ... ayah dan ibu pasti tidak setuju."

Solar mengangguk membenarkan. "Betul. Bayangkan saja apa yang akan terjadi saat itu."

Mungkin perang yang lebih parah dari yang hari ini akan terjadi ... atau bisa saja Blaze tidak diizinkan kembali ke Rumah Elemental*.

Membayangkannya saja membuat bulu kudukmu merinding.

Solar melanjutkan, "Jadi, aku rasa Kak Hali sengaja memancing Kak Blaze seperti ini, kemudian menyebut ibu di akhir pertengkaran. Ketika di Rumah Utama dan ditanya nanti, Kak Blaze bisa menolak menjawab atau berbohong.

"Nantinya, setelah lulus SMA, Kak Hali atau Kak Gempa akan membantu menutupi kebohongan ini.

"Karena itu, aku cukup tenang sekarang karena aku yakin pertengkaran yang disengaja ini akan selesai besok."

Kau mengembuskan napas panjang. "Benar-benar masalah yang rumit."

"Hahaha." Solar tertawa hampa dengan wajah datar. "Kita lahir di keluarga yang seperti ini; entah sebuah anugerah karena terlahir kaya, atau kesialan karena memiliki hubungan yang merepotkan."

Mata platinum emasnya menatapmu dengan serius. "Karena itu, [Name], jangan sampai terlibat."

Kau mengangguk mengerti.

•••
Arbi's Note:
|*|Rumah Utama adalah tempat keluarga utama tinggal; di mana kepala keluarga (alias sang ayah) dan juga sang ibu (yang sampai saat ini belum Author sebut) tinggal di sana.

|*|Rumah Elemental ― aku akan menyebutnya seperti ini sebagai rujukan pada tempat tinggal para elemental bersaudara (dalam kondisi tertentu).
. . . . .
Fakta delapan bersaudara:
Halilintar, Taufan, Blaze, dan Solar paling benci untuk pulang ke Rumah Utama.

.
.

Yey, besok tgl 4 Maret, buku ke-2 Lord of Mysteries dirilis (⁠つ⁠≧⁠▽⁠≦⁠)⁠つ Aku gak sabar lagi~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro