8.
Langit jingga mulai menyebar di langit sore ketika aktivitas Maga benar-benar berakhir. Tak terasa Olin sudah menunggu dalam hitungan jam di sana tanpa rasa bosan sampai akhirnya Maga selesai berlatih. Kini waktunya pulang, Olin langsung bangkit dari duduknya saat melihat Maga mendekat. Secara tak sadar dia melambaikan tangan tinggi-tinggi sebagai upaya memberi kode untuk segera datang.
"Maga!"
"Kenapa harus teriak-teriak sih?" komennya begitu mendapati Olin berseru dengan suara keras. Maga tidak nyaman karena kelakuan Olin yang banyak menarik perhatian sehingga mereka jadi tontonan anak-anak lain.
"Ayo pulang."
"Iya."
Keduanya berjalan beriringan menuju parkiran tapi secara tiba-tiba Amakia menyusup di tengah hingga membuat jarak antara Maga dan Olin.
"Sorry, boleh bareng sekalian kan?" ucap Amakia tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Kalian pulang bareng?"
Maga hanya menaikkan alis mata sedangkan Olin yang sempat terkejut akan kedatangan Amakia yang tak biasa malah menyahut riang sambil mengusap sebelah lengannya pelan. Olin pikir sesuatu telah menggores kulitnya tadi bersamaan dengan Amakia yang menyenggol kasar.
"Iya, kebetulan deketan rumah kita."
"Pantesan. Jadi lo bawa kendaraan?"
"Nggak, aku nebeng Maga," jawab Olin disertai kekehan pelan. "Kalo kamu gimana, Amakia?"
Seraut di wajah Amakia kembali seperti semula. Cemberut di wajahnya memudar berganti senyum yang dipaksakan.
"Gue nunggu jemputan."
"Oh, kalo gitu kita, duluan ya."
Mereka berpisah tepat di parkiran, sementara Amakia terus berjalan menuju pintu gerbang menunggu jemputan. Amakia merasa tidak suka jika apa yang dia pikirkan tidak sesuai kenyataan. Dia pikir Olin hanya sekadar numpang lewat dan kebetulan bertemu Maga. Namun siapa sangka Olin justru lebih dekat ketimbang dia yang mati-matian ingin bersama Maga. Melihatnya saja mata Amakia dibuat pedih apalagi hatinya yang teriris karena menyaksikan langsung kedekatan keduanya.
Jujur Amakia ingin tahu hubungan mereka sejauh mana, terlebih Olin yang baru saja datang ke sekolah sudah merusak rencananya untuk mendekati Maga. Lebih-lebih dia tak memiliki kesemt sebanyak dulu karena Olin telah merenggut waktunya yang terbatas dengan terus menempel pada Maga ke mana pun pergi. Jika membayangkan tampang Olin yang sok lugu itu membuat Amakia makin kesal.
Sementara itu di parkiran sekolah Olin tak bisa tenang duduk di kursinya. Melihat kondisi Olin yang bergerak-gerak gelisah membuat Maga bertanya tak jadi menyalakan mobil.
"Lo kenapa?"
"Gatel, Ga. Kayaknya ...," kata Olin terjeda begitu Maga menarik lengannya yang nampak kemerahan.
"Jangan-jangan lo kumat. Jangan digaruk lagi."
Olin tidak mengindahkan perintah Maga. Dia terus menggaruk kulit lengannya yang terasa gatal juga panas. Bukan cuma itu saja, bentol-bentol mulai muncul di permukaan kulit Olin yang sensitif abis. Meski dia sudah terbiasa dengan penyakit itu tetap saja sulit untuk mengabaikan rasa gatal yang menjalar.
"Jangan digaruk nanti tambah parah."
Mendecak sendiri Olin kesal karena tangannya ditahan Maga. Normalnya dalam situasi seperti ini Olin merasa senang tapi momennya tidak pas. Kalang kabut, dia keburu merasa gatal-gatal. Di tambah sensasi terbakar mulai terasa adalah hal yang paling tidak dia sukai.
"Mana obat lo buruan minum!"
"Di tas. Sebentar lagi juga sembuh send--"
"Sini gue yang cari."
Melihat Olin sibuk menggumam sambil mengusap juga menggaruk demi meredakan gatal akhirnya Maga mengambil alih. Tas ditarik paksa lalu mengobrak-abrik isinya. Tak butuh waktu lama obat berhasil ditemukan.
Segera Maga menyodorkan obat tablet tersebut dan Olin langsung meminumnya. Beberapa menit kemudian Olin merasa baikan karena rasa gatal yang mereda.
"Kok bisa kambuh?"
"Nggak tau tiba-tiba gatel aja. Kayak kegores sesuatu tadi pas Amakia dateng. Aku nggak tau juga kenapa," jujur Olin seraya mengingat kejadian tadi. Olin pikir hanya perasaannya saja maka dia masih berusaha berpikir positif tapi setelah mengalami kejanggalan yang tidak dia mengerti bagaimana awalnya sehingga mengubah persepsi baru terhadap Amakia. Kendati begitu Olin ingin tetap berprasangka baik dalam menilai segalanya. Bisa saja dia salah tapi bisa juga benar.
"Lo beneran udah baikan?"
"Iya, Maga."
"Perlu ke rumah sakit?"
"Lebai ah, ngapain pake ke sana segala. Khawatir nih ceritanya, cie."
"Gue cuma mastiin."
"Sama aja lah namanya. Senengnya diperhatiin Maga." Olin mesem-mesem sendiri. Senang melihat Maga yang penuh perhatian kepadanya. Jarang-jarang dia berlaku manis seperti tadi.
"Mending kita pulang sekarang. Pasang seat belt lo."
Mobil Maga menyala dan perlahan meninggalkan lingkungan sekolah.
***
Seperti biasa hari-hari Maga tak pernah jauh dari air. Renang sudah menjadi bagian penting dari hidupnya seolah napas yang tidak bisa dipisahkan dengan mudahnya. Minggu pun Maga sudah menceburkan diri ke dalam kolam berair biru, bolak balik menyelam dari ujung ke ujung mengasah kemampuan renang. Gaya dada dia praktekkan dengan lincah dan ketika sedang menikmati hobinya itu tamu tak diundang muncul tiba-tiba.
"Maga, jalan-jalan yuk!"
Sesaat kepala Maga menyembul keluar kemudian tak terlihat lagi di telan air kolam. Melihat Olin datang rasanya sesuatu banget. Maga masih ingin lebih lama berada di dalam air, dia belum puas sama sekali. Namun, kedatangan Olin membuat aktivitas paginya sedikit terganggu. Tidak bisakah dia menghabiskan waktunya sendirian dengan tenang.
"Bosen Ga, ini Minggu waktunya jalan-jalan mumpung ayah kasih izin!"
Maga masih tidak menyahut sama sekali seolah suara Olin hanya angin lalu. Bagaimanapun di dalam air pendengaran Maga terbatas tapi dia suka itu ketimbang mendengar celotehan Olin yang ngalor ngidul. Cerewet, Maga pusing jika terus-terusan menanggapi temannya yang tak tahu diri.
"Aku tungguin deh sampai kamu selesai renang, baru abis itu kita jalan. Jarang banget kita main keluar kan, Ga?"
Olin berjalan di tepian kolam sambil bermonolog mengikuti Maga yang terus fokus berenang. Keduanya saling beriringan dengan kesibukan masing-masing. Olin tak ambil pusing meski tak mendapat respons apa pun, dia yang sudah terbiasa seperti itu merasa tak ada yang aneh. Pun dengan Maga yang acuh.
"Oh, iya, aku belum cerita ya. Kamu tau Joeya kan, temen sebangku ku yang anaknya pendiem itu. Apa emang dia judes kayak gitu?"
"Aku belum bisa akrab sama dia. Kalo ngobrol selalu pendek-pendek. Kayaknya dia benci aku," keluh Olin sedih.
"Mungkin aku harus lebih berusaha lagi biar bisa jadi temen deket ya, Ga. Kan asih punya temen cewek."
"Tapi kalo Sakura beda. Kayaknya dia beneran baik deh. Soalnya kemarin ramah banget baru pertama ketemu." Sekilas Olin menoleh pada Maga yang baru saja menyembulkan kepala. Keduanya saling bertatapan lalu Olin melanjutkan bicara. "Sakura ngajakin aku gabung ekskul, menurut kamu gimana?"
Please, jangan!
Hati Maga menjerit tapi suaranya tak terdengar, hanya dia pendam sendiri.
Cukup hari-harinya saja yang terganggu asal hobinya jangan. Dia tidak bisa membayangkan kalau Olin ada di ekskul renang yang sama dengannya. Bisa-bisa Maga mati berdiri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro