5.
"Gimana hari pertamanya, Lin?" tanya ayah sambil mengendarai mobil yang meninggalkan gerbang sekolah.
Olin yang duduk di samping kursi kemudi langsung berseru, "Baik ya. Semuanya lancar, aman, dan nggak ada masalah."
"Syukurlah kalau gitu. Ayah seneng dengernya. "
"Ayah nggak perlu mikir aneh-aneh. Olin baik-baik aja kok. Pokoknya aku seneng hari ini apalagi ada Maga bikin makin seru."
"Percaya Ayah sama dia. Anak yang bisa diandalkan dari dulu."
"Kan, udah Olin bilang Yah," tukas Olin tak mau kalah membanggakan Maga. "Dan ternyata Maga itu temennya banyak banget dan dia terkenal di sekolah, Yah."
"Oh, gitu."
"Nggak heran sih, Maga kan cakep ...." Olin menggumam pelan dan membuat ayah langsung menoleh karena tak mendengar jelas anaknya bicara.
"Apa Lin?"
"Nggak Yah," balas Olin cepat dengan mengalihkan pandangan ke arah jalanan kemudian kembali menyerocos sendiri. "Tadi ya, Yah ada temen sebangku Olin judes abis mukanya."
Dia bersyukur ayah tak mendengar pujian yang diperuntukkan untuk Maga barusan. Bisa-bisanya dia kelepasan bicara. Olin suka tak sadar diri ketika membicarakan tentang Maga. Apa pun bahasanya dia tidak bosan akan memuji cowok itu.
"Cewek?"
"Iya. Aku udah sempet neting duluan sama dia. Tapi kayaknya nggak seburuk itu deh, soalnya dia masih mau minjemin bukunya buat Olin."
Ayah manggut-manggut sambil terus memperhatikan jalan. Hanya mendengar anaknya sebahagia itu membuat ayah turut bahagia. Memang dia tak sewajarnya mengekang Olin sejak lama sehingga Olin tidak merasa jenuh terus menerus berada di rumah.
"Ayah besok boleh nggak Olin berangkat sama pulangnya bareng Maga?"
"Jadi Ayah nggak perlu nganterin kamu ceritanya?"
"Iya, Yah. Kalo nggak boleh ya nggak apa-apa."
"Yakin?" Ayah justru menggoda Olin yang meragu. Jujur saja dia amat ingin pulang pergi dengan Maga, itukan salah satu impiannya sejak lama. Tapi semua tergantung keputusan ayah.
Hari ini pun sebenarnya dia ingin pulang bersama Maga tapi begitu kelas berakhir dia tidak bisa menemukan Maga di mana pun. Maga seolah hilang ditelan kerumunan murid-murid yang keluar kelas diwaktu bersamaan. Olin sudah mencari-cari keberadaan cowok itu. Namun, tidak menemukannya.
Kenapa Maga tidak berpamitan jika ingin pergi? Lalu ke mana dia sampai tidak terdeteksi olehnya?
Bukan hanya sulit menemukan Maga di antara banyaknya murid yang berseliweran. Bahkan Olin pun pusing sendiri jika berada di tempat ramai tanpa tujuan jelas. Dia yakin kalau bukan hari ini, masih ada kesempatan lain bisa besok dan seterusnya bagi Olin untuk bersama Maga. Dia yakin Maga sedang sibuk melakukan sesuatu yang penting di suatu tempat.
"Ayah jadi bolehin nggak nih?" tanya Olin lagi begitu mobil berhenti di persimpangan jalan dengan nyala lampu merah. "Olin ngarepnya sih, boleh. Biar Ayah nggak capek anter jemput Olin tiap hari."
"Bisaan kamu aja tuh biar bisa deket-deket Maga, kan?"
"Ihh, Ayah!" Pipi Olin bersemu kemerahan. Olin yang merasa tersipu menunduk malu disertai salah tingkah yang bikin geleng-geleng kepala.
Di sampingnya ayah hanya tersenyum memerhatikan anaknya yang tampak menggemaskan.
"Rupanya anak Ayah udah besar sekarang ya."
"Ayah udah, ah." Olin tak tahan lagi diledek begitu. Dia buru-buru menuntut jawaban. "Kalo nggak dibolehin juga nggak apa-apa kok. Jadi gimana, Yah?"
"Iya, boleh. Asal kamu seneng Ayah setuju."
"Yes! Makasih Ayah."
"Sama-sama. Memang Maga mau bareng kamu?"
"Hah ... ma-maulah Yah. Pasti mau. Kalo nggak mau Olin paksa sampai mau."
Ayah terbahak keras melihat tingkah Olin yang tidak yakin dengan peryataannya sendiri.
"Masih ada Ayah kalo kamu berubah pikiran. Yang penting ingat pesan Ayah?"
Merotasi bola matanya yang besar Olin menjawab, " Selalu jaga diri jangan lupa bawa obat dan pake lotion."
"Bagus. Sebagai hadiah kecil dari Ayah gimana kalo kita mampir ke tempat ice cream langganan kamu jajan?"
"Wah! Boleh-boleh Ayah traktir aku sepuasnya kan?"
"Iya."
Obrolan ayah dan anak itu terus berlanjut seiring mobil yang terus melaju lambat. Keduanya saling menikmati momen menyenangkan sebagai keluarga kecil yang bahagia terutama bagi Olin.
***
Di ranjangnya yang super empuk dan nyaman Olin telah terbaring dengan memainkan ponsel di tangan. Dia sudah dalam posisi hendak tidur dengan selimut menutupi seluruh tubuh kecuali bagian kepala dan lengannya yang bebas bergerak.
Olin
Ga besok kita berangkat bareng ya :)
Setelahnya ponsel di letakkan di atas meja dekat ranjang tidur. Tentunya dengan harapan besar benda pipih itu kembali berbunyi. Sekali dua kali di mengecek ponselnya tapi tidak ada notifikasi apa pun. Maga tidak membalasnya malahan pesannya pun belum dibaca.
Maga selalu lama membalas pesan. Kebiasaan buruk Maga yang Olin tidak sukai dari dulu. Pesannya terabaikan, kalau bukan besok bisa dipastikan tidak akan dibalas sama sekali. Tanpa menunggu lagi kemudian dia memilih memejamkan mata. Selang beberapa menit Olin terlelap dalam mimpi.
Di lain rumah, Maga yang mendapat notifikasi di ponselnya hanya melihat sekilas kemudian kembali lagi menonton video lomba renang di YouTube. Tiada niatan bagi Maga untuk sekadar membuka pesan yang baru saja Olin kiriman kepadanya. Apalagi untuk membalas, malas. Maga tidak mau waktunya terganggu oleh siapa pun sekalipun Olin orangnya.
***
Maga turun dari lantai dua menuju ruang tamu di mana suara bel rumah berbunyi berulang-ulang. Rasanya ingin sekali Maga melempar pelaku yang sudah berbuat gaduh dan menggangu di pagi buta.
Maga saja baru terbangun dari tidurnya begitu mama berteriak dari arah dapur. Mama sedang sibuk memasak sehingga menyuruh Maga untuk segera membuka pintu, katanya ada tamu.
"Sebentar! Sabar, tunggu sebentar!"
Tak kalah sengit Maga berteriak keras dan gegas membuka pintu dan setelahnya mengumpat dalam hati.
"Selamat pagi, Maga!"
"Ngapain sih, pagi-pagi ke sini?" kesal Maga begitu menemukan Olin yang berdiri di hadapannya dengan raut gembira. Rupanya dari tadi Olin lah sang biang kerok yang memencet bel rumahnya. Sungguh kurang kerjaan!
"Eits! Jahat amat sih, masa ada tamu nggak disuruh masuk?" kata Olin seraya menahan daun pintu yang hampir tertutup.
Maga menyesal sudah membuka pintu tanpa mengecek terlebih dulu siapa gerangan tamu yang datang. Jika tahu Olin di sana sudah pasti dia abaikan. Sayangnya dia terlambat menyadari, tahu-tahu Olin sudah masuk ke dalam dan mengabaikannya.
"Ayo berangkat sekolah bareng."
"Duluan aja sana. Gue belum mandi." Maga menjawab ketus dan menatap datar Olin.
"Ih, Maga ngomongnya yang sopan."
Jika berada di rumah Maga dilarang bicara bahasa gaul, katanya tidak sopan. Maka mamanya melarang. Kalau ketahuan Maga bisa dimarahi.
"Bawel."
"Nanti aku laporin ke Tan--"
Tiba-tiba mama Maga berteriak, "Siapa, Nak!?"
"Nah, ayo siap-siap Ga, biar aku tunggu di dapur sama Tante." Olin kemudian berlalu sambil menyahut antusias. "Olin, Tante!"
"Suruh masuk Nak, biar kita sarapan bareng!"
"Iya, Ma."
Meski mendecak sebal mau tak mau Maga gegas menuju kamarnya untuk bersiap-siap. Biasanya Maga jadi anak terajin untuk urusan sekolah tapi kini Olin menyainginya dan bahkan telah rapi dengan seragam sekolahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro