35.
Sebenarnya Olin senang jika dia bisa cepat sampai tujuan dan menyaksikan Maga bertanding. Hanya saja pilihan yang Kiki ambil dengan mempercepat laju kendaraannya tidak tepat. Olin telah memperingati berulang kali supaya Kiki memperlambat kecepatannya yang dirasa terlalu kebut. Sayangnya, entah pengaruh terpaan angin atau memang suara Olin yang terlampau kecil sehingga tidak membuat Kiki berhenti, atau mungkin sikap Kiki yang sengaja abai dalam situasi kesal akibat penolakan cintanya barusan.
Kiki seperti bukan kakak tingkatnya yang biasa Olin kenal. Rasanya Olin merasa takut juga cemas diwaktu bersamaan. Sekali lagi Olin berseru keras dari belakang. "Kak, pelan-pelan!"
"Apa, Lin!? respons Kiki tanpa menoleh.
"Jangan kebut-kebut, bahaya. Kita terlalu kenceng naik motornya!"
"Aman, santai aja. Yang penting lo pegangan, Lin. Lo nggak mau dateng telat kan buat liat Maga lomba?"
"Tapi--"
"Serahin ke gue aja. Lo duduk manis di belakang, oke?"
Mau tak mau Olin menurut. Susah sekali menghentikan Kiki supaya memperlambat motornya yang berjalan cepat. Olin baru sadar ternyata dia salah memutuskan begitu saja soal perasaannya yang pasti telah melukai Kiki. Bagaimanapun, cowok itu sedang terluka perasaannya.
Sepanjang perjalanan kini terasa sangat menegangkan. Bagaimana tidak, Kiki sering membalap kendaraan lain secara serampangan. Cowok itu melajukan motornya dengan ugal-ugalan. Olin jadi ngeri sendiri akibat jantungnya yang bergemuruh seperti mau copot.
"Kak ...."
Olin urung melanjutkan. Dia berpikir bahwa apa yang akan dia ucapkan bisa saja memperburuk suasana hati Kiki. Meski Olin tidak yakin tapi dia tahu, diam adalah pilihan terbaik baginya sementara ini.
Bibir Kiki terkatup sangat rapat, Gigi-giginya sampai bergemeletuk satu sama lain. Jelas terlihat rahangnya yang mengeras kuat. Cowok itu sedang tidak stabil. Perasaannya terlalu kacau untuk dikatakan baik-baik saja. Kiki sedang merasa patah hati. Dia pikir ditolak cintanya tak semenyakitkan itu ternyata dia salah. Sakit gigi saja kalah bila dibandingkan dengan hatinya yang terluka.
Meski kecewa, dia tidak bisa menyalahkan Olin. Tidak mungkin juga Kiki memaksakan kehendaknya supaya Olin mengubah jawaban yang telah final. Kiki hanya butuh menyalurkan rasa kesalnya yang menyelimuti hati.
Saking tidak berkonsentrasi saat menyetir, Kiki nyaris menabrak mobil di depannya dengan jarak super dekat.
"Awas!" pekik Olin sekaligus terkejut saat Kiki mengerem mendadak. Olin yang tanpa persiapan menubruk punggung Kiki cukup kuat akibat gerakan yang tiba-tiba.
Refleks membelokkan motornya ke kanan sambil terus menginjak rem, terdengar bunyi ban yang bergesekan dengan aspal jalanan. Seketika motor oleng tidak terkendali karena dipaksa berhenti sekuatnya. Tangan Kiki terlepas dari motor yang meluncur tak tentu arah bersamaan dengan itu Olin ikut terpental sejauh lima meter.
Keduanya terseret menggosok aspal hingga pakaiannya robek lalu terguling beberapa kali sampai pada akhirnya berhenti saat menabrak trotoar. Baik kondisi Kiki maupun Olin sangat berantakan. Beruntung kendaraan lain langsung menghentikan lajunya sehingga tidak membuat kecelakaan beruntun.
"Olin?"
Kiki memanggil dengan suara lemah begitu berhasil bangkit. Meski sama-sama jatuh, tapi kondisi Kiki bisa dibilang lebih beruntung ketimbang Olin yang tak sadarkan diri. Tak lama kemudian orang-orang mulai berdatangan.
***
"Nggak apa-apa Sayang," Mama Maga berucap pelan seraya mengelus pundak anaknya.
Maga masih duduk di tepi kasur sambil menunduk lesu. Tatapan matanya lurus ke bawah menilik lantai keramik yang bersih. Di sana tidak ada apa-apa, Maga hanya membuang muka menghindari tatapan mama yang berdiri menyemangati.
"Kamu udah hebat dan bikin Mama bangga, Papa pasti juga bangga sama kamu."
Maga tidak menjawab cuma menghela napas berat. Melihat tingkah anaknya yang murung mama mengelus puncak kepala Maga
"Mama tau kamu kecewa, Nak. Tapi jangan lupa kamu udah ngelakuin yang terbaik. Mama sama papa selalu dukung kamu. Maaf Mama banyak bicara ya, mending kamu istirahat dulu sekarang, pasti capekkan?"
"Iya, Ma."
Lalu mama keluar dari kamar dan memberi Maga waktu untuk menenangkan pikiran. Wanita itu tahu bahwa anaknya butuh kesendirian saat ini. Sebelum benar-benar menutup pintu mama berucap pelan, "Mama sayang kamu, Maga."
Seketika Maga membanting badannya ke atas kasur membiarkan sepatutnya masih membungkuk kaki. Dia tidak peduli apa pun. Walau hanya untuk membersihkan diri. Maga terlalu capek.
Tangan kirinya terkepal lalu menepuk-nepuk dahi beberapa kali. Memikirkan kekalahannya tadi membuat Maga semakin penat. Kepala cowok itu kian berat dan berdenyut tatkala mengingat lomba renangnya yang mengecewakan.
"Sialan!" geram Maga tertahan.
Dia kesal pada dirinya sendiri yang dianggap tak mampu untuk berprestasi. Jangankan memenuhi harapan untuk jadi juara dalam tiga besar, untuk mengharumkan namanya dan sekolah pun dia tak mampu. Andai saja Maga lebih fokus, andai Maga lebih keras dan bersungguh-sungguh, dan andai saja dia berhenti memikirkan hal konyol tentang cewek itu!
"Semua gara-gara lo!?" hardik Maga pada ponselnya yang menyala dengan panggilan masuk terpampang di layar. "Olin, lo ingkar janji."
Dibiarkannya ponsel Maga yang terus berdering. Maga tidak mau mendengar suara Olin yang mungkin saja banyak beralasan dan bakal menertawakan kekalahannya nanti. Daripada dia semakin kesal lebih baik mengabaikan panggilan tersebut.
"Dari tadi gue telponin lo nggak diangkat. Sekarang giliran lo telpon gue, gantian nggak akan gue angkat."
Maga bangkit dan memilih ke kamar mandi dengan perasaan tidak tenang. Entahlah Maga tidak tahu kenapa mereka ada yang aneh. Dia yakin kalau hatinya sedang sakit karena kalah lomba, tapi dia tidak bisa untuk pura-pura tidak tahu bahwa Olin terus menghubunginya sejak tadi.
"Resek banget nih anak! Awas aja ya, kalo ketemu," omel Maga seraya menekan gagang telpon berwarna hijau.
"Halo?"
"Ha-lo, Maga! Syukurlah lo angkat telpon gue."
Maga ternganga saat mendengar suara cowok di seberang sana. Nada bicara yang tak jelas dan suara berisik membuat Maga berucap kembali.
"Halo, Lin? Suara lo putus-putus."
"Maga? Lo bisa denger gue?"
Sejak kapan suara Olin jadi berat. Maga diam sambil mendengarkan dengan seksama.
"Gue Kiki. Ada yang perlu gue sampein ke lo."
Dia tidak salah dengar suara familier barusan. Cowok menyebalkan yang sukses menambah buruk suasana hati Maga sekarang. Ah, Maga baru ingat kalau Olin memang berniat datang bersama cowok itu untuk menontonnya bertanding, katanya kemarin. Tapi semua cuma bualan. Olin tidak datang ke sana.
"Lo?" decak Maga kian kesal. "Kenapa lo yang nelpon, mana Olin gue mau ngomong!"
"Itu nggak penting sekarang." Kiki menyela tegas lalu melanjutkan, "Ga, dengerin gue.
Lagi-lagi Maga mendecak. Namun, mau tak mau dia mendengarkan penuturan Kiki dengan malas. Maga hanya kepikiran kalau Olin sedang bermain-main bersama cowok itu, tapi begitu Kiki berujar pahit Maga langsung tercenung dengan beragam pikiran negatif yang melayang-layang.
"Olin kecelakaan, dia sekarang di rumah sakit."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro