34.
Hari semakin siang dan Maga semakin tak tenang. Dia celingukan sambil menunggu giliran yang tak lama lagi akan tiba. Di tempatnya berada pandangannya tak lepas dari tribun penonton yang telah dipenuhi orang-orang. Matanya beralih ke pintu masuk tapi belum mendapatkan apa pun.
Harap-harap cemas sambil merapal doa Maga tidak mau berpikiran negatif. Seharusnya dia tidak punya waktu untuk memikirkan perkara selain renang. Namun, apa boleh buat otaknya susah diatur. Bagaimana bisa dia berkonsentrasi di saat seperti ini jika hatinya terus menerus merasa gelisah.
Entah sudah berapa banyak manusia yang dilihatnya sejak memasuki area tanding. Tidak terhitung lagi jumlahnya. Saking banyaknya dia tidak ingat. Maga merasa seperti orang bingung, dan dia tidak menyukainya. Seharusnya sekarang sosok yang ditunggu sudah hadir, tapi Maga tidak menemukan Olin di mana pun. Padahalkan cewek itu sudah berjanji. Lagi-lagi layaknya orang bodoh yang mengharapkan sesuatu tak pasti.
Mungkin sebentar lagi. Maga menggumam pelan masih berusaha positif pada kemungkinan terburuk.
Serangkaian acara pembuka pertandingan olahraga telah dilakukan. Kini tinggal menunggu gilirannya beraksi dalam waktu yang terasa berjalan cepat.
Tadi sebelum acara dimulai Maga sempat mengirimi Olin pesan dan melakukan panggilan sekali. Alih-alih diangkat, justru suara operator telepon yang menjawabnya. Sangat menyebalkan.
Maga sangat heran ke mana perginya Olin yang mengakunya sebagai sahabat. Memangnya pergi ke mana dia, sampai membuat Maga tak karuan. Padahal orang tua Maga saja sudah duduk manis di tribun penonton sambil melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Seharusnya Maga senang dan merasa cukup dengan itu semua.
Prit! Pritt!
Sang pelatih memberi komando untuk mendekat. Lantas Maga segera bergabung bersama teman-temannya yang lain untuk persiapan lomba yang tinggal hitungan menit. Akhirnya Maga membuang napas berat setelah sangat berharap pada Olin yang tak kunjung muncul.
Jika diingat ini pertama kalinya Maga merasa kecewa. Apa mungkin karena Olin tak hadir di sana dan melupakan janjinya atau ada perasaan lain yang membuatnya tak tenang sejak tadi. Dulu saat Maga mengikuti perlombaan di mana pun dan bagaimana pun keadaannya Olin selalu ikut serta mendukungnya bersama orangtuanya. Tapi kini tidak lagi sama, Maga terlalu banyak berharap.
Setelah mengarahkan pandangannya sekali lagi ke arah tribun penonton dengan saksama dan tak mendapati apa pun, Maga telah memutuskan untuk fokus sepenuhnya pada lomba renangnya sendiri. Maga tidak mau pusing dan peduli lagi pada Olin yang mungkin memang ingkar janji.
Tiba-tiba sekelebat ingatan mampir di kepalanya. Maga ingat bahwa Olin benar-benar sudah berjanji tapi dia tidak lupa kalau cewek itu berniat mengajak orang lain. Bagi Maga itu semakin mengesalkan untuk dibahas. Suasana hatinya kian buruk sekarang.
"Maga!" titah pelatih tegas. "Saya panggil dari tadi nggak nyahut. Kamu lagi mikir apa?"
"Nggak ada Pak."
"Oke, semuanya kembali fokus!"
***
Mendadak Olin bengong dan seluruh tubuhnya beku bak es batu. Pikiran warasnya sirna dalam beberapa detik ketika indra pendengarannya menangkap kalimat pernyataan dari Kiki.
Pacar?
Rasanya aneh sekaligus sulit diungkapkan. Olin terus menatap Kiki dengan pandangan kosong. Terlihat jelas kekikukan di antara keduanya terlebih saat Olin tak mengucap sepatah kata pun usai melepas genggaman tangannya dari Kiki.
Butuh beberapa waktu hingga dia tersadar. Matanya berkedip dua kali tanpa bersuara. Demi mengakhiri kesenyapan yang tercipta Kiki lebih dulu berinisiatif angkat bicara.
"Lo nggak perlu jawab sekarang, Lin. Lo punya banyak waktu buat jawab, gue bisa nunggu."
Olin tertegun dan masih terdiam. Dia hanya menganggukkan kepala pelan. Kenapa sesulit itu hanya untuk membalas ucapan Kiki yang terdengar sangat tulus dan penuh harap. Olin merasa lidahnya kelu. Bahkan dia pun bingung harus bicara apa sekarang.
Semua yang terjadi serba dadakan itu tidak pernah Olin duga sama sekali jika perjalanan untuk mendukung Maga berlomba harus terhenti di taman ini. Tanpa belas kasih serta pikir panjang Olin justru mengganti topik obrolan.
"Iya, Kak. Kalo gitu bisa kita langsung ke tempat lomba?"
Beruntung Kiki menyetujui permintaan Olin sambil pasang wajah muram. Jelas sekali kakak tingkatnya itu dilanda kecewa tapi apa boleh buat, Olin tidak bisa memikirkan itu di situasi sekarang ini. Ada yang lebih penting.
Tak butuh waktu lama keduanya kembali ke jalanan menuju tempat Maga bertanding. Sepanjang perjalanan keduanya saling diam dengan pikiran masing-masing.
Meskipun Olin berpura-pura tenang, nyatanya jantung Olin terus berdetak tak berirama. Ada perasaan resah juga sesak dalam hatinya. Olin tidak melakukan kesalahan hanya saja, mungkin dia terlalu cepat mengambil tindakan sampai berucap sesuai naluri.
"Kalo boleh tau kenapa Kakak suka sama aku?"
"Hhm, emang perlu alasan ya? Gue suka lo ya karena suka. Semuanya."
"Serius?"
"Iya, masa gue bohong sih, Lin!"
"Sejak kapan Kakak sukanya?"
"Sejak kita kenalan. Gue udah punya rasa sama lo."
Hati Olin menghangat dan berbunga-bunga. Dia tidak menyangka bakal disukai seperti itu.
"Tapi aku boleh jujur nggak?"
Suara pelan Olin bercampur dengan gemuruh angin akibat kendaraan yang melaju lumayan kencang.
Meski tak mendengar jelas kalimat Olin seutuhnya, Kiki tetap menyahut pelan dengan genggaman pada setir motor yang kian mengerat kencang.
"Kenapa? Lo nggak perlu buru-buru Olin. Gue sabar buat nunggu jawaban lo besok, besok atau lusa. Bahkan sampai lo siap."
"Kasih gue sedikit kesempatan buat napas. Coba lo pertimbangin dulu dan pikirin gimana gue yang udah jujur sama lo."
Menarik napasnya secara perlahan kemudian Olin berbisik, "Aku seneng Kak Kiki punya rasa ke aku kayak gini. Apalagi selama ini Kakak baik banget sama aku."
Kiki masih mendengarkan sambil menyetir cukup pelan. Harap-harap cemas dengan perasaan tidak tenang. Dia tersenyum sekilas seraya memandangi Olin dari kaca spion.
"Iya, gue emang orangnya baik. Lo baru sadar Lin?"
Olin terkekeh dan nampak canggung. "Tapi Kak."
"Lo masih manggil gue Kakak?"
"Lebih enak gini sih, Kak. Aku boleh jawab sekarang aja nggak Kak?"
Akhirnya Kiki pasrah. Dia tidak bisa membujuk Olin untuk memikirkan pernyataan cintanya dulu. Apa pun jawabannya Kiki harus menerima dengan lapang dada. Kini dia jadi deg degan.
"Terserah lo deh. Kalo maksa mau sekarang apa boleh buat Lin. Itu hak lo."
Jelas terlihat keraguan di wajah Olin yang menunduk dengan mata bergerak-gerak. Olin berpikir jika jawabannya sekarang membuat hatinya lebih tenang mengapa harus menunda lebih lama. Lagi pula ujungnya akan sama. Dalam pertimbangannya, Olin tidak sadar jika sedang diperhatikan oleh Kiki secara diam-diam.
"Maaf ya Kak. Aku juga suka Kak Kiki ... tapi sebagai temen."
Genggaman tangan Kiki mengerat kuat pada setir motornya. Tidak ada respons dari Kiki kecuali hembusan angin yang menabrak wajah.
Sementara itu, Olin mengecek jam tangan dan ponselnya yang memunculkan pesan dan panggilan tak terjawab. Olin menghubungi kembali nomor Maga tapi sia-sia panggilannya tidak diangkat.
"Kak?" panggil Olin berulang kali tapi Kiki tetap bungkam sehingga membuat Olin tidak enak hati.
"Wah, gue ditolak." Kiki menggumam lirih sembari tersenyum tipis setelah beberapa jenak.
Mendadak laju kendaraan makin kencang membelah jalanan yang cukup padat. Sontak Olin langsung berpegangan kuat-kuat pada jaket yang Kiki kenakan. Dia takut terbang karena motor Kiki mulai mengebut tanpa peringatan.
"Bahay--"
"Pegangan. Gue mau sedikit ngebut biar nggak telat."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro