Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33.

Di depan kaca jendela siswa berambut cepak dan rapi itu nampak menyugar rambutnya dengan gerakan lambat. Sengaja memperbaiki tampilannya hingga mendekati kata sempurna menurut versi dirinya. Tidak peduli seberapa banyak orang-orang di sekitarnya memperhatikan, dia terus melakukan aksinya. Dia benar-benar sedang senang hari ini.

Cuaca cerah, perasaan bahagia, percaya diri dan waktu yang siap menyambutnya tidak akan Kiki sia-siakan begitu saja. Butuh usaha untuk mendapatkan kesempatan yang telah dia harapkan cukup lama, dan saat diberi peluang Kiki bersorak girang dalam hati.

Hari ini penting sekali baginya. Ada hal yang harus dia lakukan demi tercapainya sebuah tujuan.

"Woi, lagi ngapain lo pake ngaca segala?"

Salah seorang temannya menegur seraya menatap heran. Pasalnya Kiki cukup lama berdiri di dekat jendela depan kelas hanya untuk merapikan diri. Dia tidak sadar jika wajahnya yang terlihat menggelikan nampak dari dalam kelasnya.

Anehnya lagi bukannya menjawab dengan jelas malahan Kiki tersenyum lebar membuat ketiga temannya saling melempar pandangan.

"Nggak bener nih, anak."

"Kayaknya kerasukan setan!"

"Ck, ck!"

Kiki melirik lalu menjawab, "Berisik amat lo padaan. Nggak suka liat orang happy apa!?"

"Wah, ada apaan nih? Bagi-bagi ceritalah, Bro?"

"Rahasia. Ntar gue kasih taunya."

"Nggak biasanya lo kayak gini?"

"Jelas dong."

Teman-temannya saling berpandangan sambil mengangkat bahu penasaran. Kendatipun begitu, Kiki tak juga membeberkan apa-apa terkait rahasianya itu.

"Ngapain sih pake rahasia segala. Tinggal ngomong aja repot amat," kesal salah satu teman Kiki yang tak sabaran.

"Males gue ngomong sama lo pada. Gue cabut dulu ya," pamit Kiki seraya melambaikan tangannya tinggi-tinggi meninggalkan area kelas.

Sontak teman-temannya berseru kencang melihat Kiki yang bertingkah aneh pagi ini. Kedua alis mereka mengerut hampir menyatu.

"Lo mau ke mana woi! Bentar lagi masuk?"

"Bukannya sekolah malah bolos!"

"Bocah edann!"

Tak lama kemudian bel sekolah benar-benar berbunyi. Kiki rela absen sekolah demi menemani pujaannya yang ingin sekali datang ke ajang perlombaan olahraga yang diikuti Maga guna mendukung sahabatnya itu. Sekali-kali tidak mengapa Kiki jadi anak nakal dan abai terhadap pelajaran sehari saja. Kiki sudah memantapkan hatinya hari ini.

"Hai, Lin?" sapa Kiki kepada Olin begitu sampai di parkiran.

"Hai, Kak."

"Udah lama nunggu?"

"Belum, kok. Baru lima menit."

Kiki menaiki motornya setelah memakai helm begitu pula dengan Olin yang duduk di boncengan belakang. Sebelum berangkat Kiki mengingatkan sebentar soal permintaan untuk menemani Olin menonton.

"Kita ke suatu tempat dulu ya, Lin?"

"Iya, Kak."

Kebetulan sekali Joeya dan Andres tidak bisa diajak pergi, lebih tepatnya enggan pergi untuk hal merepotkan seperti itu. Maka, Olin tidak punya pilihan selain pergi bersama kakak tingkatnya yang menawarkan diri. Lagipula bersama teman lebih seru ketimbang sendirian. Olin tidak mau melewatkan Maga berlomba. Meski, dia harus membolos dan datang tepat waktu sebelum Maga bertanding.
Olin harus mendukungnya!

"Emang kita mau ke mana, Kak?" tanyanya penasaran.

Dan Kiki cuma menjawab singkat. "Ntar juga lo tau sendiri. Oke, kalo gitu kita berangkat. Pegangan Lin."

Tidak sulit keluar dari sekolah apalagi saat melewati pos satpam. Kiki yang sudah mengenal penjaga gerbang sekolah itu cukup memberikan kode dengan alasan izin karena ada keperluan tertentu. Percaya saja pak satpam membukakan pintu lalu motor Kiki melaju ke tempat tujuan dengan santai.

Setelah keduanya berkendara kurang lebih lima belas menit akhirnya Kiki menghentikan motornya di sebuah taman. Tempat yang pas dan cocok untuknya pagi ini. Di sana tidak ada orang selain mereka berdua.

Segera Kiki membawa Olin ke tempat yang sejuk dan duduk di bangku taman yang di sekitarnya ditumbuhi bermacam-macam bunga. Pemandangan di sana semakin nyaman karena kicau beberapa burung yang hinggap di pohon, ditambah semilir angin yang menenangkan.

"Kita ngapain ke sini Kak?"

Kiki masih berdiri di depan Olin sambil mengatur napasnya yang tidak karuan. Padahal semalaman dia telah berlatih di depan cermin sampai hapal dialog apa yang mesti diucapkan, tapi mengapa mendadak otaknya beku. Jangankan bicara, bernapas saja terasa berat. Kiki mendadak panas dingin.

"Kak?" tegur Olin seraya mengayunkan tangannya ke depan wajah Kiki yang melamun.

Cowok itu menelan ludah secara paksa lalu mengembuskan napas. Dengan keberanian yang mulai terkumpul Kiki meraih tangan Olin pelan sambil berjongkok tepat di hadapannya dan membuat Olin tersentak sesaat.

"Sesuai janji gue waktu itu, gue mau ngomong sesuatu."

Olin hanya mengangguk dengan perasaan tak nyaman. Pikirannya ke mana-mana. Apalagi jemarinya masih digenggam Kiki erat.

"Gue mau jujur soal perasaan gue selama ini. Dan lo perlu tau soal ini."

"Gue rasa sekarang waktu yang tepat karena gue nggak yakin bakal ada kesempatan lain atau gue bisa ngelakuinnya di lain waktu," aku Kiki disertai suara terbata. Dia tidak menyangka akan sesulit itu untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Masa bodo dengan kalimat yang diulang-ulang, Kiki tak mau menyerah begitu saja.

"Gue merasa selama ini nyaman di deket lo. Gue nggak tau kenapa beda rasanya kalo ngobro sama lo."

"Gue terus kepikiran sama lo. Bahkan gue susah konsen buat belajar. Gue pikir perasaan itu mulai ada semenjak kenal sama lo."

"Gue suka sama lo, Lin. Mau nggak lo jadi pacar gue?"

Dalam sekali tarikan napas dia berhasil mengutarakan isi hatinya. Jantungnya yang bergemuruh kian berdegup kencang menunggu jawaban yang tak kunjung terucap.

Olin mematung kaku dan detik berikutnya menarik tangannya cepat-cepat hingga terlepas dari genggaman Kiki. Kecanggungan tercipta di antara keduanya. Sungguh Olin bingung harus bereaksi seperti apa. Pikirannya kosong, dia tidak bisa berpikir jernih.

Seharusnya dia senang tapi respons Olin terlalu biasa untuk dikatakan senang. Ini pernyataan cinta pertama baginya. Dia tak menduga sama sekali karena selama ini menganggap kakak tingkatnya sebagai teman.

Kakak tingkatnya itu menggaruk tengkuk yang sama sekali tak gatal kemudian bangkit dari jongkoknya.

Apa seharusnya Kiki tak mengatakannya?

Kepalang tanggung. Kiki yang sebenarnya malu berusaha mencairkan suasana seperti semula. Dia hanya bisa berucap, "Lo nggak perlu jawab sekarang, Lin. Lo punya banyak waktu buat jawab, gue bisa nunggu."

"Iya, Kak. Kalo gitu bisa kita langsung ke tempat lomba?" Olin langsung berdiri tanpa memikirkan apa pun. Matanya yang bergerak-gerak gelisah ke sembarang arah tak bisa berbohong kalau tengah menghindari tatapan Kiki.

"Oh, tentu."

Dalam perjalanan yang terasa panjang dua manusia itu saling diam dengan pikiran masing-masing. Kiki yang gelisah dengan sikap Olin barusan dan Olin yang merasa tak enak hati.

"Maaf ya, Kak."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro