28.
"Oke, tapi ada syaratnya."
Kening Olin mengerut dalam. Apalagi yang bakal Maga ajukan sebagai persyaratan. Dia tak menduga sama sekali kalau Maga punya permintaan, tapi apa pun itu lebih baik daripada mendengar Maga mengomelinya.
"Gimana, setuju?"
"Iya, ya, setuju!" Olin berseru lantang sampai menganggukkan kepalanya naik turun.
Maga puas dan senyumannya terbit tipis. Baru kali ini begitu mudah mengendalikan Olin yang suka sesuka hati. Maga tak mau hanya menuruti kemauan Olin yang sering menyusahkan dirinya. Sesekali dia perlu memberi sedikit gertakan supaya gadis itu tak menggampangkan segala hal.
"Kalo gitu, kan, enak. Gue nggak suka kalo lo bikin masalah ujungnya ya. Makanya gue nanya-nanya kayak gini, jangan geer duluan."
Olin cuma mendesah. Siapa yang nggak bakal baper kalau Maga perhatian kayak gitu, coba?
Aslinya Olin senang meski kesal karena Maga yang berlagak galak. Biasanya juga nggak peduli kalau Olin jungkir balik. Tapi balik lagi, demi kebaikan dirinya dia harus menurut.
"Lagian kenapa lo nggak cerita ke gue dulu sih kalo mau ikut ekskul?"
"Nggak nanti nyusahin kamu lagi. Kan, kamu yang nyuruh aku mandiri."
Benar juga yang dikatakan Olin. Mendengar alasan yang masuk akal mengapa rasanya seperti menelan ludah sendiri. Maga terdiam sebentar sebelum akhirnya berdalih.
"Ya nggak gitu juga. Lo tetep bisa sharing sama gue. Lo tau nggak Pramuka itu banyak kegiatan fisiknya, pasti bakalan capek. Dan lo masih milih itu."
"Namanya juga pengin," jawab Olin bernada ketus. Entahlah Olin merasa Maga menjengkelkan dan lebih cerewet dari biasanya. "Aku bakal jaga diri Maga, nggak usah khawatir. Udah kayak ayah aja, sih."
"Udah baik gue ingetin dan lo malah ngomel, Lin. Pantesan akhir-akhir ini lo nggak keliatan. Lo tau nggak ayah lo pernah nanya ke gue ke mana anaknya belum pulang?"
"Terus-terus kamu jawab apa, Maga?" cemas Olin disertai beragam pertanyaan di kepalanya. Memang beberapa kali lantaran mengikuti ekskul Pramuka Olin jadi pulang lebih sore dari hari biasanya. Duh, dia nggak kepikiran ayah bakal bertanya langsung kepada Maga.
"Terpaksa gue bohong, lo lagi kerja kelompok. Dan karena itu gue jadi bohongin orang tua."
"Ya, maaf."
"Gue juga yakin lo pasti bohong juga kan sama ayah lo soal pulang sore karena ngerjain tugas!"
Menganggukkan kepalanya, Olin hanya bisa menunduk sambil menatap sepatutnya sendiri. Ada sedikit rasa bersalah juga penyesalan yang telah dia perbuat terhadap ayahnya. Olin hanya tidak ingin mendengar ayah menolak ketika dia meminta izin soal ekskul tersebut. Olin belum berniat memberi tahu untuk sekarang.
"Ga, nggak usah bahas itu lagi deh. Mending sekarang kasih tau syaratnya apa biar kamu nggak ember ke ayah?"
"Tapi lo harus janji cepet kasih tau ayah lo soal ini. Gue nggak menjamin rahasia lo aman lebih lama."
"Iya, iya. Secepatnya kalo aku udah siap pasti kukasih tau, kok."
"Oke. Kalo git nanti balik sekolah tunggu gue selesai latihan."
"Maksudnya pulang bareng nih!?"
Antara sok cool dan malu mengakuinya, Maga hanya berdeham ringan. Sementara Olin, tertawa kegirangan.
"Siap, Maga! Itu mah gampang," seloroh Olin seraya menjentikkan jarinya. Dalam hitungan detik sifat asli Olin kembali ceria. "Oh, jadi kita udah baikan ya? Jadi, nggak sabar pengen cepet-cepet pulang sekolah."
Bukannya buntung justru Olin merasa beruntung. Tiada yang menduga kalau Maga bakal melontarkan pernyataan yang telah lama dia idamkan. Kapan terakhir kali mereka berjalan bersama, pulang bareng, dan mengobrol sesantai ini?
"Senengnya nggak perlu minta jemput ayah lagi," katanya seraya mengingat bagaimana belakangan ini selalu diantar jemput oleh ayahnya setiap hari.
"Anak durhaka."
"Habisnya ayah selalu ceramah disepanjang jalan pulang, Ga. Belum lagi suka nan ...."
"Apa?"
Nyaris saja Olin kelepasan soal ayah yang sering menanyakan Maga padanya. Tidak penting juga dia memberitahukan pada cowok itu kalau sering digibahin. "Nggak, deng. Berarti aku boleh lihat kamu renang nih?"
"Iya, dari jauh."
"Oke, nggak masalah. Berarti berangkat besok juga bareng dong?"
"Iya."
***
Sesuai kesepakatan yang sudah diputuskan, Olin bersegera dengan perasaan senang memberesi semua alat tulisnya ke dalam tas secara asal. Biarlah tidak rapi asal barang-barang miliknya cepat berpindah tempat.
Olin sudah terlambat lima menit, sedangkan Maga telah pamit duluan keluar dari kelas. Katanya Olin bisa menyusul kemudian setelah selesai mengerjakan latihannya yang terbengkalai. Tentu saja Olin tak mau menghambat Maga dan membuat cowok itu datang terlambat. Toh, bukan dia yang akan berlatih renang melainkan Maga. Tugasnya hanya menonton sekaligus menyemangati Maga saja ketika sampai di sana. Olin tidak mau menyusahkan Maga jika harus menahan Maga demi dirinya.
Di sepanjang koridor yang lumayan sepi Maga terus berjalan dengan hati dan pikiran positif tanpa ada yang menggangu isi di kepalanya. Wajah Maga nampak lebih cerah dari hari kemarin. Dia merasa jauh lebih baik dan semangat untuk latihan. Sungguh berbeda, tapi Maga tidak tahu mengapa begitu.
Bisa saja karena hubungannya bersama Olin tak lagi canggung. Mungkin juga inilah yang hatinya sukai sebenarnya. Tanpa dia sadari Maga telah menaruh hatinya pada gadis bawel itu.
Senyuman yang sejak tadi menghias di bibirnya kian menghilang tatkala seorang mendekat ke arahnya. Tepat saat siswa itu berdiri sambil menyapanya, Maga mendecak kecil.
"Kebetulan ketemu lo di sini."
"Gue?"
Setengah hati Maga meladeni Kiki yang terlihat celingukan seperti mencari sesuatu. Dari sekian banyak manusia mengapa harus bertemu dengan seniornya yang tidak dia sukai itu. Perasaan Maga tak nyaman hanya karena melihat tampang menyebalkan. Kiki yang terlihat sok ganteng.
"Lo sendiri?"
"Iya."
"Sayang banget," keluh Kiki kecewa lalu kembali fokus menatap Maga yang memasang mimik datar. "Kalo gitu gue titip salam aja deh sama lo."
"Salam?"
"Ya."
"Buat?"
Lagi-lagi Maga bertanya dan itu membuat Kiki puas melihat tingkah polos juniornya. Kiki tak bisa diam saja ketika Maga menampakkan aura sengit kala bertatap muka dengannya. Semenjak pertama kali perkenalan mereka dimulai, baik Maga maupun Kiki terlihat tak akur sama sekali. Meski jarang berkomunikasi keduanya mengeluarkan aura suram.
"Olin, dong. Gitu aja nanya."
"Kenapa sama gue?" telunjuk Maga teracung menunjuk dirinya sendiri. Dia belum mengerti ke mana arah pembicaraan yang Kiki maksud.
"Iya, lo. Siapa lagi, kan lo sahabat deketnya Olin. Lebih gampang kan salam gue tersampaikan, dan kalo boleh sekalian gue minta nomernya?"
Pupil mata Maga melebar seiring detak jantungnya yang tiba-tiba berhenti berdetak saat mendengar kalimat itu.
"Kalo gue nolak?"
Kiki menyeringai lantas maju selangkah. Kini jarak keduanya terlampau dekat hanya menyisakan dua jengkal saja.
"Ya, gue tinggal langsung nemuin orangnya kan. Lagian seharusnya sebagai sahabat lo dukung gue. Udah lama gue punya rasa sama dia. Jad--"
"Gue nggak setuju."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro