20.
Olin melipat beberapa lembaran kertas lusuh kuesioner yang telah terisi jawaban sepenuhnya usai menyelesaikan wawancara tugas bahasanya, setelah itu kertas dimasukkan ke dalam tas secara asal. Gadis itu kemudian melirik Joeya yang lebih dulu bangkit dari duduknya dan beranjak keluar kedai.
Buru-buru Olin mengikuti langkah Joeya seraya berkata, "Akhirnya selesai juga ya, Jo."
"Belum," lontar Joeya disertai gelengan kepala. "Kita masih harus buat makalah setelah ini. PPT juga."
"Iya, juga. Jadi kapan kita bisa lanjutin ngerjain lagi?"
"Mungkin, besok pulang sekolah. Lebih cepat lebih baik. Gimana?"
Olin tampak berpikir sesaat baru menganggukkan kepala setelahnya. Dalam beberapa hari ini dia menyibukkan diri bersama Joeya demi bisa merampungkan tugas sekolah dengan segera karena akan dikumpulkan Minggu depan.
Dan langit biru yang mulai menghilang masih menahan Olin untuk tetap di sekolah demi menunggu jemputan. Baik Olin maupun Joeya kembali memasuki gerbang sekolah dengan tujuan masing-masing. Tepat ketika berbelok di sudut gedung langkah Olin terhenti. Pandangannya bersirobok dengan Amakia yang berdiri menatapnya sengit.
"Hai, Ama--"
Kalimatnya terjeda. Olin kembali menarik sisa kata-katanya tatkala melihat Amakia hanya melengos melewatinya. Olin bisa mengerti kalau Amakia membencinya. Amakia pasti masih menyimpan rasa kesal setelah semua kejadian sial yang menyeret namanya waktu itu. Meskipun Olin tak bisa disalahkan sepenuhnya, tetap saja tidak mudah bagi Amakia untuk melupakannya.
Pertemuan terakhir mereka tidak berjalan baik. Kian hari malah semakin buruk. Mungkin memang sebaiknya Olin menjauhi Amakia untuk sementara waktu.
"Kenapa?"
Joeya bertanya tegas karena ditatap Olin dengan raut memelas. Cewek itu lalu melihat ke arah depan tak mempedulikan sekitar. Bahkan saat Amakia melewatinya dengan menghentakkan kaki. Joeya tetap cuek. Lagipula itu bukan ditujukan padanya, melainkan pada Olin.
Tanpa diminta Olin berkeluh kesah mengutarakan isi hatinya. "Kayaknya Amakia masih marah sama aku gara-gara gosip itu."
"Basi."
"Iya, sih. Tapi gara-gara itu aku--"
"Ya itu hak dia." Joeya mendecak malas menanggapi obrolan yang terlampau tak berguna. Bikin repot saja. Walaupun begitu, akhirnya Joeya melanjutkan. "Mungkin kalo lo yang diposisinya juga nggak menutup kemungkinan ngelakuin hal yang sama. Daripada lo, bukannya dia lebih banyak dihujat satu sekolah?"
Benar adanya pernyataan Joeya yang tak bisa disangkal hingga membuat Olin benar-benar diam. Ucapan Joeya terdengar tegas juga menyakitkan, tapi itulah sifat Joeya yang sering membuat orang lain kurang menyukainya. Bagi sebagian murid, Joeya dianggap terlalu kasar dan ceplas-ceplos kalau bicara. Tidak pernah menjaga hati orang lain yang bisa saja terluka. Joeya memang unik.
Bagi Olin yang mulai memahami karakteristik teman sebangkunya itu bisa memaklumi bahwa setiap orang punya sisi baik dan buruknya masing-masing. Seperti Joeya yang suka bicara apa adanya tanpa perlu menutupi sesuatu dibalik kata-kata manis.
Entah mengapa dia jadi makin tertarik untuk lebih dekat dengan Joeya daripada sekarang.
Olin terus mengekori Joeya yang makin mempercepat langkahnya melewati koridor kelas. Cewek berambut pendek itu gegas mengejar ketertinggalannya untuk latihan. Setelah menyalin pakaian dan melakukan sedikit pemanasan tubuh, kemudian Joeya langsung bergabung bersama tim volinya ke dalam lapangan. Sementara Olin memilih duduk manis di tepian lapangan sambil menunggu ayah datang.
Lebih baik melihat orang-orang berkegiatan daripada hanya termenung di depan gerbang sekolah dengan pandangan yang menunggu jemu. Meski Olin tidak punya kerjaan lain, setidaknya matanya perlu dimanjakan saat berada di sekolah dengan suasana yang terbilang masih ramai.
Kebetulan hari ini harinya ekstrakurikuler berlangsung. Maka, tidak heran jika keriuhan masih terdengar di penjuru sekolah baik suara yang berasal dari dalam gedung maupun lapangan terbuka.
Tepat di hadapannya terpampang anggota voli tengah bermain. Sesekali bunyi pluit memekakkan telinga. Joeya yang ternyata jago bermain bola tangan tersebut terlihat lebih garang ketika melakukan smash keras. Di sisi lain Olin hanya bisa bersorak spontan tatkala poin tercetak kian banyak. Layaknya pendukung sejati Olin berputar-pura tidak peduli jika dipandang aneh karena terlalu bersemangat menjerit.
Sudah terlanjur. Mau bagaimana lagi. Ditutupin pun tidak ada gunanya! Pilihan terbaik pura-pura bodoh.
Olin tidak menyangka ternyata menonton voli merupakan kegiatan yang seru. Padahal sebelumnya dia tidak pernah tertarik pada hal-hal seperti itu. Pantas saja waktu itu ayahnya suka berteriak-teriak ketika menonton pertandingan sepakbola di televisi. Rupanya rasanya semenyenangkan ini.
Menoleh ke kanan saat Andres tiba-tiba mendudukkan diri di sampingnya. Mata Olin tidak berhenti berkedip karena terkejut melihat puncak kepala Andres tanpa sehelai rambut sedikit pun. Meskipun Olin sudah menahan tawanya, bibir miliknya tak kuasa untuk berkedut.
"Ketawa aja kalo mau ketawa!" sindir Andres seraya mengusap tempurung kepala botaknya.
"Maaf," ucap Olin tak enak hati, "Kenapa digundul gitu?"
"Ya, mau gimana lagi udah terlanjur pitak."
Olin yang masih terkekeh kecil berusaha bersikap biasa lalu mengalihkan topik. "Andres kok belum pulang?" tanya Olin mengingat temannya itu tidak mengikuti ekskul apa pun seperti dirinya.
"Gue nunggu Joeya. Rumah kita searah."
"Oh, gitu."
Bukan hal baru melihat Andres sebaik itu demi pulang bersama sahabatnya sampai-sampai dia rela membuang waktunya dengan cuma-cuma. Tapi kalau dipikir-pikir bukankah Olin pun sama?
Dulu, ya sebelum dia dan Maga tak saling sapa. Siapa yang rela menunggu Maga berjam-jam cuma buat balik bareng sepulang sekolah atau bangun pagi-pagi sekali dan tidak ingin ketinggalan momen berangkat bersama sahabatnya itu?
Masalahnya bukan pada menghitung waktu yang terbuang tapi pada keinginan hati untuk melakukan perbuatan tersebut. Tandanya ada perasaan kuat yang membuat Andres bertahan. Kalau boleh Olin juga ingin seperti itu, kembali ke masa-masa berdua hanya bersama sahabatnya, Maga.
Karena ada Andres di sampingnya Olin jadi tak fokus menonton pertandingan tadi. Entahlah rasanya seakan tidak sebebas sebelumnya. Beberapa kali Olin melirik Andres yang tengah mengunyah permen karet.
Jujur Olin bingung harus melanjutkan obrolan yang seperti apa, karena biasanya Olin lebih sering jadi pendengar di antara Joeya dan Andres. Namun, kini dia harus mengobrol berdua saja membuat Olin sungkan. Bagaimanapun keduanya belum lah berteman akrab layaknya dia dan Maga.
Ah, lagi-lagi Maga. Cowok itu sekarang pasti lagi renang di kolam sekolah. Olin jadi rindu mendadak.
Tanpa aba-aba Andres menyeletuk, "Nggak usah kaku gitu Lin. Gue kan udah bilang nggak gigit orang. Santai aja."
Menyengir tipis sambil menggaruk pelipis yang tak gatal. Refleks Olin mengambil sesuatu dari balik saku seragamnya saat terdengar dering ponsel. Dengan cepat pesan masuk dibaca dan Olin harus bersabar sedikit lebih lama lagi. Sebab ayah akan terlambat menjemputnya lantaran ban mobilnya bocor.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro