Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18

"Mending makan barengkan daripada sendirian ... sepi."

Kiki meledek sambil tersenyum manis lalu mulai menyuap nasi ramesnya ke dalam mulut.

Tidak buruk juga makan bersama orang baru dikenal seperti sekarang. Olin yang memang merasakan kesepian di tengah ramainya suasana kantin jadi sedikit tertolong dengan kehadiran Kiki yang seolah-olah tahu bahwa dia butuh seorang teman. Tidak akrab pun tidak mengapa, asalkan rutinitas membosankannya siang ini berkurang.

Keduanya kemudian sibuk masing-masing dengan makanannya. Kiki yang terlihat rusuh saat makan mengalihkan atensi Olin dari batagor di piring.

Sesaat Olin mengerjapkan mata keheranan. Ah, ternyata berbeda dengan Maga yang kalau lagi makan lebih terlihat rapi dan elegan ketimbang Kiki yang seperti belum makan tiga hari.

Cowok itu menumpuk banyak-banyak lauk beserta nasi dalam sekali sendok ke dalam mulut yang terbuka lebar.

"Gue belum sarapan tadi pagi, Lin. Maklumin ya jadi Hulk kalo lagi makan."

Terkekeh kecil. Olin tak dapat menyembunyikan kelucuan dari mulut menggembung kakak kelasnya itu saat makan.

Diam-diam Kiki ikut mengembangkan bibirnya tanpa sepengetahuan Olin. Rasanya senang tindakannya yang tidak seberapa mampu membuat Olin lebih baik.

"Nah, kalo senyumkan cantik."

"Apa Kak?" tanya Olin karena tidak mendengar jelas suara Kiki yang menggumam pelan di tambah keadaan mulut mengunyah.

"Nggak bukan apa-apa."

Bukan tanpa sebab Kiki bisa berada di sana dengan segala kebetulan yang tak disengaja. Sebenarnya Kiki telah merencanakan niatannya untuk menghampiri Olin setelah mendengar rumor miring tentang gadis itu yang belakangan ini telah mengisi pikirannya. Tidak bisa seorang Kiki diam saja mendengar kabar jelek tersebut.

Meskipun dia belum sepenuhnya mengenal sosok Olin yang memikat di hatinya, tetap saja Kiki perlu bertindak sebagai lelaki sejati. Namanya rumor, gosip atau apa pun yang belum jelas kebenarannya Kiki tidak mau percaya begitu saja. Dia tidak boleh ikut terbawa arus yang tidak baik di kalangan anak-anak soal desas-desus yang tengah hangat diperbincangkan.

Di zaman sekarang banyak sekali informasi yang bisa tersebar begitu mudah dan cepatnya melalui berbagai media. Tidak sulit bagi bagi Kiki mengetahui perkara yang tengah heboh di sekolah. Banyak anak-anak turut andil dalam menyebarkan gosip apa pun yang mereka dengar baik dari mulut ke mulut maupun lewat perantara lain, sosial media misalnya.

Dengan harapan besar yang dia punya akhirnya Kiki dapat menemukan
Olin yang termenung lesu duduk di kantin siang ini. Jadilah, sesi pendekatannya berjalan lancar.

"Lo kenyang makan gituan doang?"

"Oh, kenyang kok."

"Mau gue pesenin nasi ayam atau sesuatu gitu, tenang gue bayarin." Kiki masih menawari traktiran secara cuma-cuma tapi ditolak Olin tanpa pikir panjang.

"Nggak usah Kak, aku emang nggak pengin makan nasi."

"Diet?"

"Nggak," tegas Olin sambil mengibas-kibaskan tangannya cepat. Dia saja sudah kurus, bagaimana mungkin harus diet? Bisa-bisa tinggal tulang.

"Dasar cewek emang kalo makan dikit ya?"

Olin tersenyum beberapa detik memperhatikan Kiki yang hampir menghabiskan makan siangnya dengan rakus.

"Nggak juga sih, terganggu situasi."

"Oh, beda sama laki, Lin. Liat porsi gue sama lo, beda kan?"

"Iya, Kak. Lambungku kan kecil nggak kayak Kak Kiki makannya banyak," ledek Olin seraya bergurau.

"Bisaan aja lo. Gue kira lo pemalu, ternyata lumayan juga."

Kesan berbeda yang Olin tunjukkan pada Kiki hari ini tentu tidak sama dengan pertemuan pertama mereka. Olin memang terlihat cukup pemalu, tapi saat seseorang telah mengenalkan lebih jauh bakal kelihatan sifat aslinya yang banyak omong.

"Lin, gimana lo udah mikirin mau masuk ekskul beluk?"

"Pengin sih, tapi belum nemu yang cocok," aku Olin jujur karena dia masih memilah-milah ke mana keinginannya akan berlabuh. Olin sendiri bingung kalau harus memutuskan secara dia masih awam dengan hal begituan. Di tambah kegiatan ekskul di Nusa Pelita terbilang banyak sehingga tidak mudah bagi Olin untuk memilih salah satunya.

"Kalo lo masih bingung, saran gue Pramuka nggak buruk kok. Kalo lo gabung bisa ketemu gue tiap latihan."

Kiki berharap Olin mau mempertimbangkan sarannya itu. Hitung-hitung bisa mengenal lebih dekat ke depannya.

"Bakal aku pertimbangin Kak, kayaknya seru deh kalo gabung."

"Pasti dong. Dengan ngikutin kegiatan ekskul bikin tambah temen 'kan. Apalagi gue Bantaranya!"

"Apa, Ban--"

"Entar lo juga bakal tau sendiri. Makanya jangan kelamaan mikir."

"Iya, Kak."

Dan obrolan keduanya terus berlanjut dan tanpa mereka sadari ada seorang yang mengamati dari kejauhan dengan tatapan serius.
***

Tumben sekali kursi di barisan ketiga yang biasanya di tempat maniak Maga kini tak berpenghuni. Padahal jam istirahat belum lama berbunyi, sejenak Maga melirik cepat kemudian bergegas mengikuti langkah Angga dan beberapa teman lainnya yang telah keluar kelas.

"Buruan woi! Gue nggak mau kehabisan bakso Mang Aan," teriak Angga lalu berlari kencang menuju kantin.

Maga hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kekanakan temannya itu. Beberapa murid juga ikut mencibir kelakuan konyol Angga di sepanjang koridor yang menyita banyak perhatian.

Dasar nggak punya malu!

Sekilas ingatan tentang Olin tanpa permisi melintas dalam otaknya. Bagaimana Olin yang manjanya minta ampun kepada Maga, lalu tingkah mirip anak kecil yang suka diperhatikan dan masih banyak hal-hal lain yang kemudian Maga singkirkan secepatnya. Bisa-bisanya dia kepikiran Olin di saat seperti ini? Apa dia sudah nggak waras karena kena kutukan Olin sampai-sampai akal berpikir begitu.

"Eh, Ga sini!"

Maga menoleh ketika Angga tau-tau sudah duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan pemiliknya. Cowok itu bukan cuma cepat bergerak, tapi cepat juga memesan makanan. Kalau sudah urusan perut tidak bisa diganggu.

Gegas Maga menghampiri Angga dan duduk manis setelah meletakkan makanannya di atas meja.

"Nggak pernah ngecewain rasa baso ini, untung masih kebagian."

"Lebai, lo."

"Serius duarius. Kayaknya gue mau nambah deh. Belum kenyang kalo makan satu mangkok doang."

"Terserah lo Ngga. Nggak sekalian mangkoknya juga lo telen."

Terbahak keras Angga menepuk-nepuk bahu Maga hingga membuat cowok itu nyaris tersedak. Sangat tidak nyaman ketika Maga harus berdekatan dengan temannya yang tak tahu diri.

"Saran yang amat berguna. Kenapa nggak lo duluan, coba contohin!" kesal Angga disertai seringai licik menanggapi candaa n Maga barusan. "Ketus amat, lagi galau bro?"

Kepala Maga berdenyut. Belum lagi kupingnya berdengung karena terus-terusan mendengar cerocosan Angga. Meskipun Angga berkelamin laki-laki tapi cerewetnya setara cewek pada umumnya.

Maga heran bagaimana dia bisa berteman dengan cowok itu? Rasanya dia dikelilingi teman-teman aneh.

Tanpa mempedulikan Angga yang terus bergurau tak jelas membuat Maga mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Gerakan netra hitam miliknya berhenti tepat pad satu titik di mana Olin yang duduk di pojok kantin terlihat menikmati obrolan dengan seorang siswa.

Senyuman tipis terbit di bibirnya. Kemudian Maga membuang muka sekaligus beranjak dari sana mengabaikan apa yang baru saja dilihatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro