16
Tiba di gerbang sekolah Olin beringsut turun dari mobil lalu melambaikan tangannya kepada ayah yang berlalu pergi. Hari ini dia bangun kesiangan dan buru-buru pergi ke sekolah. Sebab, semalam pikirannya sulit diajak istirahat. Ingin sekali dia tidur lelap seperti sedia kala sebelum rentetan masalah yang dia punya bersarang di kepalanya, tapi tidak bisa. Meski Olin benar-benar memejamkan mata serapat mungkin, berlainan dengan alam bawah sadar yang tetap terjaga. Jadilah dia berangkat lebih siang dari biasanya.
Beruntungnya gerbang sekolah masih terbuka di sisa waktu sepuluh menit menjelang bel masuk berbunyi. Olin bersyukur dalam hati dan bernapas lega setelahnya. Tadi di sepanjang perjalanan menuju sekolah hatinya diselimuti rasa khawatir. Takut kalau-kalau bakal terlambat, apalagi jika harus mendapat hukuman lari keliling lapangan.
Olin tak mau berakhir begitu. Bukan hanya malu yang dia terima, dia pun bakal punya catatan merah karena melanggar peraturan sekolah. Olin tidak suka. Dia terbiasa menaati aturan. Mungkin akan terasa aneh jika melanggarnya. Apa seperti itu bisa dibilang anak cupu?
Gegas langkah Olin menuju kelas dengan laju cepat. Mulanya tidak ada keanehan ketika Olin berjalan tanpa memedulikan sekitar. Namun, telinganya yang terlampau tajam dapat menangkap bisik-bisik dari murid-murid yang menatap ke arahnya. Olin baru menyadari ketika menaiki anak tangga menuju ke lantai dua.
Olin pikir anak-anak sedang mengabaikannya, tapi saat diteliti lebih saksama pandangan mereka jelas sekali mengarah padanya. Olin kembali menunduk menatap lantai koridor seperti semula. Abai, Olin berusaha mengenyahkan pikiran jeleknya. Mungkin, hanya perasaannya saja. Bukankah tidak baik berprasangka buruk kepada orang lain?
Setibanya di kelas pun perasaan gelisah itu belum surut. Dia bisa merasakan seisi kelas mencuri pandang ke arahnya. Sesekali mereka berbisik pelan. Meski jarak mereka cukup jauh tetap saja Olin bisa tahu.
Takut ada kesalahan dalam berpakaiannya hari ini kemudian Olin menilik diri sendiri dari atas ke bawah. Tidak ada sesuatu yang aneh. Walaupun ada sedikit kusut saat berdandan tadi lantaran dikejar waktu. Sudah pasti bukan dirinya yang aneh. Begitu pikir Olin.
Namun, seseorang yang menepuk bahunya membuat Olin berjingkat. "Olin," kata siswi yang duduk di sampingnya penuh simpati. Di wajahnya tersimpan raut peduli.
"Iya?"
Bukan cuma menoleh Olin sampai membalikkan badan menghadap siswi itu. Sebelah alisnya terangka dengan tatapan serius. Rasanya baru pertama kali cewek itu menyapanya duluan, biasanya kebalikan.
"Lo baik-baik aja, kan?" Pertanyaan yang ambigu sekaligus membuat Olin bingung.
Namun Olin menjawab polos disertai keraguan. "Baik."
"Lo yang sabar ya. Mungkin berat, tapi lo kudu tetap semangat. Jangan takut."
Hah?!
Belum sempat membalas apa pun apalagi sampai bertanya soal kalimat barusan Olin harus menahan diri karena anak itu keburu duduk di kursinya. Tak lama bel berbunyi nyaring dan menjadi akhir percakapan absurd pagi ini.
Di sampingnya, Joeya menatap iba pada Olin yang baru mendudukkan diri. Joeya mendecak sesaat lalu berkata, "Lo masih inget tugas kelompok?"
"Oh, iya."
"Nanti kita bahas lagi."
Olin menganggukkan kepala. Selesai, obrolan mereka tidak pernah jauh-jauh dari seputar tugas sekolah. Joeya hanya peduli pada hal itu, tidak lebih dan Olin kehabisan kata-kata. Padahal dia ingin sekali mengakrabkan diri dengan Joeya--teman sebangkunya yang lama dia idam-idamkan saat masih homeschooling. Nyatanya, kenyataan tidak sebaik ekspektasi. Joeya tak seramah bayangannya.
Melihat Joeya yang masih menatapnya datar membuat Olin kembali bersuara. "Apa ada yang aneh sama aku hari ini?"
"Hmm." Joeya berdeham seraya menggeleng malas lalu berucap, "Nggak ada yang aneh sama lo, kecuali gosip pagi ini."
"Gosip?"
"Ya."
"Memang ada gosip apa?" tanya Olin karena tidak tahu menahu soal gosip yang Joeya maksud. Setahu Olin, Joeya bukan tipikal orang yang suka perihal begituan. Tapi kali ini Joeya mengatakan senteng itu.
"Aneh." Joeya menggumam kemudian melanjutkan, "Kan, lo yang lagi jadi topik gosip pagi ini. Lo nggak tau?"
"Hah?"
Kedua bola mata Joeya berputar terlihat enggan menanggapi. Namun, dengan berat hati dia bertutur lagi daripada ujung-ujungnya mendengar rengekan Olin nantinya. Lebih baik dia katakan apa adanya. Toh, Joeya telah terlanjur mengobrol sekarang dan mumpung dia mau. Apa boleh buat.
"Soal lo kecebur di kolam kemarin setelah pulang sekolah. Semua anak bilang Amakia bully lo."
Pantas saja keanehan di sepanjang perjalanannya ke kelas tadi membuat dia jadi pusat perhatian. Ternyata gosip tak jelas asal usulnya itu yang menyebabkan kesalahan pahaman.
Olin kehabisan kata-kata. Kepalanya serasa berputar memikirkan banyak hal. Di hadapan Joeya dia hanya terbengong sambil melotot tak percaya. Sedangkan cewek itu menoleh abai ke depan kelas mengikuti langkah gurunya yang memasuki kelas.
Tepat setelah Olin ikut menoleh ke arah depan bersamaan dengan itu netranya bersirobok melihat Amakia yang baru saja melintas. Tajam sekali tatapan menghunus mengarah padanya.
***
Di depan cermin cewek itu mematut diri dengan tatapan lurus. Kedua tangannya bertumpu pada wastafel kamar mandi dengan jari-jari yang kian mengerat. Sudah lima menit berlalu napasnya masih memburu tatkala teringat pada desas desus hari ini.
Bukan main gosip murahan dan tak bertanggungjawab tentang perundungan yang katanya Amakia sebagai pelaku sangat salah kaprah. Layaknya embusan angin yang kencang berita palsu itu menghebohkan seisi sekolah. Sampai-sampai dia dipanggil ke ruang BK untuk mengklarifikasi kebenaran yang sesungguhnya.
Amakia kesal, sangat. Dia sendiri tidak tahu bagaimana bisa berakhir seperti sekarang. Padahal dia tidak bersalah tapi banyak orang mencapnya seoal-olah telah melakukan tindakan tak pantas dan menjijikkan itu.
Beruntungnya pihak sekolah tak mempermasalahkan gosip yang tak jelas asal-usulnya itu setelah mendengar penuturan langsung dari pihak-pihak yang terlibat, termasuk Maga dan beberapa saksi yang ada. Meskipun begitu, dia masih menyimpan kesal kepada penyebar gosip murahan.
Dia akan mencari pelakunya sampai ketemu!
Akumulasi dari semua masalah itu citra baik dan namanya jadi rusak. Sekalipun Amakia terbukti tidak bersalah, tetap saja anak-anak masih berpikiran negatif tentangnya. Terlebih dengan orang-orang yang membencinya.
Lantas Amakia membasuh mukanya dengan air untuk mendinginkan kepalanya yang terasa panas. Setelahnya dia keringkan menggunakan tisu lalu membuang lembaran tisu tersebut secara kasar ke dalam tempat sampah di dekatnya.
Dia beranjak keluar dari toilet. Namun, langkah kakinya terhenti saat menemukan Olin berdiri di hadapannya dengan bintik-bintik keringat memenuhi dahi.
Olin telah berkeliling sekolah, menyusuri setiap tempat demi mencari Amakia usai keluar dari ruang bimbingan konseling. Rasanya masih ada yang perlu diperjelas lagi supaya Amakia tidak berprasangka buruk padanya. Karena Olin merasa jika Amakia terlihat tidak menyukainya.
"Amakia, tunggu. Kita perlu bicara!" seru Olin tanpa basa-basi. Amakia menghela napas panjang sambil menyilangkan tangannya di depan dada.
"Apalagi, sekarang? Gue rasa udah selesai drama menjijikkan kita. Lo pasti seneng kan gue dituduh yang enggak-enggak sampai dikira bully lo."
"Nggak, Ama. Aku juga nggak tau kalo bakal ada gosip kayak gini. Suwer."
"Halah." Tangan Amakia terkibas pelan mengisyaratkan tidak mau tahu alasan lain. "Di sini gue banget yang dirugiin, Lin. Gue nggak tau siapa yang berani sebarin gosip palsu itu, tapi yang pasti semua orang mandang gue jelek. Semua gara-gara lo!"
Olin tersentak ketika Amakia mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan matanya. Olin ingin membela diri, tapi dia urungkan. Bukan meredakan perselisihan malah bisa berakhir keributan yang tak berujung.
"Maaf. Aku minta maaf. Karena nggak hati-hati kemari malah bikin kamu rugi."
"Harusnya lo nggak perlu drama sampe nyebur ke kolam segala. Gue inget nggak ngapa-ngapain lo tapi ... ya sudahlah."
Andai saja Amakia tahu soal penyakit anehnya. Andai Amakia sadar karena tindakan berlebihannya kemarin yang menyebabkan Olin kambuh. Dan andai saja jika Olin berani memberitahu soal penyakitnya semua akan lebih baik, mungkin.
Olin tertunduk lesu menatap ke bawah sedangkan Amakia menggeram menahan kesal yang tidak bisa dia lampiaskan. Alhasil Amakia hanya menggerutu sendiri sambil menghentakkan kaki kuat-kuat.
Meski Amakia marah, dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Olin. Mereka sama-sama korban. Biarpun Amakia tidak menyukai Olin adalah fakta, lain hal dengan membully. Dia tidak pernah menjadi orang sejahat itu hanya demi mengejar cintanya pada Maga.
Melihat Amakia hendak berjalan Olin buru-buru bicara. "Ama, soal permintaan kamu kemarin jangan khawatir, aku bakal tepati. Maaf, sekali lagi karena ini juga Maga jadi marahin kamu."
Amakia tidak merespons sedikit pun. Hanya telinganya yang mendengarkan lalu melenggang pergi.
Pdkt? Memangnya Maga masih sudi didekati olehnya setelah kejadian ini?
Seharusnya dari awal Amakia tidak pernah mengharapkan bantuan Olin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro